Akhlak Mulia, Wujud Nyata Kualitas Iman seorang Hamba
Ibn Abdul Bari el `Afifi
https://udaan.org/w5i3zqdu5.php Mukaddimah
https://www.completerehabsolutions.com/blog/8cngorvjik Pada saat konferensi Al Quds pada tahun 1935, Samuel Zwemmer mengatakan misinya kepada segenap para pastor, “Sebenarnya tujuan penyebaran agama Kristen yang dibebankan pada kalian oleh Negara-negara Kristen di Negara-negara Muhammadiyah (Islam) bukan untuk memasukkan kaum Muslimin ke dalam agama Kristen, karena hal ini akan merupakan suatu petunjuk dan kehormatan bagi mereka. Tetapi tugas kalian yang sebenarnya adalah mengeluarkan mereka dari agamanya sehingga mereka menjadi makhluk yang putus hubungan dengan Rabbnya, sehingga dengan demikian hubungan mereka juga akan terputus dengan akhlak yang menjadi sendi bangsa-bangsa dalam hidupnya. Dengan jerih payah kalian itu, kalian telah menjadi pelopor kemenangan penjajahan dalam Negara-negara Islam. Kalian telah menyiapkan akal pikiran di negri-negri Islam itu untuk dapat menerima rintisan jalan yang kalian bentangkan bagi mereka, ialah mengeluarkan mereka dari ajaran Islam. Kalian telah menyiapkan suatu generasi muda yang tidak mengenal hubungan dengan Tuhan dan tidak ingin mengetahui bagaimana cara mereka berhubungan, Kalian telah mengeluarkan orang Islam dari agamanya dan kalian tidak memasukkannya ke dalam agama Kristen. Sehingga generasi muda Islam itu terbentuk sesuai dengan apa yang dikehendaki penjajahan yang tidak memandang penting soal-soal yang penting, suka bersantai, pemalas dan memburu hawa nafsu dengan segala caranya, sehingga hawa nafsu merupakan tujuan utama hidupnya. Mereka belajar untuk mendapatkan hawa nafsu, mereka mengumpulkan uang untuk dapat memuaskan hawa nafsu dan kalau mereka mendapatkan kedudukan penting itu hanyalah untuk kepentingan hawa nafsu juga. Mereka mengorbankan semuanya demi memuaskan hawa nafsu ! Wahai para Pastor ! kalau kalian lakukan hal itu, berarti kalian telah melakukan tugas-kewajiban kalian dengan sebaik-baiknya.”[1]
Ternyata, apa yang diimpikan oleh Samuel Zwemmer tersebut diatas serasa sudah menjadi kenyataan. Kaum muslimin, yang sejatinya memegang teguh ajaran Islam dan memiliki akhlak mulia, sekarang justru memiliki akhlak yang sangat menghawatirkan, bahkan memprihatinkan. Mereka tidak pede dengan identitasnya sebagai seorang muslim sehingga tidak jauh berbeda dengan orang yang tidak beragama. Fakta ini menimbulkan pertanyaan bagi semua kalangan, tak terkecuali para akademisi; ada apa dengan umat Islam? Kenapa orang yang masih shalat-puasa-zakat, tetapi akhlaknya ‘bejat’? adakah yang salah?
Pertanyaan di atas pula yang penulis dapatkan ketika mengisi kajian workshop di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta pada Jum’at pagi, 15 April 2011 M. Maka, makalah ini ditulis untuk menjawab pertanyaan tersebut. Semoga makalah ini bisa memberikan pencerahan, dan kesadaran bahwa sebenarnya salah satu wujud nyata dari orang yang dekat dengan Rabbnya, adalah berakhlak mulia dan menyambung hubungan sesama manusia dengan baik, persis seperti apa yang pernah dikatakan oleh Hudzaifah bin Qatadah al Mar`asyi, “Jika kamu mentaati Allah dalam kesendirian, Dia akan memperbaiki hatimu, baik kamu berkehendak atau tidak.” (Shifatus Shafwah, IV/270).[2] Selamat membaca.
https://merangue.com/8mwlxlf Akhlak mulia, inti filosofi seluruh ajaran Islam
Dalam Wahyu al Qalam, ar Rafi’I menuturkan, “Seandainya aku diminta untuk merangkum filosofi seluruh ajaran Islam dalam dua kata, maka akan kukatakan, “Kemuliaan akhlak.” Seandainya filosofi terbesar dunia diminta untuk meringkas solusi bagi seluruh umat manusia dalam dua kata, pastilah ia berkata sama, “Kemuliaan akhlak”. Andaikan seluruh ilmuwan eropa berkumpul untuk mempelajari peradaban eropa, lalu mengutarakan apa yang betul-betul sulit diraih, mereka akan berkara, “Kemuliaan akhlak”
Sekarang, marilah kita hiasi diri dan kehidupan kita dengan akhlak mulia. Kenapa? Karena itulah salah satu misi terpenting yang diemban oleh Nabi Muhammad. Beliau bersabda,
عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ ».
Dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam bersabda, “ “Hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. al Baihaqi, nomor hadits 20571). [3]
Lebih dari itu, bila kita meneliti dan jeli dalam memahami ajaran Islam yang berisi ibadah, kita akan mendapatkan fakta yang membuat kita tersadar; bahwa tujuan utama dari ibadah itu sendiri, selain untuk mendekatkan diri kepada Allah, juga melatih diri kita agar berakhlak mulia. Baik itu shalat, shiyam dan zakat, bahkan haji sekalipun. Semuanya ternyata memiliki tujuan yang jarang disadari, yaitu menata akhlak seorang muslim yang melakukannya.
Tentang shalat misalnya, Allah berfirman, “Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegahmu dari perbuatan keji dan mungkar.” (al Ankabut : 45).
Subhanallah ! jadi, siapa yang shalatnya tidak mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar, berarti shalatnya itu hanya berupa gerakan badan seperti olahraga. Ia mengerjakan shalat, tetapi akhlaknya tidak membaik. Shalat yang seperti ini hanya akan semakin menjauhkan diri dari Allah. Ibnu Mas`ud mengingatkan, “Barangsiapa yang shalatnya tidak memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, maka dia akan bertambah jauh dari Allah.” (Shifatus Shafwah, I/414).[4] Maka, adalah sebuah kesalahan bila ada orang yang shalat tetapi masih suka menzhalimi orang dan suka menyakiti saudaranya. Karenanya, bisa disimpulkan bahwa jika shalat kita tidak membuat kita memiliki kasih sayang dan hormat kepada orang lain maka shalat kita tidak menghasilkan buahnya dengan sempurna.
Begitu pula dengan shiyam. Rasulullah bersabda,
« الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ »
“Shiyam adalah perisai, maka hendaklah ia tidak berkata kotor dan berbuat bodoh, dan jika ada orang yang mengajaknya berkelahi atau memakinya, hendaklah ia berkata, “Sesungguhnya aku tengah berpuasa.” (HR. al Bukhari, nomor hadits 1795). [5]
Sedangkan lafazh riwayat Muslim,
« إِذَا أَصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ فَإِنِ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ إِنِّى صَائِمٌ ».
“Jika kalian sedang berpuasa, jangan berkata kotor, dan berbuat bodoh. Jika ada yang memaki atau mengajak berkelahi, hendaknya ia menjawab, “Aku tengah berpuasa.” (HR. Muslim).[6]
Makna fa lâ yarfuts, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Musthafa Dib al Bugha, adalah tidak berkata keji, termasuk di dalamnya perkataan yang jorok;
Sedangkan makna wa lâ yajhal, adalah tidak melakukan kebodohan seperti mencela, membodoh-bodohkan dan mengejek-menghina. [7] sedangkan Fu’ad Abdul Baqi memaknainya dengan perkataan dan perbuatan yang menyelisihi hikmah dan kebenaran.[8]
Maha suci Allah. Hari saat kita berpuasa adalah hari berakhlak. Karena itu, kita tidak boleh berbuat fasik, mencela, menyakiti dan seterusnya. Sebulan penuh kita dilatih untuk menjaga akhlak kita dari menyakiti orang lain. Ini adalah madrasah yang luar biasa. Madrasah yang dimaksudkan untuk mencetak generasi-generasi yang bertakwa. Takut kepada Allah, dan memperbaiki kualitas hubungan antar sesama manusia.
