Kelak, Bumi pun bersaksi dan Menangis
https://aiohealthpro.com/n3en5696a Ibnu Abdul Bari el `Afifi
https://www.clawscustomboxes.com/jv2ocv694sj
“Tidaklah seorang hamba bersujud kepada Allah dengan satu kali sujud di suatu tempat di muka bumi kecuali pada hari kiamat nanti ia akan bersaksi, dan menangis pada hari kematiannya.” (Atha’ al Khurasani).
https://homeupgradespecialist.com/ead8tv1ery
https://eloquentgushing.com/5y2l6ea8kk
https://foster2forever.com/2024/08/etm17uiyt.html Sejatinya, nasehat Atha’ al Khurasani di atas memiliki kekuatan yang memompa spirit beramal dan menggetarkan hati orang-orang beriman. Memompa spirit beramal karena bumi yang menjadi tempat tinggal anak Adam kelak akan bersaksi atas tempat sujud dan amal shalih mereka, dan enggetarkan hati karena kematian mereka akan ditangisi oleh bumi, dan juga langit. Keduanya akan merasa kehilangan karena tidak lagi mendapati sujud, dzikir, dan ibadah yang pernah mereka torehkan dalam sejarah hidupnya. Itulah keistimewaan orang mukmin, yang tidak akan pernah dimiliki oleh siapapun selain mereka.
https://udaan.org/xohjnzql.php Mengeja nikmat-Nya
Buy Alprazolam Next Day Delivery Termasuk salah bukti rahmat Allah adalah Dia menjadikan bumi sebagai tempat berteduh, tempat istirahat, tempat tinggal, dan tempat bernaung bagi manusia. Dia juga telah menghamparkan dan membentangkannya, mengeluarkan darinya air dan rerumputan, memperkuatnya dengan gunung-gunung, membangun di atasnya jalan dan lorong-lorong, mengalirkan darinya sungai dan mata air, serta mengeluarkan darinya berbagai macam makanan.
Rx Xanax Online Pepohonan, bebuahan, bebinatangan, udara, air, gunung-gunung, bebatuan, bebintangan dan seluruh isi bumi; semuanya Allah ciptakan untuk kebutuhan manusia, semuanya ditundukkan untuk manusia. Alangkah Mahadermawannya Allah Ta`ala, sang Pencipta dan Pemberi rizki.
Allah berfirman, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al Baqarah : 29).
Dan berfirman, “Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling? (95) Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (96) Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. (97). Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui. (98) Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman. (99) (al An’am : 95-99).
https://oevenezolano.org/2024/08/dxdlxn5pj Dan berfirman, “Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa) nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu). (80) Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).” (81). (an Nahl : 80-81)
https://inteligencialimite.org/2024/08/07/3grtw1a3q Dan berfirman, “Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia.” (al Hajj : 65).
Allah juga berfirman, “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya? (71) Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka, maka sebagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebagiannya mereka makan. (72) Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? (73) (Yasin : 71-73).
https://www.completerehabsolutions.com/blog/6dgsyaiv Dan berfirman, “Allah-lah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan. (79) Dan (ada lagi) manfaat-manfaat yang lain pada binatang ternak itu untuk kamu dan supaya kamu mencapai suatu keperluan yang tersimpan dalam hati dengan mengendarainya. Dan kamu dapat diangkut dengan mengendarai binatang-binatang itu dan dengan mengendarai bahtera. (80) Dan Dia memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya); maka tanda-tanda (kekuasaan) Allah yang manakah yang kamu ingkari?” (81). (al Mukmin : 79-81).
