Pertanyaan:
Ada sebuah pertanyaan menarik, “Apa hukum orang yang terkena percikan air kencing ketika dia sedang kencing seperti biasa, atau kencing dengan terburu-buru?”. Pertanyaan ini menarik karena akan memunculkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pertanyaan di atas. Misalnya, apakah ia harus mandi karena pakaiannya terkena percikan air kencingnya (baca: najis)? Apakah harus dicuci secara keseluruhan ataukah hanya bagian yang terkena najis saja? Apa hukumnya bila seorang muslim ragu jika ia belum mencuci bagian yang terkena najis? Apakah orang yang sudah shalat, sementara dia ragu (bahwa ia belum mencuci bagian yang terkena najis) harus mengulangi shalatnya? Lantas, apa perbedaan antara hadats dan najis? [Read more…]
Sudahkah Shalat Merasuk Dalam Jiwa Kita?
Tidak ada yang berbeda pada Subuh hari itu, terdengar Iqamat berkumandang, kaum muslimin di masjid Nabawi berbaris lurus dan rapat untuk shalat. Selesai memeriksa barisan, Imam menghadap kiblat dan mengangkat tangannya. Terdengar suara takbir, para makmum pun bertakbir. Suasana sunyi sejenak, kemudian terdengar bacaan surat al fatehah. Makmum menyimak al fatehah dengan khusyu’, kemudian mengucapkan Amin setelah imam membaca ayat terakhir al fatehah. Setelah diam sejenak, imam memulai membaca surat Yusuf.
Ya, surat yusuf. Ini bukan shalat subuh di tahun 2011, peristiwa ini terjadi tahun 23 H, tahun 644 MasehiImamnya adalah Umar bin Khattab, makmumnya adalah para sahabat. .Umar biasa membaca surat An Nahl, Hud dan Yusuf pada shalat subuh. Inilah hari terakhir Umar bin Khattab shalat subuh di masjid Nabawi. [Read more…]
Hukum Mengangkat Kedua Tangan ketika Mengamini Doa Khatib
Hukum Mengangkat Kedua Tangan ketika Mengamini Doa Khatib
Pertanyaan:
“Bagaimana hukum mengangkat tangan ketika khatib berdoa saat khutbah jum’at, dan hukum mengucapkan amin pada saat itu juga? (+6283843029XXX).”
Jawaban:
Pertanyaan senada juga pernah diajukan, “apa yang disyariatkan ketika khatib berdoa dalam shalat Jum’at? Apakah kita mengamini doa imam sembari mengangkat kedua tangan ataukah cukup mengamini saja tanpa mengangkat kedua tangan?”
Lalu dijawab, “Dia (khatib) tidak perlu mengangkat kedua tangan, dan kalian juga tidak perlu mengangkat tangan-tangan kalian. Mengamini adalah antara dirimu dan jiwamu. Ia (khatib) sedang berdoa, dan tidak perlu mengangkat kedua tangan kecuali dalam shalat istisqa’. Jika sedang meminta hujan, maka ia mengangkat kedua tangannya, dan mereka (makmum) mengangkat tangan-tangan mereka. Adapun doa yang biasa dilantunkan dalam khutbah, maka ia tidak perlu mengangkat kedua tangannya, begitupula dengan makmum. Karena Nabi tidak mengangkat (kedua tangannya) dalam khutbah ketika beliau sedang khutbah Jum’at.” [1]
Jadi, yang disunahkan bagi orang yang mendengar doa khatib pada hari Jum’at adalah mengamini doanya. Ini adalah pendapat jumhur ahlul ilmi, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Di dalam At-Tâj dan Al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl, menukil dari Al-Baji, ia berkata, “Tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah mengamini doa khatib. Karena mengucapkan amin dituntut dari mereka. Hanyasaja yang menjadi perselisihan pendapat adalah tentang dibaca pelan-pelan (sirr) atau keras (jahr). Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pengucapan amin dilakukan secara pelan-pelan, sedangkan Syafi’iyah berpendapat pengucapan amin dibaca tanpa mengeraskan suara, sedangkan menurut Hanafiyah, pengucapan amin tidak dilakukan dengan lisan, tetapi cukup dalam diri sendiri. Makmum juga tidak perlu mengangkat kedua tangannya ketika sedang mengucapkan amin, karena tidak ada riwayat tentang hal tersebut. Padahal beliau saw sering shalat bersama para shahabatnya. Seandainya ada riwayat bahwa mereka mengangkat tangan-tangan mereka niscaya riwayat tersebut akan sampai kepada kita, begitupula dengan khatib, ia tidak mengangkat kedua tangannya ketika sedang berdoa. Wallahu A’lam. [2]
