OaseImani.com

Karena Iman Butuh Siraman

  • Home
  • Artikel Islam
    • Akhlak
    • Aqidah
    • Bukuku
    • dakwah
    • Fikih
    • Fikih Ramadhan
    • Hadits
    • Khotbah
    • Kisah
    • Maqalah
    • Tafsir
    • Tarbiyah
    • Tarikh
    • Tarjamah
    • Tsaqofah
  • Artikel Pilihan
    • maharoh
    • Muslimah
    • Resensi Buku
  • Buku
  • Diaryku
  • Download
    • Mp3
    • Book
    • Video

October 1, 2015 by Ibnu Abdil Bari Leave a Comment

Kisah Dua Keping Biskuit

Kisah Dua Keping Biskuit

“Alam yabqa lahu syai’un?.” Suara ghaib.

 

Beramallah, karena kebajikan sekecil apapun kelak akan membahagiakan kita tatkala kita melihat balasannya, dan jauhilah dosa, karena sekecil apapun dosa kelak akan membuat kita gelisah bahkan berpeluhkan keringat tatkala kita melihatnya tertulis rapi di catatan amal kita kelak. Semuanya akan tercatat dengan sempurna; besar-kecilnya, tampak-tersembunyinya, bersih-kotornya, suci-nodanya. Maka, mari mengeja setiap kebaikan, seberapapun kecilnya, karena kita tidak tahu kebaikan mana yang akan diterima oleh-Nya, dan memperberat timbangan kebajikan kita.

 

Mari kita menyeksamai kisah Ahmad bin Miskin yang disebutkan oleh Ar-Rafi’i dalam Wahyul Qalam (2/153-160):

Ahmad bin Miskin Al-Faqih Al-Baghdadi berkata, “Pada tahun 219 H, aku jatuh miskin. Hartaku habis dan keluargaku mengalami kesulitan ekonomi yang sangat parah. Kebutuhan, kesulitan dan kemiskinan menyatu padaku.

 

Pada suatu hari, cuaca sangat panas. Seolah-olah matahari terbit dari sela-sela pasir, bukan dari sela-sela awan. Matahari melewati rumahku di Baghdad seperti melewati daun kering yang menempel di batang pohon yang hijau. Kami tidak punya sesuatu yang bisa dimakan. Karena di rumah hanya ada tanah, batu dan kayunya. Aku mempunyai seorang istri dan anak yang masih kecil. Malam itu kami lewati dengan perut lapar. Rasa lapar sangat menggerogoti perut seperti tanah yang tengah longsor.

 

Ketika itu kami membayangkan seandainya kami menjadi tikus sehingga kami bisa mengerat batang kayu. Dan rasa lapar si kecil menambah beban ibunya di samping menahan rasa laparnya sendiri. Saat itu, aku bersama mereka berdua seperti orang yang lapar dengan tiga perut kosong.

 

Aku sudah membulatka niat untuk menjual rumah itu dan pindah dari sana.

Kemudian aku keluar untuk menunaikan shalat Shubuh. Seusai shalat, semua orang memanjatkan doa kepada Allah, dan lidahku pun mengucapkan doa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan dalam agamaku. Aku memohon kepada-Mu manfaat yang dapat memperbaiki keadaanku dengan menjalankan ketaatan kepada-Mu. Aku memohon kepada-Mu akan berkahnya ridha menerima keputusan-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu kekuatan untuk menjalankan ketaatan dan keridhaan, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”

 

Kemudian aku duduk sambil merenungi nasibku. Aku duduk cukup lama di dalam masjid. Aku merasa seolah-olah aku bukan lagi bagian dari zaman itu sehingga hukum-hukumnya tidak berlaku padaku.

 

Setelah matahari naik ke atas, dan berwarna putih, datanglah kehidupan yang sebenarnya. Aku keluar sambil mencari jalan untuk menjual rumahku. Tidak lama berjalan aku bertemu dengan Abu Nashar Ash-Shayyad yang pernah kukenal dahulu.

Aku berkata, “Hai Abu Nashar, aku harus menjual rumahku. Aku mengalami kesulitan ekonomi dan terhimpit kebutuhan. Pinjamilah aku sesuatu agar bisa bertahan hidup hari ini, sampai aku berhasil menjual rumahku dan menulasi hutangku kepadamu.”

 

Dia menjawab, ‘Tuanku, bawalah sapu tangan ini ke keluargamu dan aku akan menyusul ke rumahmu.” Lalu Abu Nashar menyerahkan sapu tangan yang berisi dua keping biskuit yang di tengahnya terdapat selai.

 

Ahmad bin Miskin berkata, “Aku ambil biskuit itu dan bergegas pulang ke rumah. Tetapi di tengah jalan aku bertemu dengan seorang wanita bersama seorang anak kecil.”

 

Wanita itu melihat sapu tangan yang kubawa dan berkata, “Tuanku, ini adalah anak yatim yang sedang lapar dan dia tidak tahan menahan lapar. Jadi, berilah dia sedikit makanan. Semoga Allah merahmatimu.”

 

Sementara si kecil memandangku dengan pemandangan yang tidak bisa kulupakan. Di sana aku merasakan kekhusyukan seribu orang yang rajin beribadah kepada Allah dan meninggalkan kemewahan dunia. Bahkan, menurutku seribu orang ahli ibadah belum tentu dapat melihat manusia dengan satu pandangan seperti yang ada di mata bocah yatim yang memohon belas kasihan itu. Kepedihan hati yang sangat dalam benar-benar membuat wajah anak-anak berubah seperti wajah orang-orang suci di mata para ayah dan ibu yang melihatnya. Karena anak-anak kecil tidak berdaya menghadapi kejahatan manusia dan hanya berharap kepada Allah dan hati nurani manusia. Sehingga wajahnya nampak seperti menjerit, ‘Ya Tuhan, ya Tuhan!’

 

Ahmad bin Miskin kembali melanjutkan, “Pada waktu itu, aku melihat seolah-olah surga turun ke bumi dan menawarkan dirinya kepada orang yang mau mengenyangkan anak kecil dan ibunya ini, sementara orang-orang tidak mampu melihatnya. Seolah-olah mereka melewati surga itu seperti keledai melewati istana Raja. Kalau keledai itu ditanya, ia pasti lebih memilih kandang yang ditempatinya daripada istana itu.

 

Waktu itu aku juga teringat istri dan anakku yang menahan lapar sejak kemarin. Akan tetapi aku lebih mengutamakan anak yatim dan ibunya itu daripada istri dan anakku sendiri.

