OaseImani.com

Karena Iman Butuh Siraman

  • Home
  • Artikel Islam
    • Akhlak
    • Aqidah
    • Bukuku
    • dakwah
    • Fikih
    • Fikih Ramadhan
    • Hadits
    • Khotbah
    • Kisah
    • Maqalah
    • Tafsir
    • Tarbiyah
    • Tarikh
    • Tarjamah
    • Tsaqofah
  • Artikel Pilihan
    • maharoh
    • Muslimah
    • Resensi Buku
  • Buku
  • Diaryku
  • Download
    • Mp3
    • Book
    • Video

May 18, 2016 by Ibnu Abdil Bari Leave a Comment

Tersebab Keshalihan Orang Tua

TERSEBAB KESHALIHAN ORANG TUA

Ali Shodiqin

 

Tidak ada modal berharga yang patut kita seriusi agar anak-anak kita tumbuh menjadi shalih selain berusaha untuk menjadi pribadi shalih terlebih dahulu. Surat al-Kahfi ayat 82 manarik untuk kita renungi.

Allah Ta’ala berfirman, “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar agar supaya mereka sampai pada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Rabbmu.”

Ayat di atas merupakan di antara fragmen kisah perjalanan Nabi Musa mendampingi seorang lelaki shalih dalam mencari ilmu. Banyak ulama menyebut lelaki shalih tersebut bernama Khidir. Alur ayat di atas adalah jawaban atas pertanyaan Nabi Musa atas perbuatan yang dilakukan lelaki shalih yang ia dampingi.

Disebutkan dalam al-Qur`an bahwa mereka berdua tiba di suatu negeri dan meminta penduduknya untuk menjamu mereka lantaran bekal yang mereka miliki telah habis. Namun, penduduk negeri itu enggan untuk menjamu. Akan tetapi tatkala keduanya melanjutkan perjalanannya di negeri tersebut dan menemukan dinding rumah yang hampir roboh. Tanpa berfikir panjang, lelaki shalih itu bergegas menegakkan dinding itu dan memperbaikinya.

Ibnu Katsir bertutur ketika mengomentari ayat tersebut, “ayat tersebut merupakan argumentasi bahwa anak keturunan seorang yang shalih akan dijaga (Allah). Ini juga mencakup barakah ibadahnya bagi mereka di dunia dan akhirat. (Dengan izin Allah) ia akan memberi syafaat kepada mereka, mengangkat mereka pada derajat yang tinggi di jannah, supaya lelaki shalih tadi bergembira dengan (kondisi) mereka” (Tafsir al-Qur`anil ‘Azhim, 5/186-187).

Hal menarik lain yang dapat kita petik dari ayat tersebut bahwa Allah akan menjaga anak keturunannya meski al-Quran tidak secara tegas menyebutkan bahwa kedua anak tersebut juga termasuk anak yang shalih.

Atas dasar inilah kiranya Abdullah bin Abbas mengomentari ayat tersebut dengan berkata, “Kedua anak yatim itu dijaga (Allah) disebabkan keshalihan ayah mereka. Meski tidak  disebutkan bahwa keduanya juga termasuk orang yang shalih.”

BUKAN HANYA UNTUK DIRI SENDIRI

Patut kembali kita sadari bahwa keshalihan yang berusaha kita capai sejatinya bukan hanya untuk diri kita sendiri. Berbagai kebajikan yang kita lakukan seperti: mendirikan shalat fardhu yang kita usahakan untuk selalu dikerjakan berjamaah di masjid, qiyamullail dengan penuh khusyuk yang diiringi dengan lantunan doa juga aliran air mata, membaca al-Qur`an, shiyam sunnah dan sebagainya, pada hakikatnya juga untuk kebaikan anak keturunan kita kelak.

Untuk itu, menghilangkan karakter-karakter yang buruk, akhlak yang tercela, dosa, bahkan kemaksiatan yang mungkin tidak kita sadari, merupakan suatu keniscayaan ketika mendambakan anak yang shalih. Boleh jadi, terhalang atau belum tercapainya keshalihan anak kita, disebabkan dosa dan kemaksiatan yang terus-menerus kita lakukan. Atau dikarenakan harta tidak halal yang kita peroleh. Atau juga lantaran kedurhakaan kita kepada kedua orang tua kita.