Buy Real Xanax Online Dan berfirman, “Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat petunjuk. (10). Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur). (11) Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasang dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (12). Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan, “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya (13) dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (14). (az Zukhruf : 10-14).
https://sugandhmalhotra.com/2024/08/07/ljlt42l Maha suci Allah yang telah menciptakan apa yang di bumi, dan juga di langit untuk manusia. Maka benarlah firman-Nya, “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, maka tiadalah dapat kamu menghinggakannya.” (Ibrahim : 34 dan an Nakhl : 18).
https://www.psicologialaboral.net/2024/08/07/ps900uf Namun, bumi tidak hanya berfungsi sebagai penyedia semua kebutuhan manusia semata, tetapi lebih dari itu, ia kelak akan bersaksi, dan juga menangisi seorang mukmin ketika hari kematiannya. Persis sebagaimana yang dikatakan oleh Atha` al Khurasani, “Tidaklah seorang hamba bersujud kepada Allah dengan satu kali sujud di suatu tempat di muka bumi kecuali pada hari kiamat nanti ia akan bersaksi, dan menangis pada hari kematiannya.”
Bumi, tempat yang sekarang dipijak dan ditinggali manusia, kelak pada hari kiamat akan menjadi salah satu saksi Allah yang akan mempersaksikan semua laku-sikap dan ucapan mereka. Baik-buruknya. Besar-kecilnya. Jelas-samarnya. Tampak-tersembunyinya. Semua diungkap oleh bumi. Ia ibarat spionase yang super canggih. Semua kejadian yang terjadi di atasnya diputar ulang oleh Allah pada hari kiamat kelak, di hadapan seluruh manusia. Tidak ada sejengkal bumi pun kecuali ia akan mempersaksikan semua amal anak Adam yang pernah melewatinya, baik dengan ketaatan atau kemaksiatan. Kesaksian itu dijelaskan dengan sempurna, tidak ada yang alpa. Setitik embun pun.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang tertera dalam Qs. al-Zalzalah :4, “Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” Sufyan berkata, “Maksudnya, Bumi akan bersaksi terhadap apa saja yang dilakukan (manusia) di atasnya, baik kebaikan maupun keburukan.” Mujahid juga menafsirkan, “Bahwa bumi akan mengabarkan kepada manusia perihal apa yang pernah mereka kerjakan di dunia.”
Di dalam sebuah hadits disebutkan,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- (يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا) قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا أَخْبَارُهَا »، قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ « فَإِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا ».
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ.
Di riwayatkan oleh Abu Hurairoh, beliau berkata, “Rasulullah pernah membaca ayat, “Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” lalu bersabda, “Tahukah kalian apa berita-beritanya?” Para shohabat menjawab, “Allah dan Rosul-Nya yang lebih tahu.” Beliau melanjutkan, “Berita-beritanya adalah bumi akan bersaksi terhadap setiap hamba atau umat atas apa yang mereka kerjakan di atasnya, dengan berkata, “Dia telah berbuat ini dan itu pada hari ini dan ini. Itulah berita-berita yang akan disampaikan oleh bumi.” (Sunan at-Tirmidz, hadits nomor 2616, dan Abu Isa mengomentari, “Ini hadits hasan gharib”).[1]
Oleh karenanya, Nabi menganjurkan kepada umatnya untuk memperbanyak saksi amal kebajikan selama di dunia, di mana saja. Baik berupa sujud, adzan, dzikir, ataupun aneka bentuk ibadah lainnya. Semakin banyak tempat yang dijadikan oleh seseorang dalam beramal shalih, maka sebanyak itu pula jengkal demi jengkal bumi bersaksi untuknya.