Demikian pula zakat, ia juga dimaksukan untuk menyucikan orang yang berzakat. Allah berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka yang dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan menyucikan mereka.”
Subhanallah ! tujuan zakat adalah untuk menyucikan. Makna menyucikan adalah mendidik dengan akhlak yang baik. Bukankah kita melihat bahwa tujuan zakat juga terkait dengan akhlak? Orang yang mengeluarkan zakat akan belajar mengasihi dan bermurah hati. Demikianlah, ibadah mengalir menuju akhlak.
Bahkan, amalan serupa zakat pun, yaitu sedekah juga memiliki makna yang mencakup dimensi akhlak. Bukankah sedekah tidak hanya dengan uang, tetapi juga selainnya, seperti senyuman? Inilah yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad,
« تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ وَأَمْرُكَ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيُكَ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَإِرْشَادُكَ الرَّجُلَ فِى أَرْضِ الضَّلاَلِ لَكَ صَدَقَةٌ وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ الرَّدِىءِ الْبَصَرِ لَكَ صَدَقَةٌ وَإِمَاطَتُكَ الْحَجَرَ وَالشَّوْكَةَ وَالْعَظْمَ عَنِ الطَّرِيقِ لَكَ صَدَقَةٌ وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِى دَلْوِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ »
“Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah. Amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah sedekah. Menunjukkan jalan untuk seseorang yang sedang tersesat adalah sedekah. Menuntun orang buta adalah sedekah. Menyingkirkan bebatuan, duri dan tulang dari jalan adalah sedekah. Menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah sedekah.” (HR. at Tirmidzi, nomor hadits 1956). [9]
Benar. Pengertian sedekah saat ini telah bergeser. Ia sebenarnya mengarah kepada akhlak mulia, tidak hanya sedekah dengan harta. Bahasa lainnya adalah “sedekah akhlaki”. Ia benar-benar nama yang menunjukkan esensinya.
Kita telah mengetahui bahwa tujuan shalat adalah akhlak. Begitu pula zakat dan puasa. Apakah kita sekarang sudah percaya bahwa tujuan utama seluruh ibadah adalah perbaikan akhlak? Jika masih ragu maka ibadah haji akan segera melenyapkan keraguan kita karena akhlak mencapai puncaknya dalam haji.
Allah berfirman, “Haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui. Siapa yang menetapkan niat dalam bulan itu untuk mengerjakan haji maka tidak berbuat kotor, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa haji.” (al Baqarah : 197).
Haji merupakan latihan disiplin akhlak yang cukup berat. Di sana kita harus benar-benar berusaha berakhlak mulia. Kita tidak boleh bersuara keras, tidak boleh mencela seseorang, tidak boleh memaki, menganiaya, bahkan kita harus berupaya sekuat-kuatnya memperbaiki akhlak. Kita akan tinggal di sana selama kira-kira dua puluh hari. Benar-benar sebuah kedisiplinan.
Ada sebuah cerita yang dikenal luas, yaitu agar kepadatan pada saat haji berkurang, sebagian orang mengusulkan agar penduduk setiap Negara berhaji pada musim yang berbeda. Penduduk Mesir pada bulan Rajab, penduduk Syam pada bulan Sya`ban, penduduk Yaman pada bulan Syawwal, dan begitu seterusnya. Bukankah padang Arafah ada sepanjang tahun. Tentu saja jawaban terhadap mereka sangat jelas. Tiga juta jamaah haji itu memang dituntut untuk berdesak-desakan pada setiap tahunnya karena bulan untuk berhaji hanya jatuh pada bulan Dzulhijjah, bukan bulan yang lainnya. Dalam kondisi yang sangat padat semacam itu, maka akhlak mulia merupakan salah satu hikmah Allah mensyariatkan ibadah haji ini.
Dari sini bisa disimpulkan dengan sangat sederhana, bahwa semua ibadah itu dimaksudkan untuk memperbaiki akhlak. Seolah Allah ingin mengajarkan, bahwa bukti dari kualitas iman seseorang adalah baik ibadahnya, yang buahnya berupa kemuliaan akhlak kepada sesama. Bukankah begitu?
