[6]- Merajalelanya bentuk-bentuk kesyirikan, bid’ah dan khurafat.
Semua pakar sejarah telah menyebutkan, berbagai bentuk kesyirikan merajalela di dunia Islam. Diantaranya yang paling menonjol adalah :
Pertama. Membangun masjid dan kubah-kubah di atas kuburan.
Kedua. Menyembelih dan bernadzar untuk makam para wali dan ulama.
Ketiga. Istighatsah dan isti’anah memohon terkabulnya hajat kepada makam para wali dan ulama.
Keempat. Berdoa dan memohon kesembuhan kepada makam para wali dan ulama.
Kelima. Syirik akbar melalui pujian-pujian dan shalawat-shalawat syirik kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Keenam. Sikap al-Ghuluw kepada ahlu bait dan beberapa orang khusus.
Kebid’ahan dan khurafat juga menyebar luas di seantero dunia Islam. Banyak para pembohong yang menipu kaum awam umat Islam, dengan menyatakan keberkatan hal-hal yang mereka miliki. Seorang penjaga kubah-kubah makam di masjid Kairo, menipu kaum muslimin dengan menyatakan bahwa mata air sumur di masjid tersebut tembus dan bersumber dari mata air zamzam di Makkah. Khurafat-khurafat serupa juga terjadi di negeri-negeri lain.
[7]- Shufi dan Tarekat Merajai Dunia Islam.
Menurut syaikhu al-Islam Ibnu Taimiyah, bid’ah tasawuf dan tarekat mulai muncul pertama kali di kota Bashrah. Orang yang pertama kali membangun bangunan khusus untuk peribadahan sufi adalah murid-murid Abdul Wahid bin Zaid. Abdul wahid bin Zaid adalah murid imam Hasan al-Bashri.[1] Semula, gerakan ini hanyalah ajakan untuk zuhud dan tidak tenggelam dalam kenikmatan duniawi. Namun, pelan dan pasti, terjadi penyimpangan yang sangat jauh dari syariat Islam sampai tingkatan sufi dan tarekat yang hari ini ada di dunia Islam.
Di tengah kehidupan duniawi yang corat marut, kedzaliman para penguasa dan ketidak pedulian para ulama aqidah dan fiqih yang tenggelam dalam dunia filsafat dan ilmu kalam daripada menjawab beban umat yang terdzalimi, tidak heran bila tasawud dan tarekat menjadi pelarian mayoritas umat Islam.
Ustadz Muhammad Qutb dalam bukunya “Waqi’una al-Mu’ashir” mengatakan :
“ Shufi mulai menyebar dalam masyarakat daulah ‘Abbasiyah, namun saat itu masih merupakan sebuah unsur yang terpisah dari masyarakat. Adapun dalam naungan daulah ‘Utsmaniyah, dan lebih lagi di Turki, shufi telah menjadi masyarakat, dan bahkan telah menjadi dien (agama).”
“ Dan telah menyebar —khususnya dalam dua abad terakhir— semboyan yang sangat terkenal tersebut ; barang siapa tidak mempunyai syaikh, maka syaikhnya adalah setan. Sufi telah berubah —khususnya bagi kaum awwam— mejadi pintu masuk mereka ke dalam agama, dan bagi mereka sufi adalah ruang untuk melaksanakan ketaatan beragama.”[2]
Apa yang dikatakan oleh ustadz Muhammad Qutub, diamini oleh para pakar sejarah. Sejak awal berdiri sampai kejatuhannya, daulah ‘Utsmaniyah mempunyai peran aktif dalam menyebarkan kesyirikan dan memerangi tauhid, lewat penyebaran tasawuf syirik yang dibangun di atas dasar beribadah kepada kuburan dan para wali. Hal ini diakui sendiri oleh para pakar sejarah yang membela dan memuji daulah ini. Abdu al-Aziz al-Syanawi dalam bukunya “Al-Daulah al-‘Utsmaniyyah Daulatun Islamiyyatun Muftara ‘Alaiha” dengan bangga memuji sikap religius daulah ‘Utsmaniyah yang menyebarluaskan tasawuf syirik ini. Demikian luas dan kuatnya pengaruh tasawuf syirik ini, sehingga menguasai akidah umat Islam di Asia Tengah dan mayoritas negara-negara muslim dibawah kekuasaan ‘Utsmaniyah. Di antara thariqat shufi yang paling terkenal saat itu adalah Naqsyabandiyah, Maulawiyah,Baktasyiyah dan Rifa’iyah.