Tentang shalat di lain tempat misalnya, penulis `Aunu l-Ma`bud, menjelaskan ketika mengomentari kitab ash Shalât, bab al Imâm yatathawwu` fî makânihi. Katanya, “
“Hendaknya imam tidak shalat di tempat yang sudah ia tempati untuk shalat, sehingga ia berpindah” maksudnya, pergi dan berpindah dari tempat tersebut. Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang shalat disyariatkan untuk berpindah tempat dari tempat shalatnya, untuk setiap shalat nafilah yang ia mulai. Adapun untuk imam, maka (pensyariatannya) berdasarkan nash hadits, adapun untuk makmum dan munfarid (orang yang shalat sendirian) maka berdasarkan hadits Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Apakah salah seorang di antara kalian tidak mampu untuk maju atau mundur, bergeser ke kanan atau ke kiri?” Ini diqiyaskan dengan imam. Illah-nya, adalah untuk memperbanyak tempat-tempat ibadah sebagaimana yang dikatakan al Bukhari dan al Baghawi, karena tempat-tempat sujud kelak akan bersaksi sebagaimana firman Allah Ta`ala, “Yawmaidzin tuhadditsu akhbaraha”, yakni ia akan mengabarkan apa yang dikerjakan (manusia) di atasnya. Telah disebutkan bahwa tafsir firman Allah Ta`ala, “Fa ma bakat `alahihimus sama’u wa l-ardhu” adalah bahwa jika ada orang mukmin yang meninggal dunia, maka tempat shalatnya di bumi dan tempat amalnya di langit akan menangisinya. Jika dia tidak pindah, maka seyogyanyalah ia memutusnya dengan berbicara karena ada hadits yang melarang untuk menyambung shalat dengan shalat lain sehingga orang yang shalat berbicara atau keluar.” (Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Dawud).” [2]
Begitu pula dengan adzan. Orang yang mengumandangkan adzan mendapatkan kemuliaan yang berlimpah, karena semua yang mendengar suara adzannya, baik yang basah dan kering, kelak akan bersaksi untuknya.
عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِى عُثْمَانَ عَنْ أَبِى يَحْيَى عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ وَيَشْهَدُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ وَشَاهِدُ الصَّلاَةِ يُكْتَبُ لَهُ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ صَلاَةً وَيُكَفَّرُ عَنْهُ مَا بَيْنَهُمَا ».
قال الشيخ الألباني : حسن صحيح
Dari Musa bin Abu Utsman dari Abu Yahya dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Orang yang mengumandangkan adzan akan diampuni sepanjang suaranya, dan semua benda yang basah dan yang kering akan memberikan saksi untuknya, dan orang yang menyaksikan shalat akan ditulis baginya dua puluh lima kebaikan shalat, dan dosa antara apa yang ada di antara keduanya (adzan dan shalat) digugurkan.” (HR. Abu Dawud, hadits nomor 515, dan Syaikh al Albani menilai hadits ini sebagai hadits hasan shahih).[3]
Sedangkan di dalam Musnad Ahmad,
عَنْ عَبَّادِ بْنِ أُنَيْسٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ الْمُؤَذِّنَ يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ ، وَيُصَدِّقُهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ سَمِعَهُ ، وَلِلشَّاهِدِ عَلَيْهِ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ دَرَجَةً.
Dari Abbad bin Unais, dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Sesungguhnya orang yang mengumandangkan adzan akan diampuni sejauh suaranya, semua yang basah dan kering yang mendengarnya akan membenarkannya, dan orang yang menyaksikannya akan mendapatkan dua puluh lima derajat.” (HR. Ahmad, hadits nomor 7600).[4]
Bahkan tidak hanya itu, di dalam al Mu`jam al Kabîr, Imam ath Thabrani mencantumkan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa mu’adzin mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang shalat bersamanya.
عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ، وَأَجْرُهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ صَلَّى مَعَهُ .
Dari Qasim dari Abu Umamah, Rasulullah bersabda, “Seorang mu’adzin akan diampuni sejauh suaranya, dan pahalanya sama dengan pahala orang yang shalat bersamanya.” (ath Thabrani, hadits nomor 7869)[5].
Al Khatthabi berkata, “Sejauhnya sesuatu berarti puncaknya, maknanya, ia akan mendapatkan kesempurnaan ampunan Allah jika dia bisa memenuhi keluasan dalam mengangkat suara, maka puncak ampunan akan didapat dengan puncak suara. Al Hafizh al Mundziri berkata, “Ini dikuatkan dengan riwayat, “Ia diampuni sejauh suaranya.”[6]
Keutamaan adzan ini tidak hanya berlaku untuk orang yang mengumandangkan adzan di perkotaan dan pedesaan, tetