Menjemput Ampunan-Nya dengan Istighfar
Ibnu Abdil Bari el `Afifi
“Seandainya ampunan bukan termasuk sesuatu yang paling dicintai-Nya” kata Yahya bin Mu’adz, “niscaya Dia tidak akan menguji makhluk yang paling mulia di sisi-Nya dengan dosa.” (Shifatus Shafwah : IV/92).
Siapapun tahu bahwa manusia adalah tempat salah dan dosa, bahkan hamba-hamba pilihan Allah yang dikaruniai nubuwwah sekalipun pernah melakukan larangan-Nya. Maka, adalah merupakan nikmat Allah bila kita melakukan kesalahan kemudian melakukan muhasabah, dan memohon ampunan-Nya. Karena, sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya bin Mu’adz di atas, ampunan Allah adalah sesuatu yang dicintainya, “Seandainya ampunan bukan termasuk sesuatu yang paling dicintai-Nya niscaya Dia tidak akan menguji makhluk yang paling mulia di sisi-Nya dengan dosa.”
Kalau lah tidak karena cinta-Nya, Allah tidak akan menguji makhluk yang Dia muliakan di hadapan para malaikat-Nya, yaitu Nabi Adam, dengan dosa; memakan buah dari syajarah khuldi, pohon keabadian yang dilarang untuk didekati oleh Adam dan Hawa [Al-Baqarah : 35-37]. Karena kejadian ini, Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga, negeri keabadian, menuju negeri yang penuh ujian dan cobaan. Tetapi dari kesalahan ini juga, kita belajar untuk menghapuskan kesalahan tersebut, yaitu dengan taubat dan istighfar. Dan, Adam telah mengajari kita semua dengan sesal dan tangisnya atas kealpaan yang sudah ditetapkan oleh Allah 50.000 tahun sebelum Dia mencipta langit dan bumi itu….,
Lihatlah fakta yang diabadikan oleh Imam Ahmad dalam karyanya, Az-Zuhd, ketika menyebutkan air mata taubat Adam ketika diturunkan dari surga. Imam Ahmad menyebutkan kekata Alqamah bin Martsad rahimahullah, “Seandainya semua penduduk bumi menangis, maka tangisan mereka tidak akan mampu menandingi air mata Dawud ketika dia melakukan sebuah kesalahan, dan seandainya air mata semua penduduk bumi dan air mata Dawud ‘Alaihis salam disatukan, air mata mereka tidak akan mampu menandingi air mata Adam ‘Alaihis salam ketika dia diturunkan dari surga.” (Az-Zuhd, Imam Ahmad [164-241 H], Cet. Tahun 1431 H-2010 M, Dar Al-Aqidah, Kairo, hlm. 79).
Selain itu, Allah juga mengajari sebuah doa kepada kita melalui lisan bapak kita, Adam. Doa indah yang merupakan pengakuan atas segala kelemahan dan keteledoran dalam melaksanakan perintah-Nya, dan kelancangan dalam melanggar larangan-Nya. Doa itu adalah, “Rabbanâ zhalamnâ anfusanâ wa in lam taghfir lanâ la nakûnanna mina l-khâsirîn, Duhai Rabb kami, kami telah mendhalimi diri kami sendiri, jika Engkau tidak mengampuni, sungguh kami termasuk orang-orang yang merugi.” [Al-A’raf: 23]. Ah, entah apa yang kita bisa bila Allah tidak menjadikan ampunan sebagai sesuatu yang paling dicintai-Nya, dan Dia tidak membukakan pinta taubat-Nya untuk kita…
Selain Adam dan Hawa, para Nabi juga memohon ampunan Allah Ta’ala; Nuh, Ibrahim, Dawud, Sulaiman dan Musa adalah beberapa Nabi yang menghiba ampunan-Nya, dan Dia mengabadikan rintihan mereka dalam banyak firman-Nya,
Allah mengisahkan Nabi Nuh, “Qâla rabbi innî a’ûdzubika an as’alaka mâ laysa lî bihi ilmun wa illâ taghfir lî wa tarhamnî akun minal khâsirîn, Nuh berkata, “Duh Rabb, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat) nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Hud : 47).
Allah juga berfirman mengisahkan Nabi Ibrahim, “wal ladzî athma’u an yaghfira lî khathîatî yawmad dîn, Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.” (Asy-Syu’ara’ : 82).
Allah juga berfirman mengisahkan Nabi Sulaiman, “Qâla rabbi ghfirlî wa hab lî mulkan lâ yanbaghî li ahadin min ba’dî innaka antal wahhâb, Ia berkata, “Duhai Rabbku, ampunilah aku, dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun jua sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Memberi.” (Shad : 35).
