Xanax Order Overnight Inilah bentuk-bentuk penyimpangan akidah yang telah dialami oleh mayoritas dunia Islam pada beberapa abad terakhir. Adapun dalam bidah ilmiah, penyimpangan yang terjadi adalah :
[1]- https://www.clawscustomboxes.com/zs3f1awhe Aspek Pendidikan dan kurikulum pendidikan
https://homeupgradespecialist.com/42378r48zug Syaikh Muhammad Kurdi ‘Ali dalam Khuthathu al-Syam menyebutkan bahwa benih-benih kemunduran dunia pendidikan Islam mulai terihat jelas pada abada IX Hijriyah. Keadaan ini semakin parah pada abad X dan XI Hijriyah. Pada abad XII Hijriyah, sama sekali tidak ada hal yang jadid maupun tajdid (pembaharuan, pencerahan). Ilmu pengetahuan dunia maupun ilmu-ilmu syar’i macet total, berhenti di tempat dan tidak mengalami peningkatan sedikitpun.
Ustadz Muhammad Qutb dalam Waqi’una al-Mu’ashir menyebutkan dua bentuk kemunduran dunia pendidikan masa tersebut; Pertama. Membuang materi ilmu pengetahuan umum (al-‘ulum al-kauniyah) seperti kimia, fisika, biologi, matematika, ekonomi, politik dan seterusnya, dari sekolah-sekolah di dunia Islam. Kedua, Ilmu-ilmu syar’i mengalamai masa kebekuan, kejumudan dan statis dengan kuatnya keyakinan telah tertutupnya pintu ijtihad. Sebagai akibatnya, banyak persoalan masa tersebut yang tidak mendapatkan jawaban dari syariat dikarenakan tidak adanya ijtihad. Solusinya, produk pemikiran Barat diadopsi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam.
https://foster2forever.com/2024/08/oodz4oszy.html Kurikulum pendidikan pada masa itu juga sangat tidak memenuhi tuntutan zaman. Para ulama sibuk membuat mukhtashar, syarh dan hasyiyah. Sebagian besar sekolah dan universitas di dunia Islam mengajarkan aqidah berdasar madzhab Asy’ariyah –Maturidyah, dan warna ilmu kalam-filsafat sangat kental mewarnai pelajaran aqidah. Pelajaran-pelajaran inti lainnya diisi oleh ilmu mantiq, ilmu sejarah (sejarah para ulama thareqat), ilmu hikmah (filsafat Yunani kuno dan para filosof atheis seperti Ibnu Sina dll), tafsir para ulama Asy’ariyah-Maturidiyah-Mu’tazilah dan ilmu tasawuf.
Secara ringkas, syaikh Muhammad Bahjat al-Atsari dalam A’lamu al-‘Iraq menyebutkan bahwa ilmu pada masa itu dipelajari bukan untuk mengatur kehidupan dunia, melainkan untuk mencari berkah !!!!
Fanatisme madzhab begitu kuat menggejala di masa itu, tidak saja di kalangan awam namun juga dikalangan ulama. Universitas al-Azhar menjadi ajang rivalitas para ulama madzhab al-Hanafi dan madzhab al-Syafi’i. Demi membela pendapat madzhabnya, para ulama masa itu berani melakukan taqlid buta dan menyelisihi nash-nash yang sharih. Imam Mahmud Syukri al-Aluzi, seorang ulama besar pakar tafsir, menyebutkan bahwa secara terang-terangan para qadhi (hakim agama) daulah ‘Utsmaniyah menyatakan di hadapannya bahwa bila pendapat madzhab al-Hanafi dalam buku Maniyatul a-Mushali bertentangan dengan hadits shahih dalam shahih al-Bukhari, mereka akan memegangi pendapat dan membuang hadits shahih tersebut.[1]
Syaikh Muhammad Yusuf al-Banuri mengisahkan bahwa gurunya, syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri telah menghabiskan separuh umurnya yaitu tiga puluh tahun untuk mempertahankan madzhab al-Hanafi. Menurutnya, ia telah berusaha meneguhkan bangunan madzhab al-hanafi sehingga tidak akan runtuh dalam seratus tahun berikutnya.
Pada masa daulah ‘Utsmaniyah, madzhab al-Hanafi menjadi madzhab resmi negara. Seluruh mufti dan qadhi harus bermadzhab Hanafi. Seorang yang menganut madzhab al-Hanafi lalu berpindah ke madzhab lain, akan dihukum ta’zir. Ta’ashub madzhab ini tidak terbatas dalam masalah fiqih saja, namun juga masuk dalam bidang lain seperti bahasa. Dengan menguatnya sikap taqlid dan Ta’ashub madzhab, kemampuan istinbath dan ijtihad para ulama pun sedikit demi sedikit melemah dan akhirnya mati. Ulama-ulama yang mencoba mendobrak tradisi ini, seperti imam al-Syaukani dan Mahmud Syukri al-Alusi, mendapat tekanan hebat dari penguasa, ulama dan masyarakat.
[3]- Buy Xanax Wholesale Ditutupnya pintu ijtihad
Setiap zaman akan menghadapi masalah-masalah baru yang tidak pernah dialami oleh zaman sebelumnya. Untuk itu, senantiasa diperlukan ijtihad dan istinbath ahkam dari nash-nash Al-Qur’an dan al-Sunah. Namun mulai awal abad V Hijriyah, dikalangan umat Islam mulai berkembang pemikiran bahwa pintu ijtihad telah tertutup, karena tidak adanya ulama yang mencapai derajat mujtahid mutlak, merajalelanya kesesatan dan hawa nafsu, serta sedikitnya para ulama yang bersikap wara’.
Para ulama yang mencoba membuka kembali usaha-usaha untuk tajdid, ittiba’ dan ijtihad menghadapi tekanan berat dari berbagai pihak. Di antaranya yang paling terkenal adalah peristiwa di damaskus, 1313 H yang dikenal dengan “peristiwa mujtahidin.” Bermula dari diskusi segelintir ulama ; imam Jamaludien al-Qasimi, syaikh Abdu Razaq al-Baithar, syaikh Salim Samarah, syaikh Badrudien al-Maghribi, syaikh Taufiq Afandi al-Ayyubi, Syaikh Amin al-Safar Jalani, syaikh Said al-Ghar dan syaikh Musthafa al-Halaq, di masjid Damaskus. Mereka akhirnya dihadapkan kepada pengadilan daulah Utsmaniyah di Damskus, pada hari Sabtu 11 Sya’ban 1313 H. Mereka diadili karena dituduh mengkaji buku-buku hadits dan mengistinbathkan ahkam, mencari dalil atas berbagai pendapat fikih yang sudah ada dan menganggap diri mereka sebagai mujtahid.[2]
Nasib serupa juga dialami para ulama yang mencoba mendobrak tradisi yang salah ini, seperti imam al-Syaukani, syaikh Shihabudien al-Marjani al-Qazani (wafat 1306 H), syaikh Abdu al-Haq bin Fadhl al-‘Utsmani al-Banarisi (wafat 1276 H), dan para ulama lainnya.
Tradisi ini telah mengakibatkan dua bencana besar dalam kehidupan kaum muslimin. I Want To Order Xanax Online Pertama. Kehidupan umat Islam mengalami kejumudan, kemandegan dan tidak mengalami perkembangan maupun kemajuan. https://mandikaye.com/blog/usi2kg1 Kedua. Sebagai akibat dari kemandegan, kehidupan umat Islam keluar dari tuntunan syariat Islam karena menganggap masalah-masalah yang baru terjadi tidak berada dalam ruang lingkup ijtihad dan syariat Islam.[3]
Buah dari Berbagai Penyimpangan
Dari berbagai pentimpangan aspek akidah dan ilmiah di atas, dalam diri umat Islam terkumpul berbagai penyakit kronis. Berbagai penyakit yang berwujud kemunduran, kelemahan dan keterbelakangan dalam berbagai aspek ini hanyalah sebagai sebuah buah dan hasil, dari berbagai benih penyimpangan dan penyelewengan yang ditanam oleh umat Islam sejak ratusan tahun yang lalu. Penyimpangan yang parah, apalagi bertumpuk-tumpuk, sudah pasti akan mengakibatkan bahaya yang merusak kehidupan umat Islam.
Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menyatakan bahwa kejayaan dan keruntuhan sebuah bangsa — termasuk umat Islam — adalah karena faktor diri sendiri (intern). Allah Ta’ala berfirman :
مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَآءَ فَعَلَيْهَا وَمَارَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيدِ
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hamba(Nya) (QS. 41:46)
إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَابِأَنفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Al-Ro’du :11).
أَوَلَمَّآأَصَابَتْكُم مُّصِيبَةُُ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرُُ
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata:”Dari mana datangnya (kekalahan) ini” Katakanlah:”Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 3:165)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
سَأَلْتُهُ أَنْ لاَ يُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَعْطَانِيهَا
“ Aku memohon kepada Allah agar tidak menguasakan musuh non muslim atas umat Islam, maka Allah mengabulkannya.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ahmad. Silsilah Ahadits Shahihah no. 1724].
Berbagai penyimpangan yang telah dilakukan oleh umat Islam, mengakibatkan dampak negatif intern maupun ekstern. Dampak negatif tersebut adalah :
Umat Islam mengalami kelemahan dan kemunduran yang sangat tajam di bidang politik dan militer, sehingga kaisar Rusia Nicolas I pada tahun 1853 M mengejek daulah ‘Utsmaniah (dan dunia Islam) sebagai the sick man. Sejak akhir abad XVIII M, daulah ‘Utsmaniah sudah tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan jihad hujumi. Lebih dari itu, mulai menempuh politik membela diri dan merelakan lepasnya berbagai daerah kekuasaan di Eropa sebagai harga dari berbagai perundingan damai dan gencatan senjata. Negara-negara Eropa berlomba-lomba merebut berbagai wilayah daulah ‘Utsmaniah. Negara-negara besar Eropa mulai turut campur dalam urusan dalam negeri daulah ‘Utsmaniah dengan berbagai cara, terutama melalui berbagai perjanjian damai. Orang-orang kafir di negera-negara daulah ‘Utsmaniah mempunyai hak-hak istimewa dalam bidang hukum dan ekonomi. Semua perusahaan dan pebisnis kafir bebas berusaha di daerah daulah ‘Utsmaniah tanpa terkena pajak sama sekali. Rumah orang-orang kafir di daerah daulah ‘Utsmaniah sama sekali tak bisa disentuh hukum daulah ‘Utsmaniah, sekalipun dalam rumah tersebut terjadi kasus pelanggaran hukum yang berat. Konsul negara si kafir itulah yang akan menyelesaikan kasus tersebut. Dengan kebebasan ekonomi dan kekebalan hukum ini, orang-orang kafir ramai mendirikan bar, bioskop, pabrik minuman keras dan tempat-tempat maksiat. Tahun 1856 M, Pasha Turki pernah menutup bar seorang Yunani namun akhirnya dibuka kembali oleh Konsul Yunani dan Pasha tak bisa berbuat apa-apa. Ketika orang-orang Nasrani di Syam menuntut penghapusan jizyah dan kharaj, daulah ‘Utsmaniah terpaksa harus menurutinya. Di abad XVIII dan XIX M, hampir di seluruh pertempurannya melawan tentara salib Eropa, daulah ‘Utsmaniyah mengalami kekalahan, terutama pertempuran di laut. Ustadz Abu al-Hasan Ali al-Hasani al-Nadawi dalam bukunya, Madza Khasira al-‘Alam bi-Inhithathi al-Muslimin menggambarkan dengan sangat jelas kemunduran politik dan militer daulah ‘Utsmaniyah.