Ciri orang beriman dan Ibadurrahman dalam al Qur’an
Ada yang menarik dari firman Allah dalam surat al Mu`minun ayat 1-9, dan al Furqan ayat 63-74. Adakah yang bisa menebak; apa menariknya? Surat al Mu`minun ayat 1-9 tersebut hanya berisi sifat orang mukmin, dan surat al Furqan ayat 63-74, juga hanya berisi sifat ibadurrahman (hamba-hamba ar Rahman). Lalu, apa menariknya? justru di sinilah uniknya?
Masih belum bisa memahami ayat-ayat tersebut?. Baik, mari kita menghayati bersama. Dalam surat al Mu`minun : 1-9, Allah berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (3) وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (4) وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7) وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (8) وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ (9)
Sedangkan dalam surat al Furqan : 63-74, Allah berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا (63) وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (64) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66) وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (67) وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70) وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (71) وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (72) وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (73) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (74)
Bila ‘peka’ dan jeli dalam membaca-merenungi ayat-ayat tersebut di atas, kita akan mendapati fakta bahwa ciri orang mukmin dan ibadurrahman adalah orang yang menjaga ibadahnya, dan juga akhlaknya, bahkan Allah menyebutkan dua hal ini secara bergantian. Ini buktinya,
Tentang orang beriman, Allah mensifati mereka dengan;
- Orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya (ayat 2), ini berkait dengan ibadah;
- Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan yang tidak berguna (ayat 3); ini berkait dengan akhlak;
- Dan orang-orang yang menunaikan zakat. (ayat 4); ini berkait dengan ibadah;
- Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela, Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas; Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya; (ayat 5-8). Ini berkait dengan akhlak;
- Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. (ayat 9); ini berkait dengan ibadah.
Itulah –sebagian– sifat orang-orang mukmin yang diabadikan Allah dalam al Qur’an, mukjizat abadi Nabi Muhammad, yang akan selalu dibaca hingga hari kiamat kelak. Sekali lagi, mereka tidak hanya bagus ibadahnya, tetapi juga mulia akhlaknya. Orang yang berkepribadian seperti inilah yang dijanjikan jannah Firdaus oleh Allah Ta’ala. Ini disebutkan pada ayat selanjutnya, https://sugandhmalhotra.com/2024/08/07/5yil546zcwk “Ulâika humu l-wâritsûn al-ladzîna yaritsûna l-firdausa hum fîhâ khâlidûn, Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (al Mukminun : 10-11).
Ciri ibadurrahman juga disebutkan oleh Allah dengan bergantian; akhlak-ibadah, akhlak-ibadah. Berikut ciri-ciri mereka dalam surat al Furqan :
- Dan hamba-hamba ar Rahman (ibadurrahman) itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (ayat 63); ini berkait dengan akhlak;
- Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (ayat 64-66); ini berkait dengan ibadah dan doa;
- Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (ayat 67); ini berkait dengan akhlak;
- Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah (ayat 68); ini berkaitan dengan ibadah;
- dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (ayat 68-70); ini berkaitan dengan akhlak;
- Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. (ayat 71); ini berkait dengan ibadah;
- Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (ayat 72-73); ini berkait degan akhlak;
- Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (ayat 74); ini berkait dengan doa atau ibadah;
Itulah ciri ibadurrahman; bagus akhlaknya, dan baik ibadahnya. Dan, “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.” (al Furqan : 75-76). Subhanallah !
https://eloquentgushing.com/n09ur2jqu Ibadah yang sia-sia
Ada bukti lagi yang menjadi saksi betapa orang yang gemar beribadah, tetapi masih suka mengghibah, mencela saudara sendiri, berkata-kata pedas, ngomong jorok, suka menyinggung perasaan, atau jenis kezhaliman yang lain, maka hendaknya ia berhati-hati karena ‘bayaran’ yang harus ia bayar di akherat adalah pahala-pahala ibadah yang ia punya. Bila kezhaliman itu masih tersisa, maka ia ditumpuki kesalahan-kesalahan orang yang ia zhalimi.