Allah juga berfirman mengisahkan Nabi Musa, “Qâla rabbi innî zhalamtu nafsî fa ghfirlî fa ghafara lahu, innahu huwal ghafûrur rahîm, Musa berdoa, “Ya Rabb, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah, Dia lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Qashash : 16).
Selain mereka, Nabi Muhamamd saw selaku penghulu para Nabi dan Rasul adalah teladan mulia. Beliau, sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, membaca istighfar dan bertaubat kepada Allah sebanyak lebih dari 70 kali, atau sebanyak seratus kali dalam sehari. Dalam banyak hadits pun, beliau mengajari doa memohon ampunan Allah dari berbagai dosa, di antaranya, “Allâhumma ghfirlî khathîatî wa jahlî wa isrâfî fî amrî wa mâ anta a’lamu bihi minnî Allâhumma ghfirlî jiddî wa hazlî wa khathaî wa ‘amdî wa kullu dzâlika ‘indî Allâhumma ghfirlî mâ qaddamtu wa mâ akhkhartu wa mâ asrartu wa mâ a’lantu wa anta a’lamu bihi minnî antal muqaddim wa antal muakhkhir wa anta ‘ala kulli syai’in qadîr, Ya Allah, ampunilah aku atas kesalahanku, kebodohanku, keberlebihanku dalam urusanku, dan segala apa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Ya Allah, ampunilah aku atas kesalahanku dan kesengajaanku, yang berasal dariku. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa yang telah aku perbuat terdahulu dan yang akan datang, yang aku sembunyikan dan yang aku perbuat dengan terang-terangan, juga segala apa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku, Engkaulah Dzat yang Maha mengawalkan dan mengakhirkan, dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Dus, jika kondisi para Nabi shalawatullah wa salamuhu alaihim saja sedemikian adanya, padahal mereka adalah manusia pilihan-Nya, lantas bagaimana dengan kita yang tidak memiliki jaminan tempat sejengkal pun di jannah-Nya?
Dosa, salah satu bentuk rahmat dan cinta-Nya
Rasulullah pernah bersabda, “Walladzî nafsî bi yadih, law lam tudznibû la dzahabAllâhu bikum wa la jâ’a bi qawmin yudznibûna fa yastaghfirûnAllâha fa yaghfiru lahum, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sekiranya kalian tidak berbuat dosa tentu Allah akan mematikan kalian, kemudian Dia mendatangkan suatu kaum yang berbuat dosa, lalu mereka memohon ampun kepada Allah sehingga Allah pun mengampuni mereka.” (HR. Muslim).
Makna hadits ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ath-Thayyibi dan dinukil oleh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, adalah bahwa sebagaimana Allah suka memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, Dia juga suka memaafkan orang-orang yang berbuat kesalahan, ada banyak nama yang menunjukkan tentang hal itu, di antaranya adalah Al-Ghaffar, Al-Halim, At-Tawwab, Al-Afuwwu.
Hadits ini juga bukan untuk menghibur orang-orang yang bergelimang dosa, dan membuka jalan bagi mereka untuk berasik-masuk dengan maksiat, karena para Nabi shalawatullahi wa salamuhu alaihim diutus untuk mengingatkan manusia agar menjauhi dosa-dosa yang keji. Hadits ini justru menjelaskan ampunan dan maaf Allah Ta’ala kepada para pendosa agar mereka suka bertaubat, karena Dia mencipta manusia tidak sebagaimana para malaikat yang terlepas dari nafsu dan terbebas dari dosa sebagaimana firman-Nya, “…lâ ya’shûnAllâha mâ amarahum wa yaf’alûna mâ yu’marûn, dan mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6).
Maka maksud Nabi dengan hadits di atas adalah jika kalian dicipta sebagaimana malaikat yang tidak pernah berbuat dosa, pasti Allah akan mendatangkan suatu kaum yang melakukan dosa sehingga sifat-sifat Allah menjadi tampak berdasarkan tuntutan hikmah, karena nama Al-Ghaffar menuntut ada yang diampuni sebagaimana Ar-Razzaq menuntut ada yang diberi rizki.
Ini adalah salah satu bukti rahmat dan cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya, karena dengan dosa, mereka akan mengakui kesalahan-kesilapan dan kealpaannya, kemudian bertaubat, menghadapkan hatinya kepada Allah Ta’ala, menghiba ampunan-Nya, menampakkan ketundukan dan kebutuhannya kepada rahmat-Nya, serta menderaikan air mata karena takut kepada siksa-Nya, di mana ini semua lebih dicintai Allah Ta’ala.