- Kelemahan ekonomi. Keberhasilan Portugal dan Spanyol untuk menemukan jalan perdagangan dunia ke Asia, telah menjadi titik awal kebangkitan ekonomi Eropa. Mereka berhasil merebut rute, pangsa pasar dan sumber bahan baku perdagangan dunia. Usaha mereka semakin mengakar kuat dengan keberhasilan mereka menjajah dan memonopoli kekayaan dunia Islam yang sangat kaya. Hal ini mengakibatkan kemiskinan dan kemunduran ekonomi yang berat di dunia Islam. Ketika sultan Abdul Aziz menjadi sultan daulah ‘Utsmaniyah tahun 1861 M, para sultan terdahulu telah meninggalkan hutang negara sebanyak 15 juta Pound Sterling. Pada tahun itu pula, hutang negara membengkak menjadi 103 juta Frank. Pada tahun 1870-1880 M, daulah ‘Utsmaniyah mengalami krisis ekonomi berkepanjangan. Untuk menutupinya, Turki Utsmani harus berhutang kepada Inggris di mana Inggris mensyaratkan pendirian bank-bank Inggris di Islambul dan lembaga pengawas keuangan dari Inggris.
Daulah ‘Utsmaniyah juga mempunyai hutang yang sangat besar kepada yang perusahaan raksasa Perancis “Orlando and Tonibee Ltd”. Ketika negara tidak mampu membayar hutang, Perancis memaksa pembayaran segera hutang tersebut. Ketika hal itu tdak dipenuhi, Perancis marah besar dan pada tahun 1901 M merebut pulai Midley dan Maltien. Hal ini mendorong negara-negara salibis Eropa untuk merebut beberapa pulai penting lain, sehingga memaksa daulah ‘Utsmaniyah untuk menuruti segala tekanan ekonomi mereka. Sampai perang Dunia Pertama, hutang daulah ‘Utsmaniyah mencapai 3900 juta Frank, mayoritas dari Perancis, Jerman dan Inggris.
Kondisi berbagai daerah Islam tak jauh berbeda dengan daulah ‘Utsmaniyah. Mesir pada masa pemerintahan keluarga Muhammad Ali Basya menempuh cara gali lobang tutup lobang dan hutang mencapai puncaknya senilai 100 juta pound sterling pada tahun 1876 M/1312 H, pada masa pemerintahan Khudaiwi Ismail. Akibatnya gaji para pegawai tidak dibayar dan rakyat dibebani pajak yang berlipat ganda. Sebagai akibatnya, Perancis dan Inggris sebagai negara debitor membentuk lembaga pengawas keuangan di Mesir. Pada tahun 1878 M, lembaga ini memaksa keluarga Khudaiwi untuk melepaskan sebagian besar asset negara, menunjuk Wilson (Inggris) sebagai mentri keuangan dan De Bliner (Perancis) sebagai mentri pekerjaan umum. Ketika Khudaiwi akan memecat kedua mentri asing ini, negara-negara Barat turut campur dan menjatuhkan Khudaiwi. Sebagai gantinya, mereka mengangkat anak sulung Khudaiwi, Taufiq.
Ketika sultan Maroko berhutang kepada Perancis pada tahun 1321 H, disepakati Bank Perancis mengucurkan piutang sebesar 62.500.000 frank dengan imbalan, Maroko menyerahkan kepada Perancis pemasukan seluruh pelabuhan di Maroko selama 35 tahun ; sejak 1 Juli 1906 M sampai 1 juli 1941 M.
