Alprazolam Cheap “He… ada orang gila! Ada orang gila!” serempak anak-anak kelas I berteriak di samping kantor. Mata mereka tertuju pada sesosok gadis kecil. Seorang anak laki-laki bahkan dengan lantang melempar sebuah kaleng rombeng ke arahnya. Sementara si gadis kecil diam saja, seolah dia merasa memang dirinya sudah gila. Di bawah hujan rintik, mataku terpana menyaksikan semua.
https://transculturalexchange.org/xixatnkhttps://www.psicologialaboral.net/2024/08/07/9j161i8acsl Diusir dengan kibasan tangan dan pelototan mata, anak-anak berseragam putih merah pun langsung diam dan beranjak pergi. Pandanganku beralih ke sosok gadis kecil. Kutatap dalam-dalam matanya, bola mata itu hanya berani memandang tanah yang basah. Rambutnya kemerahan berantakan sementara baju seragamnya terlihat kumal dan kotor. Tubuhnya pun penuh bekas luka. Aku terdiam menyaksikan semua, miris rasanya. Dialah yang bernama Ningsih. Dia terkenal di sekolah dasar ini dengan sebutan orang gila. Adakah ia memang sudah gila? Tapi kenapa ia disekolahkan di sini dan tidak dibawa ke Rumah Sakit Jiwa?
https://solomedicalsupply.com/2024/08/07/996uu4e4u8Brand Xanax 2Mg Online Seringkali aku menyaksikan adegan yang sangat mengharukan. Gadis kecil itu mengorek tong-tong sampah yang bersarang di depan setiap kelas. Jika ada makanan yang tersisa, maka ia tak segan memungutnya. Memungut dengan kedua tangannya, lantas mengunyahnya pelan-pelan. Dia tak kan malu melakukan hal itu di hadapan teman-temannya dan para guru. Suatu hari kuperhatikan perilakunya yang mengerikan (atau lebih tepatnya menjijikkan?) itu. Awalnya dia biasa saja. Aku tak tahan melihatnya, maka kutegur ia, “Ngapaian Ningsih?”
https://mandikaye.com/blog/zvhf250nt Tak ada jawaban. Hanya gelengan. Lantas cepat-cepat ia pergi dari hadapanku dan membuang bungkus permen yang ia temukan.
https://eloquentgushing.com/pxyqyngu“Bapaknya Ningsih nggak jelas juntrungnya. Ibunya-lah yang menghidupi Ningsih dan adik-adiknya. Tapi karena nggak berpendidikan, makanya ibunya nggak bisa kerja. Jadi dia sering mungut sisa-sisa panen di sawah orang.” Suatu hari kepala sekolah menjelaskan kepadaku, membuatku ingin menangis. Ternyata masih ada orang seperti itu di sini. Itulah sebabnya Ningsih suka mengorek sampah, dia meniru perbuatan ibunya demi mendapat sekepal nasi. Dia berkeliaran demi mendapat sisa ‘makanan’ yang sayang terbuang.
https://foster2forever.com/2024/08/oodz4oszy.html Tapi semenjak kutegur, ia tak berani lagi mengorek sampah di hadapanku. Dia mengais sisa-sisa makanan itu sembunyi-sembunyi, ketika pekarangan sekolah sepi. Maka semua semakin percaya bahwa Ningsih sudah gila! Tapi benarkah? Aku masih belum percaya… Apalagi insting psikologi (cie… J)-ku mengatakan Ningsih bukanlah pesakitan yang harinya pantas ditemani manusia-manusia ramah berseragam putih, tapi di sisi bajunya tertulis Departemen Kesehatan. Tidak, Ningsih bukanlah orang gila! Aku akan buktikan itu! aku akan melancarkan investigasi. Oow, cem detektif ni… J
Mulailah aku beraksi. Kutanya pada guru-guru. Kata guru-guru, Ningsih sudah tidak bisa diajar, dia hanya bisa dihajar. Nilai-nilainya jeblok semua. Sang guru bercerita, suatu ketika temannya tak mau duduk berpasangan dengan Ningsih. Alasannya karena dari tubuhnya tercium aroma ikan mati. Tuh kan! Teman-teman tak mau berteman dengannya bukan karena dia gila! Tapi karena bau badannya… Ningsih juga suka dibiarkan teman-temannya sendirian. Bahkan dia pernah duduk di lantai kelas karena tak kebagian bangku. Tiada siapapun teman yang mau menerimanya di sisi. Tapi Ningsih hanya diam, tak pernah sekalipun melawan.
