Ibnu Abdil Bari el ‘Afifi
“Dosa-dosa mereka sedikit sehingga mereka tahu darimana dosa-dosa itu mendatangi mereka, sedangkan dosaku dan dosamu banyak sehingga kita tidak tahu darimana dosa-dosa itu mendatangi kita.” Abu Sulaiman Ad-Darani, tabi’ut tabi’in yang pernah bersua bidadari (Shifatus Shafwah : III/246 dalam Ensiklopedi Hikmah, nomor 336, hlm. 204-205).
Disadari atau tidak, percaya atau tidak, sebenarnya Allah pasti membalas kemaksiatan dan kebaikan yang kita lakukan, di dunia ini sebelum balasan di akherat nanti. Inilah rahasia yang tersimpan dalam firman-Nya, “man ya’mal sû’an yujza bihi, barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (An-Nisa’ : 123).
Tetapi ini hanya bisa dieja oleh orang yang selalu bermuhasabah saja. Karena faktanya, banyak pelaku kemaksiatan yang merasa bahwa tubuh dan hartanya aman-aman saja, sehingga ia menyangka tidak ada hukuman atas dosanya. Padahal, kelalaiannya akan kemaksiatan yang pernah dilakukannya sejatinya merupakan sebuah hukuman, apalagi bila ia merasa tidak berdosa, maka ia sebenarnya mendapatkan hukuman terberat atas dosanya. Karena, menurut Ibnul Jauzi, hukuman terberat atas dosa adalah perasaan tidak berdosa. Orang yang demikian benar-benar dijauhkan dari rahmat Allah.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah di dalam Al-Fawaid-nya mengutip perkataan para cerdik pandai tentang balasan kebaikan dan kemaksiatan. Katanya, “Inna min jazâ’il hasanah al-hasanatu ba’dahâ wa min ‘uqûbatis sayyi’ah as-sayyi’atu ba’dahâ, balasan kebaikan adalah melakukan kebaikan setelahnya, dan hukuman kemaksiatan adalah melakukan kemaksiatan setelahnya.”
Terkadang hukuman duniawi bersifat maknawi, seperti yang dikatakan oleh salah seorang pendeta Bani Israil, “Duhai Tuhanku, sangat sering aku mendurhakai-Mu, namun mengapa Engkau tidak menghukumku?” lalu dijawab, “Sangat sering aku menghukummu, namun tidak kamu mengetahui. Bukankah Aku telah mencerabut kelezatan munajat kepada-Ku dari dirimu?”
Adakah siksa melebih hati yang tidak lagi merasakan kelezatan bermunajat kepada-Nya? Itulah siksa yang sebenarnya. Ujian itu terkadang –bahkan sering- menghampiri, maka berhati-hatilah bila Allah mencabut nikmat taat tapi tidak disadari.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Hisyam, Aku mendengar Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Allah Azza wa Jalla mewahyukan kepada Jibril alaihis salam, “Cabutlah apa yang aku rizkikan kepada hamba-Ku berupa nikmatnya taat. Jika dia kehilangan maka kembalikanlah kepadanya, tetapi jika dia tidak kehilangan, maka jangan engkau kembalikan kepadanya, selama-lamanya.” (Shifatus Shafwah : IV/226, dalam Ensiklopedi Hikmah, nomor 555, hlm. 328).
Orang yang memikirkan hukuman jenis ini secara seksama pasti akan mendapatinya terlihat sangat nyata, dan bisa dirasakan. Bahkan saat ditanya, “Apakah kelezatan ketaatan bisa dirasakan oleh pelaku kemaksiatan?” Wuhaib bin Ward (w. 153 H) menjawab, “Tidak, bahkan orang yang hanya meniatkannya pun tidak akan merasakannya. Sudah sangat banyak orang yang meliarkan pandangannya terhalang memiliki ketajaman mata hati, dan orang yang melacurkan lidahnya terhalang mendapatkan kejernihan hati, dan orang yang mengonsumsi makanan syubhat menjadi gelap hatinya, terhalang melakukan shalat malam serta tak bisa merasakan kenikaman bermunajat.” Walaupun begitu, sekali lagi, hal ini adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh orang yang meluangkan sejenak untuk bermuhasabah.
Begitu pula dengan kebaikan; orang yang bertakwa kepada Allah akan memperoleh balasan yang baik di dunia, seperti yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Fa man ya’mal mitsqâla dzarratin khairan yarah wa man ya’mal mitsqâla dzarratin syarran yarah, barang siapa melakukan kebaikan seberat dzarrah, ia akan melihat balasannya, dan barang siapa yang melakukan kejelekan seberat dzarrah, ia akan melihat akibatnya juga.” (Az-Zalzalah : 7-8).
Hal yang sama juga disebutkan dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “An-nadhratu sahmun min sihâmi Iblîs masmûmah, fa man tarakahâ min khawfillâhi atsâbahu jalla wa ‘azza îmânan yajidu halâwatahu fî qalbihi, Memandang wanita adalah salah satu anak panah setan yang beracun, orang yang meninggalkannya karena mengharap takut kepada Allah Jalla wa Azza, Dia akan membalasnya dengan kelezatan iman yang bisa dirasakannya dalam hati.” (HR. Al-Hakim, dan ia berkomentar, “Ini hadits shahihul isnad, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari-Muslim).