Sebagai tambahan terkait dengan mengangkat tangan ketika berdoa; sudah maklum bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa termasuk sebab dikabulkannya doa, tetapi hal ini disyariatkan secara mutlak dan muqayyad. Artinya, disyariatkan mutlak dalam doa yang mutlak, dan disyariatkan muqayyad dalam doa-doa yang ada dalil bahwa ia termasuk doa yang muqayyad. Maknanya, mengangkat kedua tangan tidak disyariatkan dalam setiap doa yang muqayyad, seperti doa pada penghujung shalat sebelum salam, atau setelah salam. Karena di dalam as-Sunnah tidak ada riwayat yang menunjukkan hal tersebut. Yang disyariatkan adalah mengangkat kedua tangan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh as-Sunnah tentang pensyariatannya, seperti doa setelah melempar jumrah pertama dan kedua, ketika berada di Shafa dan Marwa, dan pada waktu istisqa, serta yang lainnya, yang ditunjukkan oleh as-Sunnah untuk mengangkat kedua tangan. Oleh karenanya, para makmum tidak disyariatkan untuk mengangkat tangan-tangan mereka ketika khatib berdoa di atas mimbar pada hari Jum’at. Imam Muslim rahimahullah mengeluarkan hadits dari Umarah bin Ru’aibah, bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya di atas mimbar, lalu beliau berkata, ‘Semoga Allah memburukkan kedua tangan ini. Sungguh, aku melihat Rasulullah saw tidak lebih mengatakan dengan tangannya seperti ini –beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk. An-Nawawi berkata, “Di dalam hadits ini, yang disunahkan adalah tidak mengangkat tangan dalam khutbah.” [3]
Di dalam Tuhfatul Ahwâdzi juga disebutkan, “Hadits ini menunjukkan tentang makruhnya mengangkat tangan di atas mimbar ketika berdoa.” [4]
Kesimpulannya, para makmum diperkenankan mengamini doa khatib pada hari Jum’at, hanyasaja itu dilakukan dalam diri sendiri, tidak dikeraskan. Dan tidak disyariatkan mengangkat tangan pada saat mengamini doa khatib, bahkan sebagian ahlul ilmi memandang bahwa hal tersebut (mengangkat kedua tangan) adalah bid’ah.[5]
Akhukum fillah.
Bolehkah Menshalatkan Jenazah yang Diragukan Apakah ia Shalat atau tidak?
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum..afwan ana mau tanya: apa hukum shalat ghaib; kalau disyariatkan, apakah khusus untuk jenazah yang belum dishalatkan ataukah untuk jenazah yang sudah dishalatkan juga diperbolehkan?, serta bagaimanakah hukum menshalatkan jenazah sementara kita tidak tahu apakah dia shalat atau tidak; bolehkah kita menshalatkannya?” jazakumullah. (+628773111XXX) [Read more…]
Antara Ibadah dan Isti’anah
Allah Swt berfirman yang artinya, “Hanya kepada-Mulah kami beribadah, (inilah yang dimaksud dengan ibadah). Dan, hanya kepada-Mulah kami memohon pertolongan, (inilah yang dimaksud dengan isti’anah).” (Q.S. Al-Fatihah [1]: 5).
Ibadah adalah satu ungkapan akumulasi kesempurnaan terhadap dua hal; puncak kecintaan dan puncak ketundukan. Untuk memahaminya kita bisa mengilustrasi sebagai berikut, seorang ayah atau ibu sudah pasti ia mencintai anaknya. Tapi, keduanya tidak tunduk dan patuh kepada anak tersebut. Bahkan terkadang, beberapa kemauan anak dicegah demi kebaikannya. Maka, kedua orang tua tersebut tidak beribadah kepada anaknya. Hal ini karena tidak ada unsur ketundukan, meskipun disana ada unsur kecintaan. Begitu pula dengan seorang budak. Ia akan selalu tunduk kepada tuannya dan melaksanakan apa yang diperintahkan olehnya. Tetapi ketundukan dia bukanlah wujud dari rasa kecintaan dirinya kepada tuannya. Jadi yang dimaksud dengan ibadah adalah ungkapan akumulasi kesempurnaan dari kecintaan dan juga ketundukan.
