Menilik sejarah perjuangan umat islam, jihad merupakan satu aktivitas yang tak pernah luput dari kehidupan mereka. Amaliah jihadiah akan senantiasa berjalan sesuai dengan sunnatullah. Ia akan berkensinambungan antar generasi, menjadi solusi bagi berbagai problematika yang dialami kaum muslimin. Sebagaimana telah dikhabarkan oleh Rasulullah saw dalam hadits: “agama ini akan senantiasa tegak, yang perperang diatasnya segolongan dari kaum muslimin sampai tibanya hari kiamat”. (Hr. Ahmad)
Kebenaran hadits tersebut telah terbukti. Gema jihad membahana membakar semangat kaum muslimin. Harakah-harakah jihad banyak bermunculan di sekian wilayah kaum muslimin yang tertindas. Bahkan berbagai aksi yang merupakan ekspresi dari luapan semangat tersebut sempat mengguncangkan dunia. Meski dibalik itu semua mereka harus menghadapi ancaman bahaya yang lebih besar. Demikian pula tindakan tersebut mengharuskan mereka menelan pahitnya berbagai kritik yang kelur dari orang-orang yang tidak menyetujui aksi yang mereka lancarkan.
Tanpa memungkiri pentingnya jihad yang merupakan solusi dari keterpurukan ummat islam, ada suatu permasalahan yang perlu menjadi evaluasai bagi harakah-harakah jihad yang ada. Dari sekian aksi yang dilancarkan benarkah akan mengarahkan kepada target yaitu kemengan yaitu tamkin (kekuasaan)?. Atau sekedar merupakan aksi nikayah (membunuh dan melukai musuh) yang merupakan luapan semangat yang belum tersusun dengan rapi.
Dalam makalah ringan ini kami ingin mengangkat suatu permasalahan yang perlu menjadi bahan pertimbangan bagi kaum muslimin. Bukan bermaksud untuk mendudukkan perkara yang halal dan haram. Karena perbandingan yang kami akan paparkan masih dalam lingkup perkara yang diperbolehkan. Akan tetapi memilih yang terbaik diantara dua cara yang diperbolehkan merupakan perintah dari allah swt. “orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya . Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
(oleh: uweis abdullah)
Jihad Aceh 2010 di Mata Musuh Islam
Ada tulisan menarik dari Sidney Jones berkaitan tentang refleksi jihad Aceh 2010. Hal ini sangat diperlukan untuk membandingkan refleksi jihad Aceh dari kacamata musuh dengan refleksi dari kalangan pendukung jihad. Semoga bermanfaat.
Berikut tulisannya:
Terorisme: Pelajaran dari Aceh
DITEMUKANNYA kamp pelatihan teroris di Aceh dan munculnya Dulmatin di Pamulang, sangat mengejutkan saya dan banyak orang lain. Banyak pula pelajaran yang bisa kita petik.
1. Pemunculan Jaringan “Super-ekstrim”.
Kelompok di sekitar Dulmatin dan “Tanzim al-Qaeda untuk Serambi Mekkah” bukanlah Jemaah Islamiyah, meskipun Dulmatin, seperti Noordin Top, sudah dibai’at menjadi anggota JI. Ini tampak dalam rekaman video yang dibuat kelompok tersebut –yang muncul di YouTube, 8 Maret– yang mengajak umat di Indonesia bergabung melakukan jihad namun dengan keras mengkritik JI sebagai organisasi yang mandul dan tidak melakukan apa pun.
Orang-orang yang bergabung dalam kelompok Aceh adalah orang-orang yang sebagian besar kelihatannya lebih berafiliasi dengan DI daripada JI, walaupun termasuk juga orang JI yg dulu dekat Noordin. Kelompok ini tampaknya meliputi semacam “barisan sakit hati” dari unsur sejumlah organisasi yang berbeda-beda, termasuk Ring Banten, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Mujahidin KOMPAK, Wahdah Islamiyah, dan segelintir orang dari JI. Mereka sudah resah dengan kepemimpinan yang dianggap hanya duduk-duduk saja tanpa berjihad, dan lebih memihak pada ideologi al-Qaeda yang menghimbau semua orang Islam untuk melawan Amerika dan sekutunya kapan pun, dimanapun dan bagaimanapun bisa. Dengan kata lain, mereka ingin melanjutkan perjuanganNoordin Top.
2. Pertalian internasional yang lebih kuat.
Sebelum kembali ke Indonesia, Dulmatin dan Umar Patek tinggal di Mindanao selama tujuh tahun, awalnya bersama MILF, kemudian dengan Kelompok Abu Sayyaf. Kalau benar bahwa mereka sudah lama bolak balik antara Filipina dan RI menggambarkan bahwa komunikasi dan koordinasi antara kelompok ektremis di dua negara tersebut lebih luas daripada perkiraan kita selama ini. Sangat mungkin bahwa Dulmatin dan rekan-rekannya menganggap diri sebagai komponen Mindanao dari “Tandzim al-Qaeda untuk Gugusan Melayu” –nama yang diberikan Noordin bagi jaringannya saat pengeboman Bali II.
Namun, mata rantai ini jauh melampaui Filipina. Moh. Jibriel, sekarang ditahan di Jakarta, menyampaikan kepada rekannya bahwa pada akhir 2007 ia mengunjungi Waziristan, basis Taliban Pakistan. Jibriel, yang dulu menjadi anggota “kelompok al-Ghuraba”, bagian dari JI yang pada 1999-2003 membantu calon mujahidin dari Asia Tenggara, khususnya dari Indonesia dan Malaysia, mendapat pelatihan di Afghanistan dan Kashmir. Hubungan antara Indonesia dan Pakistan mestinya masih ada, dan ada berita yang masih belum dikonfirmasi, bahwa ada beberapa ektremis asal Indonesia yg pulang dari Afghanistan awal tahun ini. Besar kemungkinan jaringan teroris Indonesia mempunyai komunikasi langsung dengan pemimpin senior kelompok teroris di Pakistan, dan mungkin juga di Timur Tengah dan Afrika Utara.
3. Mencari “qoidah aminah”.
Para pemimpin kelompok gabungan ini dilaporkan memilih Aceh karena mereka mencari “qoidah aminah”, atau basis yang aman. Selama konflik Poso, dan khususnya sesudah 2001, JI memandang Poso sebagai qoidah aminah, tempat yang memungkinkan untuk melakukan jihad, mengembangkan komunitas Muslim yang ingin menerapkan hukum Islam secara penuh, dan bekerja untuk daulah islamiyah, atau negara Islam. Tapi, setelah operasi Densus 88 di Poso padaJanuari 2007, banyak anggota kelompok radikal ini ditahan, tertembak mati, atau terpaksa lari, dan tempat ini tidak lagi menjadi basis yang ideal. Kemungkinan Aceh menjadi menarik karena inilah satu-satuya wilayah di Indonesia dimana hukum Islam bisa diterapkan secara penuh. Banyak pula kelompok radikal muncul di Aceh sesudah tsunami, dan membuka cabang disana. DI/NII dan JI sudah lama punya jaringan di Sumatra – apalagi di Medan, Riau, dan Lampung – dan kemungkinan turut membantu.
4. Para pemimpin dan rekrutan masih banyak.
Setelah tewasnya Noordin, banyak orang berpikir bahwa masalah terorisme sudah selesai. Ternyata tidak. Tidak sedikit orang-orang lain yang memiliki kharisma dan pengalaman tempur di Poso, Ambon, Mindanao dan lebih jauh lagi, yang bisa mengambil alih pimpinan. Ada juga generasi baru yang mungkin sedang diindoktrinasi di sekolah-sekolah JI – suatu jaringan yang terdiri dari sekitar 50 pesantren, sebagian besar di Jawa tapi juga di Sumatra dan NTB. Bukan hanya kebetulan kalau anak-anak Dulmatin terdaftar di salah satu sekolah ini di Sukoharjo, atau bahwa teroris dan ahli pelarian asal Singapura, Mas Selamat Kastari, mengirim putranya ke salah satu lainnya. Sebuah pesantren di Aceh, yang tidak terhubung ke JI, rupannya berperan merekrut anak lokal untuk kelompok ini. Masalahnya bukan hanya di sekolah-sekolah ini; seorang Aceh pengedar narkoba direkrut di penjara Medan, dan Syafiudin Zuhri merekrut pelaku bom bunuh diri di suatu masjid kecil di Bogor. Namun, jaringan sekolah radikal ini merupakan masalah serius, dan kita perlu menemukan cara kreatif untuk mencegah radikalisasi para santri mereka, tanpa menstigmatisasi sistem pendidikan Islam pada umumnya.