 

Aku serahkan apa yang ada di tanganku kepada wanita itu dan berkata, ‘Ambillah makanan ini dan berikanlah kepada anakmu! Demi Allah, aku tidak punya apa-apa lagi. Dan sesungguhnya di rumahku ada orang yang lebih membutuhkan makanan ini. Seandainya tidak ada kebutuhan yang sangat mendesak bagiku ini, pasti aku akan melakukan sesuatu untuk membantumu.’ Wanita itu menitikkan airmata sementara si kecil tampak berbinar. Namun apa yang sedang kualami telah menghantam hatiku sehingga airmata dan senyuman itu tidak ada artinya bagiku.

 

Aku berjalan dengan hati yang hancur dan sedih. Ketika itu matahari telah membentang luas di langit. Yakni waktu Dhuha yang tertinggi. Aku menepi dan duduk bersandar ke dinding sambil berpikir tentang penjualan rumah dan siapa yang akan membelinya.

 

Tiba-tiba Abu Nashar Ash-Shayyad mengampiriku seolah-olah dia terbang karena kegirangan dan berkata, “Hai Abu Muhammad, mengapa kamu duduk di sini sedangkan di rumahmu ada kebaikan dan kekayaan?”

 

“Subhanallah! Apa yang terjadi?” kataku.

 

Abu Nashar menjawab, “Ketika di tengah jalan menuju rumahmu sambil membawa sedikit bahan makanan untuk keluargamu dan sedikit uang untuk kupinjamkan kepadamu, tiba-tiba ada orang yang bertanya tentang ayahmu atau salah satu keluarganya sambil membawa barang-barang yang berat. Aku pun berkata, “Aku akan menunjukkanmu.”  Dan aku pun berjalan bersamanya sambil menanyakan kabarnya dan apa yang terjadi antara dia dan ayahmu. Dia mengatakan bahwa dia adalah seorang saudagar dari Bashrah. Ayahmu menitipkan harta kepadanya sejak 30 tahun silam. Lalu dia bangkrut dan hartanya habis ludes.

 

Kemudian dia meninggalkan Bashrah menuju Khurasan, lalu kehidupannya membaik berkat perdagangan di sana. Dia mendapat kemudahan setelah ditimpa ujian yang berat, dan mengalami kejayaan setelah sebelumnya mendapat kehinaan. Ia pun mendapatkan kekayaan yang berlimpah. Lalu dia kembali ke Bashrah untuk melunasi hutangnya. Dia datang dengan membawa harta ayahmu itu bersama keuntungannya selama 30 tahun. Dan di samping harta itu, dia juga membawa beragam cinderamata dan hadiah.”

 

Ahmad bin Miskin melanjutkan, “Aku pulang ke rumahku dan menjumpai harta yang melimpah dan keadaan yang indah. Lalu aku berkata, ‘Subhânallah! Seandainya orang itu tidak bertemu dengan Abu Nashar di jalan ini, di hari ini, di jam ini, tentu dia tidak akan sampai kepadaku. Karena selama hidupnya ayahku tidak banyak dikenal orang. Jadi, mana mungkin ada orang yang mengenalnya setelah dia meninggal 20 tahun silam?

 

Dan aku bersumpah bahwa aku benar-benar akan menunjukkan rasa syukurku kepada Allah atas nikmat ini. Maka aku pun tidak punya cita-cita selain mencari wanita dan anaknya yang membutuhkan bantuan itu, kemudian aku akan mencukupi kebutuhan mereka dan memberi mereka rizki secara rutin. Kemudian aku menggunakan harta itu sebagai modal dagang dan membelanjakannya dengan baik. Harta itu terus berkembang dan tidak pernah berkurang.

 

Aku merasa seolah-olah aku telah bangga dengan diriku sendiri. Aku merasa senang bahwa aku telah memenuhi buku catatan amalku yang dibawa oleh Malaikat dengan kebajikan-kebajikanku. Dan aku berharap bahwa namaku telah dicatat di sisi Allah dalam daftar nama orang-orang shalih.

 

Pada suatu malam, aku tidur dan bermimpi melihat diriku ada di hari kiamat. Pada waktu itu, orang-orang berhamburan dan alam semesta mengalami huru hara yang luar biasa terhadap manusia yang lemah. Masing-masing orang akan ditanya tentang apa yang dilakukannya di dunia ini.

 

Dan aku mendengar suara orang yang berteriak, “Wahai anak Adam, hewan-hewan ternak telah bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur kepada-Nya karena mereka tidak Dia jadikan sebagai anak cucu Adam.”

 

Aku melihat manusia dengan tubuh yang diluaskan sembari memikul dosa-dosa mereka di atas punggung mereka yang diwujudkan dalam bentuk makhluk yang berfisik. Bahkan seolah-olah orang yang fasik terlihat memikul sebuah kota yang penuh dengan dosa-dosa yang menghinakan.

 

Dan tiba-tiba ada yang mengatakan, “Timbangan telah dipasang. Lalu aku didatangkan untuk ditimbang amal-amalku. Keburukanku diletakkan di satu piring dan kebajikanku diletakkan di piring yang lainnya. Ternyata catatan kebajikanku begitu ringan dan catatan keburukanku lebih berat. Mereka seperti menimbang gunung batu yang besar berhadapan dengan segelintir kapas.

 

Kemudian mereka membuang kebajikan yang telah kuperbuat satu persatu. Ternyata di balik tiap-tiap kebajikan itu terselip kesenangan hawa nafsu yang tersembunyi, seperti riya’, tertipu, cinta pujian dan lain-lain. Tidak ada satupun kebajikanku yang selamat dari hal itu. Aku kehilangan hujahku. Karena hujah yang berlaku ialah apa yang ditunjukkan oleh timbangan itu. Dan timbangan itu menunjukkan bahwa timbangan amalku kosong dari kebajikan.

 

Lalu aku mendengar suara, “Alam yabqa lahu syai’un…, tidak adakah kebajikannya yang tersisa?”

 

Ada yang menjawab, “Baqiya hâdzâ…, tinggal ini.”

 

Aku melihat-lihat untuk mengetahui apa yang tersisa itu. Ternyata dua keping biskuit yang kuberikan kepada wanita dan anaknya itu. Aku pun yakin bahwa aku pasti celaka. Padahal aku pernah bersedekah 100 dinar (1 dinar setara 4.25 gram emas) sekaligus. Tetapi sedekah sebanyak itu tidak bermanfaat apa-apa bagiku.

 

Lalu dua keping biskut itu diletakkan, dan aku mendengar seseorang berkata, “Setengah dari pahala biskuit telah terbang di timbangan Abu Nashar.”

 

Aku benar-benar lunglai. Bahkan aku merasa jika tubuhku dipotong menjadi dua pasti akan lebih mudah dan lebih ringan bagiku.