Dr. Jamil Abdullah Muhammad al-Mishri mengutip pernyataan resmi seorang direktur perusahaan Amerika yang menanamkan modal dan memberikan piutang kepada negara-negara berkembang, bahwa setiap satu dolar yang mereka piutangkan akan kembali 4,67 dolar. Artinya, mereka menangguk laba sebesar 367 %. Jelas sekali, piutang ini menimbulkan kelemahan ekonomi dunia Islam.[4]
- https://udaan.org/x3r64uyrrjn.php Kelemahan ilmu pengetahuan dan agama. Dalam belenggu kehidupan aqidah murji’ah dan thariqat sufi, sudah sangat wajar bila umat Islam mengalami kemunduran dan keterbelakangan yang parah dalam aspek agama dan ilmu pengetahuan. Secara sekilas, kemunduran dan kelemahan di bidang ilmu syar’i telah dijelaskan di depan. Tentang kemunduran bidang teknologi dan industri, Imam Al-Ghazi dalam Alprazolam Purchase Nahru al-Dzahab fi Tarikhi Halb menyebutkan, ketika telegraf pertama kali masuk kota Halb tahun 1278 H, masyarakat menganggapnya sebagai setan. Ustadz Abu Hasan Ali al-Hasani al-Nadawi juga menyebutkan, bahwa industri perkapalan baru masuk ke Turki pada abad XVI M, percetakan, alat-alat medis dan sekolah-sekolah militer baru masuk pada abad XVIII M. Pada abad-abad tersebut, daulah ‘Utsmaniyah sangat asing dari industri, teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga menganggap segala penemuan baru di bidang teknologi dan industri sebagai sebuah sihir.[5]
- Buy Alprazolam Online Canada Kelemahan sosial dan moral. Dekadensi moral yang sangat parah telah menggejala di seantero dunia Islam. Penyalahgunaan harta wakaf untuk kepentingan memperkaya para pegawai wakaf, menjamurnya warung-warung khamr, rumah-rumah judi dan pelacuran — Husain bin Muhammad Nashif bahkan menyebutkan kota suci Makkah telah ramai dengan warung-warung minuman keras dan pelacuran—, tenggelamnya masyarakat dalam musik dan nyanyian, dan aneka ragam kebejatan moral lainnya menjadi pemandangan umum di tengah masyarakat.[6] Berbagai akhlak mulia sudah dianggap sebagai sebuah tradisi kuno, kering dari nilai-nilai keimanan dan setiap saat bisa ditinggalkan dengan alasan kemajuan zaman. Jilbab yang menjadi busana waniyta muslimah, misalnya, telah dianggap sebagai sekedar budaya setempat, dan manakala penjajah salibis Eropa datang dengan emansipasi wanitanya, dengan serta merta banyak yang melepaskan jilbabnya.
- https://inteligencialimite.org/2024/08/07/838losu1 Imperialisme negara-negara salibis Eropa. Pasca runtuhnya daulah Islam terakhir di Andalus, daulah Gharnathah tahun 1492 M, Paus telah menghasung dan memberikan berkatnya kepada tentara salibis Eropa untuk menjajah dunia Islam. Imperialisme salibis modern dimulai dengan penjajahan Belanda (VOC) atas wilayah nusantara pada awal abad XVII M, tepatnya dengan berdirinya VOC tahun 1602 M. disusul dengan serikat dagang Inggris yang mulai menanamkan cengkeraman dagangnya atas India, tahun 1009 H / 1600 M. Satu persatu negara-negara salibis Eropa menyerbu negeri-negeri Islam untuk dijajah. Secara sekilas bisa disebutkan, negara-negara salibis Eropa yang menjajah dunia Islam adalah : (1). Inggris, menjajah Malasyia, Semenanjung Malaka, pantai-pantai Teluk Arab, Mesir, Sudan, Cyprus dan Ghana. Pasca Perang Dunia I, Inggris juga menduduki Palestina, Iraq, dan Yordania Timur. (2). Perancis, menjajah Indo-China, Mali, Chad, Nigeria, Sinegal, Madagaskar, Mauritania, Maroko, Aljazair, Tunisia, Guinea dan Djibouti. Pasca perang dunia I, Perancis juga menduduki Suriah, Libanon dan Cilicia. (3). Italia, menjajah Libia, sebagian Somalia dan Eritrea. (4). Rusia, menjajah Siberia, Turkistan Timur, semenanjung Qarm, negeri-negeri Kaukasus sampai daerah Utara Iran. (5). Spanyol, menjajah Marakisy, pedalaman Maroko dan Moro Islam (Filiphina). (6) Belanda, menjajah Indonesia. (7). Portugal, menjajah Mozambique dan (8). Belgia, menjajah Kongo.[7]
- https://aiohealthpro.com/v5kp90kd76o Al-Ghazwu al-Fikri dan imporisasi way of life dari Barat. Secara sederhana, al-gahzwu al-fikri mulai muncul dengan adanya penerjemahan dan kajian terhadap buku-buku filsafat Yunani Kuno di akhir abad II H dan awal abad III H. sebagian pihak menyebutkan, perang pemikiran ini dimulai sejak masa perang salib abad V dan VI Hijriyah, setelah raja perancis Louis IX dibebaskan dari penjara Manshurah, Mesir. Pada abad modern, serangan Napoleon Bonaparte pada tahun 1213 H / 1798 M ke Mesir dianggap sebagai langkah awal era perang pemikiran dunia salibis Barat terhadap dunia Islam. Sikap statis para ulama, ta’ashub madzhab dan wacana telah tetutupnya pintu ijtihad, semakin memudahkan orang-orang Barat untuk melancarkan perang yang membunuh akidah dan akhlak umat ini. Mereka menggunakan dua sarana sentral, kurikulum pendidikan dan media massa, untuk memasukkan racun-racun sekulerisme, emansipasi wanita, liberalisme, kapitalisme dan isme-isme destruktif lainnya ke dalam tubuh umat Islam. Target utama dari seluruh serangan ini adalah menyingkirkan syariat Islam dari kehidupan umat Islam.
