Iman; semahal-mahal nikmat
Ibnu Abdul Bari el `Afifi
“Jika kamu masuk kubur dan islam masih membersamaimu maka berbahagialah.”
(Syu’aib bin Harb)
Di dunia ini, nikmat iman adalah nikmat teragung yang Allah berikan kepada manusia. Tanpanya, manusia bak binatang yang hanya mengisi hidupnya dengan bersenang-senang dan makan-makan, “Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan laiknya binatang-binatang.” (Muhammad : 12). Maka, adalah sebuah kewajiban bagi sesiapa yang dianugerahi nikmat ini untuk bersyukur kepada Allah Ta`ala, terlebih nikmat ini hanya diberikan kepada orang yang dicintai-Nya semata, ia hanya diperuntukkan bagi orang-orang pilihan-Nya, karena tidak semua orang bisa mendapatkannya. Rasulullah pernah bersabda,
« إِنَّ اللَّهَ قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَخْلاَقَكُمْ كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِى الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ وَلاَ يُعْطِى الدِّينَ إِلاَّ لِمَنْ أَحَبَّ فَمَنْ أَعْطَاهُ اللَّهُ الدِّينَ فَقَدْ أَحَبَّهُ ».
“Sesungguhnya Allah membagi akhlak kalian sebagaimana membagi rizki, dan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memberikan dunia kepada orang yang Dia cinta, dan tidak Dia cinta, tetapi Dia tidak mengaruniai dien kecuali kepada orang yang Dia cinta, maka sesiapa saja yang dikaruniai dien oleh Allah maka sungguh dia telah dicinta-Nya.” (HR. Ahmad).
Inilah nikmat dunia yang sesungguhnya, dan satu-satunya sumber kebahagiaan bagi manusia. Tentang hal ini Ibnu Taimiyyah berkata, “Fa inna l-laddzata wa l-farhata wa s-surûra wa thîba l-wakti wa n-na`îma l-ladzî lâ yumkinu t-ta`bîru `anhu innamâ huwa fî ma`rifatillâhi subhânahu wa ta`âlâ wa tawhîdihi wa l-îmâni bihi wa n-fitâhi l-haqâ’iqi l-îmâniyyah wa l-ma`ârifi l-qur’aniyyah, sesungguhnya kelezatan, kebahagiaan, kesenangan, kebagusan waktu, dan nikmat yang tidak mungkin bisa diungkapkan hanya ada pada ma`rifatullah subhanahu wa Ta`ala (mengenal Allah), mentauhidkan dan mengimani-Nya, serta membuka hakikat-hakikat keimanan dan pengetahuan-pengetahuan Qur’ani.” Beliau melanjutkan, “sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian syaikh, “Sungguh ada waktu-waktu yang terlewati oleh hati di mana ia bergoyang karena melayang kegirangan, dan tidak ada nikmat di dunia yang menyerupai nikmat akherat kecuali nikmat Iman dan ma`rifah.” Itulah puncaknya nikmat, dan jannah-Nya di dunia. Siapa yang tidak memasuki jannah-Nya di dunia, ia tidak akan mampu memasuki jannah-Nya di akherat.
Bahkan, -ini yang perlu disadari bersama, nikmat iman inilah yang kelak diangankan oleh orang-orang kafir ketika tahu bahwa mereka tidak bisa terlepas dari adzab Allah di neraka. Allah berfirman,
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ (2) ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الأمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ (3) –الحجر : 2-3—
“Orang-orang kafir seringkali (nanti di akherat) menginginkan kiranya mereka dulu (ketika di dunia) menjadi orang-orang yang berserah diri (muslim), biarkanlah mereka (di dunia ini) makan, bersenang-senang dan dibuai oleh angan-angan (kosong) niscaya mereka akan mengetahui (balasan atas apa yang mereka lakukan).” (al Hijr : 2-3).
Ya, itulah mimpi dan asa orang-orang kafir ketika berada di neraka nanti. Maka, Ibnu Katsir mentakwil ayat, “Orang-orang kafir seringkali (nanti di akherat) menginginkan kiranya mereka dulu (ketika di dunia) menjadi orang-orang yang berserah diri (muslim)”, “ini adalah kabar dari mereka bahwa mereka akan menyesal atas kekufuran mereka, dan menginginkan sekiranya dulu ketika di dunia mereka adalah orang-orang-orang muslim.