 

Sementara aku memandangi timbangan, tiba-tiba aku melihat piring kebajikan sedikit unggul.

 

Dan aku mendengar suara, ‘Alam yabqa lahu syai’un…, tidak adakah kebajikannya yang tersisa untuknya?’

 

Lalu ada yang menjawab, ‘Baqiya hâdzâ…, tinggal ini.’

 

Aku melihat apa yang tersisa. Ternyata laparnya istri pada hari itu. Ternyata ia ditaruh di dalam timbangan, dan ternyata ia membuat piring kebajikanku turun dan piring yang lain naik hingga keduanya sama rata. Timbangan itu tetap seperti itu. Aku pun berada di antara celaka dan selamat.

 

Tiba-tiba aku mendengar suara, ‘Alam yabqa lahu syai’un…, tidak adakah kebajikannya yang tersisa untuknya?’

 

Lalu ada yang menjawab, ‘Baqiya hâdzâ…, tinggal ini.’

 

Aku melihat apa yang tersisa. Ternyata airmata wanita miskin yang menangis setelah menerima biskuit itu, ketika aku lebih mengutamakan dirinya dan anaknya dibanding keluargaku sendiri. Dan deraian airmatanya pun diletakkan di dalam timbangan. Airmata itu tiba-tiba memancar seperti ombak lautan, lalu membesar dan membesar. Sementara piring kebajikanku menjadi unggul dan terus unggul, hingga aku mendengar suara yang mengatakan, ‘Qad najâ…, dia telah selamat.’”  Aku pun berteriak dengan keras hingga aku terbangun dari tidurku.

Kisah ini selesai sampai di sini dengan peringkasan.

 

Sumber: balada cinta penemu kalung permata

 

Akhukum fillah, ibnu abdil bari, pelayan hikmah dan kisah salaf.

 

 

Filed Under: Kisah, OaseImani Tagged With: Balada Cinta, dua keping biskuit

July 15, 2015 by Ibnu Abdil Bari Leave a Comment

Menutup Bulan Ramadhan dengan Istighfar dan Doa

Khutbah Iedul Fithri 1436 H:

 

Menutup Bulan Ramadhan dengan Istighfar dan Doa

Ibnu Abdil Bari

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

إنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ ونَستَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِالله مِنْ شُرُورِ أنفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أعْمَالِنا مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ ومن يُضْلِلْ فَلا هَادِي لَهُ، أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ ِفي اْلعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

فَيَا أَيُّهَا اْلمُسْلِمُوْنَ اَّلذِيْنَ رَضُوْا بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلِإسْلامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَا نَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ اْلمُؤْمِنُوْنَ اْلمُتَّقُوْنَ، حَيْثُ قَالَ عَزَّ مَنْ قَائِل :

]  يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ [ -آل عمران: 102

 ] يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا [ -النساء: 1

 ] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا`يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا [ -الأحزاب: 70-71

أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَالْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا أَلَا وَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.

Allahu Akbar 3x La ilaha illallah wallahu Akbar Allahu Akbar wa Lillahil Hamd

Ma’asyiral Muslimin Rahimaniyallahu wa iyyakum …,

Yang pertama; segala puja dan puji syukur kita haturkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas semua nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga, terlebih nikmat hidayah dan iman yang hanya Dia berikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Rasulullah pernah bersabda,

« إِنَّ اللَّهَ قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَخْلاَقَكُمْ كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُعْطِى الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ وَلاَ يُعْطِى الدِّينَ إِلاَّ لِمَنْ أَحَبَّ فَمَنْ أَعْطَاهُ اللَّهُ الدِّينَ فَقَدْ أَحَبَّهُ ».

“Sesungguhnya Allah membagi akhlak kalian sebagaimana Dia membagi rizki, dan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memberikan dunia kepada orang yang Dia cinta, dan tidak Dia cinta, tetapi Dia tidak mengaruniai dien kecuali kepada orang yang Dia cinta, maka sesiapa saja yang dikaruniai dien oleh Allah maka sungguh Dia telah mencintanya.” (HR. Ahmad).

Lebih dari itu, dan ini yang perlu kita sadari bersama; nikmat iman inilah yang paling diinginkan oleh orang-orang kafir di neraka jahannam kelak. Allah Ta’ala berfirman,

 [رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ (2) ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الأمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ ]

“Orang-orang yang kafir itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dibuai oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (Al-Hijr : 2-3). Tidak ada hal lain yang lebih diharapkan oleh orang kafir ketika melihat siksa di akhirat kecuali agar dulu ketika di dunia mereka adalah orang-orang muslim.

Yang kedua; shalawat dan salam kita haturkan kepada uswah hasanah dan qudwah shalihah kita, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, keluarga beliau, para shahabat, para tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka hingga hari kiamat kelak. Semoga kita termasuk bagian dari mereka. Aamien.

 

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa Lillâhil Hamd,

Ma’âsyiral Muslimîn Hâdâniyallahu wa iyyâkum….,

Ramadhan, bulan mulia itu kini telah berlalu, pergi meninggalkan kita dengan kesan-kesan yang mendalam bagi pribadi masing-masing kita….,

Maka berbahagialah mereka, hamba-hamba Allah berpuasa; menahan lapar, dahaga dan syahwatnya karena Allah semata.

Berbahagialah mereka yang melawan kantuknya ketika melantunkan ayat-ayat Allah, menahan letihnya kaki dalam shalat malamnya dengan sepenuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah semata.

Berbahagialah mereka yang membasahi lisannya dengan memperbanyak dzikir kepada Allah; memuji, mengagungkan dan mengesakan-Nya dengan membaca tahmid, takbir dan tahlil.

Berbahagialah mereka yang telah menitikkan airmatanya karena mengharapkan ampunan-Nya…, di tengah malam ketika mata-mata manusia tertidur pulas. Semoga tiap tetes airmata yang jatuh karena takut kepada Allah Yang Maha Esa menjadi sebab dosa-dosanya diampuni, dan menjadi sebab ia dimasukkan ke dalam surga.

Merekalah orang-orang yang beruntung mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ،

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ  –رواه البخاري

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa Lillâhil Hamd,

Ma’âsyiral Muslimîn  RahimaniyallAhu wa iyyâkum….,

Bulan Ramadhan adalah bulan kebaikan, bulan di mana kita memperbanyak ibadah kepada Allah Ta’ala. Selama sebulan penuh, kita isi bulan ini dengan berpuasa pada siang harinya, kita isi dengan Shalat Malam (Shalat tarawih) pada malam harinya, kita isi dengan memperbanyak membaca firman-firman Allah Ta’ala, kita isi dengan membasahi bibir kita dengan berdzikir kepada Allah Ta’ala, kita isi dengan bersedekah, kita isi dengan menjaga Shalat wajib kita dan kita sempurnakan dengan Shalat sunah kita, kita isi dengan amalan-amalan yang mendatangkan ridha Allah Ta’ala.