Keshalihan anak bukanlah suatu yang lahir hanya disebabkan metode pengajaran yang ia dapatkan. Bukan pula pilihan sekolah atau tempat pengasuhan yang terbaik. Tidak juga hanya fokus pada kesungguhan mendidik dan pengorbanan finansial. Akan tetapi, penentu utama di balik keshalihan mereka adalah disebabkan perantaraan ibadah-ibadah agung yang kita kerjakan. Rasa takut dan muraqabah kita kepada Allah, melaksanakan shalat fardhu, amal-amal shalih yang tersumbunyi dari pandangan orang lain, berbakti pada orang tua, qiyamullail dan ibadah lainnya.

                Bukti bahwa keshalihan orang tua berpengaruh pada anak-anaknya merupakan suatu yang dikenal sejak dahulu. Imam al-Ghazali memuat sebuah kisah dalam Ihya` Ulumuddin (3/251) berkaitan tentang ini. Beliau menulis bahwa saat menderita sakit menjelang ajal Imam asy-Syafi’i, ia mewasiatkan pada seseorang untuk memandikan jenazahnya. Setelah beliau meninggal, orang tersebut pun dipanggil. Saat memenuhi panggilan itu, orang itu meminta wasiat imam asy-Syafi’i. Dalam wasiat tersebut ternyata beliau menyebutkan mempunyai hutang 70 ribu dirham pada seseorang. Orang itu pun bersedia melunasi hutang itu seraya berkata, “Beginilah aku ‘memandikan’ jenazahnya.”

                Beberapa tahun berselang, seseorang ingin mengunjungi orang yang memandikan imam asy-Syafi’i tersebut. Setelah menemukan rumahnya, ia pun mendapati orang tersebut dalam kebaikan; memiliki keturunan yang banyak, diberi kemuliaan dan juga keluasan rejeki.

                Mengakhiri tulisan ini, alangkah baiknya kita merenungi perkataan Sa’id bin Musayyib. Ia pernah menuturkan “Sungguh! Tatkala saya hendak melaksanakan shalat (sunnah) lalu saya teringat pada anak-anakku, maka saya pun memanjangkan shalatku.” Wallahu A’lam. []

 

 

Diambil dari majalah Hujjah edisi 17, Rajab.

 

Akhukum fillah, Ibnu Abdil Bari.

Filed Under: Maqalah, Tarbiyah

May 12, 2016 by Ibnu Abdil Bari Leave a Comment

Hukum Seorang Suami Menyusu Istri

Hukum Seorang Suami Menyusu Istri

Kajian Fiqh Khusus Laki-laki Dewasa

oleh: Ust. Tengku Azhar, Lc, S.Sos.I

 

 

Pertanyaan :

Ustadz ana ingin tanya apa hukum seorang suami menyusu dengan istrinya (istri menyusui suaminya), apakah ia akan terkena hukum radha’ah, jazakumullahu khoiron atas jawabanya.

 

Jawaban :

 

Muqaddimah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw..

Sering orang-orang, terlebih kaum Muslimin dan terlebih khusus lagi bagi mereka yang telah berumah tangga, kebingungan dan bertanya-tanya bagaimana sich hukumnya jika seorang suami ikut-ikutan menyusu bersama-sama anaknya kepada sang istri? Atau seorang istri menyusui suaminya? Apakah boleh ataukah tidak? Sebab ada kaidah bahwa susu wanita itu bisa menjadikan seseorang itu mahram baginya, sehingga ia boleh berdua-dua dan tidak dihukum dosa. Untuk itu kami sengaja menulis makalah ini sebagai gambaran tentang hukum mengenai masalah tersebut.

 

Dalil-Dalil Bahwa Orang Yang Menyusu Itu Menjadi Mahram Bagi Wanita Yang Menyusui

  1. Firman Allah

وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ

“Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan”(QS. An-Nisaa`: 23)

Maka apabila ada seorang anak menyusu kepada seorang wanita sedang umurnya masih di bawah 2 (dua) tahun, maka jadilah wanita tersebut ibu dari sang anak atau yang disebut dengan ibu susuan. Sehingga ia boleh berkhalwat (berduaan) dengan sang wanita itu dan diharamkan atas mereka berdua untuk menikah. Maka anak-anak dari anak yang menyusu itu adalah cucu dari wanita tersebut, dan ibu dari wanita itu menjadi nenek bagi anak-anak tersebut. Saudara laki-laki wanita tersebut menjadi pamannya dan saudara perempuannya menjadi bibi bagi mereka. (An-Nawawi, vol. 19 hal. 314).

 

  1. Hadits Nabi

Dari `Aisyah ra. Nabi bersabda:

يُحْرَمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يُحْرَمُ مِنَ الْوِلَادَةِ (حديث صحيح اخرجه مالك والشافعي)

“Diharamkan dari persusuan sebagaimana diharamkannya dari -sebab- kelahiran.” (Hadits shahih diriwayatkan Malik dan Syafi`i).