Apa yang disebutkan oleh dua pakar sejarah diatas, juga disebutkan oleh para ulama lain, misalnya Dr. Abdurahman bin Abdul Khaliq dalam al-Fikru al-Shufi Fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunah, Dr. Mani’ al-Juhani dalam al-Musu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzahib al-Mu’ashirah, imam Su’ud bin Abdul Aziz (wafat 1229 H) dalam al-Duraru al-Sanniyah fi al-Ajwibah al-Najdiyah dan syaikh Husain bin Ghanam rahimahullah dalam Raudhatu al-Afkar.
Apa yang ditulis oleh para ulama dan pakar sejarah Islam ini bukanlah sebuah fitnahan dan berita bohong. Mari kita simak sekilas sejarah para sultan daulah ‘Utsmaniyah sejak awal.
– Sultan Urkhan I bin Utsman I (wafat 761 H), adalah sultan kedua setelah pendiri Daulah ‘Utsmaniyah, sultan Utsman I (wafat 726 H). Sultan Urkhan I memerintah selama 35 tahun, ia seorang penganut thariqat Paktasyiyah. Thariqat ini merupakan thariqat Syi’ah Bathiniyah yang didirikan oleh Khankar Muhammad Baktasy al-Khurasani, disebarkan di Turki tahun 761 H. Thariqat ini merupakan perpaduan antara aqidah wihdatul wujud (manungaling kawula gusti), beribadah kepada para masyayikh thariqat dan penuhanan mereka serta aqidah agama Rafidzah tentang para imam. Thariqat ini juga melakukan sikap ghuluw (berlebihan, ekstrim) dalam memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam yang mengeluarkan mereka dari Islam. Wirid-wirid mereka berdasar aqidah Rafidzah Itsna ‘Asyariyah, dan sangat ekstrim dalam ziarah-ziarah kubur. Sultan ini telah membantu kaisar Romawi Timur dalam menghadapi raja Serbia, dengan janji akan dinikahkan dengan putri kaisar Romawi Timur.[3]
– Sultan Muhammad II Al-Fatih (wafat 886 H), memerintah selama 31 tahun. Setelah menaklukkan Konstantinopel pada tahun 857 H, ia menyingkap kuburan shahabat Abu Ayub Al-Anshari, membangun kubah di atasnya dan membangun masjid indah disampingnya. Sudah menjadi tradisi para sultan ‘Utsmaniyah, bila akan terjadi pergantian kekuasaan, sultan yang baru masuk ke kubah itu dan menerima pedang kebesaran sultan Utsman I (pendiri daulah) dari syaikh Thariqat Maulawiyah.
– Sultan Sulaiman Al-Qanuni (wafat 974 H), termasuk sultan paling terkenal dari daulah Utsmaniyah, memerintah selama 46 tahun. Ketika ia masuk kota Baghdad, ia membangun kubah di atas kuburan imam Abu Hanifah, menziarahi kota-kota suci Rafidzah (Najf dan Karbala’) serta membangun bangunan kuburan-kuburan yang telah dihancurkan di dua kota itu. Ia digelari al-Qanuni (bapak undang-undang modern) karena sultan yang pertama kali mengimpor undang-undang Eropa untuk diterapkan dalam pengadilan-pengadilan di dunia Islam.
