Nama Buku: Tarbiyah Jihadiyah (1-6)
Penerbit: Jazeera
Karangan: Asy Syaikh Dr. Abdullah Azzam
Harga:
130.000 115.000
Pemesanan: 0857 2745 2727 [Read more…]
Karena Iman Butuh Siraman
Nama Buku: Tarbiyah Jihadiyah (1-6)
Penerbit: Jazeera
Karangan: Asy Syaikh Dr. Abdullah Azzam
Pemesanan: 0857 2745 2727 [Read more…]
Nama Buku: Tarbiyah Jihadiyah (1-6)
Penerbit: Jazeera
Karangan: Asy Syaikh Dr. Abdullah Azzam
Pemesanan: 0857 2745 2727
SINOPSIS
Buku Tarbiyah Jihadiyah yang di hadapan Anda ini adalah perasaan dari pengalaman panjang Penulis yang malang melintang di dunia jihad. Berisi inspirasi, spirit, pembekalan sekaligus pemahaman utuh tentang Jihad fi Sabilillah.
Misalnya, bagaimana menyikapi kelemahan mujahidin, menjaga persatuan, motivasi untuk tetap bertahan dalam ibadah paling mulia meski dalam tekanan dan serba keterbatasan. Dan, senarai refleksi Penulis tentang Jihad dari A hingga Z.
Tentu, kapasitas keilmuan Penulis sebagai Doktor Syari’ah dengan predikat Cumlaude menjadikan refleksi tersebut mengakar kuat. Membacanya, anda seperti duduk di tengah gunung-gunung batu Afghanistan dengan dentuman bom sebagai simponi kehidupan sehari-hari. Keakraban bertutur sang Penulis menjadikan buku ini tak berlebihan bila dinobatkan sebagai “La Tahzan”-nya Jihad.
Pada seri pertama ini, Penulis banyak mengulas tentang adab kepada mujahidin, bagaimana bertoleransi terhadap kelemahan dan kekurangan mereka, posisi Palestina dalam Jihad Afghan, keikhlasan mengorbankan diri dalam Jihad fi Sabilillah dan bersabar menghadapi beratnya ujian , serta pesan-pesan lain yang menggetarkan jiwa.
Dua hal besar yang dilakukan oleh DR Abdullah Azzam dalam Jihad Afghan. Pertama, membuat perlawanan lokal rakyat Afghan melawan penjajah Soviet menjadi PR besar umat Islam sedunia. Kedua, menyadarkan umat Islam akan pentingnya tarbiyah yang panjang (thulul ihtidhan) untuk menyongsong Jihad Fi Sabilillah. ( Abu Rusydan, alumnus asal Indonesia di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan )
Setelah peristiwa 911, Amerika percaya bahwa Bin Ladin telah mengubah dunia dengan satu kali pukulan. Tapi sebenarnya, Abdullah Azzam-lah bertahun-tahun sebelumnya, yang membangun landasan kerja bagi perang yang terjadi saat ini di Afghanistan dan Timur Tengah. ( Chris Suellentrop, Slate Magazine )
Keistimewaan Cetakan terbaru 2013 buku Tarbiyah JIhadiyah oleh Penerbit Jazera.
1. Kelengkapan seluruh silsilah Tarbiyah Jihadiyah jilid 1 sd 16 secara utuh ( Dalam 3 buku )
2. Keutuhan terjemahan dari naskah aslinya
3. Diperkaya dengan matan (lafal) arab hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beserta takhrijnya.
4. Disertai gambar dan ilustrasi.Berat buku : 1,2 Kg, 800-an Halaman . Pemesanan ke Firmansyah atau sms ke 0857 2745 2727. Harga 130rb, DISKON jadi 115rb, belum termasuk Ongkos Kirim.
sinopsis diambil dari pirmanku.wordpress.com
Ya’juj Ma’juj & Dzulqornain
Written by : Budi Yahya
Munculnya Ya’juj dan Majuj tanda dekatnya kiamat
Dari Zaenab binti jahsi bahwa Rasululloh datang kepadanya dalam keadaan kaget dan bersabda, “Laa ilaaha illallah, celakalah orang Arab karena kejahatan yang sudah dekat ! Tembok yajuj dan Majuj sudah terbuka sebesar ini.” Dan beliau membuat lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya. Zaenab bertanya , ‘Ya Rasululloh, apakah kita akan binasa padahal ada orang2 shaleh diantara kita ?’ Beliau menjawab, “Ya, jika kekejian telah merajalela!”
(HR Bukhari, bab Fitnah subbab Yajuj & Majuj, Fath al bari XIII h 106)
Siapakah mereka ?
Al Hafizh Ibnu Hajar lebih memilih pendapat yang mengatakan bahwa mereka adalah dua kabilah dari keturunan Yafits bin Nuh, yang keduanya adalah keturunan dari Adam dan Hawa.
Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Abu Said al Khudriy bahwa Nabi saw bersabda,
”’Wahai Adam.’ Adam berkata,”Labbaik wa sa’daik dan kebaikan ada pada-Mu.’ Allah berfirman,”Keluarkanlah ba’sannnar.” Adam bertanya,”Apa itu ba’tsannar?” Allah berfirman,”Dari setiap 1000 orang ia ada 999 orang maka pada saat itu anak kecil akan beruban, seorang yang hamil akan meletakkan kandungannya dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal Sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.” (QS. Al Hajj : 2).’ Para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah manakah diantara kami yang satu itu (1000 – 999) ?” beliau saw menjawab,”Bergembiralah kalian, sesungguhnya seorang dari kalian sama dengan 1000 orang dari Ya’juj dan Ma’juj.” Kemudian beliau saw bersabda,”Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, aku berharap kalian menempati seperempat penduduk surga.” Maka kami pun bertakbir. Lalu beliau saw bersabda,”Aku berharap kalian menempati sepertiga penduduk surga.” Maka kami pun bertakbir. Lalu beliau saw bersabda,”Aku berharap kalian menempati separuh penduduk surga.” Maka kami pun bertakbir. Lalu beliau bersabda,”Tidaklah kalian diantara manusia kecuali bagai sehelai bulu hitam dibadan seekor sapi putih atau bagai sehelai bulu putih dibadan seekor sapi hitam.”
Didalam fatwa al Lajnah Ad Daiimah Lil Buhuts wa al Ifta disebutkan bahwa ya’juj dan ma’juj ini berada di benua Asia, sebelah utara Cina.
Karenanya Ya’juj dan Ma’juj adalah turunan paman-paman dari Turki (yaitu bangsa-bangsa Cina, Rusia, Mongolia. Bermuka lebar, bermata sipit (kecil), berambut pirang (hitam keputih-putihan atau keruh seperti awan), seakan-akan wajah mereka adalah seperti meja yang bundar. Ciri-ciri mereka yang seperti itu telah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari Abu Harmalah dari bibinya.
Dimana mereka sekarang ?
Allah swt berfirman :
Artinya : “Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: “Hai Dzulqarnain, Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, Maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?” Dzulkarnain berkata: “Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, Maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.” (QS. Al Kahfi : 93 – 95)
Jadi Ya’juj dan Ma’juj terkurung dibelakang dinding yang dibangun oleh Dzulqornain untuk mereka dikarenakan mereka banyak melakukan kerusakan dan kejahatan di muka bumi.
Dinding penghalang itu tebal, teguh dan tinggi menjulang yang terbuat dari besi dan tembaga yang dicampur, sehingga mereka tidak dapat melubanginya karena saking tebalnya dan tidak pula dapat memanjatnya karena saking tinggi dan licinnya. Dinding tersebut dibangun antara dua pembatas yang besar yaitu dua gunung yang besar.
Cerita keluarnya Ya’juj dan Ma’juj dari dinding
Keluarnya mereka dari kurungan memiliki cerita tersendiri yang disebutkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam hadits no 3153 dan Ibnu Majah no. 4131 dari Abu Hurairah, dan dishahihkan oleh al-Albani di Silsilah Shahihah no. 1735. Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj membongkarnya setiap hari, sampai ketika mereka hampir melihat cahaya matahari. Pemimpin mereka berkata, ‘Kita pulang, kita teruskan besok’. Lalu Allah mengembalikannya lebih kuat dari sebelumnya. Ketika masa mereka telah tiba dan Allah ingin mengeluarkan mereka kepada manusia, mereka menggali, ketika mereka hampir melihat cahaya matahari, pemimpin mereka berkata, ‘Kita pulang, kita teruskan besok insya Allah Taala’. Mereka mengucapkan insya Allah. Mereka kembali ke tempat mereka menggali, mereka mendapatkan galian seperti kemarin. Akhirnya mereka berhasil menggali dan keluar kepada manusia. Mereka meminum air sampai kering dan orang-orang berlindung di benteng mereka. Lalu mereka melemparkan panah-panah mereka ke langit dan ia kembali dengan berlumuran darah. Mereka berkata, ‘Kita telah mengalahkan penduduk bumi dan mengungguli penghuni langit.”
Sepak Terjang Ya’juj dan Ma’juj serta akhir kesudahannya
Hadits panjang dari an Nawwas ibn Sam’an, Rasululloh bersabda,
“Kemudian datang kepada Isa ibn Maryam suatu kaum yang dilindungi Alloh dari Dajal, lalu Isa mengusap wajah mereka dan menceritakan derajat mereka di surga. Pada saat dia sedang melakukan hal itu Alloh mewahyukan kepada Isa , “Aku telah mengeluarkan hamba2Ku yang tidak mampu diperangi oleh seorangpun. Hambu2-Ku naik ke gunung untuk berlindung dan mencari keamanan.’ Alloh mengutus Yajuj dan Majuj. Mereka keluar dengan cepat dari setiap tempat yang tinggi. Rombongan pertama mereka melewati danau Thabariyah (sebuah danau besar di palestina) yang berair lezat lalu mereka meminumnya. Kemudian rombongan terakhir mereka melewatinya dan berkata, ‘Disini pernah ada air.’ Kemudian nabi Isa dan para sahabatnya lalu berdoa kepada Alloh, maka Alloh mengirimkan ulat2 ke leher Yajuj dan Majuj, sehingga Yajuj dan Majuj itu mati sekaligus. Isa dan para sahabatnya kemudian turun. Mereka mendapati setiap jengkal tanah dipenuhi bau dan lendir mayat2. Isa dan para sahabatnya kemudian berdoa kepadda Alloh , dan Dia mengirimkan burung2 seperti unta Khurasan yang mengambil dan membuang mayat2 itu ke tempat yang dikehendakiNya. Kemudian Dia menurunkan hujan yang membasahi seluruh tanah dan mencuci bumi sehingga menjadi laksana cermin.” (HR Muslim IV h2254 no 2937)
Keluarnya Ya`juj dan Ma`juj pada akhir zaman, belum terjadi.
