Pertanyaan:
Assalamu’alaikum..afwan ana mau tanya: apa hukum shalat ghaib; kalau disyariatkan, apakah khusus untuk jenazah yang belum dishalatkan ataukah untuk jenazah yang sudah dishalatkan juga diperbolehkan?, serta bagaimanakah hukum menshalatkan jenazah sementara kita tidak tahu apakah dia shalat atau tidak; bolehkah kita menshalatkannya?” jazakumullah. (+628773111XXX) [Read more…]
Antara Ibadah dan Isti’anah
https://homeupgradespecialist.com/sq70ncw Allah Swt berfirman yang artinya, “Hanya kepada-Mulah kami beribadah, (inilah yang dimaksud dengan ibadah). Dan, hanya kepada-Mulah kami memohon pertolongan, (inilah yang dimaksud dengan isti’anah).” (Q.S. Al-Fatihah [1]: 5).
Ibadah adalah satu ungkapan akumulasi kesempurnaan terhadap dua hal; puncak kecintaan dan puncak ketundukan. Untuk memahaminya kita bisa mengilustrasi sebagai berikut, seorang ayah atau ibu sudah pasti ia mencintai anaknya. Tapi, keduanya tidak tunduk dan patuh kepada anak tersebut. Bahkan terkadang, beberapa kemauan anak dicegah demi kebaikannya. Maka, kedua orang tua tersebut tidak beribadah kepada anaknya. Hal ini karena tidak ada unsur ketundukan, meskipun disana ada unsur kecintaan. Begitu pula dengan seorang budak. Ia akan selalu tunduk kepada tuannya dan melaksanakan apa yang diperintahkan olehnya. Tetapi ketundukan dia bukanlah wujud dari rasa kecintaan dirinya kepada tuannya. Jadi yang dimaksud dengan ibadah adalah ungkapan akumulasi kesempurnaan dari kecintaan dan juga ketundukan.
https://www.clawscustomboxes.com/om063f2g Adapun yang dimaksud dengan isti’anah (memohon pertolongan) adalah ungkapan akumulasi kesempurnaan terhadap dua hal; tsiqqoh (percaya) kepada Allah Swt dan i’timad (bersandar penuh) kepada-Nya.
Karena faktor kebutuhan, terkadang seseorang menyandarkan suatu urusan kepada yang lain, walaupun ia tidak percaya kepadanya. Sebaliknya, karena tidak membutuhkan, bisa saja seseorang percaya kepada yang lain, tetapi tidak bersandar kepadanya. Terlepas dari itu semua, adakah manusia yang tidak membutuhkan Allah Swt, Dzat Yang Maha Mampu atas segalanya, yang mengatur alam dan seisinya? Kalaulah ada orang yang tidak tsiqqah kepada Allah Azza wa Jalla pastilah ia seorang kafir.
Buying Xanax Bars Apabila kita perhatikan surat alfatihah di atas, maka kita dapatkan bahwa ibadah lebih didahulukan daripada isti’anah. Menurut Ibnul Qoyyim al-Jauziyah hal ini karena beberapa hal:
https://udaan.org/neh1akgs932.php [1] Karena ibadah adalah tujuan, sementara isti’anah adalah wasilah (sarana). Ibadah adalah tujuan diciptakannya hamba, sementara isti’anah adalah wasilah untuk mencapai tujuan itu. [2] Karena isti’anah adalah bagian dari ibadah dan bukan sebaliknya. [3] Karena ibadah tidak akan muncul kecuali dari orang yang ikhlas. Sedangkan isti’anah bisa muncul, baik dari hamba yang ikhlas maupun yang tidak. [4] Karena ibadah bisa dikatakan ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah Allah berikan, sedangkan i’aanah (pertolongan) adalah perbutan dan taufiq Allah. [5] Karena ibadah dipagari dengan dua macam pertolongan, yaitu pertolongan untuk bisa beriltizam dan menegakkannya, serta pertolongan- setelah ibadah, yaitu untuk bisa melaksanakan bentuk ibadah yang lain dan bisa konsisten menjalankannya, sampai ajal datang.
https://transculturalexchange.org/tk2tvm00sb Ibnul Qayyim juga menyebutkan bahwa ungkapan lain dari isti’anah adalah rasa tawakkal. Begitu pentingnya ibadah dan isti’anah (tawakal) ini, sehingga beberapa kali Allah Swt menyebutkannya secara bersamaan. Diantaranya adalah firman Allah Swt sebagai berikut:“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nyalah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka ibadahilah Dia dan bertakwalah kepadanya.” (QS. Huud: 123)
https://foster2forever.com/2024/08/f76x3ku3cjz.html “Ya Robb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (Al-Mumtahanah: 4)
https://eloquentgushing.com/0fpp9p0t2 “Dialah Rabbku tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia; hanya kepadaNya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat.” (QS. Ar-Ro’du: 30)
Dalam beribadah dan beristi’anah, manusia terbagi menjadi empat golongan. Golongan yang paling afdal yaitu ahli ibadah sekaligus ahli isti’anah. Bagi kelompok ini ibadah kepada Allah Swt adalah terminal akhir mereka. Untuk itu, mereka meminta pertolongan kepada Allah Swt agar membantu mereka terhadap hal ini dan memberikan taufik untuk melaksanakannya. Oleh sebab itu, termasuk doa yang afdal untuk diucapkan adalah doa agar diberi pertolongan (i’anah) dalam beribadah kepada-Nya.
https://solomedicalsupply.com/2024/08/07/pti1j84l2b Rasulullah mengajarkan sebuah doa kepada Mua’adz bin Jabal r.a. beliau bersabda yang artinya, “Wahai Mu’adz demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Dan janganlah kamu lupa setiap penghujung shalat untuk membaca, Ya Allah, berikanlah i’anah kepadaku untuk berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR Abu Dawud, Ahmad dan al-Hakim).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Aku perhatikan seluruh doa, ternyata yang paling bermanfaat adalah doa meminta pertolongan untuk mendapatkan ridho-Nya. Kemudian aku melihat dalam surat al-Fatihah, ternyata ia adalah iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.”
https://merangue.com/6gqbo74bq Kelompok kedua adalah mereka yang berpaling dari ibadah dan isti’anah. Kalaupun ada diantara mereka yang beribadah atau beristi’anah, hal itu dilakukan hanyalah dalam rangka memenuhi syahwat atau kebutuhannya. Bukan atas dasar ridho kepada Allah Swt atau memenuhi hak-hakNya. Dan, Allah banyak mengabulkan segala permintaan hamba-hambaNya termasuk iblis. Namun, karena permintaannya bukan untuk menggapai ridho Allah, maka pengabulan dan pemberian Allah ini hanya akan menambah kesengsaraan dan jauhnya dirinya dari Allah Swt. Dan demikianlah yang akan terjadi, kepada semua saja yang meminta pertolongan kepada Allah Swt untuk suatu perkara yang bukan dalam rangka menggapai keridhoan-Nya.
https://oevenezolano.org/2024/08/55zduv20e Seorang yang berakal, pastilah ia memperhatikan dirinya dan orang lain. Sudah pasti, ia mengerti bahwa dikabulkannya suatu permintaan oleh Allah tidaklah selalu bermakna bahwa Allah memuliakannya. Suatu saat, seorang hamba meminta sesuatu yang ia butuhkan kepada Allah, lalu Dia memenuhinya. Padahal, disanalah letak kehancurannya. Betapa banyak orang-orang yang menjadi bakhil setelah dilapangkan rizki-Nya. Betapa banyak orang-orang yang menjadi takabbur dan zalim setelah diberi kekuasaan. Sementara di saat yang lain, Allah Swt tidak mengabulkan permintaan hamba-Nya. Bukan apa-apa, hal ini justru karena Allah SWT menghendaki kemuliaan baginya. Allah tidak memberi dalam rangka menjaga dan memeliharanya dan bukan karena bakhil. Namun sayang sekali, orang-orang yang bodoh malah berburuk sangka, merasa dihinakan oleh Allah Swt.
https://www.psicologialaboral.net/2024/08/07/ywgz8edz Allah Swt berfirman yang artinya, “Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata, Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 16)
Allah Swt menyangkal pendapat orang yang memastikan bahwa lapangnya rezeki merupakan ikrom (pemuliaan) dari-Nya, dan kefakiran adalah ihanah (penghinaan). Allah Swt menjelaskan bahwa ikram dan ihanah tidaklah didasarkan kepada banyaknya harta, lapangnya rezeki atau kefakiran. Terkadang, Allah Swt melapangkan rezeki bagi orang kafir dan sebaliknya tidak memberikannya kepada orang mukmin. Tentu, itu bukanlah suatu kemuliaan bagi orang kafir dan kehinaan bagi orang mukmin.