Dengan usaha sangat serius lewat dunia pendidikan dan media massa, plus tekanan negara-negara Barat kepada para sultan daulah ‘Utsmaniyah, sedikit demi sedikit sistem perundang-undangan Eropa mulai diadopsi oleh daulah ‘Utsmaniyah. Dimulai oleh sultan Sulaiman yang menetapkan beberapa undang-undang dengan berkiblat kepada undang-undang Eropa —hal yang menyebabkannya digelari sebagai al-Qanuni—, lalu sultan Salim III yang memasukkan sistem militer dan politik ala Perancis. Penasehat sultan Salim III adalah Saint Maur, seorang diplomat Perancis yang sangat mewarnai kebijakan politik sultan Salim III.
Sultan Salim III dibunuh oleh sultan Musthafa IV, namun sultan Musthafa IV juga dibunuh oleh sultan Mahmud II. Sultan Mahmud II yang mulai memegang tampuk kekuasaan tahun 1808 M, sangat kagum dengan budaya dan tradisi Eropa. Di masa kekuasaannya, diberlakukan kebijakan westrenisasi besar-besaran, tanpa mengindahkan akidah dan budaya Islam sama sekali.[8]
Sultan Mahmud II adalah putra kedua sultan Abdul Hamid I dari istri perempuan Perancis. Ia sukses mensekulerkan daulah Utsmaniyah dan menyingkirkan syariah Islam setelah pada tanggal 13-14 Juni 1826 H berhasil menghancurkan pasukan Inkisyariyah —pasukan pengawal setia para sultan sebelumnya, setia kepada tradisi Turki lama —. Dengan keberhasilan ini, tak seorangpun yang berani menentang usaha westernisasi dan sekulerisasi yang diterapkan oleh sultan. Padatahun 1837 M, sultan memerintahkan penulisan sebuah ensiklopedi perdata. Masalah-masalah perdata yang tidak ada nash dari al-Qur’an dan al-Sunah, diambilkan dari sistem perundang-undangan sipil Eropa.
Ustadz Muhammad Rasyi Ridha menyebutkan, sebagian besar undang-undang Eropa diadopsi ke dalam perundang-undangan daulah Utsmaniah, namun justru ilmu pengetahuan, teknologi dan industri tidak dipelajari dengan baik. Pada masa sultan Mahmud II, sekolah-sekolah yunani, Armenia dan Katolik menjamur. Sejak tahun 1826 H, pengiriman para mahasiswa untuk belajar ke Barat juga mulai gencar. Di zamannya pula, musik mulai masuk ke dalam militer. Usaha westernisasi ini semakin hari semakin parah, dan dilanjutkan oleh para sultan dan mentri sesudahnya. Pada tahun 1839 M, ia digantikan oleh putranya, sultan Majid Abdul. Pada masa sultan Abdul Majid, tahun 1839 M, dikeluarkan undang-undang yang menyamakan status seluruh rakyat, apapun agama mereka —penghapusan ahlu dzimmah—. Di hadapan undang-undang negara, seluruh agama mempunyai kedudukan yang sama. Inilah awal tumbuhnya nasionalisme di dunia Islam. Pada tahun 1854 M dan 1856 M, ia mengeluarkan undang-undang yang meresmikan westernisasi dan sekulerisasi hukum dan undang-undang daulah ‘Utsmaniyah.[9] Sultan Abdul Hamid II diawal pemerintahannya, 1876 M, dipaksa untuk menetapkan dan menjalankan undang-undang Eropa tersebut, namun pada tahun 1878 M beliau membuangnya dan kembali menerapkan syariah Islam. Usahanya ini mendapat tekanan keras kaum nasionalis sekuler dan Barat, yang mengadakan kudeta militer pada tahun 1908 M. Peristiwa ini mengakibatkan pelengseran sultan pada tahun 1327 H / 1909 M.
Pada masa kemunduran dunia Islam, kristenisasi gencar menyerbu dunia Islam bersamaan dengan gencarnya serangan tentara salibis Eropa. Dengan berkedok sebagai warga negara asing dari Inggris, Amerika, Denmark atau Perancis, para misionaris berduyun-duyun melakukan aksi pemurtadan di daerah-daerah kekuasaan daulah ‘Utsmaniyah. Daulah ‘Utsmaniyah sendiri tidak bisa berbuat banyak, karena pembelaan konsulat-konsulat negara salibis Eropa yang melindungi para misionaris tersebut.
Dr. Jamil Al Mishri mengutip laporan majalah Time (AS) edisi 3/5/1982 M, bahwa 5.6 juta umat Islam Indonesia telah berhasil dikristenkan. Beberapa kali sensus menyebutkan bahwa jumlah umat Islam Indonesia menyusut dari 96 % menjadi 86 % sementara jumlah Nasrani Katholik dan Protestan meningkat dari 2 % menjadi 8,8 % selama masa kemerdekaan.[10]
Dr. Abdul Halim Uwais dalam laporannya di majalah Al Mujtama’ edisi 10 Sya’ban 1405 H menulis, di Afrika terdapat 104 ribu para penginjil, 93 ribu laki-laki dan perempuan yang bekerja secara sukarela pada lembaga-lembaga pembagi Injil, 16671 sekolah gereja untuk berbagai jenjang, 500 universitas di seluruh Afrika di bawah kendali gereja dan lebih dari 489 sekolah teologi untuk mencetak kader-kader penginjil dan misionaris. Setiap tahunnya AS mengirim lebih dari 600 juta dolar untuk kristenisasi di Afrika.
