Pada tahun 1993, perusahaan kecil kami memperoleh sebuah bisnis di bidang telekomunikasi di Bali. Sebuah kerjasama antara kami dan sebuah perusahaan asing, PT. Telematrixindo. Bagi hasil yang kami sepakati dengan perusahaan asing tersebut adalah 40 : 60, artinya 40 % biaya dan keuntungan untuk pihak kami dan 60 % untuk perusahaan asing itu. Usia saya saat itu 27 tahun, dengan 10 karyawan yang membantu usaha tersebut. Mereka umumnya lebih muda dari saya, dan tidak memiliki pengalaman kerja sedikitpun.
Bersama PT. Telematrixindo tersebut, kami melakukan promosi secara intensif. Pada suatu saat, ada sebuah perusahaan event organizer yang menawarkan stand pameran berskala nasional untuk memasarkan produk kami itu. Saya tertarik dan berniat untuk ikut serta. Kemudian proposal kami buat dan kami ajukan ke kantor pusat di Jakarta, agar biaya pemeran tersebut dapat ditanggung secara bersama, sesuai dengan prosentase perjanjian perusahaan.
Akhirnya mereka menyetujui, dan kami ikut dalam pameran tersebut. Mereka kemudian mentransfer biaya pameran tersebut kepada kami. Itulah promosi pertama yang kami lakukan. Kami merasa bangga dan merasa berbunga-bunga, karena inilah bisnis pertama yang kami tangani. Maklumlah, waktu itu banyak perusahaan lain yang berkeinginan untuk mengambil bagian dalam bisnis ini.
Seminggu kemudian, tiba-tiba saya mendapat telepon langsung dari sang general manager, yang meminta saya untuk datang ke Jakarta saat itu juga. Ia adalah pimpinan tertinggi setingkat presiden direktur, yang berkewarganegaraan Australia. Saya begitu kaget luarbiasa dan bertanya pada si penelepon tersebut, “Ada apa gerangan ? mengapa begitu mendadak ?” Ia menjawab, “Pokoknya anda harus datang sekarang juga ! kami tunggu.” Saya kemudian bertanya lagi, “Bukankah ini hari minggu ? bagaimana kalau esok saja ?” Ia pun menjawab lagi, “Ini persoalan serius, anda harus datang sekarang, presdir sudah menunggu.” Saya tercenung dan berpikir sejenak, ada apa ini ? Jantung saya terasa berdebar-debar.
Akhirnya saya langsung berangkat ke airport dan mencari pesawat yang berangkat ke jakarta saat itu juga. Di tengah perjalanan saya begitu resah, karena saya tidak tahu apakah gerangan yang terjadi sebenarnya. Dan saya tahu betul, presdir ini terkenal sangat tegas dan ketegasannya acapkali tanpa tedeng aling-aling. Usianya lebih kurang 50 tahun, John Lisle namanya. Saya begitu gundah dan mencoba mencari kesalahan saya. Terus terang saya sangat khawatir, karena saya sudah terlanjur berinventasi cukup besar, juga waktu serta tenaga telah banyak tercurah untuk memperjuangkan bisnis ini.
Akhirnya saya tiba di Jakarta, dan langsung meluncur ke hotel Aryaduta di mana ia menunggu di sudut restoran yang sejuk, tetapi terasa begitu panas bagi saya ketika itu. Nampak mereka sedang duduk menunggu di salah satu meja. Saya hampiri mereka, bersalaman dan kemudian mereka mempersilahkan saya untuk duduk.
Tanpa basa-basi, mereka langsung memperlihatkan kepada saya copy kwitansi dan daftar harga sewa pameran itu, dan langsung bertanya (dalam bahasa inggris yang artinya ), “Berapa harga sewa stand pameran itu sebenarnya ?” Dan saya jawab dengan menyebut sederet angka yang saya tahu. Lalu ia mencecar lagi dengan pertanyaan, “Lalu, berapa yang telah anda minta pada saya waktu itu ?” Saya terdiam, karena ia menunjuk sebuah bukti transfer yang begitu jelas tertera sejumlah angka, yang membuat mata saya terbelalak. Kemudia saya melihat, bahwa angka yang kami minta dan yang telah kami peroleh ternyata jauh lebih tinggi dari apa yang tertulis pada harga penawaran panitia pameran. Saya tersentak !.
