Peristiwanya terjadi saat kami menunaikan ibadah haji pada bulan Januari 2006. Kami yang tergabung dalam rombongan haji KJRI Jeddah tengah berada di Madinah selama 2 hari, sebelum kemudian menuju Mekkah. Kebetulan penginapan kami sangat dekat dengan Masjid Nabawi, bahkan bisa dikatakan tepat di depannya, sehingga dekatnya jarak penginapan ke masjid tersebut kami manfaatkan untuk senantiasa menunaikan shalat berjamaah di Masjid Nabawi setiap datangnya shalat fardlu.
Setiap shalat, sering aku memiliki perasaan aneh, membayangkan bahwa Rasulullah Saw seakan sedang memperhatikanku dan juga para jamaah lainnya yang sedang ada disitu. Mungkin perasaan ini dipengaruhi suasana hati (mood) mengingat keberadaan makam Rasulullah saw. yang memang ada di Masjid.
Pada suatu kesempatan, sehabis menunaikan shalat Ashar, aku berbincang-bincang dengan isteriku mengenai hikmah keberadaan kami di masjid Nabawi. Tak henti-hentinya kami saling mengingatkan untuk tetap waspada dan agar senantiasa bersyukur atas kesempatan yang diberikan Allah melalui mukjijat-Nya sehingga kami bisa sampai ke Tanah Suci (Lihat tulisan sebelumnya berjudul ”Biaya Misterius”).
Meskipun tempat/ruangan untuk tidur antara pria dan wanita berada terpisah, kami sengaja sering berdua pada waktu senggang untuk tetap menjaga kebersamaan hati dan iman selama ibadah haji. Biasanya, setiap kami tengah berdua, pembicaraan mengenai anak-anak yang kami tinggalkan di Indonesia (Magelang) bersama neneknya, selalu menjadi topik. Selebihnya kami manfaatkan untuk saling instrospeksi dan mengingatkan agar ibadah haji bisa dilaksanakan dengan lancar, rukun-rukunnya terpenuhi dan mabrur sesudahnya.
Pada setiap pertemuan sebelumnya, isteriku selalu antusias untuk bercerita lebih dahulu mengenai apa saja yang telah dialami, pengalaman-pengalaman spiritual yang dijalani ataupun hikmah yang didapat. Namun saat itu suasana kurasakan agak berbeda. Wajah isteriku seperti memendam sesuatu yang belum terungkapkan. Ia nampak bingung dan sedikit gelisah. Akhirnya, aku pun mendahului bercerita mengenai kejadian yang kualami selepas shalat dzuhur di Masjid. Bahwa dalam perjalanan kembali ke penginapan, masih di depan masjid, aku disapa oleh seorang jamaah yang pada akhirnya kurasakan agak misterius.
Saat itu, kudengar suara seseorang menyapaku dari arah belakang sambil seperti mengejarku sehingga akhirnya dapat berjalan sejajar beriringan denganku. “Assalamu’alaykum”, katanya.
“Alaykumussalam warohmatullaahi wabarokatuuh, Brother! How are you?” Jawabku sambil kemudian menoleh ke arahnya dan kami pun saling bersalaman. Sempat kulihat senyum tersungging dari mulutnya. Ia berperawakan hitam, kurus dan tinggi dengan pakaian gamis. Aku betul-betul ingat penampilannya karena terkesan oleh tubuhnya yang begitu tinggi, sehingga untuk memandang wajahnya aku harus menengadah ke atas. Tinggi badanku (166 Cm) mungkin hanya sebatas perut. Ya… sebatas perut! Aku baru merasa kaget saat semua itu telah terjadi, namun tidak merasakan keanehan apapun saat kami sedang berjalan bersama.
Sesaat kami saling terdiam sambil berjalan beriringan. Masih kurasakan betul bahwa ia ada disamping kiriku ketika akhirnya aku bermaksud membuka pembicaraan,”Where are you from, Brother?”, sapaku sambil menoleh kepadanya untuk lebih mengakrabkan diri, apalagi terhadap sesama saudara seiman. Tentu saja, aku menoleh sambil wajahku menengadah ke atas, karena kutahu tubuhnya sangat tinggi.
Namun.. pertanyaanku akhirnya tidak mendapat jawaban ketika kusadari bahwa ia sudah tidak berada di sampingku. Laki-laki yang tadi beriringan berjalan di sebelah kiriku, dalam sekejap sudah tidak nampak. Lalu, aku pun menoleh ke kanan, siapa tahu ia telah berlalu dengan mengambil arah yang berbeda. Namun tetap saja ia tidak kutemukan. Aku sempat merasa penasaran sehingga kuhentikan langkahku sejenak untuk mengamati sekeliling. Aku arahkan pendangan jauh ke belakang, jauh ke depan, ke samping bahkan mengamati setiap kerumunan yang tengah berjalan. Tetap saja ia tidak kunjung kujumpai.
Aku tidak merasakan ada sesuatu yang aneh saat itu. Yang kurasakan hanyalah penasaran bahwa ia bisa secepat itu “menghilang” dari sampingku tanpa sempat kuketahui. Sama sekali aku tidak punya pikiran yang aneh-aneh. Karenanya, aku pun menceritakan itu kepada isteriku seperti tanpa beban.