– Sultan Salim Khan III (wafat 1223 H). Ketika gerakan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan imam Su’ud bin Abdul Aziz menaklukkan Madinah pada tahun 1222 H, dalam makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ditemukan surat sultan Salim Khan III yang beristighatsah (meminta tolong agar dijauhkan dari musibah) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam.
– Sultan Abdul Hamid II (wafat 1327 H). Beliau seorang pengikut fanatik thariqat Syadzaliyah. Ketika dilengserkan oleh konspirasi zionis-salibis internasional pada tahun 1908 M, dan diasingkan, ia mengirim surat kepada syaikh thariqat Syadzaliyah, syaikh Mahmud Afandi Abu Syamat menerangkan beliau masih tetap konsisten membaca wirid-wirid Syadzaliyah siang dan malam. Thariqat Syadzaliyah adalah thariqat sufi quburiyah yang melakukan kesyirikan-kesyirikan kubur yang sudah sangat terkenal.[4]
Dahsyatnya pengaruh sufi di masa daulah ‘Utsmaniyah telah mempunyai peran besar dalam mematikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu kauni. Permusuhan para ulama sufi masa tersebut terhadap ilmu pengetahuan sudah sangat terkenal. Di masa daulah ‘Utsmaniyah, ulama-ulama besar semisal syaikh Muhammad al-Idimawi al-Halabi al-Syafi’i, syaikh Abdu al-Hamid al-Alusi (wafat 1324 H), Sayid Umar bin Abdullah al-Saqaf (wafat 1305 H), al-Haj ‘Ali al-Barqawi al-Maghribi, syaikh Khalid Abu al-Baha’ Dhiyaudien al-Naqsyabandi (wafat 1242 H) dan diikuti oleh sebagian besar ulama meninggalkan tugas pengkajian, dakwah dan fatwa. Mereka sibuk berusaha meraih ilmu haqiqat, dan meninggalkan ilmu syariah. Tak heran bila kebodohan terhadap ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan menjadi pemandangan seantero dunia Islam.[5]
Musibah ini semakin parah, dengan keaktifan para syaikh sufi masa itu dalam mengkaji dan mengajarkan karya para zindiq. Karya-karya tokoh sufi zindiq yang telah dikafirkan oleh 37 ulama pada zamannya — yaitu Muhyidin Ibnu ‘Arabi dengan karyanya Al-Futuhat al-Makkiyah dan Fusushu al-Hikam— diajarkan oleh para ulama besar semisal syaikh al-Thayib bin Muhammad al-Mubarak al-Jazairi al-Maliki, syaikh Abdu al-Qadir al-Jazairi, syaikh Hasan bin Ibrahim al-Lucknawi (wafat 1241 H), syaikh Ali Akbar al-Faidh Abadi (wafat 1210 H), syaikh Ibnu ‘Ajibah al-Hasani al-Maghribi (wafat 1224 H), imam al-Dardir al-Maliki (wafat 1201 H), dan syaikh Ali bin Ahmad al-Yusrathi al-Syadzili (wafat 1316 H). Banyak diantara ulama besar tersebut yang belajar langsung kepada Ibnu ‘Arabi dan al-Hallaj.[6]
[8]- Pergerakan sekte-sekte sesat dalam memerangi Islam semakin meningkat
Pada masa penjajahan salibis Barat terhadap dunia Islam ini, berbagai sekte sesat yang telah mencatat sejarah permusuhan panjang terhadap Islam, seperti Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, Druz, Nushairiyah dan Ismailiyah, mulai menunjukkan kembali taring-taring permusuhannya kepada kaum muslimin. Dalam abad XII dan XIII Hijriyah ini lahir pula dua sekte sesat yang telah keluar dari Islam, yaitu Qadiyaniyah dan Bahaiyah. Mereka bahu membahu dengan penjajah salibis Barat untuk menohok umat Islam. Selain menyesatkan banyak kaum awam umat Islam, mereka juga berperan besar merintangi perjuangan jihad umat Islam melawan penjajah salibis Barat.