5. Memahami dinamika lintas-batas.
Ketika Dulmatin dan Umar Patek beroperasi di Jolo, Mindanao, Pasukan Khusus Amerika Serikat, yang diperlengkapi alat-alat canggih, sedang membantu Angkatan Bersenjata Filipina melawan Abu Sayyaf. Namun, tidak ada yang tahu bahwa dua orang yang paling dicari di wilayah itu sudah meninggalkan Mindanao, tiba di Indonesia dan pergi ke Aceh. Amerika toh juga tidak menemukan Osama bin Laden, jadi negara-negara di Asia Tenggara mempunyai teman senasib. Lagi pula, kemampuan mengelak dari pasukan keamanan menjadi ciri khas pemimpin teroris yang baik.
Tugas lintas-batas menjadi sangat penting. Dalam dekade terakhir, sudah ada kemajuan pesat dalam berbagi informasi secara regional, tapi masih ada kekurangan: Kepolisian Indonesia tidak memiliki keahlian nyata dalam hal jaringan teror di Filipina, Kepolisian Filipina di kelompok Malaysia, atau siapa pun di Asia Tenggara di kelompok Asia Selatan dan sebaliknya. Dengan demikian, sangat penting bagi semua yang terlibat dalam kegiatan kontraterorisme untuk memahami dinamika yang melampaui batas mereka sendiri agar bisa memahami bagaimana berbagai kelompok ini terhubung sekarang –atau mungkin di masa depan.
6. Pergeseran sasaran.
Kita melihat para ekstremis mengubah dan memperluas definisi mereka mengenai siapa musuhnya. Pada puncak konflik Ambon dan Poso, musuh yang dimaksud adalah penduduk Kristen setempat. Di Poso, ditambah dengan yang dicap pengkhianat dan informan polisi, dan pejabat pemerintah yg dianggap “menzholimi” mereka. Seperti, misalnya, kasus seorang jaksa di Palu yang dibunuh karena menghukumi mujahidin Poso. Bom Bali 2002 merupakan indikasi pertama bahwa definisi dari al-Qaeda mengenai musuh — negara-negara Barat dan warganya yang membayar pajak untuk mendukung “mesin perang” terhadap orang Islam — sudah diadopsi. Fokusnya bisa saja ditujukan ke pejabat pemerintah Indonesia yang dianggap ”thoghut” atau serupa dengan kafir karena aliansinya dengan Barat atau menentang syariah. Di bulan Juli, jaringan Noordin merencanakan menyerang Presiden Yudhoyono; bisa saja pejabat terkemuka sekarang menempati urutan atas daftar sasaran, setara dengan gedung-gedung bermerk internasional.
Ini semua memperjelas fakta bahwa tidak benar berpuas diri setelah kematian Noordin, dan tidak benar berpikir bahwa ancaman terorisme sudah berkurang dengan tewasnya Dulmatin. Ekstremis di Indonesia sudah menunjukkan kemampuan untuk beradaptasi, membentuk kelompok baru, beregenerasi, dan terus melawan.
Indonesia perlu meningkatkan upaya kontraterorisme, dan Polri –yang mengetahui lebih banyak tentang jaringan ini dibanding lainnya– harus memegang peran utama. Harus ada brainstorming dan sharing dengan orang-orang dari negara lain untuk memahami program apa yang sudah berhasil, apa yang tidak berhasil dan apa sebabnya, serta apa yang bisa disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan di Indonesia.
Mencari upaya untuk mencegah rekrutmen lebih baik tapi juga jauh lebih sulit daripada menerbitkan buku-buku yang mengandung interpretasi lebih moderat tentang jihad, dan lebih efektif pada jangka panjang daripada dialog antaragama. Upaya pencegahan ini termasuk meningkatkan kemampuan pemuda dan orangtuanya memahami “warning signs” (tanda peringatan) radikalisasi, dan mempunyai program yang dapat membantu membendung proses tersebut. Ini termasuk menawarkan pilihan hidup yang berbeda dan opsi karir bagi siswa sekolah-sekolah radikal. Terorisme tidak bisa diberantas dengan segera, tapi banyak upaya yang bisa dikerjakan bersama oleh pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta.
Sidney Jones in Tempo
11 Maret 2010
Sidney Jones, Penasihat Senior untuk Program Asia, International Crisis Group.
“Kita Tidak Sedang Menolong Palestina…”
Cerita Gulden Sonmez, Muslimah Pemberani di IHH. Satu di antara 15 orang anggota dewan eksekutif di organisasi yang memiliki kerja sosial di lebih dari 100 negara ini
Di Atas Mavi Marmara di Laut Tengah—Ada seorang perempuan berkacamata, bermantel dan berjilbab hitam, menggendong ransel kecil hitam, dan berkalungkan kafiyeh putih-hitam yang hampir tak pernah tampak duduk diam di antara staff Insani Yardim Vakfi (IHH) dan para peserta kafilah Freedom Flotilla.
Sejak diluncurkannya Mavi Marmara pada Sabtu 22 Mei sampai hari ini, Ahad 30 Mei, hanya sekali staf senior IHH ini memberi pengarahan kepada peserta dan wartawan.
Namun tampak jelas bahwa pemudi-pemudi berjilbab dan tangkas serta pemuda-pemuda tampan dan santun dari IHH itu menghormatinya dan melaporkan segala sesuatunya kepadanya.
Dan ketika semua anggota armada dari berbagai penjuru dunia – termasuk kapal kecil yang membawa para anggota parlemen negara-negara Uni Eropa yang berangkat dari Cyprus –Turki – datang bergabung dengan Mavi Marmara di salah satu titik di Laut Tengah, dialah yang diajak berunding oleh Presiden IHH Fahmi Bulent Yildirim di top deck.
Gulden Sonmez dalah satu di antara 15 orang anggota dewan eksekutif di organisasi yang memiliki kerja sosial di lebih dari 100 negara ini. Di atas dewan ini adalah Presiden IHH, di bawahnya ada dewan pekerja harian, dan di bawahnya lagi barulah departemen-departemen amal khairiyah IHH.
Sudah lebih dari tujuh tahun Gulden bekerja di IHH. Dia mengawali kerjanya di organisasi kemanusiaan terbesar di Turki ini dengan mendirikan unit-unit khusus perempuan dan anak yatim. Sekarang ini Gulden merangkap sebagai pimpinan atau kepala unit Riset dan Pengembangan di IHH.
Gulden juga seorang pengacara hak asasi manusia yang memiliki rekam jejak kerja yang cukup panjang selama 15 tahun terakhir ini, termasuk dalam kampanye pembebasan korban-korban kekerasan di berbagai tempat serta kampanye antiperang. Lebih dari 20 kali sudah dia maju ke pengadilan dalam upayanya melawan pelarangan berhijab di universitas dan kantor-kantor pemerintah.
Uniknya, Gulden tidak bisa maju sebagai pengacara meskipun dia lulusan Fakultas Hukum Universitas Marmara di Istanbul pada tahun 1985 – justru karena pelarangan berhijab di kantor-kantor pemerintah itu!
“Pada saat-saat seperti itu, saya maju bukan sebagai pengacara tetapi sebagai idarah (manager) kantor Muzlemdar,” tutur Gulden. Muslimah kelahiran tahun 1969 ini sekarang juga menjabat wakil presiden Muzlemdar, organisasi hak asasi terkemuka di Turki.
Gulden adalah salah satu motor penting yang menggerakkan Freedom Flotilla to Gaza ini. Gerak-geriknya di atas Mavi Marmara tak tampak menyolok; dia tidak tampak sedang mencari perhatian para wartawan atau peserta, namun rapat-rapat penting yang tak boleh diganggu wartawan biasanya dihadiri Gulden.
Semangat
Semakin mendekati pantai Gaza, Gulden tampak semakin sibuk. Ketika ditanya bagaimana perasaannya, Gulden tersenyum lebar. “Saya merasa puas. Ini tahap penting bagi Flotilla kita ini. Insya-Allah kita akan menuju titik akhir perjalanan kita ini,” ujarnya. “Saya bersemangat sekali membayangkan betapa pada saat ini begitu banyak penduduk Gaza yang menunggu-nunggu kita di pantai Gaza. Saya membayangkan perjumpaan dengan mereka, dan inilah yang membangkitkan semangat saya!”
Tetapi sudah begitu banyak kabar tentang berbagai skenario Israel untuk menyambut kedatangan Freedom Flotilla termasuk rencananya menangkap warga Israel yang ada di atas Mavi Marmara, menginterogasi dan memenjarakan warga Palestina, mendeportasi semua warga lain dan merebut barang-barang bantuan kemanusiaan yang dibawanya. Bagaimana bila skenario itu berhasil?
“Bahkan bila Israel berhasil memaksa kita kembali sekali pun, ini tetap merupakan tahap vital dalam misi kita mendobrak embargo Israel atas Gaza,” jawab Gulden. “Secara pribadi saya tentu akan merasa sedih, tapi kita akan terus mencoba lagi.”
Gulden mengakui bahwa para penyelenggara Freedom Flotilla di IHH sudah memikirkan berbagai kemungkinan termasuk penangkapan-penangkapan. “Kalau ada yang ditangkap, kemungkinan besar tentu para penyelenggara di IHH,” tuturnya. “Bagaimana kalau saya ditangkap? Secara pribadi saya tidak punya persiapan apa pun kalau ditangkap, tapi IHH sudah pasti akan berusaha untuk tidak membiarkan Israel masuk dan menangkap kita.”
“Pastilah Israel akan mencoba tapi semaksimal mungkin we will fight back…karena kita adalah organisasi sipil!”
Menolong Diri Sendiri
Mengapa Gulden begitu bersemangat membicarakan dan mengkampanyekan perlawanan terhadap embargo dan semua kejahatan Israel atas Palestina dan Gaza? “Karena embargo di Gaza adalah sebuah kejahatan militer dan kita harus melawan,” jawab Gulden.
Dia mengingatkan bahwa saat ini ada ada ribuan orang Palestina yang dipisahkan dari keluarga, dari satu sama lain, oleh tembok yang tinggi. Ada 12 ribu orang Palestina yang menderita di penjara. Sudah ribuan orang Palestina yang mati dibunuh Israel termasuk perempuan dan anak-anak.
“Lalu apakah Anda mengira kita bisa duduk diam saja? Kita ini Muslim. Karena itu kitalah yang harus menghadapi masalah Palestina ini sendiri,” tegasnya. “Dan jangan Anda mengira bahwa Anda sedang menolong Palestina. Yang sebenarnya, kita sedang menolong diri kita sendiri…”
Gulden menunjukkan bahwa ribuan penduduk Palestina di Gaza yang hidup dalam keadaan menderita sebenarnya bisa saja memilih untuk pindah dan hidup nyaman di tempat-tempat lain. “Tapi mereka memilih hidup dalam berbagai resiko, anak-anak mereka dalam bahaya, karena mereka ingin berjuang terus,” tutur Gulden. “Perjalanan kita ini bukan untuk menolong Palestina, tapi untuk menolong kehidupan akhirat kita.”
Tak Takut
Baik di IHH maupun di atas Mavi Marmara ini, Gulden bekerjasama dengan Umit Sonmez, suaminya sendiri. Hanya saja, di IHH, posisi Umit sebagai kepala salah satu amal khairiyah ada di bawah Gulden.
Lalu, apakah karena dia bersama dengan Umit maka dia tampak berani menghadapi berbagai kemungkinan dan ancaman Israel?
Gulden tertawa. “Yog! Tidak. Saya pergi ke Tel Aviv (belum lama ini untuk memperjuangkan pembebasan aktivis IHH Izzet Sahin dari penjara Israel) tanpa suami saya dan Alhamdulillah saya tidak merasa takut.”
Gulden meletakkan tangan kanannya di jantungnya. “Tentu saja Allah tahu isi hati dan niat kita. Aku percaya kepada Allah.”
Sebenarnya pada awalnya Gulden takut pada laut. Mungkin karena dia lahir dan dibesarkan di daerah pegunungan di Siyas – sekitar enam jam perjalanan darat dari Istanbul – sehingga di masa kecil, untuk masuk ke sungai saja pun dia tak berani.
“Tapi sekarang, saya tak takut pada laut.”
Menulis 2000 Surat
Menurut Gulden, kasus kejahatan terhadap hak asasi yang paling berkesan yang pernah ditanganinya adalah kasus kawannya sendiri, Izzet Sahin yang menjadi perwakilan IHH di Tepi Gaza.
Izzet ditangkap dan dipenjarakan oleh Israel selama 21 hari. Selama itu pulalah pria ini dikurung di sebuah sel berukuran tak lebih besar daripada liang kubur. Tanpa cahaya. Dindingnya bercat hitam. Selama 21 hari itu Izzet diborgol dan kedua kakinya dirantai. Pada satu tahapan penyiksaan atas dirinya berupa dipaksa melek dan diinterogasi tanpa henti selama 30 jam lebih – dan kebanyakan hal yang ditanyakan kepadanya adalah berkenaan dengan rencana Freedom Flotilla itu.
“Saya dan rekan saya dari Mazlumder Cihad (Jihad) Gokdemir dan seorang penterjemah berangkat ke Tel Aviv untuk menegosiasikan pembebasan Izzet,” tutur Gulden. “Aku tak akan pernah melupakan detik-detik ketika untuk pertama kalinya Izzet melihat kami di penjara. Aku melihat kebahagiaan di matanya. Di air matanya.”
Menurut Gulden, Izzet ditangkap memang karena dia adalah bagian dari IHH yang telah demikian kritis sikapnya terhadap Israel.
“Kami sadari pada masa itu bahwa kami pun menghadapi resiko. Saya sendiri sudah begitu sering menyampaikan pidato-pidato yang tajam mengenai Israel, dan kami tahu bahwa Israel tahu ini.”
“Tapi Allah lebih tahu dan kami kembali bersama Izzet (ke Istanbul).”
Dalam kampanyenya membebaskan Izzet, Gulden menulis ke berbagai pihak, mulai dari badan intelijen Israel Shin Bett, Ehud Barak dan Benjamin Netanyahu, SekJen PBB Ban Ki Moon, berbagai organisasi hak asasi manusia internasional di dalam dan di luar Turki, bahkan kelompok-kelompok kemanusiaan yang ada di Israel.
“Saya menulis setidaknya 2000 surat dalam kampanye ini,” tutur Gulden.
IHH membuat website khusus untuk kampanye pembebasan Izzet Sahin yang dalam waktu singkat menerima lebih dari 20.000 surat dukungan bagi upaya mereka.
Hijab is My Belief
Gulden tidak hanya bekerja di dalam negeri Turki dan dalam kasus pelarangan hijab saja, tapi dalam banyak kasus lainnya. Namun khusus mengenai pelarangan berhijab di Turki, Gulden menjadi sangat berapi-api. “Hijab is my belief. Saya sudah bekerja melawan pelarangan ini selama bertahun-tahun, sejak tahun 1997, sampai hari ini, dan belum juga kami berhasil.”
Sampai sekarang, para muhajabah masih dipaksa melepas hijab mereka bila hendak memasuki kampus (tak heran kalau banyak Muslimah Turki yang memilih berkuliah di negeri-negeri lain seperti Malaysia) atau kantor-kantor pemerintah.
“Situasi sulit menghadang gadis-gadis kami. Mereka harus memilih antara kesempatan sekolah dengan iman mereka,” tutur Gulden. “Sudahlah sulit begini, masih saja ada keluarga Turki yang kemudian justru menekan anak-anak perempuan mereka untuk melepas saja hijab mereka.”
Seorang Muslimah berhijab di Turki dengan demikian menghadapi tekanan dari dua sisi – pemerintah, dan keluarganya sendiri. Lalu, ketika bisa bekerja pun, para Muslimah berhijab masih harus menghadapi tekanan lain – mereka harus bekerja jauh lebih berat dan keras daripada kolega pria karena masih adanya diskriminasi terhadap perempuan.
Hanya untuk Allah
Gulden menggambarkan bahwa masa kecilnya di tengah-tengah keluarganyalah yang membentuk semangatnya bekerja untuk ummat. “Sejak kecil pun saya merasa tidak bisa berdiam diri kalau melihat ada yang tidak beres. Mungkin karena itulah saya memilih bekerja sebagai pengacara,” ceritanya. “Dan Turki adalah daerah di mana banyak sekali terjadi kezaliman.”
“Aku bekerja demi keadilan. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana menegakkan keadilan yang ditetapkan Allah. Aku hanya ingin agar Allah ridha dan menerima pekerjaanku ini. Bukan karena uang atau apa pun,” tuturnya. “Mana ada uang di Mazlumder? Orang-orang tertindas yang kami tolong itu justru tidak mampu membayar jasa (bantuan hukum) kami.”
Masih Banyak Kerja Lain
Apa rencana Gulden sesudah Freedom Flotilla? “Terserah nasib yang digariskan Allah kepadaku saja. Kalau saya bisa, tentu saya akan pergi dan pergi lagi ke Gaza sampai embargo Israel ini habis sama sekali.”
Tetapi, masih banyak masalah ummat yang juga harus dihadapi, begitu ujar Gulden. Penyiksaan dan penderitaan yang dihadapi para Muslim Turkistan di China, misalnya, adalah PR bagi Gulden dan seluruh ummat Islam. Muslim di Iraq, di negara-negara Afrika dan di banyak negara lainnya.
“Gaza hanya satu dari banyak kewajiban kita. Kalau kita berhasil di dalam kampanye kita ini, maka kita harus bergerak menangani kewajiban-kewajiban lain di seluruh dunia.”
Apakah Gulden tak berpikir untuk menolong non-Muslim yang juga menderita? “Kami tak membeda-bedakan siapa yang harus ditolong, tapi pada kenyataannya sekarang ini sangat banyak kaum Muslimin yang menderita di berbagai belahan dunia,” ujar Gulden. Dia memberi contoh korban perang yang dilancarkan Amerika Serikat atas Afghanistan dan oleh Russia atas Muslim Chechnya.
“Pada kenyataannya sangat banyak kaum Muslimin yang disiksa oleh orang-orang non-Muslim, jadi wajarlah bila kami memusatkan perhatian menolong kaum Muslimin di seluruh dunia.”
‘Bila Imamku Syahid’
Umit dan Gulden menikah pada tahun 1994 dan sampai sekarang belum memiliki seorang pun anak. Gulden menggambarkan suaminya sebagai supporter utamanya sejak mereka menikah. Sebelumnya, Umit bekerja di sektor lain namun selalu mendukung kegiatan istrinya dalam berbagai kampanye kemanusiaan – sampai kemudian Umit memutuskan bergabung di IHH sebagai salah satu “anak buah” Gulden.
“Dia imam saya, tapi kalau dalam pekerjaan sehari-hari, kami bekerja bahu-membahu,” cerita Gulden. “Terus terang, rasanya lebih sering kami menghabiskan waktu bersama-sama di IHH daripada di rumah. Bahkan sejauh ini sudah empat kali kami mengalami peristiwa ketika kami hanya sempat saling melambaikan tangan di bandara – dia berangkat sementara saya pulang, atau sebaliknya.”
Bagaimana kalau dalam perjalanan ke Gaza ini terjadi skenario terburuk dan Umit tewas?
“Alhamdulillah, syahid Insya-Allah,” jawab Gulden mantap. “Insya-Allah suamiku menuju Cennet (Jannah)…” [admin/hdyt].
Refleksi Jihad Aceh 2010 (Bag. 3)
Merumuskan Peta Kontribusi Umat Islam
Mujahidin perlu merumuskan peta kontribusi umat yang dibutuhkan untuk menegakkan Islam, dalam rangka memastikan semua unsur umat bisa mengambil peran sesuai minat dan kemampuan. Karena dalam realita seperti Indonesia saat ini (2010), rasanya tak mungkin berimajinasi bahwa seluruh umat Islam mendukung jihad, apalagi ikut hadir di medan jihad.
Kecuali jika realitanya seperti Iraq atau Afghan, ketika musuh yang kafir dengan beringas menyerang umat Islam, maka diperlukan sebanyak mungkin kader umat yang harus datang ke medan jihad. Dalam situasi semacam ini, kontribusi yang paling dibutuhkan dan efektif bagi umat adalah memanggul senjata untuk mengusir penjajah yang kafir sesegera mungkin.
Peta kontribusi yang dimaksud, misalnya untuk menjawab pertanyaan seorang wartawan muslim, apa kontribusi yang bisa ia berikan untuk jihad dan menegakkan Islam jika tak terjun langsung ke medan laga? Juga pertanyaan serupa dari kalangan pedagang, guru, dokter, petani, sopir, pelaut, ahli IT, insinyur, dan segala macam pernik profesi dan keahlian manusia.
Apakah mengobarkan jihad di Indonesia bermakna menyeru mereka semua untuk meninggalkan profesi masing-masing, dan berbondong-bondong menuju medan jihad? Sekali lagi, untuk kasus negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk muslimnya saja lebih dari 200 juta, dan tak ada “pemantik” untuk menyalakan pertempuran, apakah itu pilihan yang bijak untuk tegaknya Islam di sini?
Ataukah ada toleransi dengan membiarkan mereka menekuni profesinya, tapi bisa berkontribusi untuk tegaknya Islam? Jika jawabannya ya, maka yang mereka butuhkan adalah sebuah peta kontribusi. Mereka masih bisa bekerja di bidangnya masing-masing, sambil “menabung” kontribusi dalam sebuah mata rantai yang berujung pada jihad fi sabilillah. Setahu saya, belum pernah dibuat blueprint (cetak biru) peta kontribusi yang mencakup seluruh aliran dan keahlian umat Islam, minimal di Indonesia.
Umat Islam Indonesia memiliki beberapa situs yang gencar menyuarakan tema dan berita jihad, semisal Arrahmah.com, Muslimdaily.net, Eramuslim.com dan lain-lain. Mujahidin tak perlu memprofokasi para admin situs-situs tersebut untuk meninggalkan posnya demi pergi ke bukit-bukit pertempuran. Sebab keberadaan pos-pos tersebut amat vital dalam mengedukasi umat tentang jihad dan mengadvokasi para mujahidin dari kasus-kasus yang menjerat mereka.
Demikian pula jika ada dokter, baik yang umum maupun spesialis. Keahlian mereka perlu dipelihara di tempat kerja mereka masing-masing, untuk suatu saat digunakan. Kader-kader umat yang menggeluti dunia teknik dan rekayasa, biarkan mereka berkembang di tempat kerja mereka masing-masing, karena jihad amat membutuhkan keahlian mereka pada saatnya nanti.
Bahkan lembaga-lembaga dakwah yang hidup di tengah umat dengan segenap ragam dan fokus perhatiannya juga perlu dipelihara. Misalnya ada lembaga yang fokus memberantas kemunkaran (FPI), menekuni pendidikan untuk anak-anak muslim (pesantren dan sekolahan), spesialis menghantam aliran sesat (LPPI), spesialis melawan Liberalisme dan Pluralisme (INSIST: Adian Husaini dkk), spesialis melawan Syiah, spesialis melawan Kristenisasi (FAKTA dll) dan semua elemen umat yang berperan menjaga rumah besar umat dari rongrongan tikus-tikus kemunkaran dan kesesatan.
Paradigma ini dilandasi pandangan bahwa jihad bukan obat segala penyakit. Jihad bukan seperti iklan sebuah produk minuman: apapun makanannya, minumannya teh botol sosro. Untuk melawan Syiah di Indonesia, tak bisa dengan mengancam mereka dengan senjata dari bukit-bukit jihad. Karena mereka menyusup dengan cerdik seperti bunglon di semua lini kehidupan di kota-kota dan desa-desa. Mereka punya aqidah bernama Taqiyah, yaitu keharusan berpenampilan layaknya musuh untuk mengalahkan musuh. Paling baik dan efektif membongkar kedok mereka adalah dengan al-kitab, bukan dengan as-saif.
Membongkar kebusukan mereka adalah melalui ilmu dan dakwah, bukan menantang mereka adu senjata karena wujud mereka pun sulit dikenali. Bukankah Islam ditegakkan dengan dua sarana; al-kitab al-hadiy dan as-saif an-nashir (Kitab yang berfungsi memberi petunjuk, dan pedang yang berfungsi menolong). Kitab melambangkan ilmu dan dakwah, sementara saif melambangkan jihad fi sabilillah. Tanpa perpaduan keduanya, perjalanan Islam akan pincang. Jika hanya menonjolkan kitab, akan dilecehkan musuh. Jika hanya menonjolkan saif, Islam akan tampak garang laksana preman, sehingga orang takut mendekat.
Wilayah Indonesia dengan jumlah muslimnya mayoritas ini yang terbaik adalah dijadikan obyek dakwah, belum lagi obyek jihad. Bukan sembarang dakwah, tapi dakwah yang mendukung perjalanan jihad. Umat dibimbing untuk bisa memahami, mengamalkan dan membela Islam dengan benar. Jika variasi keahlian dan profesi mereka dikelola dengan baik, kekuatan umat bisa digunakan untuk menagakkan Islam pada saatnya nanti bila momentumnya sudah tiba. Sayangnya, manusia kerap tak mampu menundukkan sifat aslinya; isti’jal (tergesa-gesa). Ingin menegakkan Islam laksana sulap. Atau minimal ingin mencapai hasil laksana preman; todongkan senjata, semua urusan akan selesai.
Teliti dalam Merekrut Kader Jihad
Jihad yang bermakna pertempuran di medan perang, harus memilih kader-kader terbaik yang memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Sebab sudah berulang kali jihad bersenjata dikumandangkan di Indonesia, tapi selalu berujung pada penangkapan yang menyedihkan. Kita harus sangat teliti dan selektif dalam memilih kader yang siap berjihad dengan senjata, karena karakter jihad berbeda dengan karakter dakwah.
Tidak semua orang yang lisannya dengan manis mendukung jihad merupakan orang yang tepat untuk diajak berjihad ke medan tempur. Intelijen berkeliaran, yang banyak di antaranya berpenampilan sangat “salafi” dan sangat “jihadi”. Amat sulit membedakan mana orang yang sungguh-sungguh lagi aman untuk diajak jihad dari kalangan yang justru akan merusak jihad.
Intelijen bekerja dengan sangat serius untuk menjegal barisan mujahidin. Tak bisa kita hanya mengandalkan kader jihad dengan melihat pada penampilan lahirnya, tapi kita harus benar-benar merasa aman dan sangat kenal dengan orang yang menjadi partner jihad kita. Hati-hati dengan kader jihad “karbitan”, yaitu mereka yang hanya semangat jika berbincang soal jihad, tapi ogah-ogahan ketika diajak bicara soal bagaimana cara wudhu yang benar sesuai sunnah Nabi saw, soal kesucian (thaharah), dan soal najis. Mereka enggan dan tidak antusias bicara soal jilbab untuk istri dan anaknya, soal pilihan sekolah untuk anaknya, soal interior rumah yang islami, soal menangis karena takut kepada Allah, soal zuhud, soal wara’ , soal usaha yang halal, soal riba, soal ittiba’ kepada Rasulullah saw dan seterusnya.
Indonesia bukan tempat yang sedang berkecamuk konflik seperti Afghan, Iraq, atau Somalia. Di wilayah konflik, tak diperlukan ketelitian yang terlalu ketat dalam merekrut kader jihad. Siapa pun yang punya cukup keberanian untuk datang ke medan tempur dan ingin berjihad bersama mujahidin, harus diterima dengan tangan terbuka.
Tapi untuk kasus seperti Indonesia, yang bukan negara konflik, kita tak bisa serta merta merasa aman bekerja dengan kader jihad “karbitan”. Tidak semua yang menampakkan ketertarikan dengan tema jihad layak untuk diajak ke medan jihad.
Inilah karakter jihad. Berbeda dengan karakter dakwah, yang sangat open. Siapa pun bisa diajak bergabung dalam barisan dakwah. Siapa pun yang bertanya tentang Islam, kita wajib menjelaskan, tanpa boleh menolak. Bahkan jika yang meminta itu dari kalangan intelijen yang ingin menjebak seorang da’i. Siapa pun yang tertarik dengan dakwah dan menyebarkan Islam asalkan terlihat itikad baiknya, kita mesti mengapresiasinya.
Sementara dalam jihad, barisan mujahidin boleh (bahkan harus) menolak kaum munafiq untuk masuk dalam barisan jihad, jika ternyata ia akan justru merusak agenda jihad. Lihat Surat At-Taubah ayat 83. Tapi ketika Rasulullah saw berada di Madinah, beliau tetap tampak dekat dan akrab dengan kaum munafiq, karena kehidupan di Madinah bercorak dakwah. Alkisah menyebutkan, gembong munafiq zaman Nabi saw yang bernama Abdullah bin Ubay biasa shalat di belakang Nabi saw.
War, Bukan Battle (Perang, Bukan Tempur)
Jihad mestinya dimaknai sebagai peperangan semesta, bukan bentrokan sesaat. Kesalahan dalam mempersepsikan jihad akan melahirkan kekeliruan dalam merealisasikan jihad.
Dalam bahasa Inggris, ada istilah war dan ada istilah battle. War adalah peperangan panjang antara dua pihak. Sementara, battle adalah bentrokan sesaat antara dua kelompok yang bersenjata. Atau dengan kata lain, war (perang) merupakan serangkaian battle (tempur) yang dilakoni dua pihak yang saling berseteru.
Pertarungan antara umat Islam melawan kaum kafir dengan segenap anteknya merupakan pertempuran dan pertarungan panjang yang bersifat lintas generasi. Oleh karenanya lebih tepat disebut perang (war). Permusuhan yang melibatkan seluruh sisi kehidupan, segala jenis keahlian, dan semua ragam kehidupan manusia. Bahkan tanpa ada batas waktu.
Kedua belah pihak menggunakan segala daya kemampuan dan cara untuk mengalahkan lawannya. Ada adu kesabaran dalam mengintai. Ada adu cerdik dalam menjebak. Ada adu pintar dalam mengelabuhi. Ada adu kekuatan dalam benturan senjata. Ada adu kecanggihan teknologi. Ada adu kekuatan ekonomi. Ada adu ketangguhan mental. Ada adu soliditas barisan. Ada adu ketajaman membidik. Semua puncak ilmu dan kehebatan masing-masing diramu dan diracik sebaik mungkin untuk menghasilkan kemenangan.
Jihad fi sabilillah—oleh karenanya—lebih tepat diletakkan dalam makna war atau perang, bukan tempur atau battle. Jihad bukan semata bagaimana dapat memukul dan mengalahkan musuh dalam waktu singkat tapi tak mampu memelihara kemenangan itu. Jika ukurannya bisa memukul musuh di salah satu sesi tempur, bukan merupakan kemenangan jihad. Kemenangan jihad adalah bila mampu memenangkan pertempuran dan dapat memelihara kemenangan itu dengan tegaknya sebuah kekuasaan, karena tujuan utama jihad adalah menghilangkan hambatan dalam melaksanakan Islam dalam tataran negara.
Dengan demikian, jihad menghajatkan pula kemahiran berpolitik, selain membangun kekuatan ekonomi. Ada renungan menarik dari seorang tokoh jihad Afghan yang berasal dari Arab. Renungan ini ditampilkan oleh Hazim Al-Madani dalam bukunya Hakadza Nara al-Jihad.
Berikut catatan Hazim Al-Madani:
Hasil akhir semua rangkaian eksperimen jihad global umat Islam: kita cukup sukses dalam mencapai angka-angka keberhasilan secara militer (tempur), tapi pencapaian kita nol besar di bidang politik. Saya ingat (kata Hazim Al-Madani), suatu hari seorang tokoh jihad Arab di Afghanistan berkata: “Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa jiwa ikhlas, dan berhasil menghidupkan kecintaan mati syahid. Tapi kita lalai memikirkan kekuasaan (politik), sebab kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Hasilnya, kita sukses mengubah arah angin kemenangan dengan pengorbanan yang mahal, hingga menjelang babak akhir saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan “rahmat” kepada kita – demikian kosa kata yang biasa mereka gunakan – untuk menjinakkan kita.”
Saat itu banyak yang tak sependapat dengan refleksi ini, meski banyak pula yang sepakat. Tapi realita yang kemudian terjadi membuktikan kebenaran sinyaleman ini. Seluruh dunia mengusir eksistensi mujahidin Arab pasca perang melawan Rusia (saat itu Uni Soviet). Mujahidin yang pulang kampung ‘diberi rahmat’ (baca; ditangkap) oleh negeri mereka masing-masing. Demikian catatan Hazim Al-Madani.
Namun harus diingat, kalimat ini bukan dalam rangka menjustifikasi politik najis ala partai politik di Indonesia. Bukan politik kotor yang dipamerkan para penyembah dunia dengan cara mengaduk al-haqq dengan al-bathil, menyamarkan kebenaran atau mengurangi harga kebenaran. Tidak, sekali lagi tidak. Tapi yang dimaksud, politik yang kita baca dari cara Nabi saw mengelola urusan umat baik dalam masalah sosial, dakwah dan jihad di medan tempur. Politik yang bermakna mekanisme baku dalam menegakkan peradaban manusia. Jika kita melalaikan mekanisme baku yang berlaku secara global ini, kita hanya akan berputar tanpa ujung disebabkan kita tak mencontoh Nabi saw dan tidak menapaki sunnatullahnya: hukum alam sebab akibat.
Jihad bisa memakan waktu yang sangat lama, seperti Perang Salib yang berlangsung sekitar 200 tahun. Jihad Afghan saat sukses menaklukkan Uni Sovyet pada tahun 90-an menjadi pelajaran berharga buat kita. Ternyata setelah mujahidin ditolong oleh Allah sehingga mampu mengusir Uni Sovyet, mereka bertengkar sendiri dan Afghan menjadi sangat lemah dan letih dengan perseteruan internal. Alhamdulillah Allah menyelamatkan hasil jihad panjang puluhan tahun itu dengan munculnya Taliban, yang berhasil menyatukan barisan umat Islam Afghan dalam satu shaf, sebelum akhirnya dirusak kembali oleh Amerika dengan jargon “War on Terror”-nya pada tahun 2001.
Maka kita harus mengartikan jihad dengan makna perang (war) bukan pertempuran (battle). Dalam bahasa Arab juga dibedakan. Pertempuran atau battle disebut dengan qital, harb atau ma’rakah. Sedangkan perang digunakan istilah jihad. Itulah mengapa kita tak menemukan istilah dalam Al-Qur’an berupa rangkaian kata qital dengan amwal. Artinya tak ada pertempuran dengan harta. Rangkaian yang ada adalah kata jihad dengan amwal, yang artinya berjihad dengan harta. Terdapat 9 ayat yang berisi rangkaian kata jihad dengan amwal, sementara tak ada satupun ayat dengan rangkaian kata qital dengan amwal.
Ini artinya, jihad bukan semata tempur adu senjata di medan laga, karena jihad bisa dilakukan dengan harta. Kalau sekiranya jihad hanya bermakna tempur, tak ada istilah jihad dengan harta. Jihad adalah perang atau war yang bersifat semesta, meliputi seluruh elemen kehidupan manusia. Meliputi militer, politik dan ekonomi. Maka, pastikan seluruh umat Islam tahu peta kontribusi untuk jihad dalam rangka menegakkan Islam. Jangan sampai ada potensi umat Islam yang tercecer tak terrangkai dalam untaian jejaring kekuatan jihad global dalam rangka memenangkan Islam dan mengubur kesombongan kaum kafir dengan segenap anteknya.
Mujahidin Harus Menyatu dengan Umat
Mujahidin ibarat ikan, umat adalah airnya. Jika mujahidin meninggalkan umat, umatpun akan meninggalkan mujahidin. Keduanya saling membutuhkan secara berimbang. Oleh karenanya, hubungan mujahidin dengan umat mesti harmonis dan sinergis, bukan saling merendahkan bahkan saling melaknat.
Umat Islam butuh bimbingan untuk memahami Islam. Mereka perlu diberi pencerahan tentang bagaimana cara membela dan menegakkan Islam. Kontribusi mereka harus dihargai, bukan diremehkan.
Mujahidin perlu memberitahukan dengan jelas maksud perjuangannya, dengan memberi rasa aman terhadap umat Islam dari dampak yang mungkin timbul dari perjuangan tersebut. Memang dampak buruk duniawi tak bisa dipungkiri akan selalu menyertai dari setiap perjuangan.
Hazim Al-Madani, dalam bukunya hakadza nara al-jihad mengingatkan kita akan pentingnya masalah ini. Untuk sekedar diketahui, Hazim Al-Madani adalah salah seorang tokoh jihad Afghan dan punya kedekatan dengan lingkar dalam Al-Qaeda.
Berikut tulisannya:
“Saat ini, dunia internasional berkoalisi memerangi kita. Jika ada yang tidak ikut dalam koalisi ini, sejatinya bukan karena simpati kepada kita. Tapi lebih disebabkan keinginan untuk memperoleh bagian lebih besar dari ghanimah ini (kita semua adalah ghanimah bagi mereka). Meski realitanya demikian, mereka yang tidak masuk dalam koalisi internasional ini berpotensi untuk dijalin kemitraannya dengan kita. Tapi masalahnya, kita wajib mengutamakan mitra setia yang bersedia berkorban untuk kita, bukan mitra yang suatu saat akan mengkhianati kita. Dan singkat kata, mitra setia itu adalah umat Islam sendiri.
Aku tekankan poin ini dengan adanya bukti sejarah yang menguatkannya. Dengan bukti-bukti ini saya berharap putra-putra umat yang terlibat dalam kancah amal islami yakin bahwa umat mereka berdiri tegak di belakang mereka, membela mereka dan menebus pengorbanan mereka dengan apa saja yang mereka punya, tanpa pernah meninggalkan mereka berjibaku sendirian di medan pertarungan.
Afghanistan pasca hengkangnya Uni Soviet, saat dukungan pemerintah Arab dan Islam berhenti disebabkan intervensi Amerika, tatkala pemerintah-pemerintah itu tak lagi tertarik mendukung mujahidin untuk memetik buah kemenangannya. Siapakah yang mengulurkan bantuan sehingga muncul gerakan Taliban? Apakah pemerintah dan bala tentaranya itu yang membantu ataukah putra-putra umat ini? Bukankah individu-individu umat Islam yang menyisihkan sebagian penghasilannya untuk disumbangkan kepada mujahidin dengan suka rela?
Somalia, saat terjadi atraksi jihad menawan melawan koalisi internasional, siapakah yang mengulurkan bantuan kepada mujahidin sehingga tentara Amerika lari tunggang-langgang dari sana? Siapa yang melakukan atraksi jihad itu? Apakah pemerintah Somalia dengan bala tentaranya ataukah putra-putra umat Islam? Bukankah unsur umat Islam yang rela memangkas sebagian penghasilannya untuk disumbangkan kepada mujahidin dengan suka rela?
Bosnia, saat berkecamuk perang sipil yang mengerikan, siapakah yang mengulurkan bantuan untuk membela umat Islam yang menjadi korban pembantaian? Apakah pemerintah dan pasukannya ataukah umat Islam melalui putra-putra terbaiknya? Siapa yang mengulurkan bantuan ekonomi? Bukankah umat Islam yang dengan suka rela menyisihkan sebagian nafkahnya untuk disumbangkan dengan suka rela?
Cechnya, yang dua kali dihantam gelombang penyerbuan dari tentara Rusia, saat dunia sudah berada dalam genggaman hegemoni Amerika. Siapakah yang mendanai mujahidin dalam membela setiap jengkal tanah Cechnya? Apakah penguasa dan prajuritnya, ataukah umat Islam dengan segenap jiwa, raga dan hartanya?
Palestina, sepanjang untaian nestapa mereka, dan kisah heroik perlawanan Intifadhah. Semua ini menjadi contoh betapa pengorbanan sedang ditunaikan umat dan akan selalu ditunaikan.
Bahkan kita tidak tahu, apakah dukungan materi dari umat Islam itu sampai ke tangan mujahidin Palestina ataukah dirampok oleh para penguasa Arab. Di sini jelas, siapa yang berkorban dan siapa yang justru menghambat.
Yaman, siapa yang meledakkan kapal induk Amerika USS Cole hingga terkoyak. Jelas, bukan tentara Yaman, tapi unsur umat Islam.
Siapa yang menghantam New York dan Washington pada hari Selasa yang penuh berkah pada tahun 2001? Apakah para penguasa dan bala tentaranya, ataukah umat Islam? Mereka mempersembahkan putra-putra terbaiknya dan dengan sukarela membagi nafkahnya untuk jihad dan mujahidin.
Peta pertarungan telah terkunci mapan. Tapi bukan antara Barat dengan Timur, atau antara Utara dengan Selatan. Tapi antara blok kufur dengan blok iman. Ibarat dua sisi timbangan, sebelah diisi kaum kafir dengan segenap antek-antek dan perlengkapannya, dan sisi yang lain diisi mujahidin dan umat Islam dengan segenap dukungan dan perlengkapannya pula.
Jelaslah, umat Islam menempati satu papan pertarungan, sementara yang lain ditempati blok kafir dunia. Fakta ini dipahami dengan baik oleh Barat dan para penguasa dunia. Oleh karenanya, mereka selalu melakukan upaya sistematis untuk memisahkan kita (mujahidin) dengan umat Islam. Allah akan selalu menang, tapi banyak manusia yang tak meyakininya. Sesunggunya sandaran hakiki mujahidin setelah kepada Allah adalah kepada umat Islam yang selalu merindukan tegaknya undang-undang Al-Qur’an dalam kehidupan mereka hingga mereka bertemu Allah. Bukan bersandar kepada para penguasa dan aparat di negeri mayoritas muslim, karena rongga otak dan perut mereka sudah tersumbat oleh obsesi dunia dan politik yang berselera rendah.
Kewajiban mujahidin adalah menjadikan umat Islam dalam barisannya, tak boleh meninggalkan mereka sekejappun karena akan dimanfaatkan para penguasa dan hukum kufur. “ (selesai, kutipan dari Hakadza Nara Al-Jihad).
Semoga kita bisa menghidupkan jihad di Indonesia dan memastikan Islam merdeka di sini. Amin.
Refleksi Jihad Aceh 2010 (Bag. 2)
Sibuk Menyalahkan Musuh
Ketika umat Islam mendapat serangan dari musuh, masih banyak yang sibuk menyalahkan musuh. Amerika dijadikan sasaran caci maki. Amerika negara jahat, pemerintah SBY arogan dan sebagainya. Ini semua benar, tak ada yang salah dengan ungkapan ini.
Permasalahannya adalah, sikap ini membiasakan kita menutupi kelemahan dan kegagalan kita dengan mengkambing-hitamkan pihak lain. Menyalahkan musuh yang lebih pintar. Padahal kesalahan sejatinya terpulang pada kelemahan umat Islam sendiri.
Sebagai ilustrasi, kesebelasan Indonesia bertanding melawan kesebelasan Brazil. Jika kalah dalam pertandingan, Indonesia tak bisa menyalahkan Brazil. Karena memang satu-satunya tugas pemain Brazil saat bertanding adalah mengalahkan Indonesia, sebagaimana Indonesia obsesi tertingginya juga mengalahkan Brazil. Ketika kalah, setiap kesebelasan pasti sibuk membenahi skuadnya, bukan sibuk menyalahkan kecerdikan musuh atau menyalahkan wasit. Tindakan selalu menyalahkan musuh adalah kebodohan yang akan ditertawakan dunia. Sebuah kecengengan yang kanak-kanak.
Tapi sayang, banyak umat Islam yang selalu sibuk menyalahkan Densus 88, kepolisian dan pemerintah – siapapun presidennya. Para aparat itu digaji untuk membela ideologi Nasionalisme, Demokrasi dan hukum non syariat. Bagaimana mungkin kita berimajinasi bahwa mereka akan memberikan kasih sayang kepada para mujahidin yang ‘digaji’ oleh Allah untuk membela Tauhid, umat Islam dan hukum syariat. Kedua belah pihak memiliki ideologi yang bertolak belakang. Menang atau kalah terpulang sepenuhnya kepada mekanisme pertarungan, tanpa perlu merengek agar musuh melunakkan perlawanan. Kita hanya boleh menyibukkan diri meratapi kelemahan internal, mengevaluasi kesalahan, dan mengoreksi apapun yang keliru.
Mengapa umat Islam dengan mudah dijajah AS? Mengapa mujahidin yang semestinya kuat, bisa digulung dengan gampang oleh densus 88?
Paradigmanya harus dibalik. Bukan menyalahkan Densus 88, pemerintah SBY, Israel atau AS. Tapi menyalahkan diri sendiri; ada kesalahan apa sehingga mujahidin begitu mudah dihabisi? Ada kekeliruan strategi apa sehingga kalah? Ada kemunkaran apa? dan seterusnya.
Adapun menyalahkan Densus 88 sebagai sebuah strategi melemahkan Densus 88 di hadapan umat, ini bisa dibenarkan. Karena dengan melemahkan citra Densus 88 di mata umat Islam, dukungan terhadap Densus akan berkurang. Dengan begitu umat bisa diajak mendukung mujahidin, bukan mendukung densus 88.
Maka, dari sini mestinya umat Islam sibuk mengevaluasi apa yang dilakukan mujahidin Aceh. Disisir satu persatu. Sehingga kelak menjadi sekumpulan pelajaran yang berguna untuk bercermin. Jika ingin melakukan hal yang serupa, apa yang perlu diperbaiki.
Maka berhentilah menyalahkan musuh, tapi salahkan diri sendiri (diri umat Islam yang kita menjadi salah satunya).
Tolok Ukur Muhasabah: Keberlangsungan Jihad dan Kemenangan Islam
Kita sebelum melakukan muhasabah, mesti menyepakati tolok ukur yang akan digunakan. Sebab, kekeliruan memilih tolok ukur, menjadikan kekalahan dipandang sebagai kemenangan.
Misalnya, jika kita menggunakan mati syahid sebagai tolok ukur, maka jihad Aceh 2010 sudah cukup berhasil. Berhasil apa? Mempersembahkan syuhada! Karena faktanya, lumayan banyak yang gugur sebagai syuhada (kama nahsabuhu wala nuzakki ‘alallah ahadan).
Jika tolok ukurnya adalah kemampuan membunuh musuh, jihad Aceh juga bisa dianggap cukup berhasil karena untuk pertama kali bisa membalik fakta: biasanya Densus 88 dan anteknya selalu dalam posisi membunuh, tapi bisa dibuat dalam posisi terbunuh. Dan jumlahnya juga fantastis ! Kompas menyebutnya 5 orang.
Jika tolok ukurnya penangkapan oleh Densus 88, jihad Aceh juga relatif “berhasil”. Karena mempersembahkan kader-kader jihad dalam jumlah yang cukup banyak sebagai penghuni hotel Prodeo. Dan kisah penangkapannya juga relatif mudah.
Jika kemampuan meniru Al-Qaeda dalam style propagandanya, jihad Aceh juga cukup berhasil. Mereka bisa merekam propagandanya dengan latar yang indah; hutan rimba dan bukit-bukit yang lebat. Seruannya juga jelas; mengajak umat Islam untuk bergabung dengan mereka di hutan. Hanya sedikit ada perbedaan dengan Al-Qaeda, mereka melakukannya dengan cara melecehkan kegiatan dakwah dan sosial keumatan yang dilakukan anasir umat sendiri. Mereka menihilkan apapun kecuali jihad. POKOKNYA JIHAD !