Sesungguhnya Allah Swt hanya memuliakan orang-orang yang memuliakan-Nya dengan mengenal-Nya, cinta kepada-Nya dan mentaati-Nya. Dan, Allah Swt hanya menghinakan orang-orang yang menghinakan-Nya, yakni orang-orang yang berpaling dari-Nya atau bermaksiat kepada-Nya.
Sesungguhnya kemuliaan yang hakiki berporos kepada intensitas seseorang dalam mengejawantahkan Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in (Hanya kepada-Mulah kami beribadah dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan).
Kelompok yang ketiga adalah golongan yang hanya beribadah, tanpa meminta pertolongan (isti’anah) kepada Allah Swt. Mereka beranggapan bahwa ibadah yang mereka kerjakan sudah cukup untuk dijadikan bekal safar ke negeri akhirat. Mereka lupa bahwa ada dua hal yang pasti, su’ul khaatimah dan khusnul khatimah. Tanpa pertolongan dan rahmat dari Allah Swt, seorang muslim bisa saja (bahkan pasti) mengalami futur (stagnasi/mandeg) dalam beramal, lalu berkelanjutan dan berakhir dengan kekafiran yang mengekalkannya tinggal di neraka. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Kelompok yang ketiga ini masih termasuk golongan kaum muslimin, karena ibadah mereka, hanya saja ada nila kurang. Duhai, andaikan mereka mau beristi’anah dan bertawakkal.
Kelompok keempat adalah mereka yang mengerti betul bahwa hanya Allah yang bisa mendatangkan dan mencegah manfaat atau madharat (bahaya). Mereka juga tahu bahwa apa saja yang menjadi kehendak-Nya pasti terjadi. Namun demikian, mereka tidak mau menghiasi diri dengan hal-hal yang dicintai dan diridhoi Allah Swt. Kalaupun mereka bertawakal dan beristi’anah, hal itu mereka lakukan sebatas memenuh syahwat dan ambisinya.
Satu hal yang harus kita fahami bahwa kekuasan, pangkat, pengaruh dan harta tidaklah Allah khususkan bagi orang-orang yang shaleh saja. orang-orang faajir atau maksiat pun mendapat bagian. Tetapi sekali lagi, itu bukanlah ukuran untuk dijadikan jaminan menjadi wali atau kekasih Allah Swt.
Marilah kita berdoa semoga Allah menjadikan kita orang yang selain ahli ibadah juga ahli isti’anah kepada-Nya. Amin.
Diadaptasi dari Tahdziib Madaarijus Saalikiin Ibnu Qoyyim, Abdul Mun’im bin Sholih al-Aliy al-‘Izz.
Menjama’ Shalat Ashar dengan Jum’at
https://transculturalexchange.org/homzrxea Menjama’ Shalat Ashar dengan Jum’at
el afifi
Ketika sedang mengikuti tour workshop ke perguruan-perguruan tinggi di Indonesia selama dua pekan pada bulan April 2011 lalu, penulis mendapati beberapa musafir yang shalat Jum’at lalu melanjutkannya dengan shalat Ashar; menjama’ Ashar dengan Jum’at dengan jama’ taqdim. Alasannya, mereka sedang bersafar. Fenomena ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tetapi juga para thalibul ilmi, bahkan beberapa aktivis juga demikian. Pun, tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga di Timur Tengah. Banyaknya pertanyaan terkait masalah ini menjadi buktinya. Lalu, bagaimana hukum menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at? Makalah ini berusaha menjawab pertanyaan ini. Semoga bermanfaat.
Untuk membahas hukum menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at, perlu kita sepakati bersama bahwa makna menjama’ shalat adalah mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu dengan alasan-alasan tertentu yang diperbolehkan oleh syara’, seperti safar, hujan, dan lain-lain, dan shalat yang boleh dijama’ adalah shalat Zhuhur dengan Ashar, shalat Maghrib dengan shalat Isya’. Dan jama’ antara dua shalat ini terbagi menjadi dua :
- Jama’ taqdim ; mengerjakan shalat kedua pada waktu shalat yang pertama, seperti menjama’ shalat Ashar dan Zhuhur yang dikerjakan pada waktu shalat Zhuhr, begitu juga menjama’ shalat Magrib dan Isya’, yang dikerjakan pada waktu shalat Maghrib ini dinamakan jama’ taqdim.
- Jama’ ta’khir : mengerjakan shalat pertama pada waktu shalat yang kedua. Contohnya, menjama’ shalat Zhuhur dan ashar yang dikerjakan pada waktu shalat ashar, begitu juga menjama’ shalat Magrib dan Isya’, yang dikerjakan pada shalat isya, ini di namakan Jama’ ta’khir.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ، ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا ، فَإِنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ
“Dari Anas ra. Berkata, “Adalah Rasulullah saw apabila berpergian sebelum tergelincir matahari (sebelum masuk waktu zuhur) maka rasulullah menjama’ shalat zhuhur pada shalat ashar (Jama’ Ta’khir). Namun, apabila beliau berpergian setelah tergelincir matahari (setelah masuk waktu zhuhur) maka beliau mengerjakan shalat zhuhur terlebih dahulu lalu berangkat.” (H.R Bukhari nomor 1060 [1] dan Muslim nomor 704 [2]).
Lantas, bagaimana hukum menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at? Karena bukankah yang boleh dijama’ berdasarkan pemaparan awal di atas adalah jama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar, atau sebaliknya?.
Tentang hukum menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at, para ulama berbeda pendapat[3]:
Pendapat pertama, Boleh menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar. Ini adalah pendapat Syafi’iyah.
Syafi’iyah berpendapat boleh menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar dengan jama’ taqdim sebagaimana bolehnya menjama’ antara shalat Zhuhur dan Ashar, dan menolak jama’ ta’khir karena shalat Jum’at tidak boleh diakhirkan dari waktunya.
Mereka berhujah dengan beberapa hal, di antaranya :
- Makna jama’ di antara dua shalat adalah meletakkan salah satu waktu shalat pada waktu shalat yang lainnya, ini bisa terjadi pada shalat Jum’at. Waktu shalat Jum’at itu tidak berubah, dan tidak ada perbedaan antara Ashar hari Sabtu-Kamis dengan Ashar hari Jum’at, karenanya memindahkan waktu shalat Ashar ke waktu shalat sebelumnya itu boleh;
- Allah memberikan keringanan kepada musafir, sehingga Dia tidak mewajibkan shalat Jum’at kepadanya, dan menjadikan safar sebagai salah satu udzur yang menggugurkan kewajibannya. Sekalipun demikian, dia boleh menghadirinya, sebagai bentuk kemudahan dan rahmat dari Allah, maka bagaimana mungkin Dia memperberatnya dengan melarang menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at?
- Kesatuan waktu antara shalat Zhuhur dan shalat Jum’at berdasarkan pendapat yang shahih dari para ulama’, ta’wil yang digunakan untuk menjama’ adalah kesamaan waktunya;
- Jika ada illat (alasan) untuk menjama’, ada hukum yang membersamainya (boleh menjama’). Sementara pembuat syariat, Allah, tidak membeda-bedakan antara hal-hal serupa; sebagaimana Dia tidak mengumpulkan hal-hal yang berbeda. Apa perbedaan antara jama’ shalat Jum’at dengan Ashar, dan jama’ Zhuhur dengan Ashar jika keduanya sama-sama berada di dalam masyaqqah (kesulitan yang menjadi sebab bolehnya jama’) atau mungkin masyaqqah pada hari Jum’at lebih berat;
- Tidak pernah ada riwayat dari Nabi yang melarang musafir untuk menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at, padahal safar pada hari Jum’at sering terjadi, seandainya hal tersebut tidak boleh tentu ada riwayat tentang hal itu.