Kelompok Ismailiyah —dikenal juga dengan nama Bathiniyah, Syi’ah atau ‘Ubaidiyah— telah melakukan serangkaian kekacauan dan serangan di Yaman. Mereka mampu menegakkan kerajaan Ismailiyah yang bertahan sampai tiga puluh tahun. Kesesatan mereka baru berhasil dilenyapkan setelah kerajaan mereka ditaklukkan oleh gubernur daulah ‘Utsmaniyah, Ahmad Mukhtar pada tahun 1289 H. Di Syam, kelompok Ismailiyah bersama penjajah Perancis memetahkan jihad umat Islam. Di Iran, dengan dukungan Inggris, kelompok Ismailiyah dipimpin Hasan Ali Syah mengadakan revolusi pada tahun 1840 M. Revolusi ini gagal, ia diselamatkan Inggris dan dibawa ke Afghanistan, namun ia ditolak olek bangsa Afghan. Inggris membawanya ke India, emnggelarinya Agha Khan dan menganggatnya sebagai pemimpin kelompok Ismailiyah Nizariyah. Ia menjadi imam bagi seluruh pengikut Ismailiyah di India.
Kelompok Nushairiyah dan Druz juga beberapa kali mengadakan kekacauan dan pemberontakan di Syam yang mengakibatkan terbunuhnya umat Islam. Di antaranya adalah pemberontakan Nushairiyah tahun 1834 M, di mana mereka menduduki kota al-Ladzikiyah dan membantai penduduknya. Atas jasa besar mereka membantu penjajah Perancis menduduki Syam, pada tahun 1920 Perancis mendirikan sebuah negara « daulah al-‘Alawiyah » untuk mereka. Salah seorang pemimpin kelompok Nushairiyah yang bernama Sulaiman al-Mursyid, bahkan mengaku sebagai Tuhan, dan Perancis mengangkatnya sebagai kepala negara daulah ‘Alawiyah dengan gelar Raisu al-Sya’b al-‘Alawi al-Haidari al-Ghasani. Pemimpin Nushairiyah lainnya, syaikh Shalih al-‘Ali terlibat langsung dalam menjatuhkan daulah ‘Utsmaniyah, dengan menutup jalanyang menghubungkan Tharsus dengan Himah, sehingga tentara bantuan daulah ‘Utsmaniyah tidak bisa sampai.
Kelompok Duz tidak kalah jahatnya. Ketika gubernur Mesir, Muhammad Ali Basya memberontak dari kekuasaan daulah ‘Utsmaniyah dan merebut Syam, kelompok Druz berperan besar mendukung dan membantunya. Mereka juga mendirikan negara di pegunungan Hauran, setelah mengusir dan membantai umat Islam dan kaum Nasrani yang tinggal di daerah tersebut. Pembantaian-pembantaian mereka terus berlanjut. Pada tahun 1298 H, mereka mengadakan pembantaian umat Islam di kampung Kurk dan Ummu Walad. Usaha-usaha daulah ‘Utsmaniyah untuk memberantas gerakan ini gagal, akibat pembelaan Inggris kepada kelompok ini. Pada tahun 1799 M, Pasukan kelompok Druz melempangkan jalan bagi penjajah Napoleon Bonaparte untuk menjajah Syam. Sebagai imbalannya, Perancis menghadiahkan negara Druz dengan pusat pemerintahan di kota Beirut. Selama masa jihad 25/7/1920 M sampai 17/4/1946 M, Druz tetap setia membela penjajah Perancis. Sebagai imbalannya, pada tanggal 24 Oktober 1922 M, Pertancis menegakkan negara Duz di gunung Hauran dengan nama « Daulatu Jabali al-druz al-Mustaqilah ».
