Kisah Sa’id bin Musayyid yang lebih suka menikahkan putrinya dengan salah satu muridnya, Abdullah bin Abu Wada’ah, dan menolak pinangan Abdullah bin Marwan (sebagian riwayat menyebut Hisyam bin Abdul Malik) untuk putranya bukanlah dongeng. Ia betul-betul nyata dan ada. Tidak ada manipulasi sejarah tentangnya. Bahkan para ahli sejarah selalunya menyertakan kisah unik Sa’id bin Musayyib yang menikahkan putrinya dengan muridnya yang miskin papa, Abdullah bin Abu Wada’ah ketika menulis biografi sejarah hidup beliau. Subhanallah, profil seorang ayah yang bijaksana dan menjadi teladan bagi generasi ayah sepanjang masa.
——————————————– ***************************** —————————————-
Abdullah bin Abu Wada’ah dalam beberapa riwayat sering disebut Abu Wada’ah. Ia adalah seorang lelaki yang sangat miskin. Kerut-kerut kemiskinan menyemburat jelas di wajahnya. Siapa pun yang melihatnya, pasti akan berkata, “Engkau adalah orang yang miskin papa!” Namun kemiskinan di dunia tidak lantas membuatnya putus asa dari memburu kehidupan akherat. Biarlah miskin di dunia tetapi tidak miskin dan bangkrut di akherat. Karenanya, ia mengisi hari-harinya dengan beribadah dan menimba ilmu dari ulama besar pada masanya di Madinah, yaitu Sa’id bin al-Musayyib. Dari gurunya inilah, ia mereguk ilmu-ilmu al-Qur’an dan as-Sunah.
Setiap kali ia minum dari mata air ilmu yang murni dan bersih ini, ia semakin haus untuk terus mereguknya. Karena itu, ia semakin rajin datang ke majelis pengajian gurunya. Namun, tetap saja ia merasa tidak pernah kenyang dengan tetes-tetes ilmu dan hikmah yang mengalir dari lidah Syaikh Sa’id bin Musayyib. Seolah ia mendapatkan madu dan air surga yang murni berupa ilmu syar’i.
———————————————- ****************************** —————————————-
Imam Besar Sa’id bin al-Musayyib sendiri adalah seseorang yang dikaruniai Allah banyak harta, ilmu yang luas, serta nasab yang mulia. Dia seorang yang wara’, zuhud, dan bertakwa. Beliau sudah menunaikan ibadah haji ke Baitullah sebanyak lebih dari 30 kali, dan selama 40 tahun tidak pernah ketinggalan mendapatkan takbiratul ihram pada setiap jamaah serta selalu berada pada shaf pertama setelah 40 tahun tersebut. Dengan semua anugerah yang berikan kepadanya, sebenarnya beliau bisa menikah dengan siapa saja yang ia kehendaki dari wanita bangsawan Quraisy, namun beliau lebih memilih putri Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anha dari seluruh para wanita. Yang demikian itu karena kedudukannya dari Rasulullah saw. dan keluasan riwayatnya terhadap hadits serta raghbah-nya (keinginannya) yang begitu besar dalam mengambil hadits darinya.
Beliau belajar dari istri-istri Nabi Radhiyallahu ‘anhunna dan mengambil manfaat dari mereka. Beliau juga berguru kepada Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Abbas dan Abdullah ibn Umar. Dan juga mendengar dari Utsman, Ali dan Shuhaib serta sahabat Nabi mulia Radhiyallahu ‘anhum yang lainnya. Said Bin Musayyib adalah seorang guru yang memiliki keteladanan yang tinggi. Beliau memiliki dan memimpin sebuah majelis ilmu (halaqah) yang cukup besar di Masjid Nabawi Madinah, di samping halaqah-halaqah yang lain yang ada di masjid itu, seperti halaqahnya ‘Urwah bin Zubair, dan Abdullah bin ‘Utbah.
———————————————- ****************************** —————————————-
Syaikh Sa’id bin al-Musayyib mempunyai seorang putri yang dikenal sebagai seorang muslimah mukminah yang nyaris sempurna. Selain berparas jelita, imannya juga teguh, ilmunya tentang Kitabullah dan Sunah Rasulullah juga luas.
Amirul Mukminin masa itu, yakni Abdullah bin Marwan (sebagian riwayat menyebut Hisyam bin Abdul Malik) telah mendengar kabar putri dari Syaikh Sa’id bin al-Musayyib tersebut. Dia ingin meminang putri Syaikh untuk anaknya, sang putra mahkota.