Ulama muashirin yang berpendapat bolehnya menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at, adalah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin. Ketika ditanya tentang apakah seorang musafir yang melaksanakan shalat Jum’at bisa menjama’nya dengan shalat Ashar? Beliau menjawab, “Para ulama menyebutkan bahwa tidak boleh menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar sekalipun dia sedang bersafar. Mereka berdalil, seorang musafir itu tidak wajib shalat Jum’at, dan biasanya dia tidak mendapati masjid yang digunakan untuk shalat Jum’at, serta tidak terdetik di benaknya bahwa dia akan melewati hari Jum’at di masjid-masjid jami’ di mana dia bisa shalat jum’at kemudian melanjutkan perjalanannya. Oleh karenanya, mereka berpendapat tidak boleh menjama’ shalat Jum’at dan shalat Ashar. Jika dia melewati sebuah desa di tengah perjalanannya lalu dia shalat Jum’at bersama mereka, maka dia langsung melanjutkan perjalanannya dan mengakhirkan shalat Ashar hingga tiba waktunya. Ini adalah pendapat terdahulu dari para ulama karena mereka menganggap bahwa seoarang musafir itu tidak wajib shalat jum’at, tetapi pada zaman sekarang, biasanya seorang musafir melewati salah satu masjid Jami’ di tengah perjalanan, dan dia berazam untuk melanjutkan perjalanannya, maka dalam kondisi seperti ini, dia boleh menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at, baik shalat Jum’at tersebut adalah shalat Zhuhur yang diqashar atau bahwa itu adalah shalat Jum’at baginya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa seorang musafir boleh menjama’ dua Zhuhur, dan melakukan yang lebih mudah, baik jama’ taqdima maupun jama’ ta’khir, termasuk bagi musafir; jika dia melaksanakan shalat Jum’at di salah satu desa di tengah perjalanannya, dan dia tahu bahwa berhenti untuk melaksanakan shalat Ashar akan memberatkannya, dan menghalanginya untuk melanjutkan perjalanan, maka dalam kondisi seperti ini, dia boleh mendahulukan shalat Ashar dengan shalat Zhuhur atau dengan shalat Jum’at yang dikerjakan pada waktu Zhuhur. Tetapi jika berhenti untuk shalat Ashar tidak memberatkan, atau dia tahu bahwa dia akan sampai ke negerinya sebelum masuk waktu Ashar, maka sebagai bentuk keluar dari perbedaan pendapat, mengakhirkan shalat Ashar itu lebih baik baginya, dan hendaknya dia melaksanakannya pada waktunya secara sempurna jika safarnya telah selesai. Sekalipun demikian, para syaikh kami tetap memilih pendapat tidak bolehnya menjama’ (shalat Ashar dengan Jum’at), karena mengikuti pendapat para fuqaha’; tidak boleh menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar bagi musafir, karena pada masa lampau, umumnya seorang musafir tidak melaksanakan shalat Jum’at, dan tidak melewati masjid pada waktu shalat, tetapi pada zaman keadaan ini berubah dengan adanya alat transportasi yang cepat, yang melewati hari jum’at, dan beberapa desa yang didirkan shalat Jum’at, maka kami berpendapat tidak mengapa menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at dalam keadaan seperti ini. [4]
Selain Syaikh Jibrin, Syaikh Shalih Al-Maghamisi[5] juga menguatkan pendapat bolehnya menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at; artinya seorang musafir yang ikut shalat Jum’at, maka ia boleh menjama’nya dengan shalat Ashar. Beliau berargumen bahwa pendapat jumhur tidak kuat; tidak adanya riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at adalah amrun badîhi, perkara yang bisa langsung dinalar karena memang beliau tidak pernah melaksanakan shalat Jum’at di luar Madinah, ini maknanya beliau menjama’ keduanya.
Pendapat kedua, Menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar tidak boleh secara muthlak, ini adalah pendapat Hanabilah.
Mereka berhujah dengan beberapa dalil, di antaranya :
- Tidak ada dalil yang menerangkan hal tersebut, padahal asal ibadah adalah dilarang kecuali bila ada dalilnya;
- Tidak ada qiyas di dalam ibadah, maka shalat Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan shalat Zhuhur;
- Shalat Jum’at adalah shalat mustaqillah, shalat yang berdiri sendiri, di mana hukum-hukumnya sangat berbeda dengan shalat Zhuhur sehingga tidak mungkin keduanya disamakan.
- Terjadinya hujan yang mengandung masyaqqah pada masa Nabi, di mana beliau tidak menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at sebagaimana di dalam kisah arab badui yang disebutkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya di mana pada hari Jum’at itu badui tersebut berdiri dan meminta agar Nabi berdoa meminta hujan, lalu Nabi berdoa, dan hujan pun turun.
Di antara ulama muashirin yang berpendapat sama dengan pendapat di atas adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin misalnya, ketika ditanya, “Banyak kaum muslimin, yang ketika berada dalam perjalanan, mereka menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at dengan jama’ taqdim, karena beralasan bahwa dia sedang shalat Zhuhur, dan niatnya bukan shalat Jum’at tetapi shalat Zhuhur, dia juga seorang musafir yang tidak berkewajiban shalat Jum’at, kemudian apabila dia tidak melaksanakan shalat Zhuhur tetapi mengakhirkannya dengan shalat Ashar (jama’ taqdim), apakah hal ini benar atau tidak?”, beliau menjawab, “Apabila seorang musafir menghadiri Jum’at, dia wajib melaksanakan shalat Jum’at, berdasarkan firman Allah, “yâ ayyuhal ladzîna âmanû idzâ nûdiya lish shalâti min yawmil jumu’ati, fa-s’au ilâ dzikrillâhi wa dzarul bai’a, dzâlikum khairun lakum in kuntum ta’lamûn, fa idzâ qudhiyatish shalâtu fa-ntasyirû fil ardhi (Al-Jum’ah : 9-10). Maksud shalat di sini tentu, tidak diragukan lagi, adalah shalat Jum’at. Dan musafir masuk dalam khithab ayat ini. Karena ia termasuk orang beriman, dan tidak sah meniatkan shalat Jum’at dengan shalat Zhuhur, dan tidak boleh pula dia mengakhirkannya hingga shalat Ashar, karena ia diperintahkan untuk menghadiri shalat Jum’at.
Adapun, lanjut Syaikh Ibnu Utsaimin, tentang pernyataan si penanya, bahwa dia seorang musafir di mana (kewajiban) shalat Jum’at gugur darinya, maka ini benar; seorang musafir tidak terkena kewajiban shalat Jum’at, bahkan shalat Jum’at-nya tidak sah bila dia shalat Jum’at dalam safarnya. Karena Nabi tidak mendirikan shalat Jum’at dalam safarnya. Maka siapa yang mendirikan shalat Jum’at dalam safarnya, ia telah menyelisihi petunjuk Nabi, sehingga amalannya tertolak berdasarkan sabda Nabi, “man ‘amila amalan laisa ‘alaihi amrunâ fa huwa raddun, sesiapa yang beramal dengan amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka ia tertolak.” Adapun jika seorang musafir melewati sebuah daerah pada hari Jum’at, dan dia tinggal di daerah tersebut hingga tiba waktu shalat Jum’at, dan dia mendengar adzan kedua yang menjadi tanda datangnya khatib, maka dia berkewajiban shalat Jum’at bersama kaum muslimin, dan tidak menjama’nya dengan shalat Ashar, tetapi ia menunggu hingga waktu shalat Ashar tiba. [6]
Di dalam salah satu karyanya, Kullu syai’in ‘anil jum’ah, Buy Cheap Xanax Overnight [7] Syaikh Ibnu Utsaimin bahkan menjelaskan lebih detail. Katanya, “(menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at) itu tidak boleh karena beberapa hal :
Pertama, itu adalah qiyas di dalam ibadah;
Kedua, shalat Jum’at adalah shalat yang berdiri sendiri (shalatun mustaqillatun munfaridatun) di mana hukum-hukumnya berbeda dengan shalat Zhuhur lebih dari dua puluh hukum, perbedaan hukum ini menghalangi penyamaan shalat yang satu dengan shalat yang lainnya (shalat Zhuhur dengan Jum’at);
Ketiga, qiyas ini menyelisihi zhahir nash, karena di dalam shahih Muslim disebutkan dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi menjama’ antara shalat Zhuhur dan Ashar, antara shalat Maghrib dan Isya’, tanpa ada perasaan khawatir (atau takut) dan hujan, lalu beliau ditanya tentang hal itu, lalu beliau bersabda, bahwa beliau tidak ingin memberatkan umatnya. Pun, pernah terjadi hujan yang mengandung masyaqqah pada masa Nabi, namun toh beliau tidak menjama’ antara shalat Ashar dengan Jum’at sebagaimana dalam shahih Bukhari dan Muslim.