Majalah Da’wah Al Mishriyah edisi Dzulhijah 1403 H juga menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 17 juta para dokter, peneliti dan aktivis LSM yang tergabung dalam lembaga-lembaga misionaris dan penginjil, serta terdapat lebih dari 300 universitas dan sekolah teologi yang mencetak para penginjil dan misionaris yang siap diterjunkan di manapun juga.[11]
Buy Alprazolam Online Europe Penyimpangan Dunia Pendidikan, Awal Kehancuran
Uraian tentang realita umat Islam selama beberapa abad sebelum runtuhnya daulah ‘Utsmaniyah 1924 M di atas, secara jelas menggambarkan bahwa runtuhnya daulah ‘Utsmaniyah bukanlah titik balik kemunduran peradaban Islam. Justru, ratusan tahun selama keberadaan daulah ‘Utsmaniyah, keterbelakangan, kemunduran dan kerusakan telah menggerogoti umat Islam. Bahkan —maaf— daulah ‘Utsmaniyah banyak ikut berperan memperburuk suasana kemunduran tersebut, sekalipun dalam beberapa aspek juga berperan besar membawa umat Islam kepada kejayaan.
Berbagai kelemahan di bidang politik, militer, sosial, budaya, ekonomi dan iptek, juga fenomena al-ghazwu al-fikri, imperialisme modern dan kristenisasi, hanyalah buah dari bibit-bibit penyimpangan yang telah dilakukan oleh umat Islam. Seorang dokter yang arif tentu akan mencoba mengobati bibit-bibit yang menjadi sumber kerusakan, bukan mengobati buahnya. Dus, berbagai penyimpanganlah yang harus pertama kali diobati, bukan dampak negatif dari berbagai penyimpangan tersebut.
Dalam wacana jatuh bangunnya peradaban Islam ini, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais[12] menyampaikan sebuah kajian berharga. Beliau menulis
“ Selalunya, sebuah peradaban runtuh dari dalam…sesungguhnya perang (serangan dari luar) datang tak lebih dari sebuah badai. Ia hanya mencabut pohon-pohon yang tidak mempunyai akar, atau pohon yang akarnya lapuk, atau berakar kokoh namun batangnya sakit sehingga akhirnya si batang pun tumbang. (memang) terkadang batangnya tumbang, namun akar-akarnya tetap layak —setelahnya —untuk membangun sebuah batang yang baru dan muncul sekali lagi.”
Menurut beliau, keruntuhan sebuah peradaban — tak terkecuali peradaban Islam — tak lepas dari tiga proses, yaitu marhalatu fasad al-fikr, marhalatu fasad al-suluk dan marhalatu al-inhiyar.
[1]- https://inteligencialimite.org/2024/08/07/u7wvbr3end Marhalatu fasad al-fikr. Fase ini adalah fase yang menjadi titik awal sebuah kehancuran. Dimulai dengan rusaknya konsep hubungan manusia-Allah Ta’ala; manusia-manusia ; manusia-alam sekitar dan menyimpangnya manusia dari kebenaran, kesempurnaan dan kebajikan (al-inhiraf ‘an al-haq, al-kamal, al-khair). Sedikit-demi sedikit, manusia menyimpang dari jalan al-haq, menuruti hawa nafsu dan berjalan di atas ilmu (al-fikr / al-manhaj) yang bengkok. Proses ini merupakan perubahan total yang menyerang aspek pemikiran dan kejiwaan manusia (al-inqilabu al-dzihni wa al-nafsi al-mutadani). Manakala manusia sudah mulai menyimpang dari kebenaran dan ilmu yang benar, sejatinya ia telah memasuki babak keruntuhan pemikiran dan kegelapan akidah (al-inhiyar al-fikri wa al-dhulam al-‘aqdi ; QS. 2:6-7). Fase ini juga merupakan fase kebekuan dan kejumudan serta rusaknya konsep way of life (marhalatu inghilaq fikri wa fasad al-manhaj ; QS. 7 :96,16:112-113). Ini suatu hal yang sangat bisa dipahami, mengingat ilmu atau fikrah merupakan asas, fondasi dan titik tolak kehidupan di muka bumi ini. Sebuah peradaban akan tegak diatas sebuah dasar manhaj yang lurus, dan sebaliknya mankalaa penyimpangan pemikiran telah menjadi fondasi, keruntuhan peradaban tinggal menunggu saatnya (QS. 20:123-124). Kesesatan pemikiran ini bisa terjadi lewat beberapa pintu, yaitu (a)-mengikuti para pemimpin dan ulama yang menyesatkan (itttiba’ al-thawaghit min al-ashnam al-basyariyah), atau (b)- aliran-aliran pemikiran yang menyimpang (al-madzahib al-munharifah), atau (c)- tokoh-tokoh panutan yang hidup hedonis (QS. 33:67-68; 34:34). Ilmu yang salah akan menghasilkan tindakan yang salah pula. Secara padat, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais meringkasnya denga menyebutkan kaedah emas “salamatu al-fikr hiya al-dhamin li-salamati al-suluk.” Dalam kajian kita atas realita umat Islam di atas, jelas sekali penyimpangan pemikiran dan konsep way of life ini berawal dari penyimpangan akidah (pint 1-8) dan penyimpangan ilmiah (point 1-3). Dalam hal ini, para ulama, da’i, mubaligh, ustadz, guru, pemerintah dan setiap orang yang menaruh perhatian terhadap kejayaan Islam mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga kelurusan al-fikr, dan mengobati berbagai penyimpangan al-fikr. Bila kewajiban ini tidak ditunaikan secara benar —imam al-Khatib al-Baghdadi (392-462 H) dalam al-Faqih wa al-Mutafaqih menyebutkan “wa hafizha syari’ata al-iman bi al-muta’allimin wa amarahum bi al-ruju’i ilaihim fi al-nawazil https://aiohealthpro.com/taj9y1okc [13]”—, berarti penyimpangan al-suluk (point penyimpangan akidah no.9) pun telah terjadi. Artinya, mereka telah menjadi masinis bagi runtuhnya gerbong peradaban Islam.