Maka, setelah kita melaksanakan amal-amal ketaatan itu, ada dua hal yang perlu kita lakukan, yaitu pertama: beristighfar kepada Allah dan kedua: berdoa agar amal shalih kita diterima oleh-Nya.

Ma’âsyiral Muslimîn  RahimaniyallAhu wa iyyâkum….,

Yang pertama adalah beristighfar.

Beristighfar kepada Allah itu tidak hanya disyariatkan setelah kita berbuat dosa, tetapi juga ketika kita selesai melaksanakan amal-amal shalih, dan inilah yang harus kita lakukan setelah kita beribadah selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan. Inilah yang dilakukan oleh orang-orang bertakwa dan ahli ibadah; mereka memohon ampunan kepada Allah setelah mereka sudah mengerahkan segenap upayanya dalam beribadah kepada-Nya. Karena mereka mengakui bahwa ada cacat dan kekurangan dalam ibadah mereka, dan mereka juga menyadari bahwa amal ketaatan mereka tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala. Seandainya bukan karena perintah Allah untuk beramal, niscaya mereka akan malu menghadap Allah dengan ibadah mereka yang penuh kekurangan, dan mereka tidak akan pernah rela menyerahkan ibadah yang penuh kekurangan tersebut kepada Allah. Namun mereka tetap beribadah menjalankan perintah Allah, sekalipun ibadah tersebut penuh cacat dan kekurangan.

Istighfar inilah yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya ketika kita selesai melaksanakan Shalat, setelah kita selesai Shalat malam, setelah kita mengisi lailatul qadar dengan amal-amal yang mendatangkan ridha Allah, dan setelah kita melaksanakan ibadah haji.

Allahu Akbar 3x La ilaha illallah wallahu Akbar Allahu Akbar wa Lillahil Hamd

Ma’asyiral Muslimin Rahimaniyallahu wa iyyakum …,

Nabi Muhammad saw adalah teladan dan uswah hasanah kita dalam semua hal, termasuk dalam Shalat; beliau berdiri sesuai dengan perintah Allah, berjalan dengan tenang, memulai Shalat dengan menghadirkan niat, bertakbir dengan mengagungkan Allah, membaca dengan tartil dan perenungan, ruku’ dengan khusyu’, sujud dengan tawadhu’, mengucapkan salam dengan penuh keikhlasan kepada Allah Azza wa Jalla, tetapi petunjuk Nabi saw ketika beliau selesai salam dari shalatnya adalah beliau beristighfar sebanyak tiga kali.

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits shahih dari Tsauban ra, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

            “Apabila Rasulullah saw selesai Shalat, maka beliau beristighfar sebanyak tiga kali, dan berdoa, ‘Allâhumma antas salâm waminkas salâm tabârakta dzal jalâli wal ikrâm.” (HR. Muslim).

Lantas apa hikmah dibalik istighfar setelah melaksanakan ibadah agung ini?.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail-nya menjelaskan tentang hikmahnya. Beliau berkata:

الحكمة من الاستغفار بعد الصلاة، أن الإنسان لا يخلو من تقصير في صلاته؛ فلهذا شرع له أن يستغفر ثلاثاً ثم يقول: “اللهم أنت السلام، ومنك السلام، تباركت يا ذات الجلال والإكرام”، ثم يأتي بالأذكار الواردة عن النبي عليه الصلاة والسلام

“Hikmah istighfar setelah shalat, bahwa seseorang tak lepas dari kekurangan dalam shalatnya. Karenanya, disyariatkan baginya untuk beristighfar tiga kali lalu mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Kemudian membaca zikir-zikir yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” Selesai nukilan.

Istighfar setelah shalat ini merupakan isyarat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau tidak mampu menyempurnakan hak Allah dalam ibadah secara maksimal. Karena adanya was-was, teringat sesuatu, dan kekurangan dalam melaksanakan hak Allah yang agung ini. Beliau mengajarkan agar seorang hamba mengakui kelemahan dan kekurangan dirinya dalam menegakkan ibadah kepada Allah dengan sempurna. Karenanya disyariatkan istighfar untuk menyempurnakan yang kurang-kurang tadi. Istighfar ini juga mengajarkan sifat tawadhu’ (rendah hati) agar seseorang tidak terlalu berbangga diri dengan amalnya sehingga timbul ujub dan sombong –yang ini justru menghapus amal kebaikan yang dilakukannya.

Ma’âsyiral Muslimîn  HâdâniyallAhu wa iyyâkum….,

            Bentuk ibadah lain yang kita juga dianjurkan untuk beristighfar ketika selesai melaksanakannya adalah shalat malam.

            Allah berfirman kepada nabi-Nya,

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan pada sebahagian malam hari, bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (al Isra’ : 79).

            Tentang ayat di atas, Ustadz Sayyid Quthb dalam Adh-Dhilal (6/168) menjelaskan, “Dengan shalat, Al-Qur’an, tahajud dan hubungan (interaksi) yang abadi dengan Allah itulah yang merupakan jalan untuk mendapatkan tempat yang terpuji. Jika Rasulullah saw saja diperintahkan untuk shalat, bertahajud dan membaca Al-Qur’an agar Rabbnya memberikan kedudukan terpuji yang diizinkan oleh-Nya, padahal beliau adalah Nabi terpilih, maka orang-orang selain beliau tentu jauh lebih butuh terhadap sarana ini agar mereka mendapatkan kedudukan yang diizinkan bagi mereka. Inilah jalan itu dan ini pulalah bekal perjalanan itu.”

            Allah bahkan menegaskan bahwa salah satu ciri orang bertakwa yang dijanjikan surga oleh Allah adalah orang yang gemar shalat malam, dan lebih dari itu, mereka mengakhiri shalat malamnya dengan beristighfar kepada Allah pada waktu sahur. Allah berfirman,

            إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ {15} ءَاخِذِينَ مَآءَاتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ {16} كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ الَّيْلِ مَايَهْجَعُونَ {17} وَبِاْلأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ {18}

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air. Sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sungguh, sebelum itu, mereka ketika di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam;  Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”

Inilah kondisi orang-orang yang menghidupkan malamnya dengan beribadah kepada Allah ketika banyak manusia pulas dalam tidurnya. Mereka bercengkrama dengan Rabbnya pada saat manusia terbuai dengan bunga-bunga mimpinya. Mereka bangun untuk bermunajat kepada Rabbnya dan membaca firman-Nya pada saat manusia lebih memilih beristirahat di atas kasur empuknya. Mereka menjauhkan dirinya dari tempat tidur demi beribadah kepada Allah, di mana ini semua menunjukkan bahwa mereka lebih mengutamakan untuk mencintai Allah daripada dirinya sendiri.