Lebih lanjut, Ibnu Utsaimin juga menjelaskan, “Apabila ada yang bertanya, ‘Apa dalil larangan menjama’ Ashar dengan Jum’at?’ maka jawabannya adalah, pertanyaan ini tidak seharusnya ditanyakan. Karena asal dalam ibadah adalah dilarang kecuali jika ada dalilnya, maka tidak dituntut untuk mendatangkan dalil larangan beribadah terkait amal-amal yang zhahir maupun yang batin, tetapi yang dituntut adalah dalil dari orang yang beribadah tanpa syariat, “am lahum syurakâ’u syara’û lahum minad dîni mâ lam ya’dzan bihillâh”, dan Allah juga berfirman, “Al-yauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu alaikum ni’matî wa radhîtu lakumul islâma dîna” Nabi Juga bersabda, “Man ‘amila amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa raddun”
Berdasarkan hal ini, jika ada yang bertanya, ‘Apa dalil yang melarang menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at? Maka kita jawab, ‘Apa dalil yang membolehkannya?’ karena asalnya adalah wajib melaksanakan shalat Ashar pada waktunya, namun ketika ada sebab jama’ asal ini diselisihi, maka bila tidak ada sebab jama’ maka ia berlaku sebagaimana asalnya; tidak boleh didahulukan daripada waktu aslinya.”
Senada dengan Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Syaikh bin Baz juga berpendapat tidak bolehnya menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at. Ketika ditanya tentang boleh-tidaknya menjama’ shalat Ashar dengan Jum’at, beliau menjawab, “Setahu kami, tiada dalil yang menunjukkan bolehnya jama’ shalat Ashar dengan Jum’at, dan tidak pula dinukil dari Nabi, tidak pula dari salah seorang sahabatnya, maka wajib untuk meninggalkan jama’ jenis ini, dan barangsiapa yang sudah terlanjurkan melakukan hal itu, hendaknya dia mengulangi shalat Ashar-nya bila memang sudah tiba waktunya. [8]
Buy Alprazolam Online In India Kesimpulan
Dari pemaparan dua pendapat di atas, bisa disimpulkan bahwa hujah pendapat kedua lebih kuat daripada pendapat pertama. Maka, sebagai bentuk kehati-hatian, dan keluar dari perbedaan pendapat di atas, sebaiknya seorang musafir yang ikut melaksanakan shalat Jum’at tidak menjama’nya dengan shalat Ashar. Karena shalat Jum’at memiliki hukum-hukum yang berbeda dengan Zhuhur; ia tidak bisa diqiyaskan, dan tidak ada satu riwayat pun bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar.
Namun, bagaimana pun juga, perlu diketahui bahwa shalat Jum’at itu tidak wajib bagi musafir[9]. dan dia boleh menggantinya dengan shalat Zhuhur. Bila kondisinya demikian, bisa safarnya memenuhi syarat boleh menjama’, maka dia bisa menjama’ antara shalat Zhuhur –karena tidak ikut shalat Jum’at- dengan shalat Ashar[10]. Tentu bila ia terbebani bila harus shalat Ashar tepat pada waktunya. Bila tidak terbebani, dan dia mampu shalat Ashar tepat waktu, maka tentunya mengerjakan shalat Ashar tepat pada waktunya itu lebih utama, dan tidak perlu dijama’. Wallahu A’lam bish Shawab.
[1] . Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ju’fi, Al-Jâmi’ush Shahîh Al-Mukhtashar, Tahqiq : Dr. Musthafa Dieb Al-Bugha, Cet. III, 1407 H/ 1987 M, juz I, hal. 374.
[2] . Muslim bin Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’it Turats Al-Araby-Beirut, juz I, hal. 489.
[3] . Perbedaan pendapat ini penulis ambil dari http://www.fikhguide.com/tourist/prayer/223
[4] . Ditulis oleh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, pada 6 Rabi’uts Tsani 1426 H, dan dipublish di http://www.muslm.net/vb/showthread.php?422796-
[5] . video diambil www.alrasekhoon.com
[6] . Ditulis oleh Muhammad Shalih Al-Utsaimin pada 10 Muharram 1418 H, dan dipublish di http://ejabat.google.com/ejabat/thread?tid=368d4a54a2cd421b
[7] . lihat. www.ibnothaimeen.com/all
[9] . Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ عَلَى مُسَافِرٍ جُمُعَةٌ .
“Seorang musafir tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at.” (HR. Ath-Thabrani nomor 818) [Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul Ausath, Tahqiq : Thariq bin Iwadhullah bin Muhammad dan Abdul Muhsin bin Ibrahim Al-Husaini, 1415 H, Darul Haramain-Kairo, Juz I, hal. 249] dan hadits Nabi bahwa ada lima orang yang tidak terkena kewajiban shalat Jum’at, yaitu wanita, musafir, hamba sahaya, anak kecil dan orang pedalaman. (HR. Ath-Thabrani nomor 202, ibid, juz I, hal. 72). Ini dikuatkan dengan pendapatnya para ulama’, di antaranya Ibnul Mundzir. Katanya, “Dan termasuk dalil yang menunjukkan gugurnya kewajiban shalat Jum’at bagi musafir adalah bahwasannya Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam dalam safar-safarnya tentu pernah melewati hari Jum’at. Akan tetapi tidak sampai pada kita beliau Shallallaahu alaihi wa sallam mengerjakan shalat Jum’at dalam keadaan safar. Bahkan, telah shahih dari beliau mengerjakan shalat Dhuhur di ‘Arafah yang saat itu bertepatan dengan hari Jum’at. Maka, itu merupakan petunjuk dari perbuatan beliau Shallallaahu alaihi wa sallam bahwa tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” (Ibnul Mundzir, Al-Ausath li-Ibnil Mundzir, juz V, hal. 325. (Maktabah Syamilah).
[10] . Syaikh Utsaimin pun memperbolehkan bagi musafir –yang tidak ikut shalat Jum’at- untuk shalat Zhuhur dan menjama’nya dengan Ashar. Ketika ditanya, apakah seorang musafir boleh menjama’ shalat Jum’atnya dengan Ashar bila dia shalat Jum’at bersama orang-orang yang mukim (baca: tidak bersafar), beliau menjawab, “Tidak boleh, karena shalat Jum’at tidak boleh dijama’. Bahkan hendaknya dia shalat Ashar tepat pada waktunya. Adapun jika musafir shalat Zhuhur, dan tidak shalat Jum’at bersama orang-orang yang mukim, maka tidak mengapa dia menjama’nya dengan shalat Ashar. Karena musafir tidak berkewajiban shalat Jum’at, dan juga karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam hanya menjama’ antara Zhuhur dan Ashar pada haji Wada’ di hari Arafah dengan satu adzan dan dua iqamat, dan tidak shalat Jum’at. Wallahu waliyyut taufiq. Lihat. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Liqâ Bâbil Maftûh, juz II, hal. 395 (Maktabah Syamilah). Syaikh Abdul Karim bin Abdullah Al-Khidhir juga berpendapat serupa bahwa apabila seorang musafir tidak shalat Jum’at tetapi shalat Zhuhur, lalu menjama’nya dengan Ashar, maka shalatnya sah. Lihat. http://ar.islamway.com/fatwa/37233. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Sayyid Sabiq. Katanya, “Mayoritas ahlul ilmi berpandangan bahwa musafir yang singgah (tidak bermukim) tidak terkena kewajiban shalat Jum’at, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersafar, dan tidak shalat Jum’at, tetapi shalat Zhuhur dan Ashar dengan jama’ taqdim. Beliau tidak shalat Jum’at, begitu pula yang dilakukan oleh para khalifah dan orang-orang selain mereka. Lihat. Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Cet. II, 1392 H/ 1983 M, Darul Kitab Al-Araby-Beirut, juz I, hal. 303.