Dan dalam riwayat bahwa Nabi saw ditawari menikahi anak perempuan dari shahabat Hamzah bin Abdul Muthalib, maka Baliau saw bersabda, “Sesungguhnya dia (wanita) itu anak perempuan dari saudara sesususanku (Hamzah), dan sesungguhnya telah diharamkan dari sebab persusuan sebagaimana diharamkannya dari sebab nasab”. (HR. Muslim).(An-Nawawi, vol. 19 hal. 314).

 

 

Tidak Dikatakan Menyusui Apabila Umurnya Di Atas 2 (Dua) Tahun

Imam Nawawi di dalam kitabnya “Al-Majmu`” berkata, “Tidak menjadi haram lantaran menyusui bila umurnya di atas dua tahun”.Pendapat beliau didasarkan pada firman Allah:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. (QS. Al-Baqarah: 233).

Dalam atsar dari Ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi`i dalam kitab Al-Umm, dari Malik, dari Yahya bin Sa`id,“Bahwasanya Abu Musa berkata; ‘Aku tidak mengatakan tentang menyusunya seorang yang telah besar kecuali haram hukumnya’. Maka Ibnu Mas`ud berkata, ‘Telitilah dulu apa yang telah engkau fatwakan kepada orang ini’. Abu Musa berkata lagi, ‘Lalu apa yang anda katakan?’. Jawab Ibnu Mas`ud, ‘Tidak dikatakan menyusui kecuali bila di bawah dua tahun’. Lalu Abu Musa berkata, ‘Tidak dikatakan menyusui kecuali bila di bawah dua tahun.’ Lalu Abu Musa berkata, ‘Janganlah kalian bertanya kepadaku selama tinta ini (Ibnu Mas`ud) ada diantara kalian.’” )HR. Asy-Syafi`i di dalam Al-Umm 5/49, Malik 2/117, Al-Baihaqi 7/462).

 

Dari Ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Said bin Manshur dari Hasyim dari Mughiroh dari Ibrahim dari Abdullah, berkata:“Tidak dikatakan menyusui kecuali pada umur kurang dari dua tahun. ”Ibnu `Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak dikatakan menyusui jika telah genap (umurnya) dua tahun, maka jika telah lebih dari dua tahun tidaklah ada hukum.” (Al-Baihaqi 7/462).

Dalam hadits `Aisyah Radiyallahu Anha, ia berkata, “RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidak menjadikan haram satu atau dua sedotan.’” (HR. Muslim (1158)).

 

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah siapa saudara-saudara kalian (istri Nabi), karena persusuan itu karena lapar.” (Muttafaq `Alaih (1159).

Sesungguhnya persususan yang menjadikan terjadinya keharaman (nikah) dan halalnya berkhalwat adalah persusuan yang bisa menjadikan kenyang dari kelaparan bagi seorang anak kecil. Jadi tidaklah dikatakan persusuan yang mengharamkan dari pernikahan kecuali jika hal itu bisa mengenyangkan dari rasa lapar (dan inilah yang masyhur) sehingga dengan begitu akan bisa menumbuhkan daging. Dan dalam hadits Ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu dikatakan, “Tidaklah dikatakan persusuan kecuali jika (bisa) menumbuhkan tulang dan daging.” (Ibanatul Ahkam, 3/440).

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang lelaki yang membersihkan matanya dari debu dengan air susu istrinya, apakah istrinya menjadi haram jika air susu itu masuk ke dalam perutnya? Dan dalam kesempatan lain beliau ditanya tentang seorang suami yang suka bercumbu dengan istrinya sehinnga ia biasa menghisap payudara istrinya, apakah ia (istrinya) menjadi haram atasnya?

Maka untuk yang pertama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjawab bahwa hal itu boleh, dan istrinya tidak menjadi haram atasnya, hal itu dilihat dari dua segi. Pertama, karena suami sudah dewasa, dan jika orang yang sudah dewasa apabila ia menghisap payudara istrinya atau wanita lain maka tidaklah berlaku hukum keharaman karena sebab persusuan, hal ini sebagaimana pendapat imam yang empat dan jumhur `ulama. Dan juga hal itu dikuatkan oleh hadits `Aisyah dalam permasalahan Salim yang menyusu kepada seorang wanita. Kedua, sampainya air susu di mata tidaklah berlaku keharaman karena sebab persusuan.

 

Dan untuk soal yang kedua, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjawab,“Menyusunya (suami kepada istrinya) tidak menjadikan istrinya haram atasnya karena sebab persusuan. (Ibnu Taimiyyah, vol. 3 hal. 162).

Dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwa dari syarat berlakunya hukum keharaman (untuk nikah) lantaran sebab persusuan adalah pada masa “haulani”, yakni kurang dari dua tahun. (Ibnu Qudamah, vol. 1 hal. 319). Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu, semisal shahabat `Umar, `Ali, Ibnu `Umar, Ibnu `Abbas, Ibnu Mas`ud, dan Abu Hurairah, serta sederetan dari istri-istri Nabi saw kecuali `Aisyah ra. Adapun `ulama yang sependapat (dengan `ulama-`ulama dari kalangan shahabat) dari thabi`in seperti Asy-Sya`bi, Al-Auza`i, Asy-Syafi`i, Ishaq, Abu Yusuf, dan lain-lain. Dalam riwayat Malik dikatakan, “Hukumnya sama meskipun lebih satu atau dua bulan dari batasan waktu ‘haulani’ (dua tahun). Ibnul qashim meriwayatkan dari Malik bahwa ia berkata, “Persusuan itu (waktunya) pada dua tahun atau dua bulan selanjutnya.” (Al-Qurthubi, vol. 3 hal. 162).

 

Adapun `Aisyah dan `ulama-`ulama lain seperti Atha`, Al-Laist, Dawud Azh-Zhahiri, dan lain-lain, mengatakan bahwa menyusunya orang yang sudah besar itu menjadi penyebab keharaman (Ibnu Qudamah, vol. 11 hal. 318). Artinya apabila ada seorang wanita bukan mahram kemudian menyusui seorang laki-laki yang sudah dewasa maka ia akan menjadi mahram lantaran persusuan itu. Pendapat ini berdasar ayat 33 dari surat An-Nisaa` dan juga sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Sahlah binti Suhail, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah menganggap Salim sebagai anak, ia tinggal bersamaku dan Abu Hudzaifah (suaminya) dalam satu rumah. Ia (Salim) telah melihatku dengan pakaian kerja (bukan jilbab) ……apa pendapatmu? Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:‘Susuilah dia’. (Dalam riwayat lain dikatakan, ‘Susuilah dia agar menjadi mahrammu’). Maka ia pun menyusuinya dengan lima sususan, sehingga jadilah ia sebagai anak susuannya”. Maka dari hadits tersebut `Aisyah memerintahkan anak-anak wanita dari saudara-saudara perempuan dan anak-anak wanita dari saudara-saudara laki-lakinya untuk menyusui siapa saja yang ia (`Aisyah) ingin, (diperbolehkan) untuk melihatnya dengan lima susuan meskipun orang itu sudah besar. Namun hal itu diingkari oleh Ummu Salamah dan juga sederet istri-istri Nabi saw…… lalu mereka (istri-istri Nabi) berkata kepada `Aisyah, “Demi Allah kami tidak tahu, mungkin hal itu dikhususkan oleh Rasulullah bagi Salim, tidak untuk yang lain.” (HR. Nasa`i dan Abu Dawud).

 

Namun dalam hal ini ada pendapat, yang hal ini dikuatkan atau dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu, ”Persusuan itu yang mu`tabar (diakui) hanya bagi anak kecil, kecuali jika ada udzur yang benar-benar syar`i, seperti menyusunya orang yang sudah besar yang tidak mungkin lagi untuk menghindar dari ikhtilath dengan wanita itu, atau wanita sangat sulit berhijab darinya”. Dalam kasus di atas, bahwa Salim adalah bekas budak dari suami wanita itu (Sahlah binti Suhail).

Pendapat inilah yang mungkin bisa menggabungkan dari dua pendapat di atas, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa menyusui orang yang sudah besar itu tidak ada hukum dan pendapat yang mengatakan bahwa menyusui orang yang sudah besar itu sebagaimana menyusui anak kecil. (Nailul Author).

 

Berapa Kadar Penyusuan Yang Menimbulkan Hukum

Dalam hal ini terdapat banyak perselisihan, yaitu:

Pertama, bahwa yang menjadikan keharaman (untuk menikah) dari sebab persusuan yaitu apabila kadarnya tiga atau lebih. Pendapat ini diwakili oleh Dawud Azh-Zhahiri, Ibnu Mundzir, Abu Ats-Tsauri dan segolongan `ulama-`ulama lainnya, mereka berpendapat dengan dasar hadits Nabi saw:

لَاتُحْرَمُ الْمِصَّةُ وَالْمِصَّتَانِ (أخرجه مسلم)

“Tidaklah mengharamkan satu atau dua sedotan.” (HR. Muslim).