Adapun kelompok Syi’ah Rafidzah, antara mereka «(daulah Shafawiyah Iran) dengan daulah ‘Utsmaniyah terjadi peperangan yang sangat panjang dan lama. Di antaranya adalah serangan dahsyat tentara Shafawiyah ke Iraq tahun 1235 H / 1820 M. Hampir saja Baghdad yang saat itu berada di bawah kekuasaan daulah ‘Utsmaniyah, jatuh ke tangan tentara Rafidzah. Allah Ta’ala takdirkan mereka ditimpa penyakit kolera, akhirnya terjadi perjanjian gencatan senjata. Di India, kaum Rafidzah bahu membahu dengan kaum Hindu, Sikh, Qadiyaniyah, Bahaiyah dan Inggris dalam memerangi umat Islam. Di Yaman, kelompok Syi’ah Zaidiyah mempunyai daulah Zaidiyah yang terus menerus menekan, mendzalimi dan memburu ahlu sunah. Mereka juga melakukan penyerangan dan pembantaian terhadap ahlu sunah di banyak kota di Iraq.
Kelompok Bahaiyah didirikan oleh Al-Baha’ Husain bin Ali Nuri Mirza (wafat 1309 H). Ia mengaku sebagai imam al-Mahdi, kemudian sebagai nabi dan akhirnya mengaku sebagai Tuhan. Gerakan ini muncul pada tahun 1260 H / 1844 M dibawah asuhan penjajah Rusia dengan tujuan merusak akidah umat Islam. Kelompok ini menyebarluaskan pemikirannya di Iran dan negara-negara dibawah kekuasaan daulah ‘Utsmaniyah. Sayangnya, daulah ‘Utsmaniyah tidak menaruh perhatian terhadap kelompok sesat ini. Justru daulah Rafidzah Iran-lah yang membunuh Al-Baha’ dan memenjarakan para pengikutnya.[7]
Kelompok Qadiyaniyah adalah gerakan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani (wafat 1326 H) di propinsi Punjab, India. Gerakan yang diasuh dan didukung oleh penjajah Inggris ini juga bertujuan merusak akidah umat dan menguatkan sendi-sendi penjajahan Inggris.
Demikianlah, berbagai kelompok sesat semakin giat menyebarkan kesesatannya dan menimbulkan kerusakan di tengah umat, serta terus-menerus melakukan konspirasi dengan musuh-musuh Islam untuk menghantam umat Islam dari belakang.
[9]- Sikap Pasif Para Ulama
Buruknya kondisi umat Islam di berbagai bidang kehidupan, semakin keruh dengan sikap pasif ulama. Ulama yang seharusnya melanjutkan tugas para Nabi dalam memimpin dan membimbing kehidupan umat, justru tenggelam dalam dunia tasawuf, menjauh dari kehidupan politik (baca : masyarakat), dan secara tidak sadar telah memasarkan sekulerisme dalam kehidupan umat.
Adalah syaikhu al-Azhar, imam al-Syarqawi, bersimpuh di hadapan syaikh tareqat Sayid al-Badawi. Bila rektor sebuah universitas Islam tertua yang menjadi standar ilmu pengetahuan Islam telah tenggelam dalam dunia sufi, terlebih lagi dengan para ulama di seluruh penjuru dunia Islam lainnya. Syaikh Muhammad al-Sanusi (wafat 1318 H) dalam suratnya kepada penguasa Tunisia juga mengungkapkan bahwa para ulama tidak tahu menahu tentang politik, dan akan menjauhi politik. Dalam wawancara dengan koran al-Jawaeb al-Mishriyah edisi 7 Muharram 1323 H, rektor al-Azhar syaikh Abdurahman al-Syarbini (wafat 1326 H) menegaskan bahwa tugas Al-Azhar hanyalah menjaga ilmu-ilmu agama, tidak lebih dari itu. Adapun urusan-urusan dunia dan ilmu pengetahuan modern, maka sama sekali dan tidak sewajarnya dihubung-hubungkankan dengan Al-Azhar.