Adapun yang dimaksud dengan isti’anah (memohon pertolongan) adalah ungkapan akumulasi kesempurnaan terhadap dua hal; tsiqqoh (percaya) kepada Allah Swt dan i’timad (bersandar penuh) kepada-Nya.
Karena faktor kebutuhan, terkadang seseorang menyandarkan suatu urusan kepada yang lain, walaupun ia tidak percaya kepadanya. Sebaliknya, karena tidak membutuhkan, bisa saja seseorang percaya kepada yang lain, tetapi tidak bersandar kepadanya. Terlepas dari itu semua, adakah manusia yang tidak membutuhkan Allah Swt, Dzat Yang Maha Mampu atas segalanya, yang mengatur alam dan seisinya? Kalaulah ada orang yang tidak tsiqqah kepada Allah Azza wa Jalla pastilah ia seorang kafir.
Apabila kita perhatikan surat alfatihah di atas, maka kita dapatkan bahwa ibadah lebih didahulukan daripada isti’anah. Menurut Ibnul Qoyyim al-Jauziyah hal ini karena beberapa hal:
[1] Karena ibadah adalah tujuan, sementara isti’anah adalah wasilah (sarana). Ibadah adalah tujuan diciptakannya hamba, sementara isti’anah adalah wasilah untuk mencapai tujuan itu. [2] Karena isti’anah adalah bagian dari ibadah dan bukan sebaliknya. [3] Karena ibadah tidak akan muncul kecuali dari orang yang ikhlas. Sedangkan isti’anah bisa muncul, baik dari hamba yang ikhlas maupun yang tidak. [4] Karena ibadah bisa dikatakan ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah Allah berikan, sedangkan i’aanah (pertolongan) adalah perbutan dan taufiq Allah. [5] Karena ibadah dipagari dengan dua macam pertolongan, yaitu pertolongan untuk bisa beriltizam dan menegakkannya, serta pertolongan- setelah ibadah, yaitu untuk bisa melaksanakan bentuk ibadah yang lain dan bisa konsisten menjalankannya, sampai ajal datang.
Ibnul Qayyim juga menyebutkan bahwa ungkapan lain dari isti’anah adalah rasa tawakkal. Begitu pentingnya ibadah dan isti’anah (tawakal) ini, sehingga beberapa kali Allah Swt menyebutkannya secara bersamaan. Diantaranya adalah firman Allah Swt sebagai berikut:“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nyalah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka ibadahilah Dia dan bertakwalah kepadanya.” (QS. Huud: 123)
“Ya Robb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (Al-Mumtahanah: 4)
“Dialah Rabbku tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia; hanya kepadaNya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat.” (QS. Ar-Ro’du: 30)
Dalam beribadah dan beristi’anah, manusia terbagi menjadi empat golongan. Golongan yang paling afdal yaitu ahli ibadah sekaligus ahli isti’anah. Bagi kelompok ini ibadah kepada Allah Swt adalah terminal akhir mereka. Untuk itu, mereka meminta pertolongan kepada Allah Swt agar membantu mereka terhadap hal ini dan memberikan taufik untuk melaksanakannya. Oleh sebab itu, termasuk doa yang afdal untuk diucapkan adalah doa agar diberi pertolongan (i’anah) dalam beribadah kepada-Nya.
Rasulullah mengajarkan sebuah doa kepada Mua’adz bin Jabal r.a. beliau bersabda yang artinya, “Wahai Mu’adz demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Dan janganlah kamu lupa setiap penghujung shalat untuk membaca, Ya Allah, berikanlah i’anah kepadaku untuk berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR Abu Dawud, Ahmad dan al-Hakim).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Aku perhatikan seluruh doa, ternyata yang paling bermanfaat adalah doa meminta pertolongan untuk mendapatkan ridho-Nya. Kemudian aku melihat dalam surat al-Fatihah, ternyata ia adalah iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.”
Kelompok kedua adalah mereka yang berpaling dari ibadah dan isti’anah. Kalaupun ada diantara mereka yang beribadah atau beristi’anah, hal itu dilakukan hanyalah dalam rangka memenuhi syahwat atau kebutuhannya. Bukan atas dasar ridho kepada Allah Swt atau memenuhi hak-hakNya. Dan, Allah banyak mengabulkan segala permintaan hamba-hambaNya termasuk iblis. Namun, karena permintaannya bukan untuk menggapai ridho Allah, maka pengabulan dan pemberian Allah ini hanya akan menambah kesengsaraan dan jauhnya dirinya dari Allah Swt. Dan demikianlah yang akan terjadi, kepada semua saja yang meminta pertolongan kepada Allah Swt untuk suatu perkara yang bukan dalam rangka menggapai keridhoan-Nya.