Maka, tidak mengherankan jika kepercayaan Allah yang menghuni langit (aminus sama’), yaitu Jibril, menemui kepercayaan Allah di muka bumi, Muhammad, lalu Jibril berkata kepada beliau, “Wa’lam anna syarafal mu’min qiyamuhu bil laili, wa izzahu istighna’uhu ‘anin nas….., ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah karena dia melakukan shalat malam, sedangkan izzahnya adalah karena dia tidak membutuhkan manusia (karena ia hanya bergantung kepada Allah saja). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim, dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Sekalipun demikian, mereka mengakhiri munajat mereka dengan, ‘wa bil ashari hum yastaghfirun…., dan pada waktu sahur, mereka beristighfar –memohon ampunan kepada Allah”  Imam Abul Barakat An-Nasafi dalam Madârikut Tanzîl wa Haqâ’iqut Ta’wîl (3/358) menjelaskan bahwa sekalipun mereka sudah menghidupkan malamnya dengan shalat tahajud, tetapi ketika waktu sahur tiba, mereka bergegas beristighfar seolah-olah mereka melakukan dosa-dosa pada waktu malam mereka.”

Imam Al-Qusyairi dalam tafsirnya (7/307) juga menjelaskan bahwa melalui ayat ini, Allah mengabarkan tentang mereka –bahwa sekalipun mereka melakukan shalat tahajud dan berdoa, mereka memosisikan diri mereka sebagaimana orang-orang yang ahli maksiat, lalu mereka beristighfar karena menganggap remeh kedudukan dan amal mereka.”

 Allahu Akbar 3x La ilaha illallah wallahu Akbar Allahu Akbar wa Lillahil Hamd

Ma’asyiral Muslimin Rahimaniyallahu wa iyyakum …,

            Pun, pada lailatul qadar, yang dibaca adalah permohonan seorang hamba terhadap kemaafan dan ampunan Allah Ta’ala. Hal ini sesuai dengan hadits Aisyah ra, bahwa suatu ketika ia pernah bertanya kepada Nabi saw, “Yâ RasûlallAh, araita ini wafaqtu lailatal qadri, mâ ad’^u?…, wahai Rasulullah, menurutmu, apa yang harus aku baca ketika mendapati lailatul Qadar?” Beliau menjawab, “Qûlî, allAhumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni…, berdoalah, ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau MahaPemaaf –MahaPengampun-, yang mencintai kemaafan-ampunan, maka maafkanlah aku.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

            Inilah kondisi orang yang sudah mengencangkan sarungnya untuk mencari lailatul Qadar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Sungguh, sebuah karunia yang agung dari Allah bagi orang-orang yang diberikan taufik untuk menghidupkan lailatul qadar tersebut. Sekalipun ia sudah mengisinya dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah, yang mereka pinta adalah kemaafan dan ampunan Allah Ta’ala.

Ma’âsyiral Muslimîn  HâdâniyallAhu wa iyyâkum….,

 Allah juga telah memerintahkan para jamaah haji untuk beristighfar setelah selesai dari manasik haji yang paling agung dan paling mulia, yaitu wukuf di Arafah. Allah berfirman,

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (198)ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (199)

“Maka apabila kalian telah beranjak dari Arafah, maka berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram, dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan oleh-Nya kepada kalian, dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian beranjaklah kalian dari tempat bertolak orang-orang banyak (yaitu Arafah), dan mohon ampunlah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 198-199).  

Inilah yang dilakukan oleh orang-orang yang shalih dan bertakwa, mereka menutup amal ibadah mereka dengan beristighfar kepada Allah; memohon ampun karena ibadah mereka masih banyak cacat dan kekurangannya, dan ibadah tersebut sejatinya tidak pantas dipersembahkan kepada-Nya. Namun, mereka melakukan itu semata-mata karena melaksanakan perintah-Nya.

Bahkan, inilah Rasul yang kita cintai, Nabi Muhammad saw. Beliau bahkan diperintah Allah untuk beristighfar setelah selesai menyampaikan risalah kenabiannya, padahal beliau telah menunaikan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Maka, Allah berfirman di dalam surat yang turun terakhir kepada Rasulullah saw, “Idza ja’a nashrullAhi wal Fath, wa ra’aitan nasa yadkhuluna fi dinillahi afwaja, fa sabbih bihamdi rabbika wa-staghfir, innahu kana tawwaba….. apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, dan mohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat.” (An-Nashr: 1-3).

Melalui surat ini, Allah memberitahukan bahwa ajal beliau sudah dekat, dan Allah memerintahkan beliau untuk beristighfar setelah menunaikan tugas mengemban risalah Allah. Hal ini seolah-olah sebagai penegasan bahwa engkau wahai Rasulalllah telah menunaikan tugasmu dan tidak ada tugas yang lain setelah ini, maka jadikanlah penutupnya adalah istighfar, sebagaimana juga penutup seusai shalat, shalat malam dan juga haji.

            Sungguh, ini semua mengingatkan kita tentang salah satu firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Mu’minun ayat 60 ketika Allah menyebutkan sifat orang-orang yang bersegera dalam kebaikan. Allah berfirman,

{ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ }

“Orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut bahwa mereka akan kembali kepada Rabb mereka.”

Siapakah yang dimaksud dengan ayat yang mulia ini? Kita bisa memahami ayat di atas dengan jawaban Nabi kepada ibunda Aisyah. Di dalam sebuah hadits disebutkan,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فِى هَذِهِ الآيَةِ ( الَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ) يَا رَسُولَ اللَّهِ هُوَ الَّذِى يَسْرِقُ وَيَزْنِى وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ وَهُوَ يَخَافُ اللَّهَ قَالَ « لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الَّذِى يُصَلِّى وَيَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ »

Dari Aisyah –Radhiyallâhu anha-, ia berkata, “Wahai Rasulullah –Shallallâhu alaihi wa sallam-, tentang ayat, ‘al-ladzîna yu’tûna mâ âtau wa qulûbuhum wajilatun annahum ilâ rabbihim râji’ûn”, apakah itu pada pencuri, pezina dan peminum khamer, dan dia takut kepada Allah?, beliau bersabda, “Bukan wahai putri Abu Bakar, bukan wahai putri Ash-Shiddiq, tetapi  mereka adalah orang yang mendirikan shalat, berpuasa, dan bersedekah, tetapi dia taku kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim).