Kabar ini berasal dari Dzat yang mengetahui segala-gala; apa yang di dunia, dan juga di akherat nanti. Angan dan cita agar menjadi muslim ini terjadi pada hari kiamat nanti, tepatnya ketika orang-orang kafir mendapati kaum muslimin yang berdosa banyak dikeluarkan dari neraka.
Diriwayatkan dari Abu Musa al Asy`ari Radhiyallahu `Anhu, Nabi Shallallâhu `alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni neraka masuk neraka, dan ahlul kiblat (baca : orang muslim) yang dikehendaki Allah juga masuk ke neraka bersama mereka, orang-orang kafir berkata kepada orang muslim yang berada di dalam neraka, “Bukankah kalian orang-orang muslim?” “Ya” jawab orang-orang muslim. “Lalu apa manfaat keislaman kalian, sedang kalian berada di neraka bersama kami?” ejek orang-orang kafir. Orang-orang muslim menjawab, “Kami punya banyak dosa sehingga kami disiksa karenanya.” Lalu Allah murka terhadap ejekan orang-orang kafir tersebut, lalu memerintahkan kepada orang-orang muslim untuk dikeluarkan dari neraka, maka ketika itulah orang-orang kafir berkeinginan agar mereka adalah orang-orang muslim (ketika dahulu di dunia).
Sebab pokok kenapa orang-orang kafir berkeinginan agar menjadi muslim (ketika di dunia) adalah karena dengan islam, seorang hamba bisa terbebas dari siksa neraka, berbeda dengan orang-orang kafir; mereka kekal di dalam neraka, dengan berbagai siksa yang tak tertahankan, selama-lamanya. Segala bentuk penebusan pun tidak akan diterima, sekalipun berupa anak-istri-saudara, dan semua orang yang ada di muka bumi ini, dan tidak pula emas sepenuh bumi. Semuanya tidak akan pernah diterima, tidak akan pernah.
Allah berfirman,
“Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya. (11) Dan istrinya dan saudaranya, (12) Dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia). (13) Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya. (14) Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak, (15) Yang mengelupaskan kulit kepala, (16) Yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama). (17) Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya. ” (18). (al Ma`arij : 11-18).
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih. (36) Mereka ingin ke luar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat ke luar daripadanya, dan mereka beroleh azab yang kekal.” (37) (al Ma’idah : 36-37).
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda-gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al Qur’an itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafa’at selain daripada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusan pun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, disebabkan perbuatan mereka sendiri. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.” (al An’am : 70).
Untuk lebih memahami kenapa mereka begitu berhasrat agar mereka dulu menjadi orang muslim sehingga bisa terbebas dari neraka, kiranya firman Allah berikut ini menunjukkan bukti real betapa mereka putus asa bisa terlepas dari siksa, bahkan pinta mereka agar siksanya diringankan barang sehari pun tidak bisa. Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahanam: Mohonkanlah kepada Tuhanmu supaya Dia meringankan azab dari kami barang sehari.” (al Mukmin : 49).
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir mentakwil, “Ketika mereka tahu bahwa Allah Subhanahu tidak memperkenankan pinta mereka, dan tidak mendengar doa mereka, bahkan Dia malah berfirman, “Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku.” (al Mukminun : 108). Mereka pun meminta kepada para malaikat penjaga neraka, agar berdoa kepada Allah untuk mereka; yaitu agar Allah meringankan siksa orang-orang kafir sekalipun barang sehari, tetapi malaikat penjaga neraka itu menjawab pinta mereka, “Dan apakah para rasul belum datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangannya?” (al Mukmin : 50), maksudnya, bukankah hujah-hujah telah ditegakkan atas kalian ketika di dunia melalui lisan para rasul?, “Mereka menjawab, “Benar, sudah datang. Penjaga-penjaga Jahannam berkata, “Berdoalah kamu.” Maksudnya, berdoalah untuk diri kalian sendiri, kami tidak akan berdoa untuk kalian, tidak mendengar pinta kalian dan tidak pula ingin kalian bebas. Kami berlepas diri dari kalian, kemudian perlu kami kabarkan bahwa sama saja kalian berdoa atau tidak, doa dan pinta kalian tidak akan diperkenankan, dan siksa kalian juga tidak diperingankan. Oleh karenanya para malaikat berkata, “Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.” Maksudnya, akan lenyap; tidak diterima dan tidak pula dikabulkan.”