Tampaknya Al-Qaeda menjadi inspirasi terpenting. Hal ini tak bisa dihindarkan, karena siapapun bicara jihad, tidak akan bisa mengabaikan fenomena Al-Qaeda yang kian mengglobal dengan makin meluasnya internet. Al-Qaeda menjadi model impian bagi semua aktifis yang terobsesi jihad. Mudah didapatkan di internet, pesan-pesannya sangat kuat dengan gaya “hitam-putih” dan membakar adrenalin kaum muda. Mereka tak perlu panjat tebing, cukup dengan duduk di depan internet, mereka sudah terbakar adrenalinnya.
Ini semua menurut penulis, bukanlah tolok ukur keberhasilan jihad Aceh. Meski secara umum kita harus mengapresiasi jihad yang mereka proklamasikan. Tak ada do’a kita untuk mereka kecuali semoga amal ibadah mereka diterima oleh Allah. Dan tak ada pilihan sikap bagi kita kecuali menjadi kader yang suatu saat nanti akan melanjutkan jihad mereka, tentu saja dengan tidak mengulangi “kesalahan” mereka setelah kita evaluasi. Tapi melanjutkan bukan bermakna harus di Aceh atau di wilayah Indonesia yang lain. Melanjutkan yang kami maksud adalah melanjutkan jihadnya, bukan melanjutkan keharusan Acehnya apalagi “kesalahan”nya. Artinya, kita harus menjadi mata rantai dan jejaring jihad umat Islam global, setelah mereka terlebih dahulu memastikan diri sebagai salah satu cincin dari rantai jihad global.
Maka tolok ukur keberhasilan harus kita sepakati sisi keberlangsungan jihadnya, dukungan umat Islam atasnya dan kemampuan melemahkan musuh hingga mengalahkannya. Jika jihad Aceh 2010 hanya dalam hitungan pekan berhasil digulung musuh, maknanya kita harus melakukan evaluasi, ada kesalahan apa. Jika umat Islam tidak mendukung dan terpanggil bergabung dalam kafilah jihad, berarti ada yang perlu kita perbaiki (next time better). Bila jihad Aceh 2010 tidak mampu melemahkan musuh apalagi mengalahkannya, maknanya ada yang perlu disiapkan lebih serius untuk mengalahkannya.
Memang benar, bahwa kita tidak dibebani oleh Allah dengan keharusan mengalahkan musuh, tapi tak bisa dipungkiri bahwa syariat jihad merupakan alat terbaik yang Allah sediakan bagi kita untuk mengalahkan musuh. Bila senjata terbaiknya saja tak mampu kita gunakan, lalu dengan cara apa lagi kita akan bisa mengalahkan musuh?
Teori dasarnya; JIHAD PASTI MENGHASILKAN KEMENANGAN jika DILAKUKAN DENGAN BENAR. Bila hasilnya kekalahan, maknanya kita harus dengan dada lapang berani mengevaluasinya. Bisa jadi eksperimen ini akan terjadi berulang, dan terus dilakukan evaluasi, untuk mencapai tujuan terbesar: menghasilkan kemenangan. Abu Mus’ab As-Sury mencontohkan, dengan menulis refleksi jihad Syria, lalu refleksi yang lebih luas dalam bukunya dakwah muqawamah. (Diterbitkan sebagian serinya oleh penerbit Jazera Solo dengan judul: Perjalanan Gerakan Jihad). Buku ini berisi refleksi jihad global, evaluasi kekurangan-kekurangannya dan bagaimana strategi ke depannya demi memastikan jihad menghasilkan kemenangan.
Jihad; tujuan atau sarana
Salah satu perdebatan sengit yang berkembang di tengah aktifis jihad, apakah jihad dipandang sebagai sarana untuk mencapai kemenangan ataukah tujuan dan terminal akhir dari serangkaian penghambaan kepada Allah? Meski perdebatan ini tak mencuat ke permukaan dalam bentuk silat lidah, tapi terrefleksikan dalam pilihan tindakan.
Mazhab sarana akan meletakkan jihad sejajar dengan semua ibadah yang lain. Setiap ibadah dibingkai oleh maqashid syariah yang sesuai dengan karakternya. Shalat dibingkai maksud hubungan kepatuhan vertikan secara ritual. Shaum dibingkai tujuan pengendalian hawa nafsu dan kejujuran pribadi kepada Allah. Zakat dibingkai tujuan kesetiakawanan sosial dalam hal harta, dan menghilangkan mental kikir. Nahi munkar dibingkai tujuan menghilangkan kemungkaran di tengah umat Islam. Sementara jihad dibingkai tujuan pengorbanan pribadi dalam membela Allah dan mengalahkan musuh Allah.
Jihad itu ibadah. Tapi dalam pelaksanaannya, tak semata dilandasi tujuan melaksanakan ibadah. Terdapat sejumlah syarat untuk melaksanakannya, ada aturan yang menyertainya. Tidak asal melaksanakan perintah Allah bernama jihad.
Hal ini serupa dengan ibadah nahi munkar. Tak asal nahi munkar. Jika nahi munkar diprediksi justru melahirkan kemunkaran lebih besar, nahi munkar tak boleh dilakukan. Bukan semata nahi munkar.
Para penganut mazhab sarana akan cenderung mempersiapkan jihad dengan melakukan dakwah, pembinaan keumatan, layanan sosial, pendidikan dan sebagainya. Mereka tak menihilkan peran dakwah sebagai alat lain dalam menegakkan Islam. Posisinya sejajar, karena hajat umat kepada dakwah tidak kalah besar dibanding hajat umat terhadap jihad. Keduanya dilakukan secara simultan, tidak ada yang dianak-tirikan. Paradigma ini yang semestinya digunakan dalam melihat ibadah bernama jihad.
Sementara penganut mazhab tujuan, tindakannya hanya terfokus pada pelaksanaan jihadnya sebagai sebuah fardhu ‘ain. Mereka mengabaikan pernik persoalan yang bersifat menunjang keberlangsungan jihad. Mereka ingin semua orang Islam datang berduyun-duyun menyambut seruannya, pergi ke hutan dan gunung-gunung di Aceh dan bergabung dengan mereka. Mereka meninggalkan dakwahnya, pesantrennya, lembaga sosialnya, dan segala hal yang tidak ada potret “memegang senjata”nya.
Padahal jihad membutuhkan dukungan dakwah, dana, jurnalistik, pakar komunikasi, pakar teknologi, dan kepakaran lain. Memerlukan kesinambungan SDM yang akan memikul beban jihad ini. Bagaimana mungkin jihad akan berlanjut, jika mesin penyuplai mujahid harus ditinggalkan, seperti pesantren, madrasah, majlis taklim dan sejenisnya?
Kesan kuat yang muncul dari jihad Aceh adalah menjadikan jihad sebagai tujuan, bukan sarana untuk memperoleh kemenangan Islam. Ketika jihad menjadi tujuan, maka seorang mujahid akan mengabaikan pernik pendukung yang akan mempengaruhi kesuksesan jihad. Misalnya dakwah, dukungan masyarakat sekitar, dukungan media massa dan sebagainya.
Titik perhatiannya hanya bagaimana berjihad dan mengajak umat Islam untuk berjihad, meski ajakan itu menjadi sangat absurd (kabur) di mata umat Islam yang tidak mengerti apa-apa tentang wacana jihad. Mereka mendengar ajakan itu seperti angin lalu, karena tidak mengerti maksud ajakan itu.
Misalnya, jika ada yang menyambut seruan ini, mereka masih akan kesulitan menemui panitianya. Mereka bingung alamat sekretariatnya. Mereka belum tahu, apakah untuk gabung masih diperkukan adanya ujian masuk atau tidak? Mereka tidak tahu lokasi bukitnya. Mereka juga tak tahu, musuhnya siapa. Ini yang kami maksud absurd.
Jihad melawan Densus 88 di mata umat Islam merupakan sesuatu yang sulit dipahami. Mereka akan bilang, Islam lawan Islam. Wajar, karena mayoritas anggota Densus 88 pastilah beragama Islam, mengikut jumlah umat Islam yang mayoritas di negeri ini.
Problem ini membutuhkan dakwah. Lalu bagaimana jihad akan mendapat dukungan luas, jika dakwah dinihilkan? Dakwah dilecehkan sedemikian rupa dalam rilis mujahidin Aceh. Seolah mereka hidup di planet lain, dan hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Dalam kedokteran, ini disebut penyakit autisme.
Bersambung…