Sekali-kali kita jangan pernah merasa diri lebih tinggi-lebih besar-lebih fakih-lebih berilmu-lebih banyak amalnya, karena kita tidak tahu orang di sekeliling kita; bisa jadi ia biasa-biasa saja, berpenampilan sederhana, bahkan di masyarakat hanya dipandang sebelah mata, tetapi ternyata ia berhati mulia, dan termasuk pribadi bertakwa di sisi-Nya. Adakah yang lebih mulia di sisi-Nya melebihi pribadi yang bertakwa?
Ada kekaguman dan ketakjuban yang sangat indah menurut saya, ketika membaca cerita yang dituliskan oleh Salim A. Fillah dalam bukunya, “Barakallahu laka, Bahagianya merayakan cinta.” pada hal. 448-449.
“Suatu malam,” begitu Salim memulai ceritanya “Ustadz Muhammad Nazhif Masykur berkunjung ke rumah. Setelah membicarakan beberapa hal, beliau bercerita tentang tukang becak di sebuah kota, di Jawa Timur.”
Salim melanjutkan, “Ini baru cerita, kata saya. Yang saya catat adalah, pernyataan misi hidup tukang becak itu :
- Jangan Pernah Menyakiti;
- Hati-hati Memberi Makan Istri.
“Antum pasti tanya,” sambung Salim melanjutkan ceritanya, “tukang becak macam apakah ini sehingga punya mission statement segala? Saya juga tertakjub dan berulang kali berseru, “Subhanallah!” mendengar kisah hidup bapak berusia 55 tahun ini. Beliau ini Hafizh Qira’at Sab’ah!!! Beliau menghafal Al-Qur’an lengkap dengan tujuh lagu qira’at seperti saat ia diturunkan; qira’at Imam Hafsh, Imam Warasy, dan lainnya.”
“Dua kalimat itu sederhana. Tetapi bayangkanlah sulitnya mewujudkan hal itu bagi kita. Jangan pernah menyakiti. Dalam tafsir beliau di antaranya adalah soal tarif becaknya. Jangan sampai ada yang menawar, karena menawar menunjukkan ketidakrelaan dan ketersakitan. Misalnya ada yang berkata, “Pak terminal 5000 ya” terus dijawab, “Waduh, nggak bisa, 7000 mbak”, namanya sudah menyakiti. Makanya beliau tak pernah pasang tarif. “Pak terminal 5000 ya” jawabnya pasti OK. “Pak terminal 3000 ya” jawabnya juga OK, bahkan kalau, “Pak terminal 1000 ya” jawabnya juga sama, OK.
Gusti Allah! Manusia macam apa ini. Kalimat kedua, hati-hati memberi makan istri, artinya sang istri hanya akan makan dari keringat dan becak tuanya. Rumahnya berdinding gedheg. Istrinya berjualan gorengan. Stop. Jangan dikira beliau tidak bisa mengambil yang lebih dari itu. Harap tahu, putra beliau dua orang. Hafizh Qur’an semua. Salah satunya sudah menjadi dosen terkenal PTN terkemuka di Jakarta. Adiknya, tak kalah sukses. Pejabat strategis di pemerintah baru sekarang.
Uniknya, saat pulang, anak-anak sukses ini tak berani berpenampilan ‘wah’. Mobil ditinggal beberapa blok dari rumah. Semua asesoris diri; arloji, handphone dilucuti. Bahkan baju parlente diganti kaos oblong dan celana sederhana. Ini adab, tatakrama. Sudah berulangkali sang putra mencoba meminta bapak dan ibunya ikut ke Jakarta. Tetapi tidak pernah tersampaikan. Setiap kali akan bicara serasa tercekat di tenggorokan, lalu mereka hanya bisa menangis. Menangis. Sang bapak selalu bercerita tentang kebahagiaannya, dan dia mempersilakan putra-putranya untuk menikmati kebahagiaan mereka sendiri.
Waktu saya ceritakan ini pada istri di Gedung Bedah Sentral RSUP Dr. Sardjito keesokan harinya, kami menangis. Ada banyak kekasih Allah yang tak kita kenal…., cerita salim selesai sampai di sini.
Ah, benar sekali; banyak kekasih Allah dan ‘manusia langit’ yang tak kita kenali…, aku teringat dengan tulisanku dulu, “ah, semua orang lebih fakih dari aku.”
Akhukum fillah, ibnu abdil bari.
Leave a Reply