Kedua, baik sedikit atau banyak tetap menjadi sebab pengharaman, mereka yang berpendapat dengan pendapat ini adalah shahabat `Ali, Ibnu `Abbas, Ibnu `Umar, Hasan al-Basri, Az-Zuhri, Qatadah, Ats-Tsauri, begitu juga yang dipegang oleh Abu Hanifah dan Malik. Mereka berhujjah dengan dasar bahwa Allah mengkaitkan pengharaman itu dengan nama ‘Rodo`’ yaitu persusuan. Maka tatkala ada nama berarti ada hukum.

 

Ketiga, tidak menjadi sebab keharaman kecuali 5 (lima) sedotan. Pendapat ini dibawa oleh Ibnu Mas`ud, Ibnu Zubair, Atha`, Thawus, Syafi`i, Ahmad, Ibnu Hazm dan segolongan `ulama yang lain. Mereka mendasarkan pendapatnya dengan hadits `Aisyah tentang kisah Salim. (Abdus Salam, vol. 3 hal. 440).

Dan dalam kitab “Al-Mughni” Ibnu Qudamah (vol. 11 hal. 313) menyebutkan bahwa yang masyhur dikalangan para ulama` adalah adalah 5 (lima) sedotan.

Kesimpulan

  • Sedotan seorang bayi pada payudara seorang wanita satu atau dua kali saja tidak menjadikan keharaman baginya, artinya anak dan wanita itu jika menikah tetap sah.
  • Jika usia anak itu di atas 2 (dua) tahun maka tidak berlaku hukum persusuan (rodho`ah)tersebut.
  • Kadar persusuan yang menjadi sebab keharaman dari pernikahan adalah 5 (lima) hisapan atau sedotan.
  • Bolehnya seorang suami menyusu dengan istrinya dan istrinya menyusui suaminya, dan itu tidak menjadi sebab keharaman atas mereka.

 

Wallahu A`lamu bish Shawab.

 

Penutup

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan tulisan ini. Saran dan ishlah sangat diharapkan oleh penulis.

Reference: 

  1. Al-Quran Al-Kariim.
  2. Al-Fatawa al-Kubra, Ibnu Taimiyah
  3. Ibnatul Ahkam, Abi Abdillah Abdus Sallam
  4. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
  5. Nailul Authar, Imam Asy-Syaukani
  6. Al-Jamie` li Ahkamil Quran, Imam Qurthubi
  7. Al-Majmu` Syarh Al-Muhadzab, Imam An-Nawawi

 

 

 

Semoga bermanfaat.

 

Filed Under: Fikih Tagged With: hukum menyusu istri, menyusu istri

October 1, 2015 by Ibnu Abdil Bari Leave a Comment

Kisah Dua Keping Biskuit

Kisah Dua Keping Biskuit

“Alam yabqa lahu syai’un?.” Suara ghaib.

 

Beramallah, karena kebajikan sekecil apapun kelak akan membahagiakan kita tatkala kita melihat balasannya, dan jauhilah dosa, karena sekecil apapun dosa kelak akan membuat kita gelisah bahkan berpeluhkan keringat tatkala kita melihatnya tertulis rapi di catatan amal kita kelak. Semuanya akan tercatat dengan sempurna; besar-kecilnya, tampak-tersembunyinya, bersih-kotornya, suci-nodanya. Maka, mari mengeja setiap kebaikan, seberapapun kecilnya, karena kita tidak tahu kebaikan mana yang akan diterima oleh-Nya, dan memperberat timbangan kebajikan kita.

 

Mari kita menyeksamai kisah Ahmad bin Miskin yang disebutkan oleh Ar-Rafi’i dalam Wahyul Qalam (2/153-160):

Ahmad bin Miskin Al-Faqih Al-Baghdadi berkata, “Pada tahun 219 H, aku jatuh miskin. Hartaku habis dan keluargaku mengalami kesulitan ekonomi yang sangat parah. Kebutuhan, kesulitan dan kemiskinan menyatu padaku.

 

Pada suatu hari, cuaca sangat panas. Seolah-olah matahari terbit dari sela-sela pasir, bukan dari sela-sela awan. Matahari melewati rumahku di Baghdad seperti melewati daun kering yang menempel di batang pohon yang hijau. Kami tidak punya sesuatu yang bisa dimakan. Karena di rumah hanya ada tanah, batu dan kayunya. Aku mempunyai seorang istri dan anak yang masih kecil. Malam itu kami lewati dengan perut lapar. Rasa lapar sangat menggerogoti perut seperti tanah yang tengah longsor.

