Merintis jalan menuju tamkin
Jihad dalam islam dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu jihad difa’i (defensive) dan jihad hujumiy (ofensive). Jihad difa’i adalah membela kehormatan agama dan harga diri kaum muslimin dari gangguan orang kafir. Jihad jenis ini hukumnya adalah fardhu ain. Adapun jihad offensive adalah menyerang orang-orang kafir ke wilayah mereka agar memeluk islam atau tunduk terhadap Islam. Hukum asal dari jihad ini adalah fardhu kifayah dan bisa berubah menjadi fardhu ain dalam kondisi tertentu.
Mencermati keadaan kaum muslimin saat ini, maka bisa dikatakan mereka sedang berada dalam posisi jihad difa’i. Hal ini berangkat dari realita bahwa kaum muslimin sedang tindas di berbagai wilayah. Di sisi lain, mereka juga belum mempunyai satu kepemimpinan yang memungkinkan untuk melakukan jihad hujumiy. Sedangkan jihad hujumiy baru akan menuai keberhasilah apabila telah mempunyai wilayah kekuasaan dan kepemimpinan yang solid. Hal ini sebagaimana jihad hujumiy dilakukan oleh rasulullah saw pada saat madinah telah menjadi basis kekuatan kaum muslimin.
Kondisi kaum muslimin yang lemah dan belum memiliki kekuasaan, mengharuskan mereka untuk berfikir panjang menuju kemenangan berupa tamkin. Menyusun strategi yang matang dan nikayah hanya akan dilakukan apabila benar-benar akan mengarah kepada tamkin. Karena pada kenyataannya, membatasi target hanya pada nikayah yang dilakukan pada kondisi lemah justru akan memperlambat tercapainya tamkin.
Tidak dapat dipungkiri bahwa nikayah yang dilakukan kaum muslimin mempunyai sisi positif. Diantaranya adalah membangkitkan semangat kaum muslimin untuk berjihad, dan menjadikan mereka terbiasa dalam menghadapi cobaan dalam perjuangan. Dampak positif ini sebagimana yang diungkapkan oleh Umar Mahmud abu Umar, bahwa melalui nikayah akan melatih diri tidak takut dengan darah. Melatih kesabaran atas kepergian orang-orang yang kita cintai, dan dengannya kita bisa mebersihkan diri dan banyak menapatkan tarbiyah (pelajaran). Namun bukan berarti tujuan nikayah harus lebih diutamakan dari pada tamkin. Bahkan rasulullah saw pernah melarang para sahabat untuk melakukan nikayah meskipun mereka telah merasa mampu untuk melakukannya. Beliau melarang nikayah dalam rangka untuk melancarkan target utama yaitu tamkin.
Hal ini sebagaimana keinginan para sahabat yang baru usai melakukan baiat aqabah kedua yang kemudian dicegah oleh rasulullah saw. Diriwayatkan bahwa salah salah seorang dari mereka yang bernama Al-abbas bin Ubadah bin Nadhalah berkata kepada Rasulullah saw: Aku bersumpah demi yang mengutusmu dengan kebenaran, kalau engkau berkehendak bagaimana jika esok hari kami akan mendatangi penduduk mina dengan pedang-pedang kami? Beliau bersabda “kita beluam diperintah untuk hal itu, pulanglah ketempat kalian dan tidurlah sampai pagi hari”.
Terkadang seseorang kurang bisa untuk berfikir panjang ketika dihadapkan dengan suatu permasalahan yang berat. Terlebih ketika masalah tersebut berupa penganiayaan atau penindasan. Dalam keadaan demikian seseorang hanya berfikir bagaimana cara keluar dari permasalahan tersebut secepatnya dengan segala cara tanpa perhitungan. Padahal belum tentu setiap cara yang mereka lakukan merupakan jalan keluar terbaik untuk tahapan selanjutnya. Hal ini sebagaimana perasaan para sahabat saat mendapakan penyiksaan dari orang-orang musrik makkah. Mereka mendatangi Rasulullah saw mengadukan tentang keadaan mereka. Kehinaan dan kesempitan hitup yang mereka rasakan. Namun ketika itu Rasulullah justru mengajak mereka untuk berfikir panjang kepada suatu target yang tidak belum tebayangkan dalam benak mereka. Beliau memberikan semangat kepada para sahabat dengan mengatakan “Demi Allah akan tiba masanya seorang berjalan dengan sendirinya dari shan’a sampai hadramaut tanpa merasa takut kecuali hanya keapada allah dan binatang buas terhadap kambing-kambing mereka, namun kalian tergesa-gesa untuk mendapatkan hal itu”. Di kesempatan lain beliau bersabda “demi allah, kalian akan menaklukkan kisra dan kaisar dan kalian akan menginfakkan harta darinya dijalan Allah”.
Memang benar bahwa bahwa perintah jihad telah turun secara mutlak. Bahkan para para ulama mengatakan bahwa ayat-ayat yang memerintahkan untuk menahan diri dan bersabar telah di naskh (hapus) dengan ayat-ayat qital. Namun bukan berarti tahapan-tahapan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dalam merintis tamkin adalah diharamkan untuk diterapkan pada saat ini dengan alasan tersebut. Hal ini karena yang dimaksud bukanlah penghapusan hukum dalam pengamalannya. Para ulama banyak menjelaskan bahwa pada kondisi lemah diperbolehkan untuk melakukan tahapan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Syaikhul islam berkata “bagi kaum muslimin yang berada pada suatu daerah dalam keadaan lemah, atau kondisi lemah, maka hendaklah ia mengamalkan ayat-ayat sabar, berlapang dada dan sabar terhadap orang yang menghina Allah dari kalangan orang-orang ahli kitab dan musyrik. Adapun bagi mereka yang mempunyai kekuatan maka hendaklah mengamalkan ayat-ayat perintah memerangi pemimpin-pemimpin kafir yang mereka menikam islam. Dan mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memerangi ahlul kitab sampai mereka membayar jizyah dalam keadaan hina”.
Jihad yang dilakukan kaum muslimin saat ini seharusnya lebih banyak berorientasi kepada tamkin. Karena apabila hanya berkutat dalam masalah nikayah tidak akan mampu untuk menyelesaikan masalah umat. Bahkan mungkin justru akan menjadikan orang-orang kafir yang berkuasa dinegeri kaum muslimin semakin beringas dalam memberangus benih-benih kebangkitan islam.
Hendaknya para mujahidin tidak berhenti dan hanya mencukupkan dirinya dalam Qital nikayah terhadap musuh. Akan tetapi hendaknya memandang kepada urusan yang lebih besar dan target yang mulia. Suatu tujuan yang karenanyalah jihad disyariatkan, yaitu tamkin (berkuasanya diin allah). Dan jihad tamkin ini mempunyai sebab-sebab dan tata cara yang harus di lakukan untuk meraihnya.
Leave a Reply