https://aiohealthpro.com/xmeankm3ulSiang hari, kulihatlah dia tengah sendiri memandangi kolam di tepi sekolah. Ikan-ikan kecil berkejaran, sesekali mengendus udara di permukaan. Riak-riak kecil pun tercipta, seirama bayu dari rerumpun padi. Teratai yang tengah berlabuh setengah bergoyang dicumbu ikan-ikan. Ah, Ningsih kelihatan begitu menikmati pemandangan itu seorang diri.
https://www.psicologialaboral.net/2024/08/07/nlpp42jr“Ningsih suka ikan ya?” tanyaku perlahan, takut dia melarikan diri. Beruntung, gadis kecil itu tak pergi. Dia hanya mengangguk pelan.
“Ikan apa yang Ningsih suka?” tanyaku lagi.
https://oevenezolano.org/2024/08/jgpoxf97Brand Xanax Online Sejenak dia terdiam, matanya tak berkutik menatap kolam. “Yang itu!” tunjuknya pada seekor ikan yang tengah riang berkejaran. “Karena tubuhnya warna-warni.”
https://homeupgradespecialist.com/2j18ez0u“O…” jawabku. “Mbak lihat Ningsih kok kalau pulang lama-lama dari sekolah? Kenapa Ningsih?”
Cheap Alprazolam Pills“Nunggu adek…” jawabnya pelan, “kalo adek suka ikan yang di sana.” Tunjuknya ke ikan yang lebih kecil.”
https://polyploid.net/blog/?p=8abvkuh3https://merangue.com/cceyluro “Ningsih kok nggak masuk kelas?” tanyaku lagi. Seharusnya jam segini anak-anak belajar di dalam kelas.
https://inteligencialimite.org/2024/08/07/o0jchrvzn “Gurunya belum datang…” jawabnya pelan. Hm, semakin kuat saja firasatku bahwa dia tidak gila. Dia hanya butuh perhatian saja… ya, perhatian! Itu memang yang sangat Ningsih butuhkan…
Xanax Mexico Onlinehttps://homeupgradespecialist.com/btnokdpb7w1 “Mbok-nya tuh yang nggak nggenah (benar). Anak kecil kayak gitu kok suka dipentungin (dipukulin) di rumah. Makanya badan Ningsih suka lecet-lecet.” Terang Wawak penjual lontong di sekolah. Rumahnya memang berdekatan dengan rumah Ningsih. Ternyata Ningsih memang butuh perhatian supaya jadi ‘normal’. Akhirnya beberapa guru bersepakat membuatnya diperlakukan normal oleh orang lain, bahkan oleh orangtuanya di rumah. Seorang guru yang mengajar di kelasnya mulai banyak memperhatikan Ningsih. Sang guru yang baik hati merautkan pensil, guru yang lain menyediakan buku dan pena sedangkan yang lain meberikan sabun mandi dan sampo serta mengusahakan beasiswa. Subhanallah para guru itu, betapa mulianya hati mereka… Betapa jauhnya dariku… Aku hanya bisa menghadiahkan Ningsih sapaan dan sumringah senyuman kala bertatap dengannya. Setidaknya Ningsih masih merasa hidup karena diperlakukan normal oleh orang2 di sekitarnya.
https://www.completerehabsolutions.com/blog/tbl3jhj44abhttps://merangue.com/wgim1vo Tiga bulan tanpa terasa, Ningsih menunjukkan perubahan. Walau dia memang bukanlah anak yang ceria, tapi kini sampah bukan lagi bagian hidupnya, bedak tersapu di wajahnya, rambutnya tersisir rapi dan senyuman telah menghias bibirnya yang biru kala kusapa ia di batas sawah yang hijau terbentang. Sekarang Ningsih benar-benar bukan orang gila, jerit batinku gembira.
Buy Alprazolam Online With Mastercard Samar-samar kudengar temannya yang lain berkata, “Ningsih, main yok!” -Dipublish dengan izin penulis kisah.-
Leave a Reply