 

Ketika itu kami membayangkan seandainya kami menjadi tikus sehingga kami bisa mengerat batang kayu. Dan rasa lapar si kecil menambah beban ibunya di samping menahan rasa laparnya sendiri. Saat itu, aku bersama mereka berdua seperti orang yang lapar dengan tiga perut kosong.

 

Aku sudah membulatka niat untuk menjual rumah itu dan pindah dari sana.

Kemudian aku keluar untuk menunaikan shalat Shubuh. Seusai shalat, semua orang memanjatkan doa kepada Allah, dan lidahku pun mengucapkan doa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan dalam agamaku. Aku memohon kepada-Mu manfaat yang dapat memperbaiki keadaanku dengan menjalankan ketaatan kepada-Mu. Aku memohon kepada-Mu akan berkahnya ridha menerima keputusan-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu kekuatan untuk menjalankan ketaatan dan keridhaan, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”

 

Kemudian aku duduk sambil merenungi nasibku. Aku duduk cukup lama di dalam masjid. Aku merasa seolah-olah aku bukan lagi bagian dari zaman itu sehingga hukum-hukumnya tidak berlaku padaku.

 

Setelah matahari naik ke atas, dan berwarna putih, datanglah kehidupan yang sebenarnya. Aku keluar sambil mencari jalan untuk menjual rumahku. Tidak lama berjalan aku bertemu dengan Abu Nashar Ash-Shayyad yang pernah kukenal dahulu.

Aku berkata, “Hai Abu Nashar, aku harus menjual rumahku. Aku mengalami kesulitan ekonomi dan terhimpit kebutuhan. Pinjamilah aku sesuatu agar bisa bertahan hidup hari ini, sampai aku berhasil menjual rumahku dan menulasi hutangku kepadamu.”

 

Dia menjawab, ‘Tuanku, bawalah sapu tangan ini ke keluargamu dan aku akan menyusul ke rumahmu.” Lalu Abu Nashar menyerahkan sapu tangan yang berisi dua keping biskuit yang di tengahnya terdapat selai.

 

Ahmad bin Miskin berkata, “Aku ambil biskuit itu dan bergegas pulang ke rumah. Tetapi di tengah jalan aku bertemu dengan seorang wanita bersama seorang anak kecil.”

 

Wanita itu melihat sapu tangan yang kubawa dan berkata, “Tuanku, ini adalah anak yatim yang sedang lapar dan dia tidak tahan menahan lapar. Jadi, berilah dia sedikit makanan. Semoga Allah merahmatimu.”

 

Sementara si kecil memandangku dengan pemandangan yang tidak bisa kulupakan. Di sana aku merasakan kekhusyukan seribu orang yang rajin beribadah kepada Allah dan meninggalkan kemewahan dunia. Bahkan, menurutku seribu orang ahli ibadah belum tentu dapat melihat manusia dengan satu pandangan seperti yang ada di mata bocah yatim yang memohon belas kasihan itu. Kepedihan hati yang sangat dalam benar-benar membuat wajah anak-anak berubah seperti wajah orang-orang suci di mata para ayah dan ibu yang melihatnya. Karena anak-anak kecil tidak berdaya menghadapi kejahatan manusia dan hanya berharap kepada Allah dan hati nurani manusia. Sehingga wajahnya nampak seperti menjerit, ‘Ya Tuhan, ya Tuhan!’

 

Ahmad bin Miskin kembali melanjutkan, “Pada waktu itu, aku melihat seolah-olah surga turun ke bumi dan menawarkan dirinya kepada orang yang mau mengenyangkan anak kecil dan ibunya ini, sementara orang-orang tidak mampu melihatnya. Seolah-olah mereka melewati surga itu seperti keledai melewati istana Raja. Kalau keledai itu ditanya, ia pasti lebih memilih kandang yang ditempatinya daripada istana itu.

 

Waktu itu aku juga teringat istri dan anakku yang menahan lapar sejak kemarin. Akan tetapi aku lebih mengutamakan anak yatim dan ibunya itu daripada istri dan anakku sendiri.

 

Aku serahkan apa yang ada di tanganku kepada wanita itu dan berkata, ‘Ambillah makanan ini dan berikanlah kepada anakmu! Demi Allah, aku tidak punya apa-apa lagi. Dan sesungguhnya di rumahku ada orang yang lebih membutuhkan makanan ini. Seandainya tidak ada kebutuhan yang sangat mendesak bagiku ini, pasti aku akan melakukan sesuatu untuk membantumu.’ Wanita itu menitikkan airmata sementara si kecil tampak berbinar. Namun apa yang sedang kualami telah menghantam hatiku sehingga airmata dan senyuman itu tidak ada artinya bagiku.