[2]- Marhalatu fasad al-suluk. Secara normatif dan empirik telah terbukti bahwa tartibu al-suluk al-sayyi’ ‘ala al-fikr al-sayyi’, sebuah pemikiran yang buruk akan menelurkan tindak tanduk yang bejat (QS. 30:41,8:53,17:16). Fase ini merupakan fase al-dzunub, di mana sarana-sarana hidup kemewahan telah merajalela, kehidupan materialisme menggejala dan al-fikr sudah tundauk kepada materi. Ketika kebejatan moral dan sosial sudah di luar ambang batas, kemungkaran dan kemaksiatann sudah menjadi menu harian masyarakat, maka hukuman Ilahi adalah peringatan yang paling cocok. Allah Ta’ala mengadzab mereka, karena memang sudah sangat layak untuk menerima peringatan terakhir tersebut (QS. 34:34-35). Kesesatan pemikiran telah mendorong mereka untuk menempuh pola hidup yang salah. Kesesatan pemikiran telah membutakan mereka dari melihat kebenaran sunatullah dan sejarah (QS. 6:6,9:69). Inilah yang telah terjadi pada kaum-kaum terdahulu ; kaum nabi Nuh (QS. 11:46), kaum ‘Aad (QS. 11;59), kaum Tsamud (QS. 11:65,67), kaum Luth (QS.78,82-83), dan kaum Madyan (QS. 11:94-95). Ini pula yang telah terjadi pada diri umat Islam (point dampak negatif intern 1-4 dan ekstern 1-3). Dari rangkaian sejarah dalam surat Huud di atas, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais menyimpulkan dari ayat 100-102, bahwa inna al-suluk al-akhlaqi al-munharif huwa thariqu al-inhiyar al-hadhari, wa laisa al-dho’fa al-madiyya awa al-taqanniya. Allah Ta’alaala Maha Pengasih kepada hamba-Nya. Dengan rahmat-Nya, manusia diberi jeda waktu untuk kembali kepada al-haq. Bila setelah jeda dan penangguhan ini manusia tetap dengan fasadu al-fikr dan fasadu al-suluknya, maka fase ketiga telah menantinya (QS. 6:44, 3;178,6:6). Pada saat itulah, tiada bergua lagi penyesalan (QS. 10:101).
[3]- Marhalatu al-inhiyar. Fasadu al-fikr dan fasadu al-suluk telah terkumpul pada diri umat Islam. Maka masyarakat Islam pun mulai menghalami pukulan-pukulan mematikan dari intern umat, maupun dari ekstern umat. Inilah sunatullah, dan sunatullah sennatiasa menjamah setiap hamba, tak peduli ia sebuah umat yang menamakan dirinya umat Islam (QS. 4:123). Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais memungkasi penjelasannya dengan sebuah kesimpulan yang sangat telak “ laqad ashbaha al-bina’ al-ijtima’i hasyan yaquumu ‘ala ususin fasidah…fala amala fi ‘ilajihi, bal laa budda in isqathihi.” Beliau lalu menyitir QS 9:109 dan QS. 13 :25.
Uraian di atas, saya kira, sudah cukup untuk memahami judul makalah ini. Ya, pendidikan dan dakwah adalah salah satu ujung tombak bagi kemajuan dan kejayaan umat. Berperannya pendidikan dan dakwah yang benar, akan menjadi titik awal kemajuan umat. Sebaliknya, pendidikan dan dakwah yang salah, atau benar namun tidak terarah dan tepat guna, akan menjadi pintu pertama terjerumusnya umat Islam ke dalam jurang kemunduran.
