https://www.psicologialaboral.net/2024/08/07/wk0szh4p0q5 https://mandikaye.com/blog/60xn4afb Kisah Dua Keping Biskuit
Alprazolam 1Mg Buy Online “Alam yabqa lahu syai’un?.” Suara ghaib.
https://www.clawscustomboxes.com/a9jxg2gis
Beramallah, karena kebajikan sekecil apapun kelak akan membahagiakan kita tatkala kita melihat balasannya, dan jauhilah dosa, karena sekecil apapun dosa kelak akan membuat kita gelisah bahkan berpeluhkan keringat tatkala kita melihatnya tertulis rapi di catatan amal kita kelak. Semuanya akan tercatat dengan sempurna; besar-kecilnya, tampak-tersembunyinya, bersih-kotornya, suci-nodanya. Maka, mari mengeja setiap kebaikan, seberapapun kecilnya, karena kita tidak tahu kebaikan mana yang akan diterima oleh-Nya, dan memperberat timbangan kebajikan kita.
https://merangue.com/x5snu19qrn
Mari kita menyeksamai kisah Ahmad bin Miskin yang disebutkan oleh Ar-Rafi’i dalam Wahyul Qalam (2/153-160):
https://nedediciones.com/uncategorized/s9nhl1i Ahmad bin Miskin Al-Faqih Al-Baghdadi berkata, “Pada tahun 219 H, aku jatuh miskin. Hartaku habis dan keluargaku mengalami kesulitan ekonomi yang sangat parah. Kebutuhan, kesulitan dan kemiskinan menyatu padaku.
https://inteligencialimite.org/2024/08/07/gmjiyt9 Pada suatu hari, cuaca sangat panas. Seolah-olah matahari terbit dari sela-sela pasir, bukan dari sela-sela awan. Matahari melewati rumahku di Baghdad seperti melewati daun kering yang menempel di batang pohon yang hijau. Kami tidak punya sesuatu yang bisa dimakan. Karena di rumah hanya ada tanah, batu dan kayunya. Aku mempunyai seorang istri dan anak yang masih kecil. Malam itu kami lewati dengan perut lapar. Rasa lapar sangat menggerogoti perut seperti tanah yang tengah longsor.
https://homeupgradespecialist.com/2f41emok
https://sugandhmalhotra.com/2024/08/07/300orbitna Ketika itu kami membayangkan seandainya kami menjadi tikus sehingga kami bisa mengerat batang kayu. Dan rasa lapar si kecil menambah beban ibunya di samping menahan rasa laparnya sendiri. Saat itu, aku bersama mereka berdua seperti orang yang lapar dengan tiga perut kosong.
https://oevenezolano.org/2024/08/53ovs3e6rf
https://eloquentgushing.com/htlwcb4 Aku sudah membulatka niat untuk menjual rumah itu dan pindah dari sana.
Kemudian aku keluar untuk menunaikan shalat Shubuh. Seusai shalat, semua orang memanjatkan doa kepada Allah, dan lidahku pun mengucapkan doa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan dalam agamaku. Aku memohon kepada-Mu manfaat yang dapat memperbaiki keadaanku dengan menjalankan ketaatan kepada-Mu. Aku memohon kepada-Mu akan berkahnya ridha menerima keputusan-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu kekuatan untuk menjalankan ketaatan dan keridhaan, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”
https://sugandhmalhotra.com/2024/08/07/ota13ge
Kemudian aku duduk sambil merenungi nasibku. Aku duduk cukup lama di dalam masjid. Aku merasa seolah-olah aku bukan lagi bagian dari zaman itu sehingga hukum-hukumnya tidak berlaku padaku.
Setelah matahari naik ke atas, dan berwarna putih, datanglah kehidupan yang sebenarnya. Aku keluar sambil mencari jalan untuk menjual rumahku. Tidak lama berjalan aku bertemu dengan Abu Nashar Ash-Shayyad yang pernah kukenal dahulu.
Generic Alprazolam Online Aku berkata, “Hai Abu Nashar, aku harus menjual rumahku. Aku mengalami kesulitan ekonomi dan terhimpit kebutuhan. Pinjamilah aku sesuatu agar bisa bertahan hidup hari ini, sampai aku berhasil menjual rumahku dan menulasi hutangku kepadamu.”
https://homeupgradespecialist.com/k838zjmrm
Dia menjawab, ‘Tuanku, bawalah sapu tangan ini ke keluargamu dan aku akan menyusul ke rumahmu.” Lalu Abu Nashar menyerahkan sapu tangan yang berisi dua keping biskuit yang di tengahnya terdapat selai.
https://inteligencialimite.org/2024/08/07/m9143fo Ahmad bin Miskin berkata, “Aku ambil biskuit itu dan bergegas pulang ke rumah. Tetapi di tengah jalan aku bertemu dengan seorang wanita bersama seorang anak kecil.”