Sebab, hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa Ya`juj dan Ma`juj keluar setelah Isa ‘alaihissalam turun ke bumi. Namun tanda-tanda keluarnya telah ada sejak jaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Telah mulai terbuka hari ini dari dinding Ya`juj dan Ma`juj sebesar (lubang) ini.” Rasulullah membuat ingkaran dengan dua jarinya, ibu jari dan jari telunjuk. (HR. Al-Bukhari dari Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu ‘anha) [Lum’atul ‘Itiqad, hal. 108-109]
Lalu dimanakah letak dinding ini?
Ibnu Abbas, tinta umat dan ahli tafsir Al Qur’an mengatakan bahwa ia (dinding itu) terletak di persimpangan negeri Turki dengan Rusia, berdekatan dengan pegunungan Kaukasus.” Pegunungan Kaukasus tingginya berkisar antara 1000 sampai dengan 3000 meter)
Walaupun demikian, lebih baik bagi kita untuk mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang akan dapat atau mampu mencapai tempat mereka, sebagaimana halnya siapa pun tidak akan dapat mencapai tempat Dajjal (baca : Misteri al Jassasah di Hadits Dajjal) yang sampai sekarang masih terkurung apalagi mengeluarkannya. Karena keluarnya mereka semua adalah sebuah ‘masalah takdir” yang mempunyai waktu yang sudah maklum dan ditentukan didalam Lauh Mahfuzh.
Beberapa Penelitian Tembok Ya’juj
Abdullah Yusuf Ali dalam tafsir The Holy Qur’an menulis bahwa di distrik Hissar, Uzbekistan, 240 km di sebelah tenggara Bukhara, ada celah sempit di antara gunung-gunung batu. Letaknya di jalur utama antara Turkestan ke India dengan ordinat 38oN dan 67oE. Tempat itu kini bernama Buzghol-Khana dalam bahasa Turki, tetapi dulu nama Arabnya adalah Bab Al-Hadid. Orang Persia menyebutnya Dar-i-Ahani. Orang Cina menamakannya Tie-Men-Kuan. Semuanya bermakna pintu gerbang besi.
Hiouen Tsiang, seorang pengembara Cina pernah melewati pintu berlapis besi itu dalam perjalanannya ke India di abad ke-7. Tidak jauh dari sana ada danau yang dinamakan Iskandar Kul. Di tahun 842 Khalifah Bani Abbasiyah, al-Watsiq, mengutus sebuah tim ekspedisi ke gerbang besi tadi. Mereka masih mendapati gerbang di antara gunung selebar 137 meter dengan kolom besar di kiri kanan terbuat dari balok-balok besi yang dicor dengan cairan tembaga, tempat bergantung daun pintu raksasa. Persis seperti bunyi surat Al Kahfi. Pada Perang Dunia II, konon Winston Churchill, pemimpin Inggris, mengenali gerbang besi itu.
Letak Perkiraan Tembok Besi Berada
Apa pun tentang keberadaan dinding penutup tersebut, ia memang terbukti ada sampai sekarang di Azerbaijan dan Armenia. Tepatnya ada di pegunungan yang sangat tinggi dan sangat keras. Ia berdiri tegak seolah-olah diapit oleh dua buah tembok yang sangat tinggi. Tempat itu tercantum pada peta-peta Islam maupun Rusia, terletak di republik Georgia.
Al-Syarif al-Idrisi menegaskan hal itu melalui riwayat penelitian yang dilakukan Sallam, staf peneliti pada masa Khalifah al-Watsiq Billah (Abbasiah). Konon, Al-Watsiq pernah bermimpi tembok penghalang yang dibangun Iskandar Dzul Qarnain untuk memenjarakan Ya’juj-Ma’juj terbuka.
Mimpi itu mendorong Khalifah untuk mengetahui perihal tembok itu saat itu, juga lokasi pastinya. Al-Watsiq menginstruksikan kepada Sallam untuk mencari tahu tentang tembok itu. Saat itu Sallam ditemani 50 orang. Penelitian tersebut memakan biaya besar. Tersebut dalam Nuzhat al-Musytaq, buku geografi, karya al-Idrisi, Al-Watsiq mengeluarkan biaya 5000 dinar untuk penelitian ini.
Rombongan Sallam berangkat ke Armenia. Di situ ia menemui Ishaq bin Ismail, penguasa Armenia. Dari Armenia ia berangkat lagi ke arah utara ke daerah-daerah Rusia. Ia membawa surat dari Ishaq ke penguasa Sarir, lalu ke Raja Lan, lalu ke penguasa Faylan (nama-nama daerah ini tidak dikenal sekarang). Penguasa Faylan mengutus lima penunjuk jalan untuk membantu Sallam sampai ke pegunungan Ya’juj-Ma’juj.
27 hari Sallam mengarungi puing-puing daerah Basjarat. Ia kemudian tiba di sebuah daerah luas bertanah hitam berbau tidak enak. Selama 10 hari, Sallam melewati daerah yang menyesakkan itu. Ia kemudian tiba di wilayah berantakan, tak berpenghuni. Penunjuk jalan mengatakan kepada Sallam bahwa daerah itu adalah daerah yang dihancurkan oleh Ya’juj dan Ma’juj tempo dulu. Selama 6 hari, berjalan menuju daerah benteng. Daerah itu berpenghuni dan berada di balik gunung tempat Ya’juj-Ma’juj berada.
Sallam kemudian pergi menuju pegunungan Ya’juj-Ma-juj. Di situ ia melihat pegunungan yang terpisah lembah. Luas lembah sekitar 150 meter. Lembah ini ditutup tembok berpintu besi sekitar 50 meter.
Dalam Nuzhat al-Musytaq, gambaran Sallam tentang tembok dan pintu besi itu disebutkan dengan sangat detail (Anda yang ingin tahu bentuk detailnya, silakan baca: Nuzhat al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Afaq, karya al-Syarif al-Idrisi, hal. 934 -938).
Al-Idrisi juga menceritakan bahwa menurut cerita Sallam penduduk di sekitar pegunungan biasanya memukul kunci pintu besi 3 kali dalam sehari. Setelah itu mereka menempelkan telinganya ke pintu untuk mendengarkan reaksi dari dalam pintu. Ternyata, mereka mendengar gema teriakan dari dalam. Hal itu menunjukkan bahwa di dalam pintu betul-betul ada makhluk jenis manusia yang konon Ya-juj-Ma-juj itu.
Ya’juj-Ma’juj sendiri, menurut penuturan al-Syarif al-Idrisi dalam Nuzhat al-Musytaq, adalah dua suku keturunan Sam bin Nuh. Mereka sering mengganggu, menyerbu, dan membunuh suku-suku lain. Mereka pembuat onar dan sering menghancurkan suatu daerah. Masyarakat mengadukan kelakuan suku Ya’juj dan Ma’juj kepada Iskandar Dzul Qarnain. Iskandar kemudian menggiring (mengusir) mereka ke sebuah pegunungan, lalu menutupnya dengan tembok dan pintu besi.
Dalam Nuzhat al-Musytaq, al-Syarif al-Idrisi juga menuturkan bahwa Sallam pernah bertanya kepada penduduk sekitar pegunungan, apakah ada yang pernah melihat Ya-juj-Ma-juj. Mereka mengaku pernah melihat gerombolan orang di atas tembok penutup. Lalu angin badai bertiup melemparkan mereka. Penduduk di situ melihat tubuh mereka sangat kecil. Setelah itu, Sallam pulang melalui Taraz (Kazakhtan), kemudian Samarkand (Uzbekistan), lalu kota Ray (Iran), dan kembali ke istana al-Watsiq di Surra Man Ra’a, Iraq. Ia kemudian menceritakan dengan detail hasil penelitiannya kepada Khalifah.
Kalau menurut penuturan Ibnu Bathuthah dalam kitab Rahlat Ibn Bathuthah, pegunungan Ya’juj-Ma’juj berada sekitar perjalanan 6 hari dari Cina. Penuturan ini tidak bertentangan dengan al-Syarif al-Idrisi. Soalnya di sebelah Barat Laut Cina adalah daerah-daerah Rusia.
Siapakah Dzulkarnain?
Pembicaraan mengenai siapa dan kapan Dzulqarnain hidup bukanlah tema baru. Ulama dan ahli tarikh senior sekelas Ibnu Katsir dan Al-Maqrizi tidak lepas dari polemik ini.
Menurut versi Barat, Dzulkarnain adalah Iskandar bin Philips Al-Maqduny Al-Yunany (orang Mecedonia, Yunani) atau Alexander Yang Agung. Ia berkuasa selama 330 tahun. Membangun Iskandariah dan murid Aristoteles. Memerangi Persia dan menikahi puterinya. Mengadakan ekspansi ke India dan menaklukan Mesir.
Ada pula yang berpendapat bahwa ia adalah Cyrus, kaisar Persia. Ada juga yang menganggap ia adalah seorang raja yang shalih yang hidup sezaman dengan Nabi Ibrahim. Belum lagi perdebatan soal apakah ia seorang nabi ataukah bukan.