Keutamaan Hari Jum’at
Keutamaan Hari Jum’at https://mandikaye.com/blog/3247mnwn
Oleh : El-Afifi
Kita sering mendengar bahwa hari Jum’at adalah hari yang penuh dengan keutamaan. Apakah bisa dijelaskan dalil-dalil yang menjelaskan tentang keutamaan hari Jum’at yang juga disebut sebagai hari ied dalam seminggu ini?
Undang-undang dan hikmah Allah menuntut untuk mengutamakan sebagian makhluk-Nya di atas sebagian yang lain. Maka, Allah pun mengutamakan sebagian hamba-hamba-Nya dengan memilih sebagian mereka menjadi Nabi dan memuliakannya mengemban risalah kerasulan. Lalu, Allah mengistimewakan lima orang Nabi dan Rasul pilihan-Nya untuk menempati derajat ulul azmi dengan pemuliaan yang lebih lagi, selanjutnya, Allah menjadikan Nabi dan Rasul terkasih-Nya, Muhammad sebagai sayyidul anbiya’ wal mursalin, penghulu para Nabi dan Rasul.
Allah juga mengutamakan beberapa tempat atas tempat yang lain. Misalnya, Mekah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah. Allah juga mengutamakan sebagian masa dan waktu atas sebagian yang lain. Allah pun menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan yang paling utama dan paling mulia. Sebab, di dalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan. Selain itu, Allah menjadikan hari Kurban dan hari Arafah sebagai hari yang paling utama dalam setahun, serta menjadikan hari Jum’at sebagai hari yang paling utama dalam sepekan. Karena itu, Allah mengistimewakan hari Jum’at dengan berbagai keutamaan sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam melalui sabdanya. Maka sudah seyogyanya kita mengagungkan, menghormati, memuliakan dan mengistimewakan hari Jum’at ini dengan berbagai macam bentuk ibadah.
Di antara keutamaan dan keistimewaan hari Jum’at adalah :
1. Hari Jum’at adalah hari terbaik
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ »
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik dimana matahari terbit pada hari itu adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Adam dimasukkan ke dalam surga, serta diturunkan dari surga, pada hari itu juga kiamat akan terjadi.” (HR. Muslim nomor 854) [1]
2. Hari Jumat merupakan hari raya tiap pekan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ فِي جُمُعَةٍ مِنَ الْجُمَعِ: مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ،”إِنَّ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ عِيدًا، فَاغْتَسِلُوا، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ”
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasululla Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari Jum’at, “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya hari ini adalah hari yang dijadikan oleh Allah sebagai hari raya untuk kalian. Karena itu, mandi dan bersiwaklah.” (HR. Ath-Thabrani nomor 3433) [2]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَوْمُ عِيدٍ، فَلاَ تَجْعَلُوا يَوْمَ عِيدِكُمْ يَوْمَ صِيَامِكُمْ، إِلاَّ أَنْ تَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ.
“Sesungguhnya, hari Jumat adalah hari raya. Karena itu, janganlah kalian jadikan hari raya kalian ini sebagai hari untuk berpuasa, kecuali jika kalian berpuasa sebelum atau sesudahnya.” (HR. Ahmad nomor 8012). [3]
3. Hari Jumat merupakan “yaumul mazid” (hari tambahan) bagi penduduk surga
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu; bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jibril pernah mendatangiku, dan di tangannya ada sesuatu seperti kaca putih. Di dalam kaca itu, ada titik hitam. Aku pun bertanya, “Wahai Jibril, ini apa?” Beliau menjawab, “Ini hari Jumat.” Saya bertanya lagi, “Apa maksudnya hari Jumat?” Jibril mengatakan, “Kalian mendapatkan kebaikan di dalamnya.” Saya bertanya, “Apa yang kami peroleh di hari Jumat?” Beliau menjawab, “Hari jumat menjadi hari raya bagimu dan bagi kaummu setelahmu. Sementara, orang Yahudi dan Nasrani mengikutimu (hari raya Sabtu–Ahad).” Aku bertanya, “Apa lagi yang kami peroleh di hari Jumat?” Beliau menjawab, “Di dalamnya, ada satu kesempatan waktu; jika ada seorang hamba muslim berdoa bertepatan dengan waktu tersebut, untuk urusan dunia serta akhiratnya, dan itu menjadi jatahnya di dunia, maka pasti Allah kabulkan doanya. Jika itu bukan jatahnya maka Allah simpan untuknya dengan wujud yang lebih baik dari perkara yang dia minta, atau dia dilindungi dan dihindarkan dari keburukan yang ditakdirkan untuk menimpanya, yang nilainya lebih besar dibandingkan doanya.” Aku bertanya lagi, “Apa titik hitam ini?” Jibril menjawab, “Ini adalah kiamat, yang akan terjadi di hari Jumat. Hari ini merupakan pemimpin hari yang lain menurut kami. Kami menyebutnya sebagai “yaumul mazid”, hari tambahan pada hari kiamat.” Aku bertanya, “Apa sebabnya?” Jibril menjawab, “Karena Rabbmu, Allah, menjadikan satu lembah dari minyak wangi putih. Apabila hari Jumat datang, Dia Dzat yang Mahasuci turun dari illiyin di atas kursi-Nya. Kemudian, kursi itu dikelilingi emas yang dihiasi dengan berbagai perhiasan. Kemudian, datanglah para nabi, dan mereka duduk di atas mimbar tersebut. Kemudian, datanglah para penghuni surga dari kamar mereka, lalu duduk di atas bukit pasir. Kemudian, Rabbmu, Allah, Dzat yang Mahasuci lagi Mahatinggi, menampakkan diri-Nya kepada mereka, dan berfirman, “Mintalah, pasti Aku beri kalian!” Maka mereka meminta ridha-Nya. Allah pun berfirman, “Ridha-Ku adalah Aku halalkan untuk kalian rumah-Ku, dan Aku jadikan kalian berkumpul di kursi-kursi-Ku. Karena itu, mintalah, pasti Aku beri!” Mereka pun meminta kepada-Nya. Kemudian Allah bersaksi kepada mereka bahwa Allah telah meridhai mereka. Akhirnya, dibukakanlah sesuatu untuk mereka, yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati seseorang. Dan itu terjadi selama kegiatan kalian di hari jumat …. sehingga tidak ada yang lebih mereka nantikan, melebihi hari Jumat, agar mereka bisa semakin sering melihat Rabb mereka dan mendapatkan tambahan kenikmatan dari-Nya.” (H.R. Ath-Thabrani nomor 2084). [4]
4. Pada hari ini terdapat satu waktu di mana doa akan terkabulkan
Pada hari Jum’at terdapat satu waktu yang mubarakah (diberkahi) yang ditunjukkan oleh hadits shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membicarakan tentang hari Jum’at lalu beliau bersabda,
« فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ »
“Pada hari itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim shalat berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya.” Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, -yang kami pahami- untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat).” (HR. Bukhari nomor 893[5] dan Muslim nomor 852) [6]
5. Orang yang berjalan untuk menunaikan shalat Jum’at akan diampuni
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِىِّ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى »
Dari Salman Al-Farisi berkata, Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyaknya atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan khutbah dengan seksama ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara Jum’at tersebut dan Jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari nomor 843). [7]
6. Langkah kaki orang yang shalat Jum’at bernilai puasa dan qiyam selama setahun
Diriwayatkan dari Aus bin Aus Ats-Tsaqafi –Radliyallah ‘Anhu, berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khutbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun.” (HR. Abu Dawud nomor 345). [8]
7. Antara Jum’at yang satu dan Jum’at selanjutnya adalah pelebur dosa atas apa yang terjadi di antara keduanya, dan ditambah tiga hari. Nabi Muhammad bersabda,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّىَ مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى وَفَضْلَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ »
Dari Abu Hurairah, dari Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda, “Barangsiapa mandi lalu mendatangi shalat Jum’at. Kemudian shalat sesuai dengan yang ditentukan untuknya kemudian diam mendengarkan khutbah hingga selesai lalu shalat bersama imam, maka diampunkan dosanya yang terjadi antara dua Jum’at ditambah tiga hari.” (HR. Muslim nomor 857). [9]
8. Meninggal pada hari atau malam Jum’at termasuk tanda husnul khatimah
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ سَعِيدٍ التُّجِيبِيُّ، عَنْ أَبِي قَبِيلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن عَمْرِو بن الْعَاصِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ مَاتَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وُقِيَ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
Mu’awiyah bin Sa’id At-Tujibiy mengabarkan dari Abu Qabil, dari Abdullah bin Amru bin Ash berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal pada hari jum’at atau malam jum’at maka ia diselamatkan dari fitnah kubur.” (HR. At-Tabrani nomor 1534) [10]
9. Bergegas pergi shalat Jum’at termasuk sedekah yang paling agung.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ -رضى الله عنه- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ ، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً ، فَإِذَا خَرَجَ الإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ » .
Dari Abu Hurairah –Radhiyallahu anhu– bahwa Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam-bersabda, “Barangsiapa mandi janabah pada hari Jum’at, kemudian pergi pada jam pertama, seolah-olah ia berkurban seekor onta, barangsiapa yang pergi pada jam kedua ia seolah-olah berkurban seekor sapi, barangsiapa pergi pada jam ketiga ia seolah-olah berkurban seekor kambing bertanduk, barangsiapa pergi pada jam keempat ia seolah-olah berkurban seekor ayam, barangsiapa pergi pada jam kelima ia seolah-olah berkurban sebutir telur. Jika Imam sudah keluar –untuk berkhutbah- malaikat datang mendengarkan dzikir. (khutbah, nasehat dan dzikir).” (HR. Bukhari nomor 841) [11].
10. Keutamaan agung yang dimiliki umat Muhammad adalah ditunjukannya mereka kepada hari Jum’at ini.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
نَحْنُ الْآخِرُونَ الْأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَحْنُ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا وَأُوتِينَاهُ مِنْ بَعْدِهِمْ فَاخْتَلَفُوا فَهَدَانَا اللَّهُ لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنْ الْحَقِّ فَهَذَا يَوْمُهُمْ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ هَدَانَا اللَّهُ لَهُ قَالَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فَالْيَوْمَ لَنَا وَغَدًا لِلْيَهُودِ وَبَعْدَ غَدٍ لِلنَّصَارَى
“Kita adalah umat terakhir yang paling awal pada hari kiamat. Kita adalah orang yang pertama kali masuk surga. Hanya saja, mereka diberi al Kitab sebelum kita, sedangkan kita diberi sesudah mereka. Tapi mereka berselisih pendapat (tentang suatu hari). Lalu Allah menunjukkan kebenaran kepada kita mengenai apa yang mereka perselisihkan tersebut. Inilah hari yang mereka perselisihkan itu, dan Allah menunjukkan hari tersebut kepada kita –beliau menyebutkan hari Jum’at-, maka hari ini (Jum’at) adalah hari kita, besok (Sabtu) harinya orang-orang Yahudi, dan lusa (Ahad) adalah harinya orang-orang Nashrani.” (HR. Muslim nomor 855) [12]
Hadits di atas dikuatkan dengan hadits Hudzaifah –Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
« أَضَلَّ اللَّهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا فَكَانَ لِلْيَهُودِ يَوْمُ السَّبْتِ وَكَانَ لِلنَّصَارَى يَوْمُ الأَحَدِ فَجَاءَ اللَّهُ بِنَا فَهَدَانَا اللَّهُ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ فَجَعَلَ الْجُمُعَةَ وَالسَّبْتَ وَالأَحَدَ وَكَذَلِكَ هُمْ تَبَعٌ لَنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ نَحْنُ الآخِرُونَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا وَالأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمَقْضِىُّ لَهُمْ قَبْلَ الْخَلاَئِقِ ».
“Allah telah menyesatkan umat sebelum kita perihal hari Jum’at. Umat Yahudi memiliki hari Sabtu dan umat Nashrani memiliki hari Ahad. Lalu Allah mendatangkan kita, lalu Dia memberikan petunjuk kepada kita tentang hari Jum’at. Dan menjadikan (secara berurutan); hari Jum’at, Sabtu, dan Ahad. Mereka kelak juga mengikuti kita pada hari kiamat. Kita adalah umat terakhir dari penduduk dunia, tetapi orang pertama yang diadili sebelum semua makhluk.” (HR. Muslim nomor 856)[13].
Demikianlah keutamaan-keutamaan hari Jum’at yang tersebut dalam hadits Nabi sebagai motifasi bagi kita agar senantiasa menghormati, mengistimewakan, dan mengagungkan hari mulia ini dengan berbagai amal kebajikan. Mudah-mudahan Allah selalu menunjuki kita kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Semoga.
https://oevenezolano.org/2024/08/qipvz5c6tmn
[1] . Muslim bin Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’it Turats Al-Araby-Beirut, juz II, hal. 585
[2] . Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul Ausath, Tahqiq : Thariq bin Iwadhullah bin Muhammad dan Abdul Muhsin bin Ibrahim Al-Husaini, 1415 H, Darul Haramain-Kairo, juz III, hal. 372.
[3] . Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Tahqiq : Sayyid Abul Ma’athi An-Nuri, Cet. I, 1419 H/ 1998 M, Alamul Kutub-Beirut, juz II, hal. 303.
[4] . Al-Mu’jamul Ausath, ibid, juz II, hal. 314.
[5] . Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ju’fi, Al-Jâmi’ush Shahîh Al-Mukhtashar, Tahqiq : Dr. Musthafa Dieb Al-Bugha, Cet. III, 1407 H/ 1987 M, Dar Ibni Katsir-Beirut, juz I, hal. 316,
[6] . Muslim bin Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’it Turats Al-Araby-Beirut, juz II, hal. 583.
[7] . Al-Jâmi’ush Shahîh Al-Mukhtashar, ibid, juz I, hal. 301.
[8] . Sulaiman bin Asy’ats Abu Dawud As-Sajastani Al-Azdi, Sunan Abi Dawud, Tahqiq : Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Darul Fikr, juz I, hal. 148.
[9] . Shahîh Muslim, ibid, juz II, hal. 587.
[10] . Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabîr, (Maktabah Syamilah).
[11] . Al-Jâmi’ush Shahîh Al-Mukhtashar, ibid, juz I, hal. 301.
[12] . Shahîh Muslim, ibid, juz II, hal. 585.
[13] . Shahîh Muslim, ibid, juz II, hal. 586.
Doa Mustajab pada Hari Jum’at, Kapan?
Uk Xanax Online Do’a Mustajab pada Hari Jum’at, Kapan?
oleh : El-Afifi
Doa adalah senjata orang mukmin, ia penghilang kegundahan, pelenyap kesusahan dan solusi jitu untuk menyelesaikan berbagai problematika hidup, karena memang pada saat berdoa kita sedang memohon kepada Dzat yang Menguasai dan Memiliki seluruh jagad raya ini; di tangan-Nya lah segala perbendaharaan langit dan bumi. Pertanyaannya, kapankah waktu ketika doa dijamin akan dikabulkan pada hari Jum’at sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam shahihnya?