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa Lillâhil Hamd,

Ma’asyiral Muslimin Arsyadaniyallahu wa iyyakum ….,   

            Hal kedua yang harus kita lakukan setelah berlelah-letih dalam beribadah selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan adalah kita harus memperbanyak berdoa kepada Allah Ta’ala; berdoa agar amal ibadah kita diterima, dan amal shalih kita berpahala. Sungguh, ini adalah sifat orang-orang mukmin.

            Mari kita sejenak menghayati doa indah Nabi Ibrahim Alaihis salam. Nabi Ibrahim, abul anbiya, dan khalilurrahman yang namanaya selalu kita panjatkan dalam tasyahud kita agar Allah melimpahkan shalawt dan salam kepada beliau, di samping kepada Nabi Muhammad saw, itu berjasa dalam sejarah peradaban manusia; beliaulah orang yang berdoa kepada Allah agar Allah menjadikan Mekah sebagai negeri yang aman (Ibrahim : 35),  dan beliau pula yang berdoa agar Allah menghadirkan di tengah-tengah Mekah orang yang diutus menjadi rasul yang bertugas untuk membacakan ayat-ayat Allah, mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mensucikan hati manusia (Al-Baqarah : 129), dan beliau pula yang meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama putranya, Ismail (Al-Baqarah : 127), tapi bersamaan dengan itu semua, Nabi Ibrahim, dan putranya Isma’il Alaihimus salam menyerahkan semuanya kepada Allah, dan berdoa dengan hati yang tunduk lagi khusyuk, “Rabbanâ taqabbal minnâ, innaka antas samî’ul alim, duhai Rabb kami, terimalah amalan kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah : 127).

            Oleh karenanya, ketika menafsirkan ayat ini, “wa idz yarfa’u Ibrahîmul qawâ’ida minal baiti, wa Ismâ’îlu Rabbanâ taqabbal minnâ, innaka antas samî’ul alim, dan ingatlah ketika Ibrahim dan putranya, Isma’il meninggikan dasar-dasar Baitullah, seraya berdoa, ‘Duhai Rabb kami, terimalah amalan kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah : 127), Ibnu Katsir dalam Tafsîr Al-Qur’ânil Azhîm (1/427mengatakan, ‘Dan ingatkanlah wahai Muhammad kepada kaummu, tentang amal Ibrahim dan Ismail dalam membangun Baitullah, serta meninggikan dasar-dasarnya, seraya berdoa, “Rabbanâ taqabbal minnâ, innakas samî’ul alîm.” mereka tengah beramal shalih, tetapi keduanya memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia berkenan menerima amal mereka.

            Maka, Wuhaib bin Ward pun berlinang airmata ketika membaca, “wa idz yarfa’u Ibrahîmal qawâ’ida minal baiti, wa Ismâ’îlu Rabbanâ taqabbal minnâ, innaka antas samî’ul alim.” Ini. Beliau menangis, dan berkata, “Yâ khalîlarrahmân, tarfa’u qawâ’ima baitir rahmân, wa anta musyfiqun an lâ yutaqabbala minka….., Wahai khalilurrahman, engkau telah meninggikan dasar-dasar Baiturrahman, tetapi engkau takut hal itu tidak diterima darimu.” (Tafsir Ibnu Katsir : 1/427). Sungguh, ini adalah kondisi orang-orang mukmin yang ikhlas dalam beramal.

            Ma’asyiral Muslimin Arsyadaniyallahu wa iyyakum ….,   

            Padahal kita semua tahu bahwa yang memerintahkan adalah Allah Ta’ala, Dzat Yang Mahamulia. Orang yang diperintah adalah manusia pilihan dan salah satu rasul ulul azmi, Ibrahim sang kekasih Allah. Perintah tersebut juga merupakan perintah yang begitu mulia, yaitu meninggikan dasar-dasar Baitullah. Namun dengan segala kemuliaan di atas kemuliaan tersebut, Ibrahim, rasul Allah yang mulia itu memasrahkan semuanya kepada Allah seraya berdoa kepada-Nya agar Dia sudi menerima amalnya.

            Kalau hamba Allah semisal Ibrahim, rasulAllah yang merupakan manusia pilihan-Nya saja meminta agar Allah sudi menerima amalnya, maka kita lebih pantas untuk selalu berdoa, “Allahumma taqabbal minna shiyamana wa qiyamana wa shalatana wa shadaqatana wa sa’ira ibadatina.”

            Maka, setelah berpuasa sebulan penuh, dan mengisi bulan yang mulia itu dengan amal-amal shalih, tidak ada yang pantas kita lakukan kecuali memperbanyak beristighfar kepada Allah, dan juga berdoa dengan hati yang tunduk agar Allah berkenan menerima shalat-shiyam-qiyam-tilawah-sedekah dan ibadah-ibadah kita…., karena kedua hal ini mutlak diperlukan agar kita tidak ujub dengan ibadah yang kita lakukan, dan juga berharap agar amal kita diterima oleh Allah, dan tidak sia-sia belaka.

            Karena, Allah memberitahukan dalam surat  Ath-Thûr bahwa ciri penghuni surga adalah mereka yang senantiasa diliputi rasa takut ketika di dunia sehingga mereka memperbanyak istighfar, dan banyak berdoa kepada Allah Ta’ala:

وَيَطُوفُ عَلَيْهِمْ غِلْمَانٌ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ لُؤْلُؤٌ مَكْنُونٌ (24) وَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ (25) قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ (26) فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ (27) إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلُ نَدْعُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيمُ (28)

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa Lillâhil Hamd,

Ma’âsyiral Muslimîn  HâdâniyallAhu wa iyyâkum….,

Sebagai penutup dari khutbah iedul fitri ini, mari kita berdoa agar Allah berkenan menerima amal ibadah kita….,

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ ِفي اْلعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَّللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وْالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَيَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

الَّلهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَئٍ أَنْ تَغْفِرَ لَنَا ذُنُوْبَنَا

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ يَا اللهُ الرَّحْمَن الرَّحِيْمُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ أَنْ تَغْفِرَ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَتَعْفُوَ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا  وَتَسْتُرَ عَوْرَاتِنَا وَتَتَقَبَّلَ صَلَاتَنَا وَقِيَامَنَا وَصِيَامَنَا وَتِلَاوَتَنَا وَصَدَقَتَنَا وَزَكَاتَنَا، وَجَمِيْعَ أَعْمَالِنَا، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اللَّهُمَّ لَا تَدَعْ لَنَا ذَنْبًا إِلَّا غَفَرْتَهُ وَلَا هَمًّا إِلَّا فَرَّجْتَهُ وَلَا دَيْنًا إِلَّا قَضَيْتَهُ وَلَا حَاجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِلَّا قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Sepenuh cinta,

Akhukum fillah, Ibnu Abdil Bari

Selasa, 14 Juli 2015 pukul 21:57 WIB

Filed Under: Khotbah Tagged With: iedul fithri, khutbah ied, khutbah iedul fithri 1436

February 11, 2015 by Ibnu Abdil Bari Leave a Comment

Wanita Manakah yang Bisa Menanding?