Menurut Asy-Syaukany, pendapat di atas sulit diterima, karena hal ini mengisyaratkan ia seorang kafir dan filosof. Sedangkan Al-Quran menyebutkan; “Kami (Allah) mengokohkannya di bumi dan Kami memberikan kepadanya sebab segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi: 84)
Menurut sejarawan muslim Dzulkarnain adalah julukan Abu Karb Al-Himyari atau Abu Bakar Bin Ifraiqisy dari daulah Al-Jumairiyah (115 SM – 552 M.). Kerajaannya disebut At-Tababi’ah. Dijuluki Dzulkarnain (Pemilik dua tanduk), karena kekuasaannya yang sangat luas, mulai ujung tanduk matahari di Barat sampai Timur. Menurut Ibnu Abbas, ia adalah seorang raja yang shalih.
Dzulqarnain seorang pengembara dan ketika sampai di antara dua gunung antara Armenia dan Azzarbaijan, atas permintaan penduduk, Dzulkarnain membangun benteng. Para arkeolog menemukan benteng tersebut pada awal abad ke-15 M, di belakang Jeihun dalam ekspedisi Balkh dan disebut sebagai “Babul Hadid” (Pintu Besi) di dekat Tarmidz. Timurleng pernah melewatinya, juga Syah Rukh dan ilmuwan German Slade Verger. Arkeolog Spanyol Klapigeo pada tahun 1403 H. Pernah diutus oleh Raja Qisythalah di Andalus ke sana dan bertamu pada Timurleng. “Babul Hadid” adalah jalan penghubung antara Samarqindi dan India.
Teka-teki tentang Dzulqarnain juga tidak bisa dilepaskan dari misteri tentang bangsa Ya’juj dan Ma’juj dan Tembok yang dibangun oleh Dzulqarnain. Dengan “ijtihad” yang cukup berani, Hamdi bin Hamzah Abu Zaid, yang merupakan anggota Dewan Penasihat Kerajaan Arab Saudi berkesimpulan bahwa:
1. Dzulqarnain yang disebutkan dalam surat Al-Kahf: 83–98 adalah Akhnaton, raja Mesir Kuno yang terkenal
2. Akhnaton sendiri merupakan anak dari Fir’aun yang ditenggelamkan Allah di Laut Merah sewaktu mengikuti Nabi Musa dan pengikutnya
3. Dzulqarnain adalah yang dimaksud dengan lelaki beriman dari keluarga Fir’aun sebagaimana dalam surat Al-Mu’min: 28–33
4. Dzulqarnain adalah Nabi yang diutus kepada rakyat negeri Cina
5. Tembok yang dibangun oleh Dzulqarnain saat ini masih eksis di Zhenzhou, Cina
6. Ya`juj dan Ma`juj adalah penduduk Benua Kuda (Benua Asia) yang hidup di wilayah Cina dan sekitarnya
Dalam buku yang ia susun setelah melakukan kajian dan penelitian atas berbagai sumber, fakta, dan bukti otentik. Ekspedisi lintas benua dan samudera berjarak ribuan kilometer pun harus ditempuh. Dari negeri asalnya di Arab Saudi kemudian ke Mesir, Maladewa di Samudera Hindia, Kiribati di Samudera Pasifik, hingga berakhir di Daratan Cina.
Benarkah Tembok Cina Adalah Tembok Zulkarnain?
Banyak orang menyangka itulah tembok yang dibuat oleh Zulkarnain dalam surat Al-Kahfi. Dan yang disebut Ya-juj dan Ma-juj adalah bangsa Mongol dari Utara yang merusak dan menghancurkan negeri-negeri yang mereka taklukkan. Mari kita cermati kelanjutan surat Al Kahfi ayat 95-98 tentang itu.
Zulkarnain memenuhi permintaan penduduk setempat untuk membuatkan tembok pembatas. Dia meminta bijih besi dicurahkan ke lembah antara dua bukit. Lalu minta api dinyalakan sampai besi mencair. Maka jadilah tembok logam yang licin tidak bisa dipanjat.
Ada tiga hal yang berbeda antara Tembok Cina dan Tembok Zulkarnain. Pertama, tembok Cina terbuat dari batu-batu besar yang disusun, bukan dari besi. Kedua, tembok itu dibangun bertahap selama ratusan tahun oleh raja-raja Dinasti Han, Ming, dan seterusnya, sambung-menyambung. Ketiga, dalam Al-Kahfi: 86, ketika bertemu dengan suatu kaum di Barat, Allah berfirman, “Wahai Zulkarnain, terserah padamu apakah akan engkau siksa kaum itu atau engkau berikan kebaikan pada mereka.” Artinya, Zulkarnain mendapat wahyu langsung dari Tuhan, sedangkan raja-raja Cina itu tidak. Maka jelaslah bahwa tembok Cina bukan yang dimaksud dalam surat Al Kahfi. Jadi di manakah tembok Zulkarnain?… ^_^
1. Al Qur’an
2. Shahih Bukhari
3. Shahih Muslim
4. Sunan At Tirmidzi
5. Tafsir Ibnu Katsir
6. Fatawa Lajnah Daimah
7. Az-Zuhaily, Tafsir Al-Munir
8. Dr. Thaha Ad-Dasuqy, ‘Aqidatuna Wa Shilatuha Bil Kaun Wal Insan Wal Hayat, Darul Huda, Kairo, 1995.
9. Syekh Sya’ban ‘Abdulhadi Abu Rabah, Islamiyat, Haqaiq Fi Dzilli Tauhid Al-Ara Al-Islamiyah, Muassasah Al-’Arabiyah Al-Haditsiyah, Kairo, 1991.
10. Nuzhat al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Afaq, al-Syarif al-Idrisi,
11. Hari Kiamat Sudah Dekat, Yusuf bin Abdillah bin Yusuf Al Wabil
12. Ya’juj dan Ma’juj sudah Muncul di Cina, Hamdi bin Hamzah Abu Zaid.
Pemilik Ikalan Rambut Tali Kekang Kuda
(Tauladan Ibu Sholihah)
Di kota Rosulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, Madinah Munawwaroh, hiduplah seorang lelaki yang bernama “ABU QUDAMAH AS SYAAMI “. Allah telah memberikan rasa cinta yang mendalam kepadanya terhadap Jihad fie sabilillah, dan berperang di negeri Romawi.
Suatu hari beliau sedang duduk-duduk sambil bercengkrama di Masjid Nabawi bersama teman-temannya. Teman-temannya berkata kepada beliau : “Ceritakanlah kepada kami kejadian yang paling menakjubkan yang pernah engkau lihat ketika berjihad.”.
Abu Qudamah berkata, “Baiklah.”
Aku pernah masuk kota RIQQAH untuk membeli onta yang akan aku pergunakan untuk membawa senjata.
Suatu hari ketika aku sedang duduk-duduk, ada seorang perempuan yang mendatangiku, lalu berkata kepadaku, “ Wahai Abu Qudamah! Aku telah mendengar tentang dirimu bahwa kamu suka bercerita tentang jihad, dan senang menghasung orang untuk berjihad. Aku telah diberi Allah rambut yang tidak dimiliki oleh wanita selainku. Rambut itu telah aku anyam dan ikal menjadi tali kekang kuda dan aku lumuri ikalan itu dengan debu biar tidak tampak oleh orang (kalau itu ikalan rambut), dan aku akan sangat bahagia bila kamu mau mengambilnya. Jika engkau telah sampai di negeri orang kafir, dan para pahlawan-pemanah telah melepaskan anak panahnya, pedang telah dihunus dan tombak telah disiapkan maka Jika kamu membutuhkannya maka ambillah, jika tidak maka berikanlah ikalan ini kepada orang lain yang membutuhkan, agar rambutku bisa ikut serta dan terkena debu fie sabilillah. Aku adalah seorang janda, suami dan kerabatku telah syahid di jalan Allah, seandainya jihad diwajibkan atasku sungguh aku akan berangkat berjihad dan ikalan rambut ini aku bawa sendiri.”
Wanita itu melanjutkan, “Perlu kamu ketahui wahai Abu Qudamah ! Bahwa ketika suamiku syahid, beliau meninggalkan anak, dan anak itu sekarang termasuk remaja yang baik, ia telah mempelajari Al Qur’an, lihai mengendarai kuda, lihai memanah, ia selalu Qiyamullail di malam hari dan shoum di siang hari sementara umurnya baru 15 tahun. Ia tidak tahu ketika ditinggal syahid ayahnya, semoga ia mendatangimu sebelum engkau berangkat ke medan perang. Aku persembahkan anakku bersamamu sebagai hadiah kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan aku minta kepadamu dengan kemuliaan Islam, janganlah engkau tolak usahaku untuk mendapatkan pahala”.
Aku menjawab, “ Maka ikalan rambut itu aku ambil darinya”.
Wanita itu berkata, “ Pasangkan ikalan rambutku itu pada kendaraanmu biar aku dapat melihatnya dan hatiku menjadi tenang ”. Maka ikalan rambut itu aku pasangkan pada kendaraanku dan aku keluar dari AR RIQQAH. Aku keluar bersama teman-temanku.
Ketika kami telah sampai di samping benteng Maslamah bin Abdul Malik (di Paris), tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang, “Wahai Abu Qudamah ! Berhentilah sebentar untukku –semoga Allah merahmatimu–.” Maka akupun berhenti dan aku katakan kepada teman-temanku, “Majulah kalian agar aku dapat melihat orang yang memanggil namaku. Ternyata ada seorang penunggang kuda yang sudah berada di dekatku “.
Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menghalangiku untuk bergabung denganmu, dan semoga engkau tidak menolakku untuk bergabung.”
Aku berkata kepada anak itu, “Tengadahkanlah mukamu kepadaku, jika engkau sesuai maka aku ikutkan berangkat berperang, jika tidak sesuai maka aku tolak engkau untuk ikut serta.”
Maka iapun menengadahkan mukanya, ternyata ia adalah anak yang baik, seakan-akan wajahnya seperti rembulan pada malam Badar dan terpancar dari mukanya pengaruh kenikmatan (bekas sujud).