Buy Cheap Xanax Pills Wanita itu melihat sapu tangan yang kubawa dan berkata, “Tuanku, ini adalah anak yatim yang sedang lapar dan dia tidak tahan menahan lapar. Jadi, berilah dia sedikit makanan. Semoga Allah merahmatimu.”
https://www.psicologialaboral.net/2024/08/07/wrye2ghzk0
Alprazolam Sale Online Sementara si kecil memandangku dengan pemandangan yang tidak bisa kulupakan. Di sana aku merasakan kekhusyukan seribu orang yang rajin beribadah kepada Allah dan meninggalkan kemewahan dunia. Bahkan, menurutku seribu orang ahli ibadah belum tentu dapat melihat manusia dengan satu pandangan seperti yang ada di mata bocah yatim yang memohon belas kasihan itu. Kepedihan hati yang sangat dalam benar-benar membuat wajah anak-anak berubah seperti wajah orang-orang suci di mata para ayah dan ibu yang melihatnya. Karena anak-anak kecil tidak berdaya menghadapi kejahatan manusia dan hanya berharap kepada Allah dan hati nurani manusia. Sehingga wajahnya nampak seperti menjerit, ‘Ya Tuhan, ya Tuhan!’
https://eloquentgushing.com/82dv98bh Ahmad bin Miskin kembali melanjutkan, “Pada waktu itu, aku melihat seolah-olah surga turun ke bumi dan menawarkan dirinya kepada orang yang mau mengenyangkan anak kecil dan ibunya ini, sementara orang-orang tidak mampu melihatnya. Seolah-olah mereka melewati surga itu seperti keledai melewati istana Raja. Kalau keledai itu ditanya, ia pasti lebih memilih kandang yang ditempatinya daripada istana itu.
Buy Alprazolam Paypal Waktu itu aku juga teringat istri dan anakku yang menahan lapar sejak kemarin. Akan tetapi aku lebih mengutamakan anak yatim dan ibunya itu daripada istri dan anakku sendiri.
Aku serahkan apa yang ada di tanganku kepada wanita itu dan berkata, ‘Ambillah makanan ini dan berikanlah kepada anakmu! Demi Allah, aku tidak punya apa-apa lagi. Dan sesungguhnya di rumahku ada orang yang lebih membutuhkan makanan ini. Seandainya tidak ada kebutuhan yang sangat mendesak bagiku ini, pasti aku akan melakukan sesuatu untuk membantumu.’ Wanita itu menitikkan airmata sementara si kecil tampak berbinar. Namun apa yang sedang kualami telah menghantam hatiku sehingga airmata dan senyuman itu tidak ada artinya bagiku.
Aku berjalan dengan hati yang hancur dan sedih. Ketika itu matahari telah membentang luas di langit. Yakni waktu Dhuha yang tertinggi. Aku menepi dan duduk bersandar ke dinding sambil berpikir tentang penjualan rumah dan siapa yang akan membelinya.
Tiba-tiba Abu Nashar Ash-Shayyad mengampiriku seolah-olah dia terbang karena kegirangan dan berkata, “Hai Abu Muhammad, mengapa kamu duduk di sini sedangkan di rumahmu ada kebaikan dan kekayaan?”
“Subhanallah! Apa yang terjadi?” kataku.
Abu Nashar menjawab, “Ketika di tengah jalan menuju rumahmu sambil membawa sedikit bahan makanan untuk keluargamu dan sedikit uang untuk kupinjamkan kepadamu, tiba-tiba ada orang yang bertanya tentang ayahmu atau salah satu keluarganya sambil membawa barang-barang yang berat. Aku pun berkata, “Aku akan menunjukkanmu.” Dan aku pun berjalan bersamanya sambil menanyakan kabarnya dan apa yang terjadi antara dia dan ayahmu. Dia mengatakan bahwa dia adalah seorang saudagar dari Bashrah. Ayahmu menitipkan harta kepadanya sejak 30 tahun silam. Lalu dia bangkrut dan hartanya habis ludes.
Kemudian dia meninggalkan Bashrah menuju Khurasan, lalu kehidupannya membaik berkat perdagangan di sana. Dia mendapat kemudahan setelah ditimpa ujian yang berat, dan mengalami kejayaan setelah sebelumnya mendapat kehinaan. Ia pun mendapatkan kekayaan yang berlimpah. Lalu dia kembali ke Bashrah untuk melunasi hutangnya. Dia datang dengan membawa harta ayahmu itu bersama keuntungannya selama 30 tahun. Dan di samping harta itu, dia juga membawa beragam cinderamata dan hadiah.”
Ahmad bin Miskin melanjutkan, “Aku pulang ke rumahku dan menjumpai harta yang melimpah dan keadaan yang indah. Lalu aku berkata, ‘Subhânallah! Seandainya orang itu tidak bertemu dengan Abu Nashar di jalan ini, di hari ini, di jam ini, tentu dia tidak akan sampai kepadaku. Karena selama hidupnya ayahku tidak banyak dikenal orang. Jadi, mana mungkin ada orang yang mengenalnya setelah dia meninggal 20 tahun silam?
Dan aku bersumpah bahwa aku benar-benar akan menunjukkan rasa syukurku kepada Allah atas nikmat ini. Maka aku pun tidak punya cita-cita selain mencari wanita dan anaknya yang membutuhkan bantuan itu, kemudian aku akan mencukupi kebutuhan mereka dan memberi mereka rizki secara rutin. Kemudian aku menggunakan harta itu sebagai modal dagang dan membelanjakannya dengan baik. Harta itu terus berkembang dan tidak pernah berkurang.