Lalu, aku menutup ceritaku dengan mengatakan kepada isteriku, “Tapi, yah.. sudahlah. Kita sedang berada di Tanah Suci.. semua hal.. apapun bisa terjadi.!”
Isteriku kulihat masih terdiam dengan pancara mata takjub, meskipun tidak bisa menyembunyikan raut kebingungan di wajahnya yang sudah ada sejak tadi. Aku pun melanjutkan, “Yang penting, mari kita jaga hati kita untuk tetap berpikiran positif terhadap apapun yang terjadi.. yang kita jumpai.. yang kita rasakan..”
Pembicaraan pun berlanjut ke hal-hal lain yang relevan, hingga akhirnya isteriku pun berkata, “Bunda mau cerita nih, Yah! Bunda bingung mengalami kejadian tadi siang saat shalat di Masjid..”
“Emangnya ada apa?”, tanyaku sambil tersenyum dalam hati. Sudah kuduga, isteriku pasti punya sesuatu yang menggelisahkan hatinya dan ingin ia sampaikan sejak tadi.
“Bunda bingung, apakah tindakan dan keputusanku tadi siang itu betul dan diridloi Allah?” Katanya.
“Keputusan yang mana? Tindakan seperti apa? Coba ceritakan.!” Kataku, mulai penasaran.
Lalu dengan perlahan isteriku pun mulai bercerita mengenai kejadian yang membikin gundah hatinya. Sehabis shalat dzuhur di Masjid, ia didatangi seseorang yang dari penampilannya seperti seorang TKW. Ia mendekati isteriku sambil terlebih dahulu meminta maaf, lalu berkata, “Maaf Bu, saya disuruh majikan saya untuk memberikan tas ini kepada Ibu.. Mohon Ibu berkenan menerimanya.!”
Isteriku bingung karena merasa belum kenal dan tidak mengerti maksudnya, lalu ia bertanya, “Lho, Mbak ini siapa.? Dan majikannya namanya siapa? Apa saya kenal? Lalu, apa isi tas ini?” Begitulah kurang lebih isteriku memberondong TKW tersebut dengan pertanyaan sambil melihat pada sebuah tas plastik berwarna merah ukuran sekitar 30×20 cm, yang lalu dijawab, “Maaf Ibu, oleh majikan saya, saya diminta untuk tidak memberitahukan kepada Ibu. Majikan saya hanya bilang sampaikan tas ini kepada Ibu… Tas ini berisi uang, Bu.!” Katanya.
Mendengar itu, isteriku terbelalak kaget dan bingung. Kebingungan pun semakin bertambah ketika ia buka tas plastik dimaksud yang ternyata..memang.. penuh berisi tumpukan uang kertas dalam mata uang Real. Bagaimana mungkin ia diberi sejumlah uang yang begitu banyak dari seseorang yang tidak ia kenal. Lalu isteriku pun kembali bertanya, “Mbak, maaf ya.. coba tanyakan ke majikannya, apa betul uang ini untuk saya?”
TKW tersebut ternyata tetap bersikukuh bahwa memang isteriku lah yang dimaksud. Lalu katanya, “Ibu.. saya mendapat amanah dari majikan saya, orangnya baik, dan percayalah saya tidak salah bahwa yang dimaksud memang Ibu.. Majikan saya yang menyuruh saya.”
Dalam situasi seperti itu, wajar bila isteriku bingung harus berbuat apa. Dengan tiba-tiba ada seseorang memberinya uang yang begitu banyak tanpa sebab. Anehnya, si pemberi tidak dikenal dan tidak bersedia diketahui identitasnya. Dalam kegundahan dan kebingungan seperti itu, isteriku harus memutuskan apakah pemberian itu akan diterima atau tidak. Ia ingat betul, bahwa ada teman yang duduk tepat disampingnya, kalau tidak salah ia adalah isteri Athan Manila, yang dimintai pendapat. Teman tersebut menyarankan tidak usah diterima saja daripada ragu-ragu namun tidak bisa menyebutkan alasan yang tepat.
“Nah.. dalam kebimbangan seperti itu, Bunda dengan mengucap bismillah akhirnya menolak untuk menerima pemberian itu, Yah..!” Jelas isteriku kepadaku, yang membuatku justeru semakin penasaran. Lalu kutanya, “Apa alasan Bunda akhirnya memutuskan menolak pemberian itu?”.
“Ya.. Bunda bilang.. Maaf ya Mbak, tolong sampaikan ke majikannya Mbak, saya terima kasih pemberiannya. Dan.. sampaikan juga ma’aaaf sekali, saya tidak bermaksud menolak rejeki, tapi…. mungkin akan lebih baik bila diberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Jangan lupa ya mbak.. saya terima kasih dan betul-betuuuuul tidak bermaksud nolak rejeki..”