Aku katakan kepada anak itu,“Apakah kamu masih mempunyai ayah ?”
“Tidak” jawab anak itu. Ia melanjutkan, “Aku ingin keluar bersamamu untuk mencari jejak ayahku, karena beliau telah syahid. Semoga Allah menganugerahkan syahadah kepadaku sebagaimana yang dianugerahkan kepada ayah.”
Aku tanyakan lagi kepada anak itu, “Apakah kamu masih mempunyai ibu?”
Anak itu menjawab, “Ya”
Aku katakan kepadanya, “Kembalilah kepada ibumu, mintalah izin kepadanya, jika ia mengizinkanmu maka aku akan menyertakan kamu pada perang ini, dan jika ia tidak mengizinkanmu maka dampingilah ibumu, karena ketaatanmu padanya lebih utama dari pada jihad (ketika fardhu Kifayah), karena Jannah itu berada di bawah kilatan pedang dan Jannah juga berada di bawah telapak kaki ibu.”.
Anak itu berkata, “ Wahai Abu Qudamah ! Tidakkah kamu mengenalku ?”
“Tidak” jawabku.
Anak itu berkata, “Aku adalah putra seorang wanita yang telah menitipkan sesuatu kepadamu. Bukannya aku tergesa-gesa, aku tidak akan melupakan wasiat ibuku, si pemilik ikalan rambut itu. Dan aku insya Allah Syahid ibnu Syahid, aku minta kepadamu karena Allah untuk mengikut sertakan aku dalam jihad in). Jangan kau larang aku untuk ikut sarta berjihad bersamamu fie sabilillah. Aku telah hafal Al Qur’an, mengerti sunnah Rasulullah, aku ahli menunggang kuda, ahli memanah, dan tidak ada remaja sebayaku yang lebih lihai dalam mengendarai kuda melebihiku, maka janganlah kamu meremehkanku karena aku masih kecil. Karena ibuku telah bersumpah agar aku tidak kembali pulang. Ibuku berkata kepadaku, “Jikalau kamu bertemu musuh maka janganlah kamu mundur, berikanlah dirimu untuk Allah dan mintalah untuk didekatkan dengan Allah, dan didekatkan dengan ayah dan teman-temanmu yang sholih di dalam Jannah. Jikalau kamu telah diberi syahadah maka berilah aku syafaat karena syafaatmu akan sampai kepadaku. Dan sesungguhnya orang yang mati syahid itu dapat memberi syafaat 70 keluarganya dan 70 tetangganya.” Kemudian ibuku mendekapku, lalu ia menengadahkan mukanya ke langit sembari berdoa, “Ya Ilahy, Tuanku, Pelindungku ! Ini adalah anakku, buah hatiku, penyejuk kalbuku, ia telah aku persembahkan untukmu, maka dekatkanlah ia dengan ayahnya”.
Aku (Abu Qudamah) berkata, “Ketika mendengar perkataan anak itu, aku menangis dengan tangisan yang keras karena melihat kebaikannya, masa remajanya yang indah, dan kasih sayang hati ibunya, serta kagum akan kesabaran ibunya.
Anak itu berkata, “ Wahai paman ! Mengapa engkau menangis ? Jika yang menyebabkan paman menangis itu karena aku masih kecil, maka sesungguhnya Allah akan mengadzab anak yang lebih kecil dariku jika ia durhaka”.
Aku berkata, “Aku menangis bukankarena melihatmu masih kecil, akan tetapi aku menangis karena melihat hati ibumu yang mulia, dan bagaimana perasaannya setelah kamu syahid nanti”.
Akhirnya, kamipun melanjutkan perjalanan sampai malam hari.
Pada pagi harinya, kami berjalan kembali dan kami melihat anak itu tidak henti-hentinya berdzikir kepada Allah. Dalam pandanganku, ternya dia dia lebih hebat dalam mengendarai kuda daripada kami, jika kami berhenti maka ia selalu melayani kami. Ketika dalam perjalanan ia selalu menguatkan azamnya, meningkatkan semangatnya, selalu membersihkan niatnya dan selalu menampakkan tanda senang (tidak manja kepada kami).
Kami tidak berhenti sampai kami sampai di negri orang-orang musyrik pada waktu tenggelamnya matahari, lalu kami semua turun dan anak itu langsung memasakkan makanan untuk kami buat buka puasa karena kami semua shiyam.
Setelah membereskan pekerjaannya, ia merasakan kantuk yang sangat, akhirnya dia tidur lama sekali. Ditengah-tengah tidurnya aku melihat ia sedang tertawa simpul Lalu aku berkata kepada teman-temanku, “ Apakah kalian tidak melihatnya terseyum dalam tidurnya ? ”.
Maka ketika bangun, aku bertanya kepadanya, “Wahai anakku ! Aku tadi melihatmu tersenyum ketika kamu sedang tidur”.
Anak itu berkata, “Aku tadi mimpi dan melihat sesuatu yang mengherankanku sehingga aku tersenyum.”
Aku bertanya lagi, “ Apa itu ?”
“Aku berasa berada di sebuah taman hijau yang indah, ketika aku sedang berjalan aku melihat istana yang terbuat dari perak, atapnya dari intan dan permata, pintu-pintunya terbuat dari emas dan para bidadari menyibakkan satir dan aku dapat melihat wajahnya bagaikan rembulan.”
Ketika melihatku bidadari itu berkata, “Marhaban (selamat datang), maka aku pun ingin memegang tangan salah satu diantara mereka.”
Mereka berkata kepadaku, “Jangan tergesa-gesa aku bukanlah untukmu.”
Aku mendengar sebagian mereka berkata kepada yang lainnya, “ Ini adalah suami Al Mardhiyyah.”
Mereka berkata, “Majulah – Semoga Allah merahmatimu – !”. Maka akupun maju ke depan, maka ketika itu aku melihat Istana yang diatasnya ada sebuah kamar yang terbuat dari emas yang berwarna merah, di dalamnya terdapat dipan dari permadani hijau, tiangnya dari perak, dan di atasnya ada seorang bidadari yang mukanya seperti matahari. Jikalau Allah tidak meneguhkan penglihatanku sunguh aku akan buta dan akalku akan lenyap (gila) karena melihat indahnya kamar dan cantiknya wajah bidadari itu.”
Ketika bidadari itu melihatku ia berkata, “Marhaban, ahlan wa sahlan wahai kekasih Allah, engkau adalah untukku (calon suamiku) dan aku adalah untukmu (calon istrimu).” Maka pada saat itu aku ingin memeluknya tetapi ia berkata, “Sabar, sebentar lagi, jangan tergesa-gesa duhai kekasihku, sesungguhnya waktu yang dijanjikan bertemu antara aku dan kamu adalah besok setelah shalat dhuhur, maka bergembiralah.”
Abu Qudamah berkata, “Aku katakan pada anak itu, “ Sungguh kamu bermimpi baik dan kebaikan itu akan terjadi.” Maka sepanjang malam kamipun terkagum-kagum dengan mimpi anak itu.
Ketika pagi hari tiba kami bergegas memacu kuda kami. Maka ada seorang penyeru yang memanggil kami, “ Wahai Kuda Allah, melajulah dan bergembiralan dengan Jannah ! Berangkatlah berperang baik dengan perasaan ringan maupun berat, dan berjihadlah !”. Maka dalam waktu sekejap saja ternyata tentara kafir – semoga Allah menghinakan mereka- telah menghadang kami, dan mereka menyebar seperti belalang yang bertebaran. Maka orang yang pertama kali menyerang musuh dari kami adalah anak itu. Ia yang membelah pasukan kafir dan memporak-porandakan barisan mereka dan menceburkan diri ke tengah-tengah pasukan kafir. Iapun telah membunuh banyak tentara musuh dan membunuh pula pahlawan-pahlawannya.
Ketika aku melihatnya dalam keadaan seperti itu, aku menarik tali kekang kudanya sembari mengingatkan, “Wahai anakku ! Mundurlah, karena kamu masih kecil dan tidak mengerti tipu daya perang !”.
Ia malah menjawab, “Wahai paman! Apakah kamu belum pernah mendengar firman Allah (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman ! jikalau kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka janganlah kamu lari ke belakang.” (QS. Al-Anfal : 15) Apakah kamu ingin aku masuk ke dalam neraka ?.”
Disela-sela anak itu berbicara kepadaku, tiba-tiba orang-orang musyrik menyerang kami dengan serempak. Mereka bergerak diantara aku dan anak itu, dan mereka menghalangiku dari anak itu, sementara para mujahidin telah sibuk dengan diri masing-masing.
Dalam peperangan, banyak mujahidin yang syahid. Maka ketika peperangan sudah selesai, ternyata yang terbunuh sangat banyak dan tidak dapat terhitung. Maka aku berjalan menunggang kuda untuk meneliti yang syahid, sementara darah mengalir membasahi bumi . Muka para syuhada tidak dapat dikenali dikarenakan banyaknya debu yang menempel dan darah yang mengalir melumuri tubuh mereka. Disela-sela aku berjalan diantara yang terbunuh, ketika itu aku melihat anak tersebut berada di bawah tapal kuda yang telah tertumpuki debu dan dia sedang berlumuran darah.
Dia berkata, “Wahai kaum muslimin ! Demi Allah datangkanlah kepadaku paman Abu Qudamah”. Maka aku menghampirinya. Ketika aku mendengar rintihannya, aku tidak dapat mengenali wajah karena berlumuran darah, dipenuhi debu dan terinjak-injak oleh binatang.
Aku berkata kepadanya, “Aku adalah Abu Qudamah.”
Ia menjawab, “Wahai paman ! Sungguh mimpiku benar, demi Rob Pemilik Ka’bah aku adalah anak pemilik ikalan rambut itu”. Ketika kejadian itu, aku sangat gelisah dan aku menciuminya diantara kedua matanya dan aku usap debu dan darah yang menempel di mukanya yang tampan.