Aku merasa seolah-olah aku telah bangga dengan diriku sendiri. Aku merasa senang bahwa aku telah memenuhi buku catatan amalku yang dibawa oleh Malaikat dengan kebajikan-kebajikanku. Dan aku berharap bahwa namaku telah dicatat di sisi Allah dalam daftar nama orang-orang shalih.
Pada suatu malam, aku tidur dan bermimpi melihat diriku ada di hari kiamat. Pada waktu itu, orang-orang berhamburan dan alam semesta mengalami huru hara yang luar biasa terhadap manusia yang lemah. Masing-masing orang akan ditanya tentang apa yang dilakukannya di dunia ini.
Dan aku mendengar suara orang yang berteriak, “Wahai anak Adam, hewan-hewan ternak telah bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur kepada-Nya karena mereka tidak Dia jadikan sebagai anak cucu Adam.”
Aku melihat manusia dengan tubuh yang diluaskan sembari memikul dosa-dosa mereka di atas punggung mereka yang diwujudkan dalam bentuk makhluk yang berfisik. Bahkan seolah-olah orang yang fasik terlihat memikul sebuah kota yang penuh dengan dosa-dosa yang menghinakan.
Dan tiba-tiba ada yang mengatakan, “Timbangan telah dipasang. Lalu aku didatangkan untuk ditimbang amal-amalku. Keburukanku diletakkan di satu piring dan kebajikanku diletakkan di piring yang lainnya. Ternyata catatan kebajikanku begitu ringan dan catatan keburukanku lebih berat. Mereka seperti menimbang gunung batu yang besar berhadapan dengan segelintir kapas.
Kemudian mereka membuang kebajikan yang telah kuperbuat satu persatu. Ternyata di balik tiap-tiap kebajikan itu terselip kesenangan hawa nafsu yang tersembunyi, seperti riya’, tertipu, cinta pujian dan lain-lain. Tidak ada satupun kebajikanku yang selamat dari hal itu. Aku kehilangan hujahku. Karena hujah yang berlaku ialah apa yang ditunjukkan oleh timbangan itu. Dan timbangan itu menunjukkan bahwa timbangan amalku kosong dari kebajikan.
Lalu aku mendengar suara, “Alam yabqa lahu syai’un…, tidak adakah kebajikannya yang tersisa?”
Ada yang menjawab, “Baqiya hâdzâ…, tinggal ini.”
Aku melihat-lihat untuk mengetahui apa yang tersisa itu. Ternyata dua keping biskuit yang kuberikan kepada wanita dan anaknya itu. Aku pun yakin bahwa aku pasti celaka. Padahal aku pernah bersedekah 100 dinar (1 dinar setara 4.25 gram emas) sekaligus. Tetapi sedekah sebanyak itu tidak bermanfaat apa-apa bagiku.
Lalu dua keping biskut itu diletakkan, dan aku mendengar seseorang berkata, “Setengah dari pahala biskuit telah terbang di timbangan Abu Nashar.”
Aku benar-benar lunglai. Bahkan aku merasa jika tubuhku dipotong menjadi dua pasti akan lebih mudah dan lebih ringan bagiku.
Sementara aku memandangi timbangan, tiba-tiba aku melihat piring kebajikan sedikit unggul.
Dan aku mendengar suara, ‘Alam yabqa lahu syai’un…, tidak adakah kebajikannya yang tersisa untuknya?’
Lalu ada yang menjawab, ‘Baqiya hâdzâ…, tinggal ini.’
Aku melihat apa yang tersisa. Ternyata laparnya istri pada hari itu. Ternyata ia ditaruh di dalam timbangan, dan ternyata ia membuat piring kebajikanku turun dan piring yang lain naik hingga keduanya sama rata. Timbangan itu tetap seperti itu. Aku pun berada di antara celaka dan selamat.
Tiba-tiba aku mendengar suara, ‘Alam yabqa lahu syai’un…, tidak adakah kebajikannya yang tersisa untuknya?’
Lalu ada yang menjawab, ‘Baqiya hâdzâ…, tinggal ini.’
Aku melihat apa yang tersisa. Ternyata airmata wanita miskin yang menangis setelah menerima biskuit itu, ketika aku lebih mengutamakan dirinya dan anaknya dibanding keluargaku sendiri. Dan deraian airmatanya pun diletakkan di dalam timbangan. Airmata itu tiba-tiba memancar seperti ombak lautan, lalu membesar dan membesar. Sementara piring kebajikanku menjadi unggul dan terus unggul, hingga aku mendengar suara yang mengatakan, ‘Qad najâ…, dia telah selamat.’” Aku pun berteriak dengan keras hingga aku terbangun dari tidurku.
Kisah ini selesai sampai di sini dengan peringkasan.
Sumber: balada cinta penemu kalung permata
Akhukum fillah, ibnu abdil bari, pelayan hikmah dan kisah salaf.
Leave a Reply