Evaluasi menyeluruh dan terus menerus, senantiasa diperlukan oleh seluruh pihak yag terlibat dalam pendidikan dan dakwah Islam, untuk mencapai sebuah sholah al-fikr. Namun sholah al-fikr semata belum cukup bagi para aktivis pendidikan dan dakwah.Mereka juga dituntut untuk menunjukkan sholahu al-suluk, memberi qudwah dan uswah kepada umat dengan mengejawantahkan al-fikr ke dalam aksi nyata, sholahu al-suluk. Bila ini berhasil dilaksanakan, maka akan tersajikan suguhan total football yang sangat menawan. Para aktivis pendidikan dan dakwah tidak saja akan menjadi benteng pertahanan yang baik bagi syariah Islam, namun juga akan memerankan diri sebagai playmaker yang mampu memimpin dan mengatur tempo permainan. Bahkan, —syukur-syukur—, bisa bertandem dengan ahlu al-jihad[14] memerankan diri sebagai duet striker maut yang siap mengoyak jala musuh. Bila ini yang terjadi, gol-gol indah siap memeriahkan pentas peradaban Islam di panggung dunia. Sebaliknya, bila para aktivis pendidikan dan dakwah tidak sigap mengembangkan diri, memupuk kemampuan dan meningkatkan mutunya, atau kadar minimal kesholehan fikr belum terpenuhi, sangat wajar bila banyak pihak akan menuding pendidikan dan dakwah sebagai biang kerok kemunduran umat Islam. Dan, tudingan tersebut akan semakin menemukan sasarannya manakala para aktivis pendidikan dan dakwah gagal menampilkan kesholehan suluk, dengan tidak adanya qudwah dan uswah hasanah kepada umat.
Wallahu Ta’ala A’lam bish Shawab.
والحمد لله رب العالمين وصلى الله تعالى وسلم على نبينا محمد و على آله وصحبه أجمعين
Waru, 5 Jumadi al-Ula 1425 H
[1]– Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal. 697-698.
[2] – Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat hal 718-721.
[3] – Muhammad Qutb, Waqi’una al-Mu’ashir, hal 159.
[4] – Jamil Abdullah Muhammad al-Mishri, Hadhiru al-‘Alam al-Islamy wa Qadhayahu al-Mu’ashirah, Riyadh, Maktabatu al-‘Ubaikan, cet 6,1422 H /2001 M, hal 249.
[5] – Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal 783-784.
[6] – Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal 798-dst.
[7] – Jamil Abdullah al-Mishri, Hadhiru al-‘Alam al-Islamy wa Qadhayahu al-Mu’ashirah, hal 91.
[8] – Ali Bakhit al-Zahrani, al-Inhirafat, hal 878.
[9] – Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal 880-892.
[10] – Jamil al-Mishri, Hadhiru al-‘Alam al-Islami, hal 481-490.
[11] – Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal. 930-976.
[12]– Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais, Al-Qur’an wa al-Sunah ka-Masdaarin li-Tafsiri al-Tarikh, dalam Al-Manhajiyatu al-Islamiyyatu wa al-‘Ulum al-Sulukiyatu wa al-Tarbawiyatu, Virginia, The International Institute of Islamic Thought, cet 2, 1415 H / 1994 M, hal 403-431. Makalah ini beliau sampaikan dalam al-Mu’tamar al-‘Alami li al-Fikr al-Islami IV, di Khartoum, Sudan, 1407 H /1987 M.
[13] – Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdadi, Al-Faqihu wa al-Mutafaqih, damam, Daaru Ibni al-Jauzi, cet 1, 1417 H / 1996 M, juz 1 hal 69-70.
[14] — lihat formasi duet handal yang diajukan oleh imam Sufyan bin ‘Uyainah dan imam Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah dalam al-Khatib al-Baghdadi, Al-Faqihu wa al-Mutafaqih, juz 1 hal 148-149. Sebenarnya Islam tidak membuat dikotomi ahlu al-‘ilmi harus di belakang dan ahlu al-jihad harus di depan. Pembagian tugas ini memang sangat tepat dan proporsional dalam kondisi normal. Namun dalam kondisi tertentu, seperti saat jihad menjad fardhu ‘ain, kehadiran para ahlu al-‘ilmi di depan sebagai striker bersama ahlu al-jihad adalah sebuah kewajaran, bahkan sebuah kewajiban. Di sinilah aspek qudwah ahlu al-‘ilmi akan mendidik dan membekas dalam diri umat, sampai ratusan dan ribuan tahun berikutnya. Pada masa salaf, saat kondisi jihad fardhu ‘ain, kehadiran para ahlu al-‘ilmi seperti imam Sufyan bin ‘Uyainah, Abdullah bin Mubarak, Asad bin Furat, Ahmad bin Ishaq al-Surmari, dan lain-lain menjadi hal yang sangat umum. Bayangkan, bagaimana bila kondisi jihad sudah menjadi fardhu ‘ain ? Menurut penulis makalah ini, duet striker dan total football pada masa sekarang merupakan strategi permainan yang paling realistis dan sesuai dengan syariah. Masih menurut penulis, itulah sebagian dari wujud sholahu al-fikr yang diejawantahkan dalam sholahu al-suluk. Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Beirut, Muassasatu al-Risalah, juz 4 hal 92-93; Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqatu fi Ushuli al-Syari’ah, Beirut, Daaru al-Kutub al-‘Ilmiyah, juz 1 hal 44 dan 47 ; Ibnu Qayyim, I’lamu al-Muwaqi’in, Beirut, Daaru al-Jiil, juz 1 hal 176-177 dan juz 2 hal 252.
Artikel ini ditulis dengan ‘canggih’ oleh Abu Ammar, dan dipublish oleh Ibnu Abdil Bari el ‘Afifi.
Leave a Reply