Ayat di atas juga menjadi saksi betapa stress-nya orang-orang kafir yang menjadi penghuni neraka, selama-lamanya. Setidaknya, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam bukunya “Tafsir Juz `Amma”, ada 4 hal yang perlu diperhatikan,
Pertama, orang-orang yang berada di neraka berkata kepada malaikat penjaga neraka Jahannam, mereka tidak berkata langsung kepada Allah. Kenapa? Karena mereka malu meminta dan berdoa langsung kepada Allah. Mereka malu karena dulu tidak pernah mengindahkan perintah-Nya untuk beribadah kepada-Nya;
Kedua, mereka juga berkata, “Rabbakum, Rabb kalian” bukan “Rabbana, Rabb kita” kenapa demikian? Karena mereka merasa tidak pantas bila mengaku bahwa Allah adalah Rabb mereka juga, karena mereka –sekali lagi- tidak pernah memenuhi perintah-Nya, dan juga menjauhi larangan-Nya;
Ketiga, ungkapan, “Yukhaffif `anna mina l-`adzab, ringankanlah siksa kami” mengandung ungkapan putus asa yang amat sangat. Mereka sadar-sesadarnya bahwa mereka tidak bisa berlepas dari siksa-Nya, bahkan kalau mereka menebus diri dengan emas sepenuh bumi dan semisalnya pun tidak akan pernah bisa (baca : Ali Imran : 91 dan al Ma’idah : 36), bahkan menebus dengan semua manusia di muka ini juga tidak akan diterima (al Ma`arij : 10-15). Karena sadar tidak bisa terlepas dari siksa neraka Jahannam, maka mereka memohon dengan memelas agar siksanya diperingan. Tidak lebih. Permintaan mereka bukan untuk diangkat, tetapi cukup diringankan saja.
Keempat, kekata, “Yauma n-mina l-`adzab, barang sehari saja” juga merupakan puncak depresi dan stresnya penghuni neraka Jahannam yang menahan siksa yang tak terbayangkan pedihnya. Setiap kali kulit terkelupas, maka setiap kali itu pula kulitnya berganti yang baru agar ia merasakan adzab. Kalimat di atas menunjukkan bahwa mereka memohon agar diperingankan barang sehari saja, bukan diperingan selamanya. Allahumma innâ nas’alukal `âfiyah, fid dunya wal akhirah…,
Misteri akhir hidup manusia
Mati adalah misteri. Tidak ada yang tahu bagaimana, kapan dan di mana manusia mati, termasuk kita sendiri, kecuali Allah yang Mahatahu segala apa yang telah-sedang-akan terjadi. Oleh karenanya, mempersiapkan diri untuk menjemput kematian adalah sebuah kewajiban, dan menjadi PR bagi kita semua. Karena, siapapun tahu bahwa akhir hidup manusia merupakan cerminan hidup semasa di dunia, baik-buruknya, dan ending inilah yang menentukan kebaikan atau keburukan nasib seorang hamba setelah matinya. Nabi bersabda, “Innamal a`mâlu bil khawâtîm, hanyasanya amalan itu bergantung pada akhirnya.”
Namun, siapakah yang mampu mengetahui akhir hidupnya? Tidak ada yang tahu, ada yang beramal taat selama hidupnya tetapi mengakhiri hidupnya dengan kemaksiatan sehingga ia masuk neraka, begitu sebaliknya. Setidaknya, inilah yang disabdakan Nabi, “Demi Dzat yang tidak Ilah selain Allah, sesungguhnya salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli jannah, sehingga tiada jarak antara dia dan jannah kecuali hanya sehasta, tetapi al Kitab telah mencatatnya (bahwa ia termasuk ahli neraka) lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka (sebelum akhir hayatnya) kemudian ia masuk neraka, dan ada di antara kalian yang beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga tiada jarak antara dia dengan neraka kecuali hanya sehasta, tetapi al Kitab telah mencatatnya (bahwa ia termasuk ahli jannah) lalu ia beramal dengan amalan ahli jannah (sebelum akhir hayatnya) kemudian ia masuk jannah.” (HR. at Tirmidzi, dan Abu Isa mengomentari, Ini hadits hasan shahih”
Terkait dengan hadits di atas, ada kisah seorang hamba yang baru shalat-shiyam sejenak tetapi ia berasa sudah memesan sebuah tempat di surga.