Wahab bin Munabbih meriwayatkan, Nabi Dawud bertanya, “Ya Allah, di manakah aku akan mendapati-Mu jika aku ingin mencari-Mu?” Allah berfirman, “Indal munkasirati qulûbuhum min makhâfatî, carilah Aku di sisi orang-orang yang berhati hancur karena takut kepada-Ku.” (Shifatus Shafwah : II/293, dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 205, hlm. 127).
Bahkan, merekalah orang-orang yang diampuni oleh Allah Ta’ala. Dari Asyras, Wahab bin Munabbih meriwayatkan, Allah Azza wa Jalla pernah mewahyukan kepada Dawud, “Wahai Dawud, apa kamu tahu siapakah orang yang Aku ampuni?” Dawud bertanya, “Siapa dia ya Rabb?” Allah berfirman, “Yaitu orang yang setiap kali mengingat dosa-dosanya, dia menggigil ketakutan. Itulah hamba di mana Aku perintahkan malaikat-malaikat-Ku untuk menghapus dosa-dosanya.” (Shifatus Shafwah : II/293, dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 204, hlm. 126-127).
Pun, Allah sangat bangga dan bahagia dengan taubatnya seorang hamba melebihi kebahagiaan seorang musafir yang kehilangan seluruh perbekalannya; kendaraan dan makanannya, kemudian setelah dia merasa putus asa, ia tidur sejenak, kemudian ia terbangun dan mendapati kendaraan dan makanannya ada di hadapannya, lalu ia berkata, “Allahumma anta abdî wa ana rabbuka, ya Allah Engkau adalah hamba-ku dan aku adalah rabbmu.” Ia salah ucap karena saking bahagianya, dan Allah lebih bahagia daripada musafir tersebut.
Inilah kebanggaan yang hanya dimiliki oleh orang yang bertaubat. Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Lit tâibi fakhrun lâ yu’adiluhu fakhrun, farahullÂli bi tawbatih, Orang yang bertaubat memiliki kebangggaan yang tidak tertandingi oleh kebangggaan apapun, yaitu kebahagiaan Allah dengan taubatnya.” (Shifatus Shafwah : IV/94 dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 454, hlm. 272-273).
Keajaiban-keajaiban Istighfar
“Bila dibaca dengan benar” kata Imam Sibawaih, “Istighfar bukan saja membuat hati dan jiwa bergetar, lebih dahsyat dari itu, hidupmu senantiasa akan dipenuhi ‘kejutan-kejutan’ besar. Maka bersegeralah untuk sadar.”
Istighfar bukan hanya ucapan lisan semata tetapi juga harus dibuktikan dengan amal anggota badan dengan mentaati Dzat yang Maha Pengampun, Allah Ta’ala dan meninggalkan dosa-dosa. Karena memohon ampun tanpa meninggalkan dosa, adalah taubatnya para pendusta. Fudhail bin Iyadh berkata, “Beristighfar tanpa meninggalkan perbuatan dosa adalah tobatnya para pendusta.”
Tentang hal ini, jawaban Haris Al-Muhasibi bisa dijadikan acuan.
Seseorang bertanya kepada Haris Al-Muhasibi, “Jika ada orang yang sudah bertaubat kemudian kembali melihat –atau mengerjakan– sesuatu yang diharamkan, apakah tobat orang itu sah atau hanya bohong?”
Al-Muhasibi menjawab, “Dalam masalah ini, manusia dibagi menjadi dua golongan :
Pertama, orang yang tobatnya sungguh-sungguh dan dia berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi perbuatan dosanya lagi. Setelah itu ia melakukan dosa lain yang tidak direncanakan atau tidak disengaja. Ia tidak tahu bahwa akhirnya ia akan jatuh melakukan perbuatan dosa tersebut. Baik perbuatan dosa yang sama dengan yang pertama atau perbuatan dosa yang berbeda. Pada saat itu, ia harus segera bertobat dan melakukan syarat-syaratnya. Tobatnya yang pertama dan yang kedua sah, sekalipun berbuat dosa berulang kali. Dengan syarat, tidak ada rencana dalam melakukannya.
Kedua, orang yang tobat dari dosa pertama dan dia masih menyukainya. Dia berharap bisa meninggalkannya pada kesempatan lain. Kerusakan akan yang haram belum tercerabut dalam hatinya. Kemudian satu dosa ditawarkan kepadanya dan ia melakukannya. Inilah orang yang istihza’ (baca; meledek, mempermainkan) terhadap Tuhannya. Tobat seperti ini adalah tobatnya para pendusta. Lidahnya bertobat tetapi hatinya berniat mengulangi perbuatan dosanya.”
