Pertanyaan:
Assalamu’alaikum..afwan ana mau tanya: apa hukum shalat ghaib; kalau disyariatkan, apakah khusus untuk jenazah yang belum dishalatkan ataukah untuk jenazah yang sudah dishalatkan juga diperbolehkan?, serta bagaimanakah hukum menshalatkan jenazah sementara kita tidak tahu apakah dia shalat atau tidak; bolehkah kita menshalatkannya?” jazakumullah. (+628773111XXX)
Jawaban:
Wa’alaikumus salamu wa rahmatullahi wa barakatuh.
Alhamdulillah, wash shalatu was salamu ala Rasulillah, wa ba’du:
Terkait dengan shalat ghaib, maka maksud shalat ghaib yang sebenarnya adalah menshalatkan jenazah yang mati di negara lain, lalu orang-orang menshalatkannya (secara ghaib) dengan beberapa shaf sebagaimana dalam shalat jenazah. Salah satu dari mereka menjadi imam, dan bertakbir dengan empat kali takbir.
Telah shahih bahwa Nabi keluar bersama para shahabatnya pada hari kematian Najasyi, raja Habasyah –rahimahullah-, dan beliau menshalatkan jenazahnya –dengan shalat ghaib-.
Hadits ini adalah dalil tentang disyariatkannya shalat ghaib, hanyasaja sebagian ulama seperti Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa ini (shalat ghaib) hanya khusus bagi Nabi , maka tidak disyariatkan shalat ghaib bagi selain beliau. Al-Khurasyi [Maliki] (2/142) mengatakan, “Shalatnya beliau atas Najasyi termasuk kekhususan beliau.” Hal ini juga disebutkan oleh Al-Kisa’i dalam Bada’iush Shana’i’ (1/312).
Tetapi hal ini dibantah oleh jumhur ulama bahwa kekhususan tersebut tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang shahih, dan asalnya adalah bahwa umat Islam diperintahkan untuk mencontoh dan meneladani beliau .
Di sisi lain, para ulama yang berpendapat tentang disyariatkannya shalat ghaib berbeda pendapat, apakah shalat ini disyariatkan untuk setiap jenazah yang ghaib atau tidak? Semuanya berdalil dengan shalat ghaibnya Nabi untuk raja Najasyi.
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa shalat ini disyariatkan untuk setiap yang ghaib dari negara (lain), sekalipun ia sudah dishalati di tempat di mana ia mati.
An-Nawawi rahimahullah (Al-Majmu’: 5/211) berkata, “Madzhab kami adalah boleh shalat ghaib dari negara lain, tetapi Abu Hanifah menolaknya. Dalil kami adalah hadits Najasyi yang merupakan haditsh shahih, tidak ada cacat, dan tidak ada jawaban yang shahih darinya (Abu Hanifah).”
Zakariya Al-Anshari rahimahullah (Asnal Mathâlib: 1/322) berkata, “Hanyasanya shalat ghaib dari negara lain diperbolehkan bagi orang yang ahli untuk wajib shalat atas mayit pada hari kematiannya.”
Perkataan di atas dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin (Asy-Syarhul Mumti’): “Maksudnya adalah orang yang dikubur mati pada saat orang yang shalat (ghaib) menjadi ahli untuk shalat atasnya. Contohnya, kalau ada seseorang yang mati sebelum 20 tahun, kemudian ada orang yang berumur 30 tahun keluar dan menshalatkannya, maka shalatnya sah. Karena ketika jenazah mati, pada saat itu ia berumur 10 tahun, maka ia ahli untuk menshalatkannya.
Contoh yang lain, jika ada seseorang yang mati sebelum 30 tahun, kemudian ada orang yang menshalatkan (ghaib) jenazahnya padahal ia baru berumur 20 tahun, maka shalatnya tidak sah. Karena orang yang shalat belum ada ketika kematian orang pertama, maka ia tidak menjadi ahli yang menshalatkannya.
Oleh karenanya, kita tidak disyariatkan shalat di atas kuburan Nabi , dan kita juga tidak mendapati ada yang berpendapat tentang disyariatkannya shalat di atas kubur Nabi , atau kubur shahabat, tetapi ia cukup berdiri dan berdoa.”
Pendapat kedua; shalat ghaib ini disyariatkan jika memberikan manfaat bagi kaum muslimin, seperti orang alim, mujahid, donatur yang banyak memberikan manfaat bagi manusia, dan selainnya. Pendapat ini adalah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Syaikh As-Sa’di, dan dijadikan fatwa oleh Al-Lajnah Ad-Dâ’imah.
Ketika ditanya, “Apakah kami boleh shalat ghaib sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi atas orang tercintanya Najasyi, ataukah itu hanya khusus untuk beliau saja?” Al-Lajnah Ad-Dâ’imah menjawab, “Shalat ghaib diperbolehkan berdasarkan perbuatan Nabi, dan ini tidak dikhususkan bagi beliau, karena para shahabatnya radhiyallahu anhum juga shalat bersama beliau. Dan juga karena hukum asal adalah tidak ada kekhususan, tetapi seyogianya itu dikhususkan untuk orang yang memiliki kedudukan dalam Islam, bukan hak setiap orang.”
Pendapat ketiga: shalat ghaib ini disyariatkan, tetapi dengan syarat jenazah belum dishalatkan di tempat di mana ia mati. Pendapat ini adalah satu riwayat lain dari Imam Ahmad, dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan muridnya Ibnul Qayyim, dan diikuti oleh ulama muta’akhirin seperti Syaikh Utsaimin.
Ketika ditanya, “Telah dinukil dari Nabi bahwa beliau menshalatkan Najasyi dengan shalat ghaib. Hal ini dikarenakan tidak adanya kaum muslimin yang menshalatkannya. Dan realita kaum muslimin yang mati secara berjamaah, dan diyakini bahwa mereka belum dishalatkan. Artinya, saya yakin bahwa mereka belum dishalatkan?” maka Syaikh Ibn Utsaimin menjawab, “Jika Anda yakin bahwa mereka belum dishalatkan, maka shalatlah atas mereka. Karena shalat (jenazah) adalah fardhu kifayah. Tetapi barangkali ada keluarganya yang sudah menshalatkannya karena shalat jenazah itu bisa dilakukan oleh satu orang. Bagaimanapun juga, jika Anda yakin bahwa ada jenazah yang belum dishalatkan, maka Anda hendaknya menshalatkannya karena ia dihukumi fardhu kifayah, dan ini adalah sebuah keharusan.” (Majmu’ Fatâwâ Asy-Syaikh Ibn Utsaimîn: 17/149).
Dari pemaparan di atas, bisa disimpulkan bahwa shalat ghaib itu disyariatkan berdasarkan shalat ghaibnya Nabi , dan para shahabatnya atas raja Najasyi. Dan tidak ada dalil bahwa ini hanya dikhususkan untuk beliau .
Tetapi pendapat yang paling adil dalam masalah ini ada dua, yaitu:
Pertama: bahwa jenazah tidak dishalatkan (ghaib) kecuali bagi yang belum dishalatkan.
Kedua: jenazah tersebut dishalatkan (ghaib) jika ia memberikan manfaat bagi kaum muslimin, seperti orang alim yang ilmunya bermanfaat bagi manusia, seorang pedagang yang hartanya bermanfaat bagi manusia, dan mujahid yang jihadnya bermanfaat bagi manusia, dan yang semisalnya. Wallahu A’lam.
Kemudian dari dua pendapat tersebut di atas, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan jenazah tidak dishalatkan ghaib kecuali bagi yang belum dishalatkan. Dalilnya, bahwa Nabi tidak menshalatkan ghaib atas seorangpun kecuali Najasyi, karena tidak ada yang menshalatkan jenazah yang mati di antara kaum kafir tersebut.
Menyalati jenazah adalah fardhu kifayah, maka harus dishalati.
Adapun jenazah yang sudah dishalati, maka tidak perlu dishalat-ghaibkan. Yang menguatkan pendapat ini adalah bahwa para shahabat senior –diantaranya khulafa’ur rasyidin radhiyallahu anhum- tidak melakukan shalat ghaib terhadap jenazah-jenazah di berbagai negara Islam. Wallâhu A’lam.
Adapun tentang status jenazah yang tidak diketahui apakah dahulunya ia shalat atau tidak, maka hal ini dijawab oleh Syaikh Ibn Utsaimin.
Ketika ditanya, “Jika berdasarkan prasangka terkuat, si jenazah tidak shalat, maka apakah seorang muslim dilarang untuk menshalatkannya?”
Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab, “Ia tidak dilarang untuk menshalatkannya, sekalipun berdasarkan prasangka terkuatnya jenazah tidak shalat. Ini berlaku jika ia belum yakin bahwa ia tidak shalat. Tetapi jika prasangka terkuatnya didasarkan pada bukti-bukti kuat (bahwa jenazah tidak shalat), lalu ia hendak mendoakan jenazah, maka harus berdoa dengan doa, “Allâhumma in kâna mu’minan Allahumma fa-ghfir lahu wa-rhamhu….hingga akhir doa.” Doa yang bersyarat ini berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunah. Karena Allah Ta’ala menyebutkan pada ayat li’an tentang kesaksian seorang suami yang menuduh zina istrinya dengan firman-Nya, “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar (6) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (7) Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, (8) dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (9) (An-Nûr: 6-9). Ini adalah doa yang bersyarat.
Dalam doa istikharah, seseorang mengucapkan doa, “Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa ini bagi untukku, untuk agama dan duniaku), maka jika jenazah diprediksi kuat tidak shalat, tapi tanpa keyakinan bahwa ia tidak shalat, maka ia mengucapkan, “Ya Allah, jika orang ini adalah seorang mukmin, maka ampunilah, dan rahmatilah…”
Adapun jika Anda tahu bahwa ia tidak shalat, maka Anda tidak halal untuk menshalatkannya; begitupula yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya.” (At-Taubah: 84). Allah melarang untuk menshalatkan orang-orang munafik yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran.” Selesai dari Fatâwa nur alad darb.
Syaikh Ibnu Utsaimin juga pernah ditanya, “Jika dalam shalat jenazah, imam meragukan keislamannya, maka apa yang harus ia lakukan?”
Beliau menjawab, “Ia wajib menshalatkannya; karena asalnya adalah orang muslim masih dalam keislamannya, tetapi dalam doa disyaratkan membaca, “Allahumma in kâna mu’minan fa-ghfir lahu wa-rhamhu.” Dan Allah yang lebih mengetahui keadaannya apakah jenazah tersebut mukmin atau tidak. Dari sini, ia selamat dari mendoakan orang kafir dengan ampunan dan rahmat. Dari Majmû’usy Syaikh Ibn Utsaimîn (17/115).
Demikian jawaban yang bisa kami berikan. Mudah-mudahan bermanfaat.
Sepenuh cinta,
Akhukum fillah, Abu Kayyisa Ulayya.
Leave a Reply