 

Aku berjalan dengan hati yang hancur dan sedih. Ketika itu matahari telah membentang luas di langit. Yakni waktu Dhuha yang tertinggi. Aku menepi dan duduk bersandar ke dinding sambil berpikir tentang penjualan rumah dan siapa yang akan membelinya.

 

Tiba-tiba Abu Nashar Ash-Shayyad mengampiriku seolah-olah dia terbang karena kegirangan dan berkata, “Hai Abu Muhammad, mengapa kamu duduk di sini sedangkan di rumahmu ada kebaikan dan kekayaan?”

 

“Subhanallah! Apa yang terjadi?” kataku.

 

Abu Nashar menjawab, “Ketika di tengah jalan menuju rumahmu sambil membawa sedikit bahan makanan untuk keluargamu dan sedikit uang untuk kupinjamkan kepadamu, tiba-tiba ada orang yang bertanya tentang ayahmu atau salah satu keluarganya sambil membawa barang-barang yang berat. Aku pun berkata, “Aku akan menunjukkanmu.”  Dan aku pun berjalan bersamanya sambil menanyakan kabarnya dan apa yang terjadi antara dia dan ayahmu. Dia mengatakan bahwa dia adalah seorang saudagar dari Bashrah. Ayahmu menitipkan harta kepadanya sejak 30 tahun silam. Lalu dia bangkrut dan hartanya habis ludes.

 

Kemudian dia meninggalkan Bashrah menuju Khurasan, lalu kehidupannya membaik berkat perdagangan di sana. Dia mendapat kemudahan setelah ditimpa ujian yang berat, dan mengalami kejayaan setelah sebelumnya mendapat kehinaan. Ia pun mendapatkan kekayaan yang berlimpah. Lalu dia kembali ke Bashrah untuk melunasi hutangnya. Dia datang dengan membawa harta ayahmu itu bersama keuntungannya selama 30 tahun. Dan di samping harta itu, dia juga membawa beragam cinderamata dan hadiah.”

 

Ahmad bin Miskin melanjutkan, “Aku pulang ke rumahku dan menjumpai harta yang melimpah dan keadaan yang indah. Lalu aku berkata, ‘Subhânallah! Seandainya orang itu tidak bertemu dengan Abu Nashar di jalan ini, di hari ini, di jam ini, tentu dia tidak akan sampai kepadaku. Karena selama hidupnya ayahku tidak banyak dikenal orang. Jadi, mana mungkin ada orang yang mengenalnya setelah dia meninggal 20 tahun silam?

 

Dan aku bersumpah bahwa aku benar-benar akan menunjukkan rasa syukurku kepada Allah atas nikmat ini. Maka aku pun tidak punya cita-cita selain mencari wanita dan anaknya yang membutuhkan bantuan itu, kemudian aku akan mencukupi kebutuhan mereka dan memberi mereka rizki secara rutin. Kemudian aku menggunakan harta itu sebagai modal dagang dan membelanjakannya dengan baik. Harta itu terus berkembang dan tidak pernah berkurang.

 

Aku merasa seolah-olah aku telah bangga dengan diriku sendiri. Aku merasa senang bahwa aku telah memenuhi buku catatan amalku yang dibawa oleh Malaikat dengan kebajikan-kebajikanku. Dan aku berharap bahwa namaku telah dicatat di sisi Allah dalam daftar nama orang-orang shalih.

 

Pada suatu malam, aku tidur dan bermimpi melihat diriku ada di hari kiamat. Pada waktu itu, orang-orang berhamburan dan alam semesta mengalami huru hara yang luar biasa terhadap manusia yang lemah. Masing-masing orang akan ditanya tentang apa yang dilakukannya di dunia ini.

 

Dan aku mendengar suara orang yang berteriak, “Wahai anak Adam, hewan-hewan ternak telah bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur kepada-Nya karena mereka tidak Dia jadikan sebagai anak cucu Adam.”

 

Aku melihat manusia dengan tubuh yang diluaskan sembari memikul dosa-dosa mereka di atas punggung mereka yang diwujudkan dalam bentuk makhluk yang berfisik. Bahkan seolah-olah orang yang fasik terlihat memikul sebuah kota yang penuh dengan dosa-dosa yang menghinakan.

 

Dan tiba-tiba ada yang mengatakan, “Timbangan telah dipasang. Lalu aku didatangkan untuk ditimbang amal-amalku. Keburukanku diletakkan di satu piring dan kebajikanku diletakkan di piring yang lainnya. Ternyata catatan kebajikanku begitu ringan dan catatan keburukanku lebih berat. Mereka seperti menimbang gunung batu yang besar berhadapan dengan segelintir kapas.