Seorang utusan dari Amirul Mukminin diminta untuk mendatangi Sa’id bin al-Musayyib tentang keinginan Amirul Mukminin tersebut. Namun, apa jawaban Syaikh Sa’id bin al-Musayyib? Syaikh Sa’id hanya menjawab, “Tolong sampaikan kepada Amirul Mukminin bahwa saya menolak pinangan ini.”
Utusan itu pun berkata, “Apa alasan engkau menolak pinangan Amirul Mukminin?.”
Syaikh Sa’id, “Karena putra mahkota adalah laki-laki yang tidak terpuji perilakunya.”
Kemudian utusan tersebut berkata, “Apakah engkau menolak kekuasaan, kemegahan, kekayaan, dan harta benda yang melimpah ruah ? Apakah engkau menolak kekuasaan Amirul Mukminin?”
Syaikh Sa’id menjawab, “Apabila harga dunia dengan segala isinya tidaklah lebih dari harga satu sayap nyamuk di sisi Allah, maka sebesar apakah kiranya harga kekuasaan Amirul Mukminin itu?”
Setelah gagal dengan cara lunak, utusan itu akhirnya memakai cara kekerasan, “Saya khawatir, apabila engkau akan merasakan kekerasan hukuman Amirul Mukminin yang tidak terpikul oleh manusia akibat siksaan dan kehinannya.”
Syaikh Sa’id menjawab, “Allah telah berfirman, “Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman….”(QS. Al-Hajj : 38). Cara apapun tidak dapat melunakkan kehendak Sa’id bin Al-Musayyib dalam menolak pinangan ini.
Pada hari selanjutnya, ketika Syaikh Sa’id itu sedang menyampaikan pengajiannya di Masjid Nabawi, dia tidak menemukan seorang muridnya, yaitu Abdullah bin Abu Wada’ah selama tiga hari berturut-turut. Dia tidak mengetahui sebab ketidakhadirannya. Beliau merasa khawatir kalau-kalau ketidakhadirannya disebabkan karena sakit atau karena ada masalah yang menimpanya. Lalu beliau menanyakannya kepada murid-murid yang lainnya tentang keadaan Abu Wada’ah, tetapi semuanya mengatakan tidak tahu.
Hingga pada waktu shubuh, untuk pertama kalinya Abu Wada’ah menampakkan diri kembali di majelis sebagaimana biasa. Maka sang guru Said Bin Musayyib segera menyambut kedatangannya dengan sapaan yang penuh perhatian.
“Ke mana saja engkau ya Aba Wada’ah?” Sapa Syaikh Sa’id penuh perhatian
“Istriku meninggal dunia, sehingga aku sibuk mengurusinya,” Jawabnya.
“Mengapa tidak memberitahu kami sehingga kami bisa menemanimu dan mengantarkan jenazah istrimu serta membantu segala keperluanmu,” kata Syaikh Sa’id.
“Terima kasih, jazaakallahu khairan.” Jawab sang murid sambil menyembunyikan perasaannya yang terkesan memang sengaja tidak memberi tahu karena khawatir merepotkan syaikhnya. Dan ketika hendak beranjak pergi, Syaikh Sa’id menahannya. Sampai ketika semua murid yang lainnya telah pulang.
Tidak berapa lama kemudian Said Bin Musayyib menghampiri Abu Wada’ah dan membisikan sesuatu kepadanya.
“Apakah engkau belum terpikir untuk mencari istri yang baru ya Aba Wada’ah.” Bisik Syaikh Sa’id dengan penuh kehati-hatian untuk menjaga perasaan muridnya.
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu, siapakah orang yang mau menikahkan anak perempuannya dengan pemuda sepertiku yang sejak kecil yatim, fakir dan hingga sekarang ini aku hanya memiliki dua sampai tiga dirham,” Tandas Abu Wada’ah yang tampaknya ingin bersikap realistis terhadap keadaan dirinya.
“Aku yang akan menikahkanmu dengan putriku,” Syaikh Sa’id menegaskan ucapannya. Abu Wada’ah terkejut dan dengan terbata-bata menanggapi tawaran gurunya.
“Eng,…engkau akan menikahkanku dengan putrimu padahal engkau tahu sendiri bagaimana keadaanku,” Abu Wada’ah menanggapi setengah tidak percaya.
Beberapa saat kemudian keduanya terdiam, Syaikh Sa’id sendiri tampak arif dan demikian memahami perasaan muridnya. Tak lama kemudian, Syaikh mengucapkan sebuah perkataan yang sama sekali tak diduga oleh Abu Wada’ah.
“Ya,…kenapa tidak, karena ketika telah datang seseorang yang aku ridha terhadap agamanya dan akhlaknya maka aku akan kawinkan anak perempuanku dengan orang itu, dan engkau termasuk orang yang aku ridha.” Tegas Syaikh Sa’id.
Tak berapa lama kemudian, Said Bin Musayyib memanggil beberapa orang muridnya yang kebetulan masih berada di dalam masjid. Ketika mereka ada di dekatnya, saat itu juga Said Bin Musayyib mengucapkan lafadz hamdalah dan shalawat atas Rasulullah saw… lalu disebutlah lafadz akad nikah antara putrinya dan Abu Wada’ah. Maharnya adalah uang senilai dua dirham.
Berbagai perasaan gembira, haru, bingung bercampur dalam hati Abu Wada’ah. Setelah selesai acara ‘aqad nikah yang sangat sederhana itu, ia segera pamit pulang ke rumahnya.
“Siang itu sebenarnya aku tengah puasa, tapi peristiwa itu menjadikan aku hampir lupa dengan puasaku…” Ungkap Abu Wada’ah dalam hati.
Sungguh bahagia Abu Wada’ah, saat segala takdir harus diterima dengan pasrah, saat Allah memberi kecukupan dengan karunia yang mungkin ‘terlihat’ apa adanya, saat rezeki yang bersahaja harus dipandang sebagai anugrah tak terkira, saat orang percaya atau tidak percaya, bahwa sesungguhnya engkau telah mendapat anugrah terindah…
Kilatan cahaya pikiran itu terus menerus menerangi sehingga membuka kesadaran yang hakiki. Hingga tiba adzan maghrib dan dia harus membatalkan puasanya. Selesai melakukan shalat maghrib, ia bersiap untuk ifthar dengan sepotong roti dan minyak.
Sementara di tempat lain Said Bin Musayyib setelah menyelesaikan prosesi akad nikah di Masjid Nabawi tadi, beliau kemudian pulang ke rumahnya dan mendapati putrinya tengah membaca al-Qur’an.
“Apa yang sedang engkau lakukan wahai putriku?”
“Aku sedang membaca kitabullah wahai ayah…..”
“Apakah engkau memahaminya?”
“Ya, duhai ayahku. Tetapi, ada satu ayat yang aku belum bisa memahaminya sama sekali.”
“Ayat apakah itu wahai putriku?” tanya sang ayah dengan penuh keheranan.
“Yaitu firman Allah:
‘Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, ‘Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan juga di akhirat, serta peliharalah kami dari siksa neraka’.’(Al-Baqarah : 201)
”Duhai ayahku, aku telah mengetahui bahwa kebaikan akhirat adalah jannah, lalu apakah yang dimaksud dengan kebaikan dunia?”
Sang ayah kemudian menjelaskan dengan penuh hangat, “Duhai putriku, kebaikan dunia adalah ketika seorang istri yang shalihah mendapatkan suami yang shalih. Hari ini Allah telah memberikan nikmat kepadamu dengan seorang suami yang shalih, maka bersiaplah untuk memasuki malam pertama bersamanya….”
Di rumahnya Abu Wada’ah belum tuntas menikmati sajian iftharnya berupa satu atau dua potong roti, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu rumahnya. Kemudian dia berdiri untuk membuka pintu.
“Siapa di luar…?” tanya Abu Wada’ah.
“Saya Said,“ Jawab suara dari luar
Suara itu segera dikenalnya, yang tidak lain adalah Said Bin Musayyib. Ada apa gerangan? Karena saat itu sebenarnya Abu Wada’ah masih diliputi perasaan grogi dan cemas. Dalam benaknya, mungkin saja kedatangan syaikh Said hendak membatalkan urusan pernikahan ini, atau mungkin saja mempelai putri menolak menjadi istrinya. Tetapi, ketika dibuka pintu rumahnya, ternyata imam Said datang bersama putrinya yang telah memakai gaun pengantin
“Apa yang membuat Anda tergesa-gesa datang kemari wahai Syaikh?” Abu Wada’ah pun bertanya kepada sang imam.