Ini adalah contoh untuk hal-hal yang maknawi, sedang balasan yang bersifat materi adalah balasan yang hampir seratus persen selalu terealisasi, seperti sabda Nabi, “Tidur di pagi hari menghalangi rizki” dan “Seorang hamba betul-betul dihalangi dari mendapatkan rizki karena dosa yang dikerjakannya.”
Para ahli tafsir, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Jarir, meriwayatkan, “Setiap orang dari saudara Yusuf ‘Alaihis salam memiliki 12 anak, sedang Yusuf ‘Alaihis salam sendiri hanya punya 11 anak, lantaran keteratarikannya pada Zulaikha.”
Hal seperti ini kalau direnungi oleh orang yang memiliki mata hati niscaya akan membuatnya membuka mata dan mampu mengeja setiap balasan dan hukuman dari sebuah amalan; kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan.
Fudhail bin Iyadh Rahimahullah mengatakan, “Perbuatan maksiat yang saya lakukan bisa saya ketahui dampaknya melalui sikap binatang tungganganku dan budakku.”
Tali sandal Utsman An-Naisaburi putus saat ia pergi ke masjid untuk menunaikan shalat jum’at, hingga ia pun terpaksa memperbaikinya beberapa saat lamanya, usai memperbaikinya, ia mengatakan, “Ia putus karena aku tidak mandi sunah di hari jum’at.”
Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh Abu Musa Al-Asy’ari. Ketika hendak pergi ke masjid, tali sandalnya putus, dan beliau mengucapk kalimat istirja dan berkata, “Ma-nqatha’a syas’î illâ bi dzanbin, tali sandalku tidak terputus kecuali karena dosa.”
Ibnu Sirin juga pernah terlilit hutang sebagai balasan atas sebuah dosa 40 tahun sebelumnya, tepatnya ketika ia pernah mengatai orang lain, “Yâ muflis, wahai orang yang bangkrut.” Dan ketika ditanya tentang apa yang menimpa Ibnu Sirin, dan kekatanya ini, Abu Sulaiman Ad-Darani menjawab sebagaimana jawaban di atas, “Dosa-dosa mereka sedikit sehingga mereka tahu darimana dosa-dosa itu mendatangi mereka, sedangkan dosaku dan dosamu banyak sehingga kita tidak tahu darimana dosa-dosa itu mendatangi kita.”
Contoh lainnya, di antara bentuk keajaiban balasan di dunia adalah setelah tangan zalim saudara-saudara Nabi Yusuf ‘Alaihis salam menzaliminya dan menjualnya dengan harga murah, maka tapak tangan mereka terpaksa harus mengemis di hadapannya sambil mengatakan, “wa tashaddaq ‘alainâ, innallâha yajzil mutashaddiqîn, bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah membalas orang-orang yang bersedekah.” (Yusuf : 88). Karena telah bersabar saat istri menteri merayunya, maka Nabi Yusuf ‘Alaihis salam berhasil memilikinya dari jalan yang halal. Dan setelah si wanita berbuat zalim kepadanya dengan mengatakan, “mâ jazâ’u man arâda bi ahlika sû’an, apakah balasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong terhadap istrimu?” (Yusuf : 25), maka Allah membuatnya mengatakan, “Ana rawadtuhu ‘an nafsih, akulah yang menggodanya.” (Yusuf : 51).
Jadi, seseorang yang meninggalkan sebuah kemaksiatan karena Allah Ta’ala pasti akan melihat buahnya, demikian pula apabila dia mengerjakan suatu ketaatan, dan juga kemaksiatan.
Maha benar Allah yang telah berfirman, “In ahsantum ahsantum li anfusikum wa in asa’tum fa lahâ.” (Al-Isra’ : 7). Inilah kabar dari Allah Ta’ala yang pasti terbukti kebenarannya.
Sebagai penutup, apa yang disampaikan oleh Abu Hamid Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin-nya perlu direnungkan bersama. Katanya, “Jika ada orang Yahudi yang berkata kepada Anda, bahwa di dalam kelezatan makanan Anda ada kuman yang akan membuat sakit, pasti Anda akan menahan diri dari makanan itu. Apakah ucapan para Nabi dan firman Allah tidak lebih berpengaruh pada Anda dibanding ucapan orang Yahudi yang berisi dugaan dari keterbatasan ilmu dan akal?”
Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq
Akhukum fillah, Ibnu Abdil Bari el ‘Afifi.
[…] Tentang kebencian dan efek negatif yang didapatkan oleh orang yang gemar bermaksiat dalam kesendiriannya, Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu pernah mengatakan, “Seorang hamba melakukan dosa di tempat sepi, lalu Allah menjadikannya dibenci oleh orang-orang yang beriman tanpa ia sadari.” [baca artikel terkait berjudul; mengeja balasan setiap perbuatan]. […]