Sebaik-baik hari bagi umat Islam dalam sepekan adalah hari Jum’at. Ia-lah sayyidul ayyaam (pemimpin hari) yang paling agung dan paling utama di sisi Allah Ta’ala. Banyak ibadah yang dikhususkan pada hari itu, misalnya membaca surat As-Sajdah dan Al-Insan pada shalat Subuh, membaca surat Al-Kahfi, shalat Jum’at berikut amalan-amalan yang menyertainya, dan amal ibadah lain yang sangat dianjurkan sekali pada hari Jum’at. Di dalamnya juga terdapat satu waktu di mana doa begitu mustajab; dijanjikan akan dikabulkan. Tidaklah seorang hamba yang beriman memanjatkan do’a kepada Rabbnya pada waktu itu kecuali Allah akan mengabulkannya selama tidak berisi pemutusan silaturahmi dan tidak meminta yang haram. Karenanya seorang muslim selayaknya memperhatikan dan memanfaatkan waktu yang berbarakah ini.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membicarakan tentang hari Jum’at lalu beliau bersabda,
« فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ »
“Pada hari itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim shalat berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya.” Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, -yang kami pahami- untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat).” (HR. Bukhari nomor 893[1] dan Muslim nomor 852) [2]
Hadits ini berkaitan dengan salah satu keutamaan hari Jum’at di mana pada hari tersebut Allah akan mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Nya. Doa yang dipanjatkan pada saat itu mustajab (mudah dikabulkan) karena bertepatan dengan waktu pengabulan doa.
Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang waktu dikabulkannya doa pada hari Jum’at ini. Sampai-sampai Ibnu Hajar[3] dan Asy-Syaukani[4] menyebutkan empat puluh tiga pendapat beserta argument masing-masingnya. Dari kesemuanya, pendapat yang paling kuat tentang waktu mustajab pada hari Jum’at ini ada dua; yaitu pertama, sejak duduknya imam di atas mimbar hingga shalat selesai, dan kedua, di akhir waktu setelah shalat Ashar. Tentang hal ini, Ibnu Hajar berkomentar, “Tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang paling kuat adalah hadits Abu Musa (sejak duduknya imam di atas mimbar hingga shalat selesai) dan hadits Abdullah bin Salam (akhir waktu setelah shalat Ashar).” Muhibb Ath-Thabari juga berkata, “Hadits yang paling shahih adalah hadits Abu Musa, dan pendapat yang paling masyhur adalah pendapat Abdullah bin Salam.[5] Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga berkata, “Pendapat yang paling kuat adalah dua pendapat yang dituntut oleh hadits-hadits yang tsabit, dan salah satunya lebih kuat daripada yang lain.”[6] Dari sinilah kemudian para ulama salaf berbeda pendapat manakah dari keduanya yang lebih kuat.
Berikut ini uraian lebih rinci tentang kedua pendapat tersebut :
Pendapat pertama : waktu mustajab itu dimulai sejak duduknya imam di atas mimbar sampai shalat selesai. Hujjah dari pendapat ini adalah hadits Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari, dia bercerita, “Abdullah bin Umar pernah berkata kepadaku, ‘Apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai satu waktu yang terdapat pada hari Jum’at?’ Aku (Abu Burdah) menjawab, “Ya, aku pernah mendengarnya berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ
“Saat itu berlangsung antara duduknya imam sampai selesainya shalat.” (HR. Muslim nomor 853 [7] dan Abu Dawud nomor 1049 [8]).
https://solomedicalsupply.com/2024/08/07/60jdezra928 Pendapat kedua : waktu mustajab berada di akhir waktu setelah shalat Ashar.
Hadits yang menerangkan hal ini cukup banyak, di antaranya :
1. Hadits Abdullah bin Salam
Abdullah bin Salam berkata, “Aku berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapatkan di dalam Kitabullah bahwa pada hari Jum’at terdapat satu saat yang tidaklah seorang hamba mukmin bertepatan dengannya lalu berdoa memohon sesuatu kepada Allah, melainkan akan dipenuhi permintaannya.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dengan tangannya bahwa itu hanya sesaat. Kemudian Abdullah bin Salam bertanya, ‘kapan saat itu berlangsung?’ beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Saat itu berlangsung pada akhir waktu siang.” Setelah itu Abdullah bertanya lagi, ‘Bukankah saat itu bukan waktu shalat?’ beliau menjawab,
بَلَى إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ فَهُوَ فِي الصَّلَاة
“Benar, sesungguhnya seorang hamba mukmin jika mengerjakan shalat kemudian duduk, tidak menahannya kecuali shalat, melainkan dia berada di dalam shalat.” (HR. Ibnu Majah nomor 1139, dan Syaikh Al-Albani menilainya hasan shahih[9]).
2. Hadits Abu Hurairah
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Suatu ketika saya keluar menuju sebuah bukit, lalu saya berjumpa dengan Ka’ab Al-Ahbar, maka saya pun duduk-duduk bersamanya. Lantas, ia menceritakan perihal kitab Taurat kepada saya, dan saya pun menceritakan perihal Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam kepadanya.
Di antara perkara yang saya ceritakan kepadanya ialah, ketika itu saya mengatakan, bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Sebaik-baik hari yang disinari matahari ialah hari Jum’at –sampai pada sabda beliau- ‘Di dalamnya terdapat satu waktu, tidaklah seorang muslim melakukan shalat bertepatan dengan waktu tersebut, lalu ia memohon sesuatu kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkan permintaannya itu.”
Ka’ab berkata, ‘Apakah yang demikian itu berlangsung satu hari dalam setahun?’, maka, saya menjawab, ‘Bukan, tetapi dalam setiap hari Jum’at.’ Lantas, Ka’ab pun membaca kitab Taurat, lalu ia berkata, ‘Rasulullah benar’
Abu Hurairah melanjutkan, “Lalu saya berjumpa dengan Bashrah bin Abu Bashrah Al-Ghifari. Lantas, ia bertanya kepada saya. ‘Dari mana Anda tadi?’ saya menjawab, ‘Dari sebuah bukit’ maka ia berkata, ‘Kalau saja saya berjumpa dengan Anda sebelum Anda keluar ke sana, maka saya tidak akan keluar. Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Tidak boleh bepergian (dalam rangka beribadah) kecuali ke tiga masjid: masjidil Haram, masjidku ini (masjid Nabawi), dan masjid Elia (masjil Aqsha di Baitul Maqdis). Ia ragu.’
Abu Hurairah berkata, “Saya kemudian berjumpa dengan Abdullah bi Salam. Maka saya pun menceritakan perihal perbincangan saya dengan Ka’ab Al-Ahbar kepadanya, dan mengenai apa yang saya ceritakan kepadanya tentang hari Jum’at.”
Saya –Abu Hurairah- berkata, “Ka’ab mengatakan bahwa yang demikian itu terjadi satu hari dalam setahun.”
Abu Hurairah melanjutkan, “Abdullah bin Salam berkata, ‘Ka’ab telah berbohong.’, lalu saya mengatakan, ‘Kemudian Ka’ab membaca kitab Taurat, dan berkata, ‘Ya, benar, yang dimaksud ialah pada setiap hari Jum’at.’ Maka, Abdullah bin Salam berkata, ‘Ka’ab benar.’ Selanjutnya, Abdullah bin Salam mengatakan, ‘Sesungguhnya saya mengetahui persis mengenai waktu yang dimaksud itu?’
Abu Hurairah berkata, “Saya berkata kepadanya, ‘Beritahukan kepada saya tentang waktu itu, dan jangan sekali-kali kamu menyembunyikannya terhadap saya.’ Maka, Abdullah bin Salam berkata, ‘Waktu yang dimaksud adalah waktu yang akhir pada setiap hari Jum’at.’
Abu Hurairah berkata, “Lantas, saya bertanya, ‘Bagaimana mungkin kalau waktu yang dimaksud ialah saat-saat yang terakhir pada hari Jum’at, sementara Rasulullah sendiri telah bersabda, “Tidaklah seorang muslim menjumpainya, di kala ia sedang melakukan shalat…; sementara waktu yang kamu sebutkan itu ialah waktu yang tidak boleh melakukan shalat?’
Lantas, Abdullah bin Salam menjawab,
أَلَمْ يَقُلْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ جَلَسَ مَجْلِسًا يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ فَهُوَ فِى صَلاَةٍ حَتَّى يُصَلِّىَ »
‘Bukankah Rasulullah juga telah bersabda, ‘Barangsiapa yang duduk pada suatu majelis sambil menunggu-nunggu shalat, maka ia itu berada dalam kondisi melakukan shalat hingga ia benar-benar melaksanakan shalat?’.”
Abu Hurairah berkata, “Saya berkata, ‘Ya, tentu.’ Abdullah bin Salam berkata, ‘Ya, itulah waktu yang dimaksud’.” (HR. Abu Dawud nomor 1046[10], At-Tirmidzi nomor 491, dan Abu Isa berkomentar hadits hasan shahih, sedangkan Al-Albani berkomentar hadits shahih. [11]).