“Sesungguhnya Allah membenci jika salah seorang di antara kita bermalam tanpa memiliki istri. Sehingga, setan tidak mengganggunya wahai Abu Wada‘ah. Inilah aku bawakan istrimu, semoga engkau diberkahi dengannya, dan semoga ia juga mendapatkan barakah denganmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam naungan kebaikan.”
Kemudian Said Bin Musayyib meninggalkan putrinya di rumah Abu Wada’ah. Saat itu juga Abu Wada’ah berlari dan naik ke atap rumahnya dan memanggil seluruh tetangganya. Seketika itu pula, para tetangganya berhamburan mendatanginya dan bertanya,
“Ada apakah gerangan wahai Abu Wada‘ah sehingga engkau memanggil kami?” Tanya para tetangganya.
“Said Bin Musayyib telah menikahkanku dengan putrinya. Beliau telah datang kepadaku malam ini untuk menyerahkan putrinya kepadaku. Dan sekarang, putrinya telah bersamaku.” Abu Wada’ah mengumumkan perihal keadaannya kepada mereka.
Para tetangga kemudian mendatanginya dan membantu hajat Abu Wada’ah. Kaum wanita mempersiapkan pengantin putri dan kaum lelaki mempersiapkan Abu Wada’ah agar bertemu dengan istrinya dalam keadaan terbaik. Dalam walimah sederhana itu tidak ada permainan dan perbuatan yang sia-sia.
Kemudian para undangan pulang ke rumahnya masing-masing dengan mendapatkan balasan dari Allah dan juga rasa terima kasih dari Abu Wada’ah. Mempelai laki-lakipun kemudian masuk ke rumah menemui istri barunya. Ternyata, ia adalah wanita yang sangat cantik, paling hafal dengan kitabullah, paling tahu dengan sunnah Rasulullah dan paling paham akan hak-hak suami.
Ketika Syaikh Sa’id bin al-Musayyib ditanya tentang alasannya menikahkan putrinya dengan Abdullah, dia menjawab, “Aku tidak pernah memandang masalah kaya atau miskin dalam menikahkan putriku dengan seseorang, tetapi aku melihat seorang laki-laki yang aku kenal sebagai pahlawan dari para pahlawan kehidupan, yang mempunyai senjata agama dan kemuliaan akhlak. Aku yakin, bahwa ketika aku mengawinkan putriku dengannya, dia akan memahami kemuliaan dirinya dan kemuliaan suaminya. Oleh karena itu, bertemulah dua tabiat yang harmonis, sedangkan kebahagiaan tidak akan timbul dari laki-laki dan wanita apabila tabiat mereka tidak cocok. Saya tahu dan semua orang juga tahu, bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang akan dapat membeli kecocokan atau keharmonisan ini, karena itu merupakan hadiah satu hati kepada hati yang lain, sehingga keduanya saling terbiasa dan saling mencinta.”
Beberapa waktu kemudian, Abdullah bin Abu Wada’ah berkata, “Satu minggu, aku lewati masa pengantin baruku seakan-akan aku berada di taman surga. Setelah itu, aku meminta izin kepadanya untuk keluar.”
Istriku bertanya, “Engkau mau ke mana, suamiku?”
“Aku hendak menghadiri majlis pengajian Syaikh Sa’id.” Jawabku.
Istriku berkata dengan manja, “Duduklah di sini, duhai suamiku. Aku akan mengajarkan kepadamu ilmu-ilmu Sa’id !.”
Suatu waktu, Said Bin Musayyib menengok keadaan Abu Wada’ah dan istrinya.
“Mengapa sekarang engkau tak lagi menghadiri halaqah wahai Abdullah?”
“Karena aku telah mendapati pada putri Said ilmunya Said,”Jawab Abdullah.
Rahimakallahu yaa Sa’id ibnal Musayyib wa Barakallahu laka yaa Aba wada’ah…
Sumber: Shuwarun Min Hayaati at-Taabi’iin oleh Dr Abdurrahman Ra`fat al-Basya, Tarikh Tasyri’ al-Islamy oleh Manna’ al-Qatthan, ‘Aqabat fi Thariqi al-Akhawat dan Al-Mukhtâr min qishasil Akhyâr oleh Musthafa Syaikh Ibrahim Haqqi dan lain-lain.
[…] Abdullah bin Wada’ah, lelaki paling bahagia; […]