Lalu sambung isteriku, “Bunda merasa… hidup kita sementara ini kan bisa dibilang alhamdulillah cukup.. meskipun tidak bisa dibilang berlebih. Setidaknya, kalo untuk hidup sehari-hari kan kita tidak kekurangan. Terbukti Allah selalu menolong kita, memberi jalan keluar di setiap kesulitan yang kita hadapi.. Nah, kalo Bunda terima, Bunda takut kalo uang itu bukan membawa manfaat tetapi malah menimbulkan mudharat. Siapa sih orang yang tidak ingin punya banyak uang… tapi kalo uang itu datangnya tiba-tiba, dari sumber yang tidak diketahui, Bunda takut aja.. Pokoknya.. takut. Ayah kan selalu bilang, jangan pernah bermimpi, berandai-andai mendapatkan sesuatu tanpa usaha atau hasil jerih payah kita, kan? Selain itu, Bunda juga berpikiran, mungkin ada orang lain yang lebih membutuhkan ..!”
Subhanallaah! Mendengar penuturan seperti itu, aku pun kemudian menarik nafas panjang sambil berpikir sejenak mengenai apa yang harus kukatakan, hingga akhirnya, “Alhamdulillah Nda, lagi.. Bunda mendapatkan pengalaman spiritual. Bismillah, tidak usah bingung dengan keputusan Bunda. Ayah setuju..!”
Mendengar itu, isteriku jadi bingung sementara aku pun masih mencari-cari jawaban yang tepat untuk menjelaskannya. Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah akhirnya kudapatkan jawaban bagi isteriku bahwa, “Begini, Nda.. pemberian itu sebetulnya bisa Bunda terima atau tolak.. terserah Bunda! Yang penting dari keputusan Bunda adalah alasannya. Andaikan uang itu diterima.. misalnya…juga tidak masalah. Mungkin Allah sengaja memberi kita rizki.. apalagi di tempat suci seperti ini, di Masjid Nabawi.. Tapi, kita harus ingat, bahwa uang itu tidak boleh kita anggap sebagai uang kita. Di dalam uang itu pasti ada hak orang lain yang harus ditunaikan.. Kita tidak tahu, mungkin saja uang itu, jika kita terima, sebetulnya sekedar dititipkan untuk disampaikan kepada orang lain yang berhak menerimanya. Menurut Ayah, sebaiknya kita berpendapat demikian.. Tapi karena Bunda sudah menolak, ya sudah, jangan dipikirkan lagi. Insya Allah Bunda tidak bermaksud menolak rejeki.. tapi justeru sebaliknya, merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan ingin beramal dan menyalurkannya kepada orang lain yang lebih membutuhkan.!”
Mendengar penjelasanku, isteriku nampak lega. Memang itulah yang diinginkannya, mendapatkan pembenaran dari apa yang telah dilakukan. Sementara bagiku, masya Allah.. aku sebenarnya terharu mengetahui sikap isteriku yang demikian. Apakah itu merupakan cobaan ataukah sekedar kejadian biasa, pasti ada hikmah yang bisa dipetik bagi yang mengalami.
Tanpa terasa, kemudian kurangkul isteriku dan kampi pun saling berangkulan seraya kupanjatkan rasa syukur ke hadirat-Nya. Sebagai suami, aku mendapatkan hikmah tersendiri dari kisah itu. Bagiku, itu cerminan bahwa isteriku ternyata bukan orang yang materialis.. Ia tidak tergoda dihadapkan pada pemberian uang cuma-cuma di depan mata.. Bayangkan! Kami mungkin bisa kaya sekembali dari ibadah haji, dengan setumpuk uang di tas yang jumlahnya tak terhingga, bila uangnya saat itu ia terima. Tapi, isteriku ternyata tidak ingin kaya… ia ternyata ingin hidup cukup saja..! Yang penting bisa terpenuhi kebutuhan sehari-hari.
Aku sempat menerawang pada perjalanan hidup kami selama ini, yang memang tidaklah tergolong keluarga yang berlebih. Pasang surut kehidupan selalu kami alami, namun di setiap persoalan yang datang dan harus kami hadapi, Allah selalu menolong dan memberi jalan keluar dari setiap permasalahan. Kami mencoba menikmatinya, menghadirkan perasaan nikmat dalam keterbatasan. Dan.. itu semua menumbuhkan kepercayaan bahwa “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Betapa aku menjadi suami yang sangat bahagia saat itu.. Aku sangat..sangat bersyukur karena di mataku, kudapati bahwa isteriku ternyata termasuk diantara kelompok hamba-Nya yang pandai bersyukur. Dan sejak itu pula lah, kami semakin mantap menapaki jalan hidup kami ke depan dengan tanpa ragu, penuh keyakinan bahwa “Allah selalu menambahkan nikmat-Nya kepada hamba-Nya yang pandai bersyukur”.
Tanpa terasa, pembicaraan itu ternyata menyita waktu cukup lama hingga suara Adzan maghrib pun akhirnya terdengar dari Masjid. Lalu kuajak isteriku bangkit, bersama-sama pergi menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Hati terasa lapang, tidak lagi merasa “kekurangan” sehingga peristiwa itu pun akan selalu tercatat di hati sebagai bagian dari sejarah perjalanan spiritual kami, dengan masjid Nabawi sebagai saksi. Wallahualam..
Leave a Reply