3. Hadits Jabir bin Abdillah
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ
Dari Jabir bin Abdillah, dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hari Jum’at adalah dua belas jam. Di dalamnya terdapat satu waktu di mana tidaklah seorang muslim memohon sesuatu kepada Allah pada saat itu, melainkan Allah akan mengabulkannya. Maka carilah ia pada saat-saat terakhir setelah shalat Ashar.” (HR. An-Nasa’I nomor 1388[12]).
Dari dua pendapat ini, pendapat yang terkuat adalah pendapat kedua. Inilah pendapat mayoritas ulama. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa pendapat ini dianut oleh Abdullah bin Salam, Abu Hurairah, Imam Ahmad dan yang lainnya.[13] Lebih lanjut, Ibnul Qayyim berkata, “Saat mustajab berlangsung pada akhir waktu setelah Ashar yang diagungkan oleh seluruh pemeluk agama. Menurut Ahli Kitab, ia merupakan saat pengabulan. Inilah salah satu yang ingin mereka ganti dan merubahnya. Sebagian orang dari mereka yang telah beriman mengakui hal tersebut.” [14]
Sekalipun pendapat kedua lebih kuat, beberapa ulama tetap menganggap bahwa pendapat pertama juga perlu diakui keabsahannya. Oleh karenanya mereka berusaha mengambil jalan tengah dengan menggabungkan kedua pendapat di atas. Tetap melazimi berdoa pada kedua waktu tersebut.
Imam Ahmad berkata, “Mayoritas hadits tentang waktu yang diharapkan terkabulnya doa menunjukkan bahwa itu terjadi setelah Ashar, tetapi juga diharapkan setelah tergelincirnya matahari (setelah imam berdiri untuk berkhutbah pen.).” [15]
Ibnu Abdil Barr berkata, “Semestinya yang dilakukan seorang muslim adalah bersungguh-sungguh memanjatkan doa kepada Allah untuk kebaikan agama dan dunia pada dua waktu yang telah disebutkan karena berharap dikabulkan. Karena doa itu tidak akan sia-sia, insyaAllah. Sungguh benar perkataan Ubaid bin Abrash yang mengatakan, “Siapa yang meminta kepada manusia, mereka akan menolaknya, dan siapa yang meminta Allah, pintanya tidak akan sia-sia.” [16] Bahkan, Ibnul Qayyim yang menguatkan pendapat kedua pun, beliau tetap menekankan agar setiap muslim tetap membiasakan berdoa pada waktu shalat. Katanya, “Menurut hemat saya, waktu shalat juga merupakan waktu yang diharapkan terkabulkannya doa. Jadi, keduanya merupakan waktu mustajab meskipun satu waktu yang dikhususkan di sini adalah akhir waktu setelah shalat Ashar. Sehingga ia merupakan waktu yang telah diketahui secara pasti dari hari Jum’at; tidak maju dan tidak mundur. Adapun waktu shalat, ia mengikuti shalat itu sendiri; maju atau mundurnya. Sebab, dengan berkumpulnya kaum muslimin, shalat, kekhusyukan, dan munajat mereka kepada Allah memiliki dampak dan pengaruh yang sangat besar untuk dikabulkan. Karena, ketika kaum muslimin sedang berkumpul sangat diharapkan sekali doa terkabulkan.” [17] Selanjutnya Ibnul Qayyim berkesimpulan, “Dengan demikian, semua hadits yang disebutkan di atas sesuai dan berkaitan. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk senantiasa memanjatkan doa dan bermunajat kepada Allah pada dua waktu dan masa ini.” [18]
Hal ini juga diikuti oleh Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh DR. Sa’id bin Ali al Qahthan dalam Shalâtul Mukmin. Syaikh Ibnu Bazz berkata, “Hal itu menunjukkan bahwa sudah sepantasnya bagi orang muslim untuk memberikan perhatian terhadap hari Jum’at. Sebab, di dalamnya terdapat satu saat yang tidaklah seorang muslim berdoa memohon sesuatu bertepatan dengan saat tersebut melainkan Allah akan mengabulkannya, yaitu setelah shalat Ashar. Mungkin saat ini juga terjadi setelah duduknya imam di atas mimbar. Oleh karena itu, jika seseorang datang dan duduk setelah Ashar menunggu shalat Maghrib seraya berdoa, doanya akan dikabulkan. Demikian halnya jika setelah naiknya imam ke atas mimbar, seseorang berdoa dalam sujud dan duduknya maka sudah pasti doanya akan dikabulkan.” [19]
Jadi, mari tetap memuliakan dua waktu tersebut dengan banyak-banyak berdoa, karena doa kita pasti dikabulkan, entah kapan; diijabahi langsung, atau dihindarkan dari bahaya yang setara dengan doanya, atau sebagai penghapus dosa, atau menjadi simpanan di akhirat kelak. Wallahu A’lam bish Shawab.
[1] . Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ju’fi, Al-Jâmi’ush Shahîh Al-Mukhtashar, Tahqiq : Dr. Musthafa Dieb Al-Bugha, Cet. III, 1407 H/ 1987 M, Dar Ibni Katsir-Beirut, juz I, hal. 316,
[2] . Muslim bin Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’it Turats Al-Araby-Beirut, juz II, hal. 583.
[3] . Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul Bârî Syarh Shahihil Bukhârî, Cet. I, 1410 H/ 1989 M, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, juz II, hal. 529-535.
[4] . Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authâr Syarh Muntaqal Akhbâr, Darul Fikr, Beirut, juz III, hal. 297-299.
[5] . Fathul Bârî Syarh Shahihil Bukhârî, ibid, juz II, hal. 535.
[6] . Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Zâdul Mâ’ad fî Hadyi Khairil Ibâd, Tahqiq : Syu’aib Al-Arnauth dan Abdul Qadir Al-Arnauth, Cet. XIV, 1407 H/ 1986 M, Muassasah Ar-Risalah, Beirut , I/389.
[7] . Muslim bin Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’it Turats Al-Araby-Beirut, juz II, hal. 584.
[8] . Sulaiman bin Asy’ats Abu Dawud As-Sajastani Al-Azdi, Sunan Abî Dâwud, Tahqiq : Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Darul Fikr, juz I, hal. 342.
[9] . Muhammad bin Yazid Abu Abdillah Al-Qazwaini, Sunan Ibni Mâjah, Tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Darul Fikr, Beirut, juz I, hal. 360.
[10] . Sunan Abî Dâwud, ibid, juz I, hal. 341.
[11] . Muhammad bin Isa Abu Isa At-Tirmidzi As-Silmi, Al-Jâmi’ush Shahîh Sunan At-Tirmidzî, Tahqiq : Ahmad Muhammad Syakir, dll, Dar Ihya’it Turats Al-Arabi, Beirut, juz II, hal. 362.
[12] . Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib An-Nasa’I, Sunan An-Nasa’I bi Syarhis Suyuthi wa Hasyiyatis Sandi, Cet. V, 1420 H, Tahqiq : Maktab Tahqiqit Turats, Darul Ma’rifah-Beirut, juz III, hal. 110.
[13] . Zâdul Mâ’ad fî Hadyi Khairil Ibâd, ibid, juz I, hal. 390.
[14] . Idem, juz I, hal. 396.
[15] . Abu Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzî bi Syarhi Jâmi’it Tirmidzî, 1415 H/ 1995 M, Darul Fikr, Beirut, juz III, hal. 5.
[16] . Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An-Namiri Al-Andalusi, At-Tamhîd lima fil Muwaththa’ minal Ma’âni wal Asânîd, Tahqiq : Usamah bin Ibrahim, Cet. IV, 1431 H/ 2010 M, Al-Faruq Al-Haditsah, juz IV, hal. 57.
[17] . Zâdul Mâ’ad fî Hadyi Khairil Ibâd, ibid, juz I, hal. 394.
[18] . Idem, juz I, hal. 394.
[19] . Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Shalâtul Mu’min, Cet. II, 1424 H/ 2003 M, Muassasah Al-Jarisi-Riyadh, juz II, hlm. 758-759.