 

Kemudian mereka membuang kebajikan yang telah kuperbuat satu persatu. Ternyata di balik tiap-tiap kebajikan itu terselip kesenangan hawa nafsu yang tersembunyi, seperti riya’, tertipu, cinta pujian dan lain-lain. Tidak ada satupun kebajikanku yang selamat dari hal itu. Aku kehilangan hujahku. Karena hujah yang berlaku ialah apa yang ditunjukkan oleh timbangan itu. Dan timbangan itu menunjukkan bahwa timbangan amalku kosong dari kebajikan.

 

Lalu aku mendengar suara, “Alam yabqa lahu syai’un…, tidak adakah kebajikannya yang tersisa?”

 

Ada yang menjawab, “Baqiya hâdzâ…, tinggal ini.”

 

Aku melihat-lihat untuk mengetahui apa yang tersisa itu. Ternyata dua keping biskuit yang kuberikan kepada wanita dan anaknya itu. Aku pun yakin bahwa aku pasti celaka. Padahal aku pernah bersedekah 100 dinar (1 dinar setara 4.25 gram emas) sekaligus. Tetapi sedekah sebanyak itu tidak bermanfaat apa-apa bagiku.

 

Lalu dua keping biskut itu diletakkan, dan aku mendengar seseorang berkata, “Setengah dari pahala biskuit telah terbang di timbangan Abu Nashar.”

 

Aku benar-benar lunglai. Bahkan aku merasa jika tubuhku dipotong menjadi dua pasti akan lebih mudah dan lebih ringan bagiku.

 

Sementara aku memandangi timbangan, tiba-tiba aku melihat piring kebajikan sedikit unggul.

 

Dan aku mendengar suara, ‘Alam yabqa lahu syai’un…, tidak adakah kebajikannya yang tersisa untuknya?’

 

Lalu ada yang menjawab, ‘Baqiya hâdzâ…, tinggal ini.’

 

Aku melihat apa yang tersisa. Ternyata laparnya istri pada hari itu. Ternyata ia ditaruh di dalam timbangan, dan ternyata ia membuat piring kebajikanku turun dan piring yang lain naik hingga keduanya sama rata. Timbangan itu tetap seperti itu. Aku pun berada di antara celaka dan selamat.

 

Tiba-tiba aku mendengar suara, ‘Alam yabqa lahu syai’un…, tidak adakah kebajikannya yang tersisa untuknya?’

 

Lalu ada yang menjawab, ‘Baqiya hâdzâ…, tinggal ini.’

 

Aku melihat apa yang tersisa. Ternyata airmata wanita miskin yang menangis setelah menerima biskuit itu, ketika aku lebih mengutamakan dirinya dan anaknya dibanding keluargaku sendiri. Dan deraian airmatanya pun diletakkan di dalam timbangan. Airmata itu tiba-tiba memancar seperti ombak lautan, lalu membesar dan membesar. Sementara piring kebajikanku menjadi unggul dan terus unggul, hingga aku mendengar suara yang mengatakan, ‘Qad najâ…, dia telah selamat.’”  Aku pun berteriak dengan keras hingga aku terbangun dari tidurku.

Kisah ini selesai sampai di sini dengan peringkasan.

 

Sumber: balada cinta penemu kalung permata

 

Akhukum fillah, ibnu abdil bari, pelayan hikmah dan kisah salaf.

 

 

Filed Under: Kisah, OaseImani Tagged With: Balada Cinta, dua keping biskuit

  • « Previous Page
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 5
  • …
  • 66
  • Next Page »

Tulisan Terakhir

  • Zina adalah HUTANG!
  • Menulislah!
  • Qomusika
  • Sinopsis buku “Air Minum dari Langit”
  • Jasa Pengetikan Bahasa Arab – Jasa Ketik Arab Online

Komentar Terakhir

  • Kekalutan, Penderitaan, Keadilan, dan Pembalasan – Adam's Blog on Hakekat Kejujuran
  • Jangan Sampai Terlewat! Ini Waktu Berdoa Paling Mustajab Di Hari Jumat – Infohaji.co.id on Doa Mustajab pada Hari Jum’at, Kapan?
  • Zaky on Teruntuk Ukhti yang Tengah Menanti
  • Yuni on Mendidik Karakter Dengan Karakter | Catatan Parenting Ida S. Widayanti
  • Diyahla diyah on Adzan Tengah Malam

Pengunjung

Copyright © 2019 · Generate Pro Theme on Genesis Framework · WordPress · Log in