Maka, keajaiban-keajaiban istighfar hanya bisa didapatkan oleh orang-orang yang memahami dan merenungi serta mengaplikasikan konsekwensi istighfarnya. Berikut di antara buahnya,
- Istighfar merupakan bentuk realisasi perintah Allah [Al-Mukmin : 55, An-Nashr : 3, An-Nisa’ : 106, Al-Muzzammil : 20, Ali Imran : 133, Muhammad : 19, dan lain-lain];
- Istighfar termasuk faktor pendatang rezeki [Nuh : 10-12 dan Hud : 52];
- Istighfar termasuk sebab masuk jannah [HR. Al-Bukhari –tentang sayyidul istighfar];
- Istighfar penyebab dihapuskannya dosa-dosa dan kesalahan [Ali Imran : 135];
- Isighfar dapat mencegah hukuman dan adzab [Al-Anfal: 33];
- Istighfar penyebab diangkatnya derajat setelah kematian [HR. Ahmad];
- Istighfar dapat menyucikan hati [HR. Ibnu Majah dan Ahmad];
- Istighfar penyebab bisa berketurunan [Nuh : 10-12] ;
- Istighfar penyebab bisa menikmati kesehatan dan kekuatan [Hud: 3 dan 52]; dan lain sebagainya.
Kekata salaf tentang Istighfar
Tentang khasiat dan keutamaan istighfar, para salaf banyak menyinggungnya, berikut di antaranya :
Abu Musa berkata, “Kami mempunyai dua pengaman dari adzab. Yang pertama telah tiada, yaitu keberadaan Rasulullah di tengah-tengah kami, dan tingallah istighfar bersama kami. Maka jika ia ikut lenyap, kami pasti binasa.”
Ummul Mukminin Aisyah berkata, “Beruntunglah orang yang mendapati istighfar yang banyak dalam lembaran catatan amalnya kelak.”
Ali bin Abi Thalib berkata, “Tidaklah Allah mengilhamkan seorang hamba untuk istighfar, dan Dia ingin mengadzabnya.”
Rabi’ bin Khutsaim, sayyidut tabi’in, berkata, “Memohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Rabb kalian, dan berdoalah kepada-Nya di saat lapang. Sebab, Allah berfirman, “Barang siapa berdoa kepada-Ku di saat lapang, Aku akan mengabulkan doanya di saat sempit. Barang siapa meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya. Barang siapa tawadhu kepada-Ku, Aku akan mengangkatnya. Barang siapa mengabdikan dirinya untuk-Ku, Aku akan merahmatinya. Dan barang siapa meminta ampunan kepada-Ku, Aku akan mengampuninya.”
Ibnul Jauzi menuturkan, “Sesungguhnya Iblis berkata, “Aku membinasakan anak Adam dengan dosa-dosa. Mereka membinasakanku dengan istighfar dan dengan kalimat lâ ilâha illallâh. Maka ketika aku mellihat di antara mereka seperti itu, aku pun menelusupkan pada diri mereka hawa nafsu, sehingga mereka berdosa dan tidak memohon ampun karena menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.”
Qatadah berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu menunjukkan kepada kalian akan penyakit dan obat kalian. Adapun penyakit kalian adalah dosa-dosa, sementara obatnya adalah istighfar.”
Diriwayatkan bahwa Luqman berkata kepada putranya, “Wahai putraku, sesungguhnya Allah memiliki waktu-waktu yang di dalamnya Dia tidak menolak seorang pun yang meminta, maka perbanyaklah istighfar.”
Abu Minhal berkata, “Tidaklah seseorang itu bertetangga di dalam kuburnya dengan tetangga yang lebih ia cintai daripada istighfar.”
Salah seorang badui berkata, “Barang siapa yang ingin bertetangga dengan kami di negeri kami, maka hendaknya ia memperbanyak istighfar. Karena, istighfar itu adalah awan yang banyak meneteskan air hujan.”
Bakar bin Abdullah Al-Muzanni berkata, “Kalian banyak melakukan dosa, maka perbanyaklah beristighfar! Sebab, jika seseorang mendapati di antara dua garis dalam lembar catatannya satu istighfar, ia akan dibuat gembira oleh kondisi itu.”
Hasan Al-Bashri mengatakan, “Perbanyaklah beristighfar di rumah-rumah kalian, di meja-meja makan kalian, di jalan-jalan kalian, di pasar-pasar-pasar kalian, dan di majlis-majlis kalian! Sebab, kalian tidak tahu kapan ampunan akan turun.”
Akhirnya, mari kita menyediakan waktu khusus berkhalwat dengan Allah untuk memperbanyak istighfar; memohon ampun kepada-Nya atas semua kesalahan, keteledoran, kemaksiatan-kemaksiatan anggota badan, dan dosa-dosa hati kita. Semoga kita termasuk orang yang berbahagia mendapat ampunan-Nya. Amin.
Leave a Reply