Di Mesir ada seorang lelaki yang tinggal dimasjid untuk adzan dan shalat, pada dirinya terpancar cahaya ibadah dan ketaatan. Suatu hari seperti biasa ia naik menara untuk adzan. Di bawah menara tersebut terdapat rumah seorang Nasrani Dzimmi –kafir yang membayar jizyah-. Lelaki ini melongok dan tampak olehnya putri Nasrani yang cantik, ia pun terpesona dan turun meninggalkan menara adzan untuk menemui gadis tersebut. “Mau apa kamu ?!”sergah si gadis. “ Aku mau kamu”, jawab lelaki tadi. “Mengapa?” tanyanya. “Karena kamu telah mencuri dan menawan hatiku”, kata si lelaki. “ Aku tidak mau memenuhi hal yang tidak pasti”, kata si gadis. “Aku akan menikahimu”, kata si lelaki. “Tapi kamu muslim sedang aku Nasrani, dan ayahku tidak akan mengawinkanku denganmu”, kata si gadis. “ Aku akan masuk agamu”, kata si lelaki. “ Kalau begitu baiklah”, jawab si gadis. Lelaki itupun menjadi Nasrani dan tinggal bersama mereka. Di waktu siang pada hari tersebut lelaki tadi naik loteng rumah, ia terjatuh dan mati. Ia tidak mendapatkan apapun dari diennya, dan tidak juga dari gadis pujaanya, Naudzubillah, kita berlindung dari su’ul khatimah. Karenanya Nabi menasehati kita, “Jangan ta`jub dengan amalan seseorang hingga engkau melihat dengan apa ia mengakhirinya”.
Renungkanlah, berapa banyak pendaki gunung yang ketika hampir sampai puncak, terpeleset ke dalam jurang dan jatuh ke dalam lembah. Dan berapa banyak para pelaut yang ketika terlihat daratan di kejauhan dan merasa hampir sampai, ia diombang-ambingkan ombak lalu tenggelam. Tidak menutup kemungkinan kita akan tertimpa masalah serupa. Berapa banyak hati yang khusuk dan mata yang selalu berlinang dicap dalam catatan amalnya, “Bekerja keras lagi kepayahan” (Al Gahsiyah 3) dan ditulis dalam Lauhul Mahfud, “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri darinya sekali-kali tidak akan dibukakan baginya pintu-pintu langit dan tidak pula mereka masuk surga hingga unta masuk lobang jarum” (Al A’raf ;40).
Di dalam kitabnya, al Fawa’id, Ibnul Qayyim menceritakan bahwa ada orang yang beramal ketaatan selama 60 tahun tetapi ketika ajal tiba, ia menyimpang dalam berwasiat, dan menutup amalannya dengan keburukan kemudian masuk neraka. Beliau kemudian menyimpulkan, “Umur bergantung akhirnya, dan amal bergantung penutupnya.” Lebih jelas lagi, beliau memberikan analogi yang menarik, katanya, “Siapa yang berhadats sesaat sebelum salam maka shalatnya batal, barangsiapa yang berbuka sesaat sebelum matahari tenggelam maka puasanya batal, dan barangsiapa yang berbuat jahat di akhir hayatnya maka dengan wajah itulah ia menemui Rabbnya.”
Berbahagialah orang yang mati menghadap kiblat
Ada sebuah kisah yang perlu kita renungkan bersama. Kisah ini terjadi pada masa Hatim al Asham, murid Syaqiq al Balkhi. Suatu ketika, ada nabbasy, yaitu orang yang suka mencuri kain kafan mayit, menghadiri majlis Hatim al Asham, kemudian ia sadar, dan bertaubat kepada Allah di hadapan Hatim. Ia menyesali semua perbuatannya. Lalu beliau bertanya, “Berapa banyak kain kafan yang kamu curi dari kuburan?” “7000 kain kafan.” Jawabnya.
“Selama berapa tahun?” Tanya Hatim lagi. Ia menjawab, “Dua puluh tahun.”
Mendengar pengakuan orang tersebut, Hatim pingsan. Dan, ketika siuman, beliau bertanya lagi, “Kuburan orang-orang muslim, atau orang-orang kafir?”
“Kuburan orang-orang muslim.”
Hatim kembali bertanya, “Berapa kuburan yang kamu dapati pemiliknya tidak menghadap ke kiblat?”
