Pada liburan syawalan kemarin, ada kejadian unik yang saya dapatkan. Tepatnya, ketika saya membantu orang tua memelihara bebek. Bebek yang lumayan banyak, 600 ekor. Setiap harinya, bebek-bebek tersebut bertelur dari 350 sampai 450-an telur. Walau tidak sebanding dengan jumlah bebek, tetapi Alhamdulillah, setiap harinya mendapatkan pemasukan dari penjualan hasil telur tersebut.
Hari itu, terasa sejuk hawanya. Angin sepoi-sepoi mengalir begitu lembutnya. indah nian hari itu. Setiap pagi dan sore seperti inilah, saya membantu orang tua membuatkan dan menyiapkan makanan untuk bebek-bebek yang suka berteriak-teriak bila waktu makan telah tiba. Bahan-bahan yang biasa dijadikan menu untuk bebek adalah ikan yang dipotong kecil-kecil, gaking yang sudah direndam, bekatul (ampas beras) dan remis.
Untuk season pertama, ikan yang sudah dipotong dibagi sama rata. Semua habis tanpa tersisa, terlebih bila ikannya banyak dagingnya. Setelah itu, kita membuat makanan berat untuk mereka, yang biasa dimakan hingga esok tiba. Makanan yang merupakan kombinasi dari gaking, bekatul dan remis. Semuanya dicampur aduk dengan takaran yang sudah ditentukan; gaking sebanyak dua ember besar, bekatul tiga ember sedang dan remis sebanyak satu ember sedang.
Ditengah-tengah membuat makanan bebek itu, tiba-tiba ada seorang kakek yang meminjam pisau kepada bapak. Nah, karena melihat saya membuat makanan untuk bebek itulah, si kakek ternyata ingat masa silamnya, lebih tepatnya ingat masa kecilnya. Bagaimana perjuangan orang dahulu dalam mendapatkan makanan. Menyengsarakan, nelangsa dan menerima apa adanya.
Sambil menggeleng kepalanya, kakek tersebut mengobrol sama bapak saya, “Wah, jadi teringat dengan masa kecil dulu; bagaimana kita makan. Yang namanya zaman dulu, maka bekatul seperti ini sudah merupakan menu paling lezat dan paling nikmat. Tapi anak zaman sekarang, makan nasi saja tidak mau. Apa sih inginnya mereka. Anak sekarang memang manja-manja.” Obrolan itu mengalir begitu saja dengan disertai tawa kakek dan ayah saya. Saya hanya mendengarkan, tanpa mampu berkata-kata. Ada malu menyelusup dalam diri ini; bekatul, makanan yang sekarang saya campur adukkan untuk dijadikan makanan bebek ternyata dulu menjadi menu orang dahulu. Perjuangan saat itu memang berat. Jangankan makan nasi, untuk mendapatkan jagung saja sulitnya bukan main. Dan makanan super nikmat ketika itu adalah jagung yang dicampur dengan bekatul, ampas dari beras. Tidak berbalas budi memang kalau kita tidak memakan nasi yang dengan susah payah dibuat oleh ibu kita. Ayah seharian sudah membanting tulang berpeluhkan keringat yang membuat wajahnya hitam lantaran sengatan matahari demi memenuhi kebutuhan harian kita, eh kita malah tidak mau memakannya. Teringat sama masa kecil saya dulu yang jarang makan nasi. Ayah, ibu…., maafkan bila aku sering mengecewakanmu.