Seorang yang berakal, pastilah ia memperhatikan dirinya dan orang lain. Sudah pasti, ia mengerti bahwa dikabulkannya suatu permintaan oleh Allah tidaklah selalu bermakna bahwa Allah memuliakannya. Suatu saat, seorang hamba meminta sesuatu yang ia butuhkan kepada Allah, lalu Dia memenuhinya. Padahal, disanalah letak kehancurannya. Betapa banyak orang-orang yang menjadi bakhil setelah dilapangkan rizki-Nya. Betapa banyak orang-orang yang menjadi takabbur dan zalim setelah diberi kekuasaan. Sementara di saat yang lain, Allah Swt tidak mengabulkan permintaan hamba-Nya. Bukan apa-apa, hal ini justru karena Allah SWT menghendaki kemuliaan baginya. Allah tidak memberi dalam rangka menjaga dan memeliharanya dan bukan karena bakhil. Namun sayang sekali, orang-orang yang bodoh malah berburuk sangka, merasa dihinakan oleh Allah Swt.
Allah Swt berfirman yang artinya, “Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata, Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 16)
Allah Swt menyangkal pendapat orang yang memastikan bahwa lapangnya rezeki merupakan ikrom (pemuliaan) dari-Nya, dan kefakiran adalah ihanah (penghinaan). Allah Swt menjelaskan bahwa ikram dan ihanah tidaklah didasarkan kepada banyaknya harta, lapangnya rezeki atau kefakiran. Terkadang, Allah Swt melapangkan rezeki bagi orang kafir dan sebaliknya tidak memberikannya kepada orang mukmin. Tentu, itu bukanlah suatu kemuliaan bagi orang kafir dan kehinaan bagi orang mukmin.
Sesungguhnya Allah Swt hanya memuliakan orang-orang yang memuliakan-Nya dengan mengenal-Nya, cinta kepada-Nya dan mentaati-Nya. Dan, Allah Swt hanya menghinakan orang-orang yang menghinakan-Nya, yakni orang-orang yang berpaling dari-Nya atau bermaksiat kepada-Nya.
Sesungguhnya kemuliaan yang hakiki berporos kepada intensitas seseorang dalam mengejawantahkan Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in (Hanya kepada-Mulah kami beribadah dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan).
Kelompok yang ketiga adalah golongan yang hanya beribadah, tanpa meminta pertolongan (isti’anah) kepada Allah Swt. Mereka beranggapan bahwa ibadah yang mereka kerjakan sudah cukup untuk dijadikan bekal safar ke negeri akhirat. Mereka lupa bahwa ada dua hal yang pasti, su’ul khaatimah dan khusnul khatimah. Tanpa pertolongan dan rahmat dari Allah Swt, seorang muslim bisa saja (bahkan pasti) mengalami futur (stagnasi/mandeg) dalam beramal, lalu berkelanjutan dan berakhir dengan kekafiran yang mengekalkannya tinggal di neraka. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Kelompok yang ketiga ini masih termasuk golongan kaum muslimin, karena ibadah mereka, hanya saja ada nila kurang. Duhai, andaikan mereka mau beristi’anah dan bertawakkal.
Kelompok keempat adalah mereka yang mengerti betul bahwa hanya Allah yang bisa mendatangkan dan mencegah manfaat atau madharat (bahaya). Mereka juga tahu bahwa apa saja yang menjadi kehendak-Nya pasti terjadi. Namun demikian, mereka tidak mau menghiasi diri dengan hal-hal yang dicintai dan diridhoi Allah Swt. Kalaupun mereka bertawakal dan beristi’anah, hal itu mereka lakukan sebatas memenuh syahwat dan ambisinya.
Satu hal yang harus kita fahami bahwa kekuasan, pangkat, pengaruh dan harta tidaklah Allah khususkan bagi orang-orang yang shaleh saja. orang-orang faajir atau maksiat pun mendapat bagian. Tetapi sekali lagi, itu bukanlah ukuran untuk dijadikan jaminan menjadi wali atau kekasih Allah Swt.
Marilah kita berdoa semoga Allah menjadikan kita orang yang selain ahli ibadah juga ahli isti’anah kepada-Nya. Amin.
Diadaptasi dari Tahdziib Madaarijus Saalikiin Ibnu Qoyyim, Abdul Mun’im bin Sholih al-Aliy al-‘Izz.