Ia menjawab, “Aku hanya mendapati 300 kuburan di mana pemiliknya menghadap ke kiblat, sedangkan sisanya tidak menghadap ke kiblat.” Sungguh, sebuah jawaban yang membuat bulu kuduk merinding, tak terkecuali Hatim al Asham. Beliau langsung terjatuh pingsan, karena menghawatirkan keselamatan pada hari hidup setelah kematian nanti. Kita bisa membayangkan 7000 wajah kaum muslimin di kubur semuanya tidak menghadap ke kiblat, kecuali hanya 300 orang saja. Maknanya, 6700 orang, sekalipun secara zhahir ia dikuburkan di pekuburan kaum muslimin tetapi ia tidak menghadap ke kiblat sebagaimana awal mula dikuburkan-. Allah…allahumma inna nas’alaukal `afiyah, fid dunya wal akhirah.”
Fragmen kisah Hatim bersama seorang nabbasy (pencuri kain mayit) ini menyisakan tanda tanya besar; adakah kita termasuk 300 wajah, atau seperti 6700 wajah yang tidak lagi menghadap ke kiblat itu? ah, ya Allah…., dalam lirih kita harus selalu berdoa, “Ya Muqallibal qulûb tsabbit qulubanâ `alâ dînika, wahai Dzat yang membolak-balik hati, tetapkanlah hati kami di atas dien-Mu ya Allah.” Dan jangan kau serahkan kami kepada nafsu kami yang bejat…, barang sejenak pun…, karena bukankah doa dan pinta Nabi Yusuf adalah, “tawaffanî musliman, dan matikanlah aku dalam keadaan muslim.” ( Yusuf; 101) bila demikian pinta seorang Nabi yang menjadi manusia pilihan-Nya, dan mereka adalah sebaik-baik makhluk, maka kita lebih pantas untuk meminta keteguhan dan dimatikan dalam keadaan muslim.
Karena, mati dalam keadaan muslim, atau menghadap kiblat itu tidaklah bisa dipelajari. Inilah yang difahami oleh generasi salaf. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdurrahman al Makhzumi, ia berkata, “Sakit yang diderita Sa`id semakin parah. Lalu, Nafi’ bin Jubair menjenguknya dan dilihatnya dia sedang pingsan. Kemudian Nafi` berkata, “Hadapkan dia ke arah kiblat.” Maka orang-orang pun menghadapkannya ke arah kiblat, dan tidak lama setelah itu dia tersadar. Setelah sadar, Sa`id bin Musayyib bertanya, “Siapa yang memerintahkan kepada kalian untuk menghadapkan ranjangku ke arah kiblat. Apakah Nafi`?” Nafi` menjawab, “Ya, saya” Lalu Sa`id berkata kepadanya, “Kalaulah aku tidak berpegang teguh pada kiblat, dan agamaku, niscaya usaha kalian untuk menghadapkanku ke arah kiblat akan sia-sia.” (Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Cet. V, 2009, Pustaka al Kautsar, hlm. 28).
Kekata Sa`id, “Kalaulah aku tidak berpegang teguh pada kiblat, dan agamaku, niscaya usaha kalian untuk menghadapkanku ke arah kiblat akan sia-sia.” semakin membuat kita bertanya kepada diri sendiri; bagaimana ending hidup kita nanti?
Sekali lagi, menghadapnya wajah ke kiblat ketika sakaratul maut, dan setelah dikuburkan itu tidak bisa dipelajari. Ia adalah wujud dari amal perbuatan keseharian seorang hamba selama di dunia, seperti halnya berucap “Lâ ilâha illallâh” ketika sakaratul maut, ia tidak semudah diucap sebagaimana ketika kita masih sehat bugar seperti ini; ia adalah wujud amal seorang hamba selama hidupnya. Sama seperti halnya menjawab tanya malaikat munkar-nakir, “Man rabbuka wa man nabiyyuka wa mâ dînuka, siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu?” pun tidak bisa dipelajari. Hanya orang yang hatinya diteguhkan oleh Allah untuk menjawab pertanyaan itulah yang mampu menjawabnya. Allahumma tsabbitnâ bil qawlits tsâbiti fid dunyâ wal akhirah.
Maka di sinilah kita memahami sebenar faham nasehat Syu’aib bin Harb, “
إِنْ دَخَلْتَ الْقَبْرَ وَمَعَكَ الْإِسْلَامُ فَأَبْشِرْ.
“Jika kamu masuk kubur dan islam masih membersamaimu maka berbahagialah.”
(Shifatus Shafwah : III/8). Wallahu A`lam bish Shawab.
Leave a Reply