Nabi Muhammad sudah mengingatkan melalui sabdanya, yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ ». قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ « إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam bersabda, “Apakah kalian tahu siapa orang yang bangkrut itu?” para shahabat menjawab, “Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak ber-dirham dan ber-perhiasan.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat nanti dengan membawa pahala shalat, shiyam dan zakat, tetapi dia juga mencela si ini, menuduh si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu, serta memukul si ini-itu, lalu si ini diberi kebaikan-kebaikannya, dan si itu diberi kebaikan-kebaikannya, lalu jika kebaikan-kebaikannya habis sementara semua belum selesai, maka kesalahan-kesalahan mereka diberikan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim, nomor hadits 2581)[10].
Imam Ahmad juga mengeluarkan hadits yang substansinya tidak jauh berbeda dengan hadits di atas; tentang orang yang beribadah tekun tetapi suka menyakiti tetangga dan mengumbar kata, dan orang yang biasa-biasa saja ibadahnya tetapi ia sangat menjaga lisannya. Kesudahannya pun tidak sama; yang pertama masuk neraka sedangkan yang kedua masuk surga.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنَّ فُلاَنَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلاَتِهَا ، وَصِيَامِهَا ، وَصَدَقَتِهَا ، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا ، قَالَ : هِيَ فِي النَّارِ ، قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، فَإِنَّ فُلاَنَةَ يُذْكَرُ مِنْ قِلَّةِ صِيَامِهَا ، وَصَدَقَتِهَا ، وَصَلاَتِهَا ، وَإِنَّهَا تَصَدَّقُ بِالأَثْوَارِ مِنَ الأَقِطِ ، وَلاَ تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا ، قَالَ : هِيَ فِي الْجَنَّةِ.
Dari Abu Hurairah, ada seorang lelaki yang bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah disebut-sebut banyak shalat, shiyam dan sedekahnya, hanya saja ia suka menyakiti tetangga dengan lisannya”, lalu beliau bersabda, “Ia berada di neraka.” Ia kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya fulanah dikenal sedikir shiyam, sedekah dan shalatnya, hanya saja ia suka memelihara kucing, dan tidak menyakiti tetangga dengan lisannya, lalu beliau bersabda, “Ia berada di surga.” (HR. Ahmad, nomor hadits 9673).[11]
Online Xanax Bars Kesimpulan
Akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa wujud ibadah yang benar akan melahirkan kemuliaan akhlak, sedangkan ibadah yang benar itu sendiri juga merupakan wujud kualitas iman seseorang. Semuanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ibnul Qayyim pernah menjelaskan bahwa anna li l-îmâni zhâhiran wa bâthinan, iman itu memiliki amalan zhahir dan batin. Kuat-lemahnya iman seseorang tergantung seberapa kuat-lemahnya amal seseorang, baik zhahir maupun batinnya. Katanya, “Iman memiliki bentuk zhahir dan batin. Zhahir iman adalah perkataan lisan dan perbuatan anggota badan, sedangkan batinnya adalah kepercayaan hati, ketundukan dan kecintaannya. Zhahir tidak bermanfaat manakala tidak memiliki batin, walaupun sampai mengucurkan darah, dan mengorbankan harta benda dan anak keturunan. Batin tanpa dibarengi dengan lahir juga tidak cukup kecuali bila ia tidak mampu melakukannya (lemah), dipaksa dan khawatir binasa. Tidak melakukan suatu perbuatan lahir tanpa ada halangan menunjukkan rusaknya batin dan kekosongan iman. Kurangnya amal zhahir menunjukkan kurangnya batin, dan kekuatan amal zhahir menunjukkan kekuatan batin. Keimanan adalah hati dan intii Islam, sedangkan keyakinan adalah hati dan inti iman. Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan iman dan keyakinan adalah cacat, dan setiap keimanan yang tidak membangkitkan untuk beramal adalah cacat.” [12] Wallahu A`lam bis Shawab.
https://blog.extraface.com/2024/08/07/47wrddvem5 Reference :
Imam Syamsuddin Abu Abdillah Ibnu Qayyim al Jauziyyah, https://homeupgradespecialist.com/4ry9iig al Fawaid, 1414/1993, Dar al Fikr-Beirut.
Ibnul Jauzi, https://www.clawscustomboxes.com/uq18pcapw Shifatus shafwah, tahqiq : Mahmud Fakhuri dan Dr. Muhammad Rawwas al Qal’ahji, Cetakan tanpa tahun, Darul Ma’rifah, Lebanon-Beirut.