Aku katakan kepadanya, “Wahai anakku ! Jangan kau lupakan pamanmu Abu Qudamah dalam syafaatmu di Jannah kelak.”
Ia menjawab, “Orang sepertimu tak mungkin akan dapat terlupakan. Janganlah kau usap wajahku dengan pakaianmu, sungguh pakaianku lebih berhak untuk mengusap daripada pakaianmu. Biarlah engkau usap dengan pakaianku biar ia berjumpa dengan Allah Ta’ala dengan debu dan darahku. Paman, sesunguhnya para bidadari yang telah aku ceritakan kepadamu telah berdiri di atas kepalaku menunggu keluarnya ruhku. Dia (bidadari) mengatakan kepadaku, “ Segeralah keluar karena aku sudah sangat rindu ingin berjumpa denganmu”. Wahai paman, jikalau engkau dapat kembali dengan selamat maka bawalah pakaianku yang bersimbah darah kepada ibuku yang sedang dirundung duka dan kesedihan, dan sampaikan salamku kepadanya agar dia tahu bahwa aku tidak menyia-nyiakan wasiatnya, dan aku tidak menjadi pengecut ketika bertemu orang-orang musyrik. Katakanlah kepadanya bahwa hadiah yang telah ia persembahkan untuk Allah telah diterima-Nya. Wahai paman, aku juga mempunyai seorang adik perempuan yang umurnya baru 10 tahun, setiap aku masuk rumah ia selalu menyambutku dan menyalamiku, ketika aku keluar pergi, ia menitipkan pesan kepadaku , “Kak, Demi Allah jangan melalaikan kami” maka jika engkau berjumpa dengannya sampaikan salamku kepadanya, dan katakana, “Kakakmu memesankan kepadamu, “Allah adalah penggantiku yang menjagamu sampai hari kiamat”,
Kemudian ia (anak ini) tersenyum sambil mengucapkan ASYHADU ANLÂ ILÂHA ILLALLÂH (Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah) tiada sekutu bagi-Nya, dan ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASULUHU (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya). Ini adalah yang telah Allah dan Rosul-Nya janjikan kepada kita dan benarlah janji Allah dan Rosul-Nya. Lalu ruhnya keluar. Maka kami mengafani dia dengan pakaiannya –semoga Alloh meridloinya -.
Ketika kami pulang dari peperangan, dan memasuki daerah Ar-Riqqah, tiada keinginan yang paling kuat dalam benakku kecuali mendatangi rumah ibu anak itu. Aku mendapati ada seorang perempuan yang mirip mukanya dalam kecantikan dan kebagusannya, ia sedang berdiri di depan pintu rumah, dan ia tanya setiap orang yang lewat di depannya, “Wahai paman, dari manakah engkau?”
“Dari berperang” jawab orang yang ditanya.
Ia bertanya lagi, “Apakah kakakku pulang bersama kalian ?”
“Tidak tau” jawab orang itu.
Ketika aku mendengarnya, aku mendatanginya dan dia bertanya kepadaku, “Wahai paman ! Dari manakah engkau ?”
“Dari berperang” jawabku, kemudian adik itu menangis dan berkata, “Aku tak peduli apakah mereka pulang bersama kakakku, sungguh aku telah mendapatkan pelajaran.” Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai anak perempuan ! Katakanlah kepada pemilik rumah ini bahwa Abu Qudamah ada di depan pintu.”
Maka keluarlah perempuan (pemilik rumah) ketika mendengar suaraku. Maka berubahlah roman mukanya. Aku salami dia dan diapun menjawab salamku. Dia bertanya, “Apakah kedatanganmu membawa kabar gembira ataukah kabar duka ?”
Aku balik bertanya, “Terangkanlah kepadaku maksud kabar gembira dan kabar sedih – semoga Allah merahmatimu – !”
Ia menjawab, “ Jikalau anakkku pulang bersamamu dalam keadaan selamat maka itu kabar menyedihkan bagiku, dan jikalau anakku terbunuh fie sabilillah (syahid) berarti kamu membawa kabar gembira”
Aku katakan kepadanya , “Bergembiralah karena hadiahmu telah diterima Allah”. Maka ia menangis dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikannya sebagai simpanan pada hari kiamat kelak”. Aku tanyakan kepadanya, “Apa yang dilakukan oleh adiknya itu ?”. Jawab ibu itu, “Dialah yang telah berbincang-bincang denganmu tadi.” Maka anak itu mendekatiku, dan aku katakan kepadanya, “Kakakmu menitipkan salam buatmu dan dia mengatakan, “Allah adalah penggantiku yang menjagamu sampai hari kiamat ”. Maka berteriaklah anak itu dan jatuh pingsan. Lalu ibunya menggerak-gerakkannya setelah sesaat, ternyata anak itu telah meninggal. Sungguh aku sangat kagum sekali (atas kejadian itu). Kemudian aku serahkan pakaian yang dititipkan anak itu kepada ibunya. Lalu aku tinggalkan ibu itu dengan perasaan sedih atas anak yang telah syahid dan adiknya yang ikut meninggal setelah mendengar kabar tentang kakaknya. Allahu Akbar !
B. Penyimpangan Ilmiah
Inilah bentuk-bentuk penyimpangan akidah yang telah dialami oleh mayoritas dunia Islam pada beberapa abad terakhir. Adapun dalam bidah ilmiah, penyimpangan yang terjadi adalah :
[1]- Aspek Pendidikan dan kurikulum pendidikan
Syaikh Muhammad Kurdi ‘Ali dalam Khuthathu al-Syam menyebutkan bahwa benih-benih kemunduran dunia pendidikan Islam mulai terihat jelas pada abada IX Hijriyah. Keadaan ini semakin parah pada abad X dan XI Hijriyah. Pada abad XII Hijriyah, sama sekali tidak ada hal yang jadid maupun tajdid (pembaharuan, pencerahan). Ilmu pengetahuan dunia maupun ilmu-ilmu syar’i macet total, berhenti di tempat dan tidak mengalami peningkatan sedikitpun.
Ustadz Muhammad Qutb dalam Waqi’una al-Mu’ashir menyebutkan dua bentuk kemunduran dunia pendidikan masa tersebut; Pertama. Membuang materi ilmu pengetahuan umum (al-‘ulum al-kauniyah) seperti kimia, fisika, biologi, matematika, ekonomi, politik dan seterusnya, dari sekolah-sekolah di dunia Islam. Kedua, Ilmu-ilmu syar’i mengalamai masa kebekuan, kejumudan dan statis dengan kuatnya keyakinan telah tertutupnya pintu ijtihad. Sebagai akibatnya, banyak persoalan masa tersebut yang tidak mendapatkan jawaban dari syariat dikarenakan tidak adanya ijtihad. Solusinya, produk pemikiran Barat diadopsi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam.
Kurikulum pendidikan pada masa itu juga sangat tidak memenuhi tuntutan zaman. Para ulama sibuk membuat mukhtashar, syarh dan hasyiyah. Sebagian besar sekolah dan universitas di dunia Islam mengajarkan aqidah berdasar madzhab Asy’ariyah –Maturidyah, dan warna ilmu kalam-filsafat sangat kental mewarnai pelajaran aqidah. Pelajaran-pelajaran inti lainnya diisi oleh ilmu mantiq, ilmu sejarah (sejarah para ulama thareqat), ilmu hikmah (filsafat Yunani kuno dan para filosof atheis seperti Ibnu Sina dll), tafsir para ulama Asy’ariyah-Maturidiyah-Mu’tazilah dan ilmu tasawuf.
Secara ringkas, syaikh Muhammad Bahjat al-Atsari dalam A’lamu al-‘Iraq menyebutkan bahwa ilmu pada masa itu dipelajari bukan untuk mengatur kehidupan dunia, melainkan untuk mencari berkah !!!!
[2]- Fanatisme Madzhab
Fanatisme madzhab begitu kuat menggejala di masa itu, tidak saja di kalangan awam namun juga dikalangan ulama. Universitas al-Azhar menjadi ajang rivalitas para ulama madzhab al-Hanafi dan madzhab al-Syafi’i. Demi membela pendapat madzhabnya, para ulama masa itu berani melakukan taqlid buta dan menyelisihi nash-nash yang sharih. Imam Mahmud Syukri al-Aluzi, seorang ulama besar pakar tafsir, menyebutkan bahwa secara terang-terangan para qadhi (hakim agama) daulah ‘Utsmaniyah menyatakan di hadapannya bahwa bila pendapat madzhab al-Hanafi dalam buku Maniyatul a-Mushali bertentangan dengan hadits shahih dalam shahih al-Bukhari, mereka akan memegangi pendapat dan membuang hadits shahih tersebut.[1]
Syaikh Muhammad Yusuf al-Banuri mengisahkan bahwa gurunya, syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri telah menghabiskan separuh umurnya yaitu tiga puluh tahun untuk mempertahankan madzhab al-Hanafi. Menurutnya, ia telah berusaha meneguhkan bangunan madzhab al-hanafi sehingga tidak akan runtuh dalam seratus tahun berikutnya.
Pada masa daulah ‘Utsmaniyah, madzhab al-Hanafi menjadi madzhab resmi negara. Seluruh mufti dan qadhi harus bermadzhab Hanafi. Seorang yang menganut madzhab al-Hanafi lalu berpindah ke madzhab lain, akan dihukum ta’zir. Ta’ashub madzhab ini tidak terbatas dalam masalah fiqih saja, namun juga masuk dalam bidang lain seperti bahasa. Dengan menguatnya sikap taqlid dan Ta’ashub madzhab, kemampuan istinbath dan ijtihad para ulama pun sedikit demi sedikit melemah dan akhirnya mati. Ulama-ulama yang mencoba mendobrak tradisi ini, seperti imam al-Syaukani dan Mahmud Syukri al-Alusi, mendapat tekanan hebat dari penguasa, ulama dan masyarakat.
