Di antara hamba-hamba Allah, ada orang-orang yang tidak dipandang, walau dengan sebelah mata sekalipun. Pakaian mereka sangat sederhana, jiwa mereka rendah hati, rambut mereka kusut, dan wajah mereka berdebu. Jika mereka izin untuk masuk menemui pemimpin, niscaya mereka ditolak. Akan tetapi, seandainya salah seorang dari mereka bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan memenuhi sumpahnya.
Timbangan kebaikan dalam Islam disandarkan pada takwa, khasyyah, dan terpautnya hati dengan Allah Ta’ala. Ini hanya bisa diketahui oleh Allah saja. Dan timbangan seseorang di sisi Allah bukan dengan ketampanan wajah, harta duniawi yang berlimpah, dan bukan pula dengan tingginya jabatan dalam hidup bermasyarakat.
Ini adalah kisah tukang sol sepatu, yang terjadi pada masa tabi’in, Muhammad bin Munkadir. Kehadirannya di tengah masyarakat mungkin tidak dikenal, tetapi penghuni langit begitu menikmati doa-doanya. Ia tidak dipuji di bumi, tetapi ia disanjung di langit.
Mari kita menikmati kisah yang di tuturkan oleh Muhammad bin Munkadir sendiri.
Muhammad bin Munkadir berkata, “Di masjid Rasulullah, ada sebuah tiang yang biasa aku gunakan untuk shalat di malam hari. Pada waktu itu, penduduk Madinah mengalami paceklik. Maka mereka pun keluar melakukan shalat istisqa’. Namun hujan tidak juga turun. Pada malam harinya, seperti biasa aku shalat Isya’ di masjid Rasulullah saw, lalu aku mendatangi tiang itu dan menyandarkan tubuhku di sana. Tiba-tiba datang seorang lelaki berkulit hitam kecoklat-coklatan, mengenakan kain sarung, dan pada lehernya tergantung kain yang lebih kecil lagi. Lelaki itu kemudian mendekati tiang di depanku, sementara aku berada di belakangnya. Kemudian dia shalat dua rekaat lalu duduk seraya berdoa, “Wahai Rabb-ku, para penduduk kota Nabi-Mu telah keluar meminta hujan, namun Engkau tidak juga mencurahkan hujan. Kini aku bersumpah atas nama-Mu, turunkanlah hujan.”
Ibnu Munkadir bergumam, “Orang gila.” Ibnu Munkadir melanjutkan, “Tatkala lelaki itu meletakkan tangannya, tiba-tiba aku mendengar suara guntur, diikuti dengan hujan yang turun dari langit yang menyebabkan diriku berkeinginan kembali ke rumah. Ketika mendengar suara hujan, ia segera memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah kudengar yang semacam itu sebelumnya.”
Ibnu Munkadir melanjutkan, “Kemudian lelaki itu berkata, “Siapa saya, dan apa kedudukan saya, sehingga doa saya terkabul?. Akan tetapi aku tetap berlindung dengan memuji diri-Mu dan berlindung dengan pertolongan-Mu.” Kemudian lelaki itu mengenakan kain yang digunakan untuk menyelimuti tubuhnya. Lalu kain yang bergantung di punggungnya ia turunkan ke kakinya. Setelah itu, ia shalat. Ia terus menjalankan shalatnya, sampai ia merasa akan datang Shubuh. Setelah itu ia melakukan shalat witir dan shalat sunah fajar dua rekaat. Kemudian ketika dikumandangkan iqamat Shubuh, ia turut shalat berjamaah bersama orang banyak. Aku pun turut shalat bersamanya. Setelah imam mengucapkan salam, ia segera bangkit dan keluar masjid. Aku pun mengikutinya dari belakang, hingga pintu masjid. Lalu ia mengangkat pakaiannya dan berjalan di air yang tergenang (karena hujan). Aku pun ikut mengangkat pakaianku dan berjalan di genangan air. Namun kemudian aku kehilangan jejak.
Pada malam selanjutnya, aku kembali shalat Isya’ di masjid Rasulullah saw, lalu aku mendatangi tiangku dan berbaring di sana. Tiba-tiba lelaki itu datang lagi dan berdiri di tempat biasa. Ia menyelimuti tubuhnya dengan kain, sementara kain lainnya yang berada di punggungnya ia selempangkan di kedua kakinya, kemudian melakukan shalat. Ia terus melakukan shalat, sampai ia khawatir kalau datang waktu Shubuh, baru ia melakukan witir dan dua rekaat sunah fajar. Setelah itu iqamah berkumandang. Ia langsung shalat berjamaah bersama manusia, aku turut bersamanya. Ketika imam telah mengucapkan salam, ia keluar dari masjid. Aku juga keluar mengikutinya. Ia berjalan dan aku pun mengikutinya hingga dia masuk di salah satu rumah di kota Madinah yang kukenal. Aku pun kembali ke masjid.
Setelah matahari terbit, dan aku telah menunaikan shalat (Dhuha). Aku segera keluar mendatangi rumah tersebut. Kudapati dirinya sedang duduk menjahit. Ternyata ia tukang sepatu. Ketika melihatku, ia segera mengenaliku. Ia berkata, “Wahai Abu Abdillah, selamat datang. Ada yang bisa kubantu? Anda ingin aku buatkan sepatu?” Aku segera duduk dan berkata, “Bukankah engkau yang menjadi temanku di malam pertama itu?” Rona wajahnya berubah menghitam dan berteriak sambil berkata, “Wahai Ibnu Munkadir, apa urusanmu dengan kejadian itu?” Ibnu Munkadir melanjutkan, “Lelaki itu marah dan aku pun segera meninggalkannya.” Aku mengatakan, “Sekarang juga aku keluar dari tempat ini.”
Pada malam ketiga, aku kembali shalat Isya’ di akhir waktu di masjid Rasulullah saw, kemudian menuju tempatku untuk bersandar. Namun lelaki itu tak kunjung datang. Aku pun bergumam, “Innâ lillâhi, apa yang telah aku perbuat.” Ketika sudah memasuki waktu pagi, aku duduk-duduk di masjid hingga matahari terbit. Kemudian aku keluar untuk mendatangi rumah yang ditempati lelaki tersebut. Ternyata kudapati pintunya terbuka, dan tidak ada apa-apa lagi. Pemilik rumah yang ditinggali lelaki itu berkata kepadaku, “Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara Anda dengan dirinya kemarin?” Aku balik bertanya, “Memangnya kenapa?” Orang-orang di situ berkata, “Ketika engkau keluar dari rumahnya kemarin, lelaki itu segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumahnya. Kemudian ia tidak menyisakan selembar kulit ataupun sepatu. Semuanya dia letakkan dalam kainnya, lalu diangkut. Setelah itu ia keluar rumah, dan kami tidak tahu lagi kemana ia pergi.”
Muhammad bin Munkadir berkata, “Setiap rumah yang ada di kota Madinah yang kuketahui pasti kusinggahi untuk mencarinya. Namun aku tidak menemukannya lagi. Semoga Allah merahmatinya.” (Shifatush Shafwah : 2/190-192).
Akhukum fillah, Abu Kayyisa Ulayya