Wanita Manakah yang Bisa Menandingi?

“faZainabu syamsun wan nisâ’u kawâkibu.” Syuraih Al-Qadhi.

 

Istri shalihah adalah perhiasan dunia terindah; ia senatiasa menaati suami dalam kebaikan, menjaga harta suami, menjaga kehormatannya, mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya, dan selalu berperilaku baik kepada suami.

Ini adalah kisah nyata, pernah ada dalam sejarah manusia. Seorang istri shalihah yang mampu menaati suaminya, hingga sang suami tidak pernah memarahinya. Bahkan dalam hidup berumah tangga selama dua puluh tahun, mereka tidak pernah bertengkar. Memang pernah terjadi sekali, tetapi itupun yang salah adalah si suami. Perkenalkan, nama wanita itu adalah Zainab bin Jarir, istri dari Syuraih yang keadilannya sebagai seorang hakim sudah dimaklumi bersama.

Kisah suami-istri ini diabadikan oleh Ibnu Abdi Rabbih dalam Al-Iqdul Farîd (7/100-102) dan Al-Absyihi dalam Al-Mustathraf (2/480). Berikut ini adalah kisahnya:

Dari Asy-Sya’bi, ia berkata, “Syuraih pernah bertemu denganku, dan ia berpesan, ‘Wahai Sya’bi, pilihlah wanita Bani Tamim. Karena aku melihat mereka adalah wanita-wanita cerdas.

Asy-Sya’bi bertanya, “Menurutmu, apa bukti kecerdasan mereka?”

Syuraih menjawab, “Waktu itu, aku selesai menguburkan jenazah pada waktu Dhuhur. Lalu aku melewati rumah-rumah mereka. Ternyata ada seorang wanita tua di depan pintu rumah, sedangkan di sampingnya ada gadis yang cantik jelita. Aku pun meminta minum, padahal sebenarnya aku tidak haus.

Wanita tua itu berkata, “Minuman apa yang paling kamu sukai?”

“Seadanya.” Jawabku.

“Wahai gadis, berikan ia susu! Karena aku mengira bahwa orang ini adalah lelaki asing.”

Aku pun bertanya kepada wanita tua itu, “Siapakah gadis itu?”

“Dia adalah Zainab binti Jarir, salah satu wanita Bani Hanzhalah.”

“Kosong atau berisi –maksudnya sudah bersuami atau belum?.”

“Kosong –belum bersuami.”

“Nikahkanlah gadis itu denganku.”

“Asal engkau sekufu dengannya.”

Aku pun pulang ke rumah, untuk beristirahat siang. Tetapi aku tidak bisa tidur. Ketika selesai shalat Dhuhur, aku mengajak beberapa saudara-saudaraku dari kalangan Qari’ yang paling mulia; Alqamah, Al-Aswad, Al-Musayyib dan Musa bin Urfuthah. Lalu aku mendatangi paman gadis tersebut.

Ketika sudah tiba, ia berkata, “Wahai Abu Umayyah, apa keperluanmu?”

Aku menajwab, “Zainab putri saudaramu.”

Ia menjawab, “Dia tidak akan menolakmu.” Lalu dia menikahkan gadis tersebut denganku.

Tetapi ketika sudah tiba di rumah, aku menyesal. Aku berkata dalam hati, “Apa yang akan kamu perbuat dengan wanita Bani Tamim?” Aku teringat dengan kerasnya tabiat dari orang-orang Bani Tamim. Aku berkata dalam hati, ‘Aku akan menalaknya.’ tapi bisikan itu aku jawab sendiri, ‘Tidak, aku harus berkumpul dengannya terlebih dahulu. Jika baik, maka aku tidak aku talak, tetapi jika sebaliknya, maka akan aku talak.’

Syuraih melanjutkan, “Seandainya engkau melihatku wahai Sya’bi. Pada saat itu, kaum wanita menyerahkan istriku kepadaku, hingga masuk bertemu denganku. Lalu aku berkata –dalam hati, “Di antara sunah Nabi adalah apabila seorang wanita sudah masuk menemui suaminya, maka ia harus shalat dua rekaat dan berdoa kepada Allah memohon kebaikan istrinya, dan berlindung dari keburukan istrinya. Maka aku pun shalat. Ternyata ia juga shalat di belakangku. Ketika shalat sudah selesai, para tetangganya datang. Lalu mereka mengambil pakaianku dan menggantinya dengan pakaian malam yang diwarnai celupan yang sangat indah.

Ketika rumah telah sepi, aku pun mendekati istriku dan mengulurkan kedua tanganku ke ubun-ubunnya. Istriku menjawab, “Pelan-pelan wahai Abu Umayyah, sebagaimana dirimu. Kemudian ia berkata, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Aku bershalawat kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya. Sesungguhnya aku adalah perempuan asing, tidak mengenal sedikitpun tentang akhlakmu, maka jelaskanlah kepadaku apa saja yang kamu suka sehingga aku bisa melakukannya, dan apa yang kau benci sehingga aku menghindarinya. Sesungguhnya di kalangan kaummu terdapat perempuan yang bisa kau nikahi, dan di kalangan kaumku juga demikian. Akan tetapi jika Allah menggariskan sebuah ketetapan, maka ketetapan itu pasti terjadi. Kini, engkau sudah memilikiku, maka lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah, ‘Setelah itu boleh ruju’ lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.’ (Al-Baqarah: 229). Inilah yang bisa aku sampaikan, dan aku memohon ampunan kepada Allah untukku dan juga untukmu.”