[3]- Ditutupnya pintu ijtihad
Setiap zaman akan menghadapi masalah-masalah baru yang tidak pernah dialami oleh zaman sebelumnya. Untuk itu, senantiasa diperlukan ijtihad dan istinbath ahkam dari nash-nash Al-Qur’an dan al-Sunah. Namun mulai awal abad V Hijriyah, dikalangan umat Islam mulai berkembang pemikiran bahwa pintu ijtihad telah tertutup, karena tidak adanya ulama yang mencapai derajat mujtahid mutlak, merajalelanya kesesatan dan hawa nafsu, serta sedikitnya para ulama yang bersikap wara’.
Para ulama yang mencoba membuka kembali usaha-usaha untuk tajdid, ittiba’ dan ijtihad menghadapi tekanan berat dari berbagai pihak. Di antaranya yang paling terkenal adalah peristiwa di damaskus, 1313 H yang dikenal dengan “peristiwa mujtahidin.” Bermula dari diskusi segelintir ulama ; imam Jamaludien al-Qasimi, syaikh Abdu Razaq al-Baithar, syaikh Salim Samarah, syaikh Badrudien al-Maghribi, syaikh Taufiq Afandi al-Ayyubi, Syaikh Amin al-Safar Jalani, syaikh Said al-Ghar dan syaikh Musthafa al-Halaq, di masjid Damaskus. Mereka akhirnya dihadapkan kepada pengadilan daulah Utsmaniyah di Damskus, pada hari Sabtu 11 Sya’ban 1313 H. Mereka diadili karena dituduh mengkaji buku-buku hadits dan mengistinbathkan ahkam, mencari dalil atas berbagai pendapat fikih yang sudah ada dan menganggap diri mereka sebagai mujtahid.[2]
Nasib serupa juga dialami para ulama yang mencoba mendobrak tradisi yang salah ini, seperti imam al-Syaukani, syaikh Shihabudien al-Marjani al-Qazani (wafat 1306 H), syaikh Abdu al-Haq bin Fadhl al-‘Utsmani al-Banarisi (wafat 1276 H), dan para ulama lainnya.
Tradisi ini telah mengakibatkan dua bencana besar dalam kehidupan kaum muslimin. Pertama. Kehidupan umat Islam mengalami kejumudan, kemandegan dan tidak mengalami perkembangan maupun kemajuan. Kedua. Sebagai akibat dari kemandegan, kehidupan umat Islam keluar dari tuntunan syariat Islam karena menganggap masalah-masalah yang baru terjadi tidak berada dalam ruang lingkup ijtihad dan syariat Islam.[3]
Buah dari Berbagai Penyimpangan
Dari berbagai pentimpangan aspek akidah dan ilmiah di atas, dalam diri umat Islam terkumpul berbagai penyakit kronis. Berbagai penyakit yang berwujud kemunduran, kelemahan dan keterbelakangan dalam berbagai aspek ini hanyalah sebagai sebuah buah dan hasil, dari berbagai benih penyimpangan dan penyelewengan yang ditanam oleh umat Islam sejak ratusan tahun yang lalu. Penyimpangan yang parah, apalagi bertumpuk-tumpuk, sudah pasti akan mengakibatkan bahaya yang merusak kehidupan umat Islam.
Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menyatakan bahwa kejayaan dan keruntuhan sebuah bangsa — termasuk umat Islam — adalah karena faktor diri sendiri (intern). Allah Ta’ala berfirman :
مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَآءَ فَعَلَيْهَا وَمَارَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيدِ
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hamba(Nya) (QS. 41:46)
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Al-Ro’du :11).
أَوَلَمَّآأَصَابَتْكُم مُّصِيبَةُُ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرُُ
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata:”Dari mana datangnya (kekalahan) ini” Katakanlah:”Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 3:165)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
سَأَلْتُهُ أَنْ لاَ يُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَعْطَانِيهَا
“ Aku memohon kepada Allah agar tidak menguasakan musuh non muslim atas umat Islam, maka Allah mengabulkannya.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ahmad. Silsilah Ahadits Shahihah no. 1724].
Berbagai penyimpangan yang telah dilakukan oleh umat Islam, mengakibatkan dampak negatif intern maupun ekstern. Dampak negatif tersebut adalah :
[1]- Dampak negatif intern
Umat Islam mengalami kelemahan dan kemunduran yang sangat tajam di bidang politik dan militer, sehingga kaisar Rusia Nicolas I pada tahun 1853 M mengejek daulah ‘Utsmaniah (dan dunia Islam) sebagai the sick man. Sejak akhir abad XVIII M, daulah ‘Utsmaniah sudah tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan jihad hujumi. Lebih dari itu, mulai menempuh politik membela diri dan merelakan lepasnya berbagai daerah kekuasaan di Eropa sebagai harga dari berbagai perundingan damai dan gencatan senjata. Negara-negara Eropa berlomba-lomba merebut berbagai wilayah daulah ‘Utsmaniah. Negara-negara besar Eropa mulai turut campur dalam urusan dalam negeri daulah ‘Utsmaniah dengan berbagai cara, terutama melalui berbagai perjanjian damai. Orang-orang kafir di negera-negara daulah ‘Utsmaniah mempunyai hak-hak istimewa dalam bidang hukum dan ekonomi. Semua perusahaan dan pebisnis kafir bebas berusaha di daerah daulah ‘Utsmaniah tanpa terkena pajak sama sekali. Rumah orang-orang kafir di daerah daulah ‘Utsmaniah sama sekali tak bisa disentuh hukum daulah ‘Utsmaniah, sekalipun dalam rumah tersebut terjadi kasus pelanggaran hukum yang berat. Konsul negara si kafir itulah yang akan menyelesaikan kasus tersebut. Dengan kebebasan ekonomi dan kekebalan hukum ini, orang-orang kafir ramai mendirikan bar, bioskop, pabrik minuman keras dan tempat-tempat maksiat. Tahun 1856 M, Pasha Turki pernah menutup bar seorang Yunani namun akhirnya dibuka kembali oleh Konsul Yunani dan Pasha tak bisa berbuat apa-apa. Ketika orang-orang Nasrani di Syam menuntut penghapusan jizyah dan kharaj, daulah ‘Utsmaniah terpaksa harus menurutinya. Di abad XVIII dan XIX M, hampir di seluruh pertempurannya melawan tentara salib Eropa, daulah ‘Utsmaniyah mengalami kekalahan, terutama pertempuran di laut. Ustadz Abu al-Hasan Ali al-Hasani al-Nadawi dalam bukunya, Madza Khasira al-‘Alam bi-Inhithathi al-Muslimin menggambarkan dengan sangat jelas kemunduran politik dan militer daulah ‘Utsmaniyah.
Daulah ‘Utsmaniyah juga mempunyai hutang yang sangat besar kepada yang perusahaan raksasa Perancis “Orlando and Tonibee Ltd”. Ketika negara tidak mampu membayar hutang, Perancis memaksa pembayaran segera hutang tersebut. Ketika hal itu tdak dipenuhi, Perancis marah besar dan pada tahun 1901 M merebut pulai Midley dan Maltien. Hal ini mendorong negara-negara salibis Eropa untuk merebut beberapa pulai penting lain, sehingga memaksa daulah ‘Utsmaniyah untuk menuruti segala tekanan ekonomi mereka. Sampai perang Dunia Pertama, hutang daulah ‘Utsmaniyah mencapai 3900 juta Frank, mayoritas dari Perancis, Jerman dan Inggris.
Kondisi berbagai daerah Islam tak jauh berbeda dengan daulah ‘Utsmaniyah. Mesir pada masa pemerintahan keluarga Muhammad Ali Basya menempuh cara gali lobang tutup lobang dan hutang mencapai puncaknya senilai 100 juta pound sterling pada tahun 1876 M/1312 H, pada masa pemerintahan Khudaiwi Ismail. Akibatnya gaji para pegawai tidak dibayar dan rakyat dibebani pajak yang berlipat ganda. Sebagai akibatnya, Perancis dan Inggris sebagai negara debitor membentuk lembaga pengawas keuangan di Mesir. Pada tahun 1878 M, lembaga ini memaksa keluarga Khudaiwi untuk melepaskan sebagian besar asset negara, menunjuk Wilson (Inggris) sebagai mentri keuangan dan De Bliner (Perancis) sebagai mentri pekerjaan umum. Ketika Khudaiwi akan memecat kedua mentri asing ini, negara-negara Barat turut campur dan menjatuhkan Khudaiwi. Sebagai gantinya, mereka mengangkat anak sulung Khudaiwi, Taufiq.
Ketika sultan Maroko berhutang kepada Perancis pada tahun 1321 H, disepakati Bank Perancis mengucurkan piutang sebesar 62.500.000 frank dengan imbalan, Maroko menyerahkan kepada Perancis pemasukan seluruh pelabuhan di Maroko selama 35 tahun ; sejak 1 Juli 1906 M sampai 1 juli 1941 M.
Dr. Jamil Abdullah Muhammad al-Mishri mengutip pernyataan resmi seorang direktur perusahaan Amerika yang menanamkan modal dan memberikan piutang kepada negara-negara berkembang, bahwa setiap satu dolar yang mereka piutangkan akan kembali 4,67 dolar. Artinya, mereka menangguk laba sebesar 367 %. Jelas sekali, piutang ini menimbulkan kelemahan ekonomi dunia Islam.[4]
[2]- Dampak negatif ekstren
Dengan usaha sangat serius lewat dunia pendidikan dan media massa, plus tekanan negara-negara Barat kepada para sultan daulah ‘Utsmaniyah, sedikit demi sedikit sistem perundang-undangan Eropa mulai diadopsi oleh daulah ‘Utsmaniyah. Dimulai oleh sultan Sulaiman yang menetapkan beberapa undang-undang dengan berkiblat kepada undang-undang Eropa —hal yang menyebabkannya digelari sebagai al-Qanuni—, lalu sultan Salim III yang memasukkan sistem militer dan politik ala Perancis. Penasehat sultan Salim III adalah Saint Maur, seorang diplomat Perancis yang sangat mewarnai kebijakan politik sultan Salim III.
Sultan Salim III dibunuh oleh sultan Musthafa IV, namun sultan Musthafa IV juga dibunuh oleh sultan Mahmud II. Sultan Mahmud II yang mulai memegang tampuk kekuasaan tahun 1808 M, sangat kagum dengan budaya dan tradisi Eropa. Di masa kekuasaannya, diberlakukan kebijakan westrenisasi besar-besaran, tanpa mengindahkan akidah dan budaya Islam sama sekali.[8]
Sultan Mahmud II adalah putra kedua sultan Abdul Hamid I dari istri perempuan Perancis. Ia sukses mensekulerkan daulah Utsmaniyah dan menyingkirkan syariah Islam setelah pada tanggal 13-14 Juni 1826 H berhasil menghancurkan pasukan Inkisyariyah —pasukan pengawal setia para sultan sebelumnya, setia kepada tradisi Turki lama —. Dengan keberhasilan ini, tak seorangpun yang berani menentang usaha westernisasi dan sekulerisasi yang diterapkan oleh sultan. Padatahun 1837 M, sultan memerintahkan penulisan sebuah ensiklopedi perdata. Masalah-masalah perdata yang tidak ada nash dari al-Qur’an dan al-Sunah, diambilkan dari sistem perundang-undangan sipil Eropa.
Ustadz Muhammad Rasyi Ridha menyebutkan, sebagian besar undang-undang Eropa diadopsi ke dalam perundang-undangan daulah Utsmaniah, namun justru ilmu pengetahuan, teknologi dan industri tidak dipelajari dengan baik. Pada masa sultan Mahmud II, sekolah-sekolah yunani, Armenia dan Katolik menjamur. Sejak tahun 1826 H, pengiriman para mahasiswa untuk belajar ke Barat juga mulai gencar. Di zamannya pula, musik mulai masuk ke dalam militer. Usaha westernisasi ini semakin hari semakin parah, dan dilanjutkan oleh para sultan dan mentri sesudahnya. Pada tahun 1839 M, ia digantikan oleh putranya, sultan Majid Abdul. Pada masa sultan Abdul Majid, tahun 1839 M, dikeluarkan undang-undang yang menyamakan status seluruh rakyat, apapun agama mereka —penghapusan ahlu dzimmah—. Di hadapan undang-undang negara, seluruh agama mempunyai kedudukan yang sama. Inilah awal tumbuhnya nasionalisme di dunia Islam. Pada tahun 1854 M dan 1856 M, ia mengeluarkan undang-undang yang meresmikan westernisasi dan sekulerisasi hukum dan undang-undang daulah ‘Utsmaniyah.[9] Sultan Abdul Hamid II diawal pemerintahannya, 1876 M, dipaksa untuk menetapkan dan menjalankan undang-undang Eropa tersebut, namun pada tahun 1878 M beliau membuangnya dan kembali menerapkan syariah Islam. Usahanya ini mendapat tekanan keras kaum nasionalis sekuler dan Barat, yang mengadakan kudeta militer pada tahun 1908 M. Peristiwa ini mengakibatkan pelengseran sultan pada tahun 1327 H / 1909 M.
Pada masa kemunduran dunia Islam, kristenisasi gencar menyerbu dunia Islam bersamaan dengan gencarnya serangan tentara salibis Eropa. Dengan berkedok sebagai warga negara asing dari Inggris, Amerika, Denmark atau Perancis, para misionaris berduyun-duyun melakukan aksi pemurtadan di daerah-daerah kekuasaan daulah ‘Utsmaniyah. Daulah ‘Utsmaniyah sendiri tidak bisa berbuat banyak, karena pembelaan konsulat-konsulat negara salibis Eropa yang melindungi para misionaris tersebut.
Dr. Jamil Al Mishri mengutip laporan majalah Time (AS) edisi 3/5/1982 M, bahwa 5.6 juta umat Islam Indonesia telah berhasil dikristenkan. Beberapa kali sensus menyebutkan bahwa jumlah umat Islam Indonesia menyusut dari 96 % menjadi 86 % sementara jumlah Nasrani Katholik dan Protestan meningkat dari 2 % menjadi 8,8 % selama masa kemerdekaan.[10]
Dr. Abdul Halim Uwais dalam laporannya di majalah Al Mujtama’ edisi 10 Sya’ban 1405 H menulis, di Afrika terdapat 104 ribu para penginjil, 93 ribu laki-laki dan perempuan yang bekerja secara sukarela pada lembaga-lembaga pembagi Injil, 16671 sekolah gereja untuk berbagai jenjang, 500 universitas di seluruh Afrika di bawah kendali gereja dan lebih dari 489 sekolah teologi untuk mencetak kader-kader penginjil dan misionaris. Setiap tahunnya AS mengirim lebih dari 600 juta dolar untuk kristenisasi di Afrika.
Majalah Da’wah Al Mishriyah edisi Dzulhijah 1403 H juga menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 17 juta para dokter, peneliti dan aktivis LSM yang tergabung dalam lembaga-lembaga misionaris dan penginjil, serta terdapat lebih dari 300 universitas dan sekolah teologi yang mencetak para penginjil dan misionaris yang siap diterjunkan di manapun juga.[11]
Penyimpangan Dunia Pendidikan, Awal Kehancuran
Uraian tentang realita umat Islam selama beberapa abad sebelum runtuhnya daulah ‘Utsmaniyah 1924 M di atas, secara jelas menggambarkan bahwa runtuhnya daulah ‘Utsmaniyah bukanlah titik balik kemunduran peradaban Islam. Justru, ratusan tahun selama keberadaan daulah ‘Utsmaniyah, keterbelakangan, kemunduran dan kerusakan telah menggerogoti umat Islam. Bahkan —maaf— daulah ‘Utsmaniyah banyak ikut berperan memperburuk suasana kemunduran tersebut, sekalipun dalam beberapa aspek juga berperan besar membawa umat Islam kepada kejayaan.
Berbagai kelemahan di bidang politik, militer, sosial, budaya, ekonomi dan iptek, juga fenomena al-ghazwu al-fikri, imperialisme modern dan kristenisasi, hanyalah buah dari bibit-bibit penyimpangan yang telah dilakukan oleh umat Islam. Seorang dokter yang arif tentu akan mencoba mengobati bibit-bibit yang menjadi sumber kerusakan, bukan mengobati buahnya. Dus, berbagai penyimpanganlah yang harus pertama kali diobati, bukan dampak negatif dari berbagai penyimpangan tersebut.
Dalam wacana jatuh bangunnya peradaban Islam ini, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais[12] menyampaikan sebuah kajian berharga. Beliau menulis
“ Selalunya, sebuah peradaban runtuh dari dalam…sesungguhnya perang (serangan dari luar) datang tak lebih dari sebuah badai. Ia hanya mencabut pohon-pohon yang tidak mempunyai akar, atau pohon yang akarnya lapuk, atau berakar kokoh namun batangnya sakit sehingga akhirnya si batang pun tumbang. (memang) terkadang batangnya tumbang, namun akar-akarnya tetap layak —setelahnya —untuk membangun sebuah batang yang baru dan muncul sekali lagi.”
Menurut beliau, keruntuhan sebuah peradaban — tak terkecuali peradaban Islam — tak lepas dari tiga proses, yaitu marhalatu fasad al-fikr, marhalatu fasad al-suluk dan marhalatu al-inhiyar.
[1]- Marhalatu fasad al-fikr. Fase ini adalah fase yang menjadi titik awal sebuah kehancuran. Dimulai dengan rusaknya konsep hubungan manusia-Allah Ta’ala; manusia-manusia ; manusia-alam sekitar dan menyimpangnya manusia dari kebenaran, kesempurnaan dan kebajikan (al-inhiraf ‘an al-haq, al-kamal, al-khair). Sedikit-demi sedikit, manusia menyimpang dari jalan al-haq, menuruti hawa nafsu dan berjalan di atas ilmu (al-fikr / al-manhaj) yang bengkok. Proses ini merupakan perubahan total yang menyerang aspek pemikiran dan kejiwaan manusia (al-inqilabu al-dzihni wa al-nafsi al-mutadani). Manakala manusia sudah mulai menyimpang dari kebenaran dan ilmu yang benar, sejatinya ia telah memasuki babak keruntuhan pemikiran dan kegelapan akidah (al-inhiyar al-fikri wa al-dhulam al-‘aqdi ; QS. 2:6-7). Fase ini juga merupakan fase kebekuan dan kejumudan serta rusaknya konsep way of life (marhalatu inghilaq fikri wa fasad al-manhaj ; QS. 7 :96,16:112-113). Ini suatu hal yang sangat bisa dipahami, mengingat ilmu atau fikrah merupakan asas, fondasi dan titik tolak kehidupan di muka bumi ini. Sebuah peradaban akan tegak diatas sebuah dasar manhaj yang lurus, dan sebaliknya mankalaa penyimpangan pemikiran telah menjadi fondasi, keruntuhan peradaban tinggal menunggu saatnya (QS. 20:123-124). Kesesatan pemikiran ini bisa terjadi lewat beberapa pintu, yaitu (a)-mengikuti para pemimpin dan ulama yang menyesatkan (itttiba’ al-thawaghit min al-ashnam al-basyariyah), atau (b)- aliran-aliran pemikiran yang menyimpang (al-madzahib al-munharifah), atau (c)- tokoh-tokoh panutan yang hidup hedonis (QS. 33:67-68; 34:34). Ilmu yang salah akan menghasilkan tindakan yang salah pula. Secara padat, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais meringkasnya denga menyebutkan kaedah emas “salamatu al-fikr hiya al-dhamin li-salamati al-suluk.” Dalam kajian kita atas realita umat Islam di atas, jelas sekali penyimpangan pemikiran dan konsep way of life ini berawal dari penyimpangan akidah (pint 1-8) dan penyimpangan ilmiah (point 1-3). Dalam hal ini, para ulama, da’i, mubaligh, ustadz, guru, pemerintah dan setiap orang yang menaruh perhatian terhadap kejayaan Islam mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga kelurusan al-fikr, dan mengobati berbagai penyimpangan al-fikr. Bila kewajiban ini tidak ditunaikan secara benar —imam al-Khatib al-Baghdadi (392-462 H) dalam al-Faqih wa al-Mutafaqih menyebutkan “wa hafizha syari’ata al-iman bi al-muta’allimin wa amarahum bi al-ruju’i ilaihim fi al-nawazil[13]”—, berarti penyimpangan al-suluk (point penyimpangan akidah no.9) pun telah terjadi. Artinya, mereka telah menjadi masinis bagi runtuhnya gerbong peradaban Islam.