Para ulama menyatakan mereka harus menjauhkan diri mereka dari dunia politik dan urusan kenegaraan. Mereka juga mencela habis-habisan para ulama yang membaca koran dan majalah. Namun yang mengherankan, mereka justru menjadi stempel bagi kekuasaan para penguasa saat itu. Para ulama yang menjauhkan dirid ari dunia politik ini, pada hakekatnya telah melegitimasi para penguasa —baik penguasa shalih maupun durjana— untuk melakukan tindakan apapun untuk mengatur negara, meskipun dengan hukum sekuler Barat. Inilah yang mendorong para ulama yang sadar pada masa itu, seperti syaikh Musthafa Shabri, untuk mengkritik sikap para ulama yang tidak mau tahu dengan kehidupan umat Islam.
Di satu sisi, para ulama cuek dengan urusan negara, namun di sisi lain mereka menjadi alat, mesin fatwa dan antek negara yang mulai berjalan di atas rel sekulerisme. Mereka hidup dalam istana-istana megah, rumah-rumah mewah dengan fasilitas kelas atas, lengkap dengan para pengawal dan pelayan. Mereka tenggelam dalam gemerlapnya fasilitas hidup duniawi, sebagaiimbalan dari legitimasi yang mereka berikan kepada para penguasa durjana masa itu. Dari ribuan ulama yang ada, untuk menemukan seorang di antara mereka yang hidup sederhana dan zuhud, adalah sangat susah. Pakar sejarah Mesir terkenal, imam Abdurahman al-Jibrati, menyebutkan bahwa syaikh Ahmad bin Salamah al-Syafi’i (wafat 1215 H) hampir tidak dikenal sebagai seorang ulama, karena kesederhanaannya dan penampilannya yang jauh dari mentereng seperti mayoritas para ulama lainnya. Adalah syaikh Muhammad Sa’ad bin Jalaludien tidak diangkat sebagai Sajadatu al-Sadah al-Bakriyah (jabatan tertinggi dari para syaikh thariqat masa itu), hanya dikarenakan ia seorang ulama yang miskin !!!!
Kata yang lebih tepat untuk mengungkapkan kondisi para ulama masa ini, adalah perkataan imam Sufyan al-Tsauri,” Harta adalah penyakit umat ini, sedang ulama adalah dokter umat ini. Apabila ulama sudah menyeret penyakit kepada dirinya sendiri, kapan ia bisa menyembuhkan orang lain ?[8]
[1]– Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 11 hal 6-16.
[2] – Muhammad Qutb, Waqi’una al-Mu’ashir, Madinah, Muassasatu al-Madinah, cet 2, 1408 H / 1987 M, hal 155.
[3] – Abdurahman bin Abdu al-Khaliq, Al-Fikru al-Shufi fi Dhau al-Kitab wa al-Sunah, Riyadh, Maktabatu Daari al-Salam, cet 1, 1414 H / 1994 M, hal 657-679.
[4] – Selengkapnya lihat Nashir bin Hamd al-Fahd, Al-Daulatu al-‘Utsmaniyyatu wa Mauqifu Da’wati al-Syaikh Muhammad bin Abdu al-Wahhab Minha, www.almaqdese.com; Muhammad Qutb, Waqi’una al-Mu’ashir dan Abdurahman bin Abdu al-Khaliq, Al-Fikru al-Shufi fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunah..
[5] – lihat Ali bin Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal 469-475.
[6] – lihat Ali bin Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal 551-562.
[7] – Tentang al-Bahaiyah, silahkan lihat Al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzahib al-Mu’ashirah.
[8] – Al-Dzahabi, Siyaaru A’lami al-Nubala’, Beirut, Muassasatu al-Risalah, juz 7 hal 243.
Ditulis dengan ‘canggih’ oleh Abu Ammar, dan dipublish oleh Ibnu Abdil Bari el ‘Afifi.
Leave a Reply