Saya berusaha untuk bersikap tenang, dan mencoba menjelaskan padanya bahwa kemungkinan hal ini terjadi karena ke-alpaan staf keuangan saya. Tetapi ia terus saja mendesak dengan mengatakan, “Kamu pimpinan di sana, mengapa sampai tidak tahu tentang masalah itu ! Tidak mungkin !” Ia mulai nampak marah dan saya merasa sangat tersudut. Saya sama sekali tidak menyangka, saya kaget dan tidak siap dengan kenyataan ini. Saya terus menerus berfikir, hingga mendapatkan kemungkinan bahwa ini terjadi karena bagian keuangan saya yang lalai atau mungkin juga kesalahan dari pihak panitia pameran. Tetapi yang pasti, saat itu saya seperti terdakwa yang tidak bisa berkutik dengan bukti autentic. Di depan hidung saya, dengan seorang hakim dan jaksa yang begitu tegas menuntut saya. Saya berusaha untuk menjelaskan, tetapi ia terus menyodorkan bukti-bukti lain yang kian memojokkan saya dan kemudian ia berkata, “You’re cheater !”
Hati saya hampir dibuat meledak oleh kalimat tersebut. Tiba-tiba saya membuat keputusan yang dramatis, dan saya lalu berkata,
“Baiklah pak, saya bersedia mengakui bahwa ini adalah kesalahan saya, sebagai seorang pimpinan. Saya minta maaf atas kesalahan dan kebodohan yang memalukan ini. Saya bertanggungjawab dan saya tidak ingin menyulitkan anda. Meski saya sangat mencintai bisnis itu. Saya tahu, anda datang sebagai seorang eksekutif yang harus melaporkan hal ini kepada komisaris. Ketegasan anda ditunggu oleh mereka. Saya lebih berbahagia, apabila anda selamat sebagai eksekutif, dan saya bersedia mundur, sebagai bukti pengakuan atas kesalahan saya.”
Suasana mendadak hening, mereka semua terdiam membisu. Saya tertunduk pasrah dan ikhlash. Saya merasa begitu dingin, sejuk dan damai yang tak terperi, ketika berhasil mengeluarkan kalimat itu dari mulut saya. Kalimat yang saya rasakan benar-benar keluar dari lubuk hati saya yang terdalam, kalimat-kalimat kejujuran. Kedamaian yang belum pernah saya rasakan, keindahan yang luar biasa itu seakan mengalir dalam aliran darah saya. Saya seperti terbang memasuki dimensi mistis yang sangat mempesona. Dada saya bergemuruh hebat merasakan kebahagiaan misterius. Tanpa terasa air mata hangat mengalir membasahi pipi saya. Saya mengalami spiritual experience, masuk ke osilasi 40 Hz, masuk ke dalam orbit alam semesta yang begitu indah.
Kemudian saya angkat dagu saya, dan saya melihat hal yang sama terjadi pada diri mereka, saya melihat mata mereka berkaca-kaca. Tiba-tiba mereka menjulurkan tangan dan berkata, “Lupakanlah semua kejadian ini, kerjasama kita akan terus berjalan. Minggu depan saya akan datang ke Bali dan ingin bermain tenis dengan anda !” Dan itulah saat pertama saya bermain tenis.
Ada tiga sifat yang membuat siapapun terharu membaca kisah ini. Ialah tanggungjawab, pemaaf dan pengasih. Ketiga sifat inilah yang menimbulkan rasa kedamaian yang sangat mempesona itu. Ketika saya masuk ke dalam pusat orbit God Spot (spiritual space), kebahagiaan tak terperi yang senantiasa saya rindukan hingga saat ini, muncul seketika. Dan usaha pencarian itu saya lakukan hampir 10 tahun, dan baru bisa saya dapatkan ketika kejadian itu.
~ *** Rahasia sukses membangkitkan ESQ POWER, Ary Ginanjar Agustian, Cetakan ke-11, 2007, hal : 104-107 ***~
Leave a Reply