[2]- Marhalatu fasad al-suluk. Secara normatif dan empirik telah terbukti bahwa tartibu al-suluk al-sayyi’ ‘ala al-fikr al-sayyi’, sebuah pemikiran yang buruk akan menelurkan tindak tanduk yang bejat (QS. 30:41,8:53,17:16). Fase ini merupakan fase al-dzunub, di mana sarana-sarana hidup kemewahan telah merajalela, kehidupan materialisme menggejala dan al-fikr sudah tundauk kepada materi. Ketika kebejatan moral dan sosial sudah di luar ambang batas, kemungkaran dan kemaksiatann sudah menjadi menu harian masyarakat, maka hukuman Ilahi adalah peringatan yang paling cocok. Allah Ta’ala mengadzab mereka, karena memang sudah sangat layak untuk menerima peringatan terakhir tersebut (QS. 34:34-35). Kesesatan pemikiran telah mendorong mereka untuk menempuh pola hidup yang salah. Kesesatan pemikiran telah membutakan mereka dari melihat kebenaran sunatullah dan sejarah (QS. 6:6,9:69). Inilah yang telah terjadi pada kaum-kaum terdahulu ; kaum nabi Nuh (QS. 11:46), kaum ‘Aad (QS. 11;59), kaum Tsamud (QS. 11:65,67), kaum Luth (QS.78,82-83), dan kaum Madyan (QS. 11:94-95). Ini pula yang telah terjadi pada diri umat Islam (point dampak negatif intern 1-4 dan ekstern 1-3). Dari rangkaian sejarah dalam surat Huud di atas, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais menyimpulkan dari ayat 100-102, bahwa inna al-suluk al-akhlaqi al-munharif huwa thariqu al-inhiyar al-hadhari, wa laisa al-dho’fa al-madiyya awa al-taqanniya. Allah Ta’alaala Maha Pengasih kepada hamba-Nya. Dengan rahmat-Nya, manusia diberi jeda waktu untuk kembali kepada al-haq. Bila setelah jeda dan penangguhan ini manusia tetap dengan fasadu al-fikr dan fasadu al-suluknya, maka fase ketiga telah menantinya (QS. 6:44, 3;178,6:6). Pada saat itulah, tiada bergua lagi penyesalan (QS. 10:101).
[3]- Marhalatu al-inhiyar. Fasadu al-fikr dan fasadu al-suluk telah terkumpul pada diri umat Islam. Maka masyarakat Islam pun mulai menghalami pukulan-pukulan mematikan dari intern umat, maupun dari ekstern umat. Inilah sunatullah, dan sunatullah sennatiasa menjamah setiap hamba, tak peduli ia sebuah umat yang menamakan dirinya umat Islam (QS. 4:123). Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais memungkasi penjelasannya dengan sebuah kesimpulan yang sangat telak “ laqad ashbaha al-bina’ al-ijtima’i hasyan yaquumu ‘ala ususin fasidah…fala amala fi ‘ilajihi, bal laa budda in isqathihi.” Beliau lalu menyitir QS 9:109 dan QS. 13 :25.
Penutup
Uraian di atas, saya kira, sudah cukup untuk memahami judul makalah ini. Ya, pendidikan dan dakwah adalah salah satu ujung tombak bagi kemajuan dan kejayaan umat. Berperannya pendidikan dan dakwah yang benar, akan menjadi titik awal kemajuan umat. Sebaliknya, pendidikan dan dakwah yang salah, atau benar namun tidak terarah dan tepat guna, akan menjadi pintu pertama terjerumusnya umat Islam ke dalam jurang kemunduran.
Evaluasi menyeluruh dan terus menerus, senantiasa diperlukan oleh seluruh pihak yag terlibat dalam pendidikan dan dakwah Islam, untuk mencapai sebuah sholah al-fikr. Namun sholah al-fikr semata belum cukup bagi para aktivis pendidikan dan dakwah.Mereka juga dituntut untuk menunjukkan sholahu al-suluk, memberi qudwah dan uswah kepada umat dengan mengejawantahkan al-fikr ke dalam aksi nyata, sholahu al-suluk. Bila ini berhasil dilaksanakan, maka akan tersajikan suguhan total football yang sangat menawan. Para aktivis pendidikan dan dakwah tidak saja akan menjadi benteng pertahanan yang baik bagi syariah Islam, namun juga akan memerankan diri sebagai playmaker yang mampu memimpin dan mengatur tempo permainan. Bahkan, —syukur-syukur—, bisa bertandem dengan ahlu al-jihad[14] memerankan diri sebagai duet striker maut yang siap mengoyak jala musuh. Bila ini yang terjadi, gol-gol indah siap memeriahkan pentas peradaban Islam di panggung dunia. Sebaliknya, bila para aktivis pendidikan dan dakwah tidak sigap mengembangkan diri, memupuk kemampuan dan meningkatkan mutunya, atau kadar minimal kesholehan fikr belum terpenuhi, sangat wajar bila banyak pihak akan menuding pendidikan dan dakwah sebagai biang kerok kemunduran umat Islam. Dan, tudingan tersebut akan semakin menemukan sasarannya manakala para aktivis pendidikan dan dakwah gagal menampilkan kesholehan suluk, dengan tidak adanya qudwah dan uswah hasanah kepada umat.
Wallahu Ta’ala A’lam bish Shawab.
والحمد لله رب العالمين وصلى الله تعالى وسلم على نبينا محمد و على آله وصحبه أجمعين
Waru, 5 Jumadi al-Ula 1425 H
[1]– Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal. 697-698.
[2] – Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat hal 718-721.
[3] – Muhammad Qutb, Waqi’una al-Mu’ashir, hal 159.
[4] – Jamil Abdullah Muhammad al-Mishri, Hadhiru al-‘Alam al-Islamy wa Qadhayahu al-Mu’ashirah, Riyadh, Maktabatu al-‘Ubaikan, cet 6,1422 H /2001 M, hal 249.
[5] – Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal 783-784.
[6] – Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal 798-dst.
[7] – Jamil Abdullah al-Mishri, Hadhiru al-‘Alam al-Islamy wa Qadhayahu al-Mu’ashirah, hal 91.
[8] – Ali Bakhit al-Zahrani, al-Inhirafat, hal 878.
[9] – Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal 880-892.
[10] – Jamil al-Mishri, Hadhiru al-‘Alam al-Islami, hal 481-490.
[11] – Ali Bakhit al-Zahrani, Al-Inhirafat, hal. 930-976.
[12]– Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais, Al-Qur’an wa al-Sunah ka-Masdaarin li-Tafsiri al-Tarikh, dalam Al-Manhajiyatu al-Islamiyyatu wa al-‘Ulum al-Sulukiyatu wa al-Tarbawiyatu, Virginia, The International Institute of Islamic Thought, cet 2, 1415 H / 1994 M, hal 403-431. Makalah ini beliau sampaikan dalam al-Mu’tamar al-‘Alami li al-Fikr al-Islami IV, di Khartoum, Sudan, 1407 H /1987 M.
[13] – Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdadi, Al-Faqihu wa al-Mutafaqih, damam, Daaru Ibni al-Jauzi, cet 1, 1417 H / 1996 M, juz 1 hal 69-70.
[14] — lihat formasi duet handal yang diajukan oleh imam Sufyan bin ‘Uyainah dan imam Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah dalam al-Khatib al-Baghdadi, Al-Faqihu wa al-Mutafaqih, juz 1 hal 148-149. Sebenarnya Islam tidak membuat dikotomi ahlu al-‘ilmi harus di belakang dan ahlu al-jihad harus di depan. Pembagian tugas ini memang sangat tepat dan proporsional dalam kondisi normal. Namun dalam kondisi tertentu, seperti saat jihad menjad fardhu ‘ain, kehadiran para ahlu al-‘ilmi di depan sebagai striker bersama ahlu al-jihad adalah sebuah kewajaran, bahkan sebuah kewajiban. Di sinilah aspek qudwah ahlu al-‘ilmi akan mendidik dan membekas dalam diri umat, sampai ratusan dan ribuan tahun berikutnya. Pada masa salaf, saat kondisi jihad fardhu ‘ain, kehadiran para ahlu al-‘ilmi seperti imam Sufyan bin ‘Uyainah, Abdullah bin Mubarak, Asad bin Furat, Ahmad bin Ishaq al-Surmari, dan lain-lain menjadi hal yang sangat umum. Bayangkan, bagaimana bila kondisi jihad sudah menjadi fardhu ‘ain ? Menurut penulis makalah ini, duet striker dan total football pada masa sekarang merupakan strategi permainan yang paling realistis dan sesuai dengan syariah. Masih menurut penulis, itulah sebagian dari wujud sholahu al-fikr yang diejawantahkan dalam sholahu al-suluk. Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Beirut, Muassasatu al-Risalah, juz 4 hal 92-93; Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqatu fi Ushuli al-Syari’ah, Beirut, Daaru al-Kutub al-‘Ilmiyah, juz 1 hal 44 dan 47 ; Ibnu Qayyim, I’lamu al-Muwaqi’in, Beirut, Daaru al-Jiil, juz 1 hal 176-177 dan juz 2 hal 252.
Artikel ini ditulis dengan ‘canggih’ oleh Abu Ammar, dan dipublish oleh Ibnu Abdil Bari el ‘Afifi.