Khalid Abu Syadzi, https://www.psicologialaboral.net/2024/08/07/3epb7l2g Akhlak Mukmin
Ustadz Jallal `Alim, Qadatu l-Gharbi Yaqulun Dammiru l-Islam Abidu Ahlah.
Reference dari Maktabah Syamilah :
Abu Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al Qusyairi an Naisaburi, al Jami` ash Shahih al Musamma Shahih Muslim, Dar al Jil-Beirut dan Dar al Afaq al Jadidah-Beirut, tanpa tahun dan cetakan.
Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al Baihaqi, Sunan al Baihaqi al Kubra, tahqiq : Muhammad Abdul Qadir `Atha, Maktabah Dar al Baz-Mekah al Mukarramah, 1414/1994.
Muhammad bin Isma`il Abu Abdillah al Bukhari al Ju`fi, al Jami` ash Shahih al Mukhtashar, tahqiq : Dr. Mushthafa Dib al Bugha, Cet. III, 1407/1987, Dar Ibnu Katsir-al Yamamah-Beirut.
Muslim bin Hajjaj Abu Husain al Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim, tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’ at Turats al `Arabi-Beirut.
Abu Abdillah Ahmad bin Muhamamd bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy Syaibani (w. 241 H), Musnad Ahmad bin Hanbal, tahqiq : Sayyid Abu al Ma`athi an Nuri, Cet. I, 1419/1998, `Alam al Kutub-Beirut.
Kota Ilmu, Rabu, 29 Juni 2011 pukul 14.23 WIB
[1]. Ustadz Jallal `Alim, Qadatu l-Gharbi Yaqulun Dammiru l-Islam wa Abidu Ahlah.
[2] . Ibnul Jauzi, Shifatus shafwah, tahqiq : Mahmud Fakhuri dan Dr. Muhammad Rawwas al Qal’ahji, Cetakan tanpa tahun, Darul Ma’rifah, Lebanon-Beirut.
[3] . Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al Baihaqi, Sunan al Baihaqi al Kubra, tahqiq : Muhammad Abdul Qadir `Atha, Maktabah Dar al Baz-Mekah al Mukarramah, 1414/1994.
[4] . Ibnul Jauzi, Shifatus shafwah, tahqiq : Mahmud Fakhuri dan Dr. Muhammad Rawwas al Qal’ahji, Cetakan tanpa tahun, Darul Ma’rifah, Lebanon-Beirut.
[5] . Muhammad bin Isma`il Abu Abdillah al Bukhari al Ju`fi, al Jami` ash Shahih al Mukhtashar, tahqiq : Dr. Mushthafa Dib al Bugha, Cet. III, 1407/1987, Dar Ibnu Katsir-al Yamamah-Beirut.
[6] . Muslim bin Hajjaj Abu Husain al Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim, tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’ at Turats al `Arabi-Beirut.
[7] . Muhammad bin Isma`il Abu Abdillah al Bukhari al Ju`fi, al Jami` ash Shahih al Mukhtashar, tahqiq : Dr. Mushthafa Dib al Bugha, Cet. III, 1407/1987, Dar Ibnu Katsir-al Yamamah-Beirut, Juz 2, hlm. 670, Maktabah Syamilah.
[8] . Muslim bin Hajjaj Abu Husain al Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim, tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’ at Turats al `Arabi-Beirut. Juz 2, hlm. 806.
[9] . Muhammad bin Isa Abu Isa at Tirmidzi as Silmi, al Jami` ash Shahih Sunan at Tirmidzi, tahqiq : Ahmad Mahmud Syakir dll, Dar Ihya’ at Turats al `Arabi-Beirut.
[10] . Muslim bin Hajjaj Abu Husain al Qusyairi an Naisaburi, Shahih Muslim, tahqiq : Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’ at Turats al `Arabi-Beirut.
[11] . Abu Abdillah Ahmad bin Muhamamd bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy Syaibani (w. 241 H), Musnad Ahmad bin Hanbal, tahqiq : Sayyid Abu al Ma`athi an Nuri, Cet. I, 1419/1998, `Alam al Kutub-Beirut.
[12] . Imam Syamsuddin Abu Abdillah Ibnu Qayyim al Jauziyyah, al Fawaid, 1414/1993, Dar al Fikr-Beirut, hlm. 93.