Syuraih pun melanjutkan, “Faakhrajatnî wallâhi yâ Sya’bî ilal khuthbati fî dzâlikal maudhi…., demi Allah, wahai Sya’bi, istriku telah memaksaku untuk berkhutbah pada tempat itu juga. Lalu aku katakan, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, aku memuji dan memohon pertolongan kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan keluarganya, wa ba’du: engkau benar-benar telah mengucapkan kata-kata yang apabila engkau dapat mewujudkannya, maka itu akan menjadi nasib baik bagimu, tapi jika engkau mengabaikannya, maka dapat menjadi bumerang bagimu. Aku suka begini dan tidak suka begitu. Kita sekarang telah menjadi satu kesatuan, karenanya janganlah meninggalkanku. Kebaikan apapun yang kau lihat, maka sebarkanlah dan keburukan apa saja yang kau lihat, maka tutupilah.” Ia juga mengatakan sesuatu yang tidak aku ingat.

Kemudian ia bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang kunjungan keluarga kita?”

Aku pun menjawab, “Aku tidak suka kalau kunjungan mereka membuatku bosan.”

“Kemudian, di antara tetangga-tetanggamu yang kamu sukai untuk bisa masuk kerumahmu siapa, sehingga aku bisa mengizinkannya masuk, dan siapa pula yang tidak kamu sukai sehingga aku merarangnya masuk?” katanya.

Aku pun menjawab, “Bani Fulan adalah kaum yang shalih, dan Bani Fulan adalah kaum yang jelek.”

Syuraih melanjutkan kisahnya, “Wahai Sya’bi, malam itu menjadi malam terindah. Ia tinggal bersamaku selama satu tahun, tapi aku tidak pernah melihat hal-hal yang tidak aku sukai. Pada penghujung tahun, biasanya aku pulang dari pengadilan, tiba-tiba ada wanita tua yang menyuruh dan melarang di dalam rumahku. Maka aku pun bertanya, “Siapa wanita ini?” Orang-orang menjawab, “Fulanah, ibu mertuamu.” Maka ia pun bahagia dengan kedatanganku.

Ketika aku duduk, wanita tua itu menghampiriku, lalu berkata, “Assalâmu ‘alaika yâ Abâ Umayyah….”

Akupun menjawab salamnya, “Wa’alaikis salâm, man anti…, siapa Anda?”

Ia menjawab, “Aku adalah Fulanah, ibu mertuamu.”

“Semoga Allah memberikan kedekatan-Nya kepadamu.” Kataku.

Ia pun bertanya, “Kaifa ra’aita zaujataka…, menurutmu, bagaimana istrimu?”

Aku menjawab, “Khairu zaujatin…., dia adalah sebaik-baik istri.”

Ia pun kemudian menasehati, “Wahai Abu Umayyah, sesungguhnya wanita itu bernasib baik dalam dua keadaan; jika ia melahirkan anak lelaki atau mendapatkan martabat di mata suaminya. Jika kamu diliputi keraguan, maka hendaklah engkau mengambil cemeti. Demi Allah, bagi para suami, tidak ada yang lebih buruk selain jika di dalam rumahnya ada istri yang senang mencari perhatian laki-laki lain.”

Setelah mendengar nasehatnya, aku kemudian berkata, “Demi Allah, ini semua berkat didikan dan bimbingan ibu.”

Kemudian ia bertanya, “Apakah kamu suka bila dikunjungi oleh mertuamu?”

Aku pun menjawab, “Kapanpun mereka mau.”

Syuraih melanjutkan, “Ibu mertuaku mengunjungiku pada tiap akhir tahun. Ia menasehati pesan yang sama. Lalu istriku tinggal bersamaku selama dua puluh tahun, tetapi eslama itu pula, aku tidak pernah mencelanya, kecuali hanya sekali. Itupun aku-lah yang menzhaliminya (baca: yang salah). Waktu itu, setelah aku shalat sunah dua rekaat Fajar, si muadzin sedang mengumandangkan iqamat,  sementara aku menjadi imam. Tiba-tiba ada kalajengking yang merayap. Maka aku pun mengambil bejana lalu menutupkan ke kalajengking tersebut. Kemudian aku berpesan, “Wahai Zainab, jangan kau geser bejana itu hingga aku datang.”

Syuraih pun melanjutkan, “Wahai Sya’bi, seandainya engkau menyaksikanku. Tatkala aku selesai shalat, dan kembali ke rumah, ternyata kalajengking itu menyengat istriku. Aku pun segera mengambil kaleng dan garam. Aku pun langsung menenggelamkan jemarinya, dan membacakan surat Al-Fatihah dan Al-Mu’awwidzatain.

Aku punya tetangga dari Kindah. Ia memukul istrinya, maka aku katakan,

Raaitu rijâlan yadhribûna nisâ’ahum

Fasyallat yamînî hîna adhribu Zainaba

Aadhribuhâ fi ghairi dzanbin atat bihi

Famal ‘adlu minnî dharbu man laisa mudzniba

faZainabu syamsun wan nisâ’u kawâkibu

idza thala’at lâ tabdu minhunna kaukaba

kulihat banyak lelaki yang memukul istrinya,

sementara tanganku lumpuh ketika ingin memukul Zainab

apakah aku akan memukulnya lantaran salah yang tidak ia perbuat?

Tidak adil  jika aku memukul orang tak bersalah

Zainab adalah matahari sementara para wanita adalah bebintangan

Jika matahari sudah terbit, maka tiada satu bintang pun yang kelihatan.

Kisah ini selesai di sini.

Sungguh, istri Syuraih Al-Qadhi menjadi teladan bagi wanita muslimah, dulu dan kini. Sekarang, siapakah yang bisa menandingi keshalihannya dalam berbakti kepada suami?

Sepenuh cinta,

Akhukum fillah, Ibnu Abdil Bari; penulis buku Balada Cinta Penemu Kalung Permata.

Filed Under: Kisah

  • « Previous Page
  • 1
  • …
  • 3
  • 4
  • 5
  • 6
  • 7
  • …
  • 142
  • Next Page »

Tulisan Terakhir

  • Zina adalah HUTANG!
  • Menulislah!
  • Qomusika
  • Sinopsis buku “Air Minum dari Langit”
  • Jasa Pengetikan Bahasa Arab – Jasa Ketik Arab Online

Komentar Terakhir

  • Kekalutan, Penderitaan, Keadilan, dan Pembalasan – Adam's Blog on Hakekat Kejujuran
  • Jangan Sampai Terlewat! Ini Waktu Berdoa Paling Mustajab Di Hari Jumat – Infohaji.co.id on Doa Mustajab pada Hari Jum’at, Kapan?
  • Zaky on Teruntuk Ukhti yang Tengah Menanti
  • Yuni on Mendidik Karakter Dengan Karakter | Catatan Parenting Ida S. Widayanti
  • Diyahla diyah on Adzan Tengah Malam

Pengunjung

Copyright © 2019 · Generate Pro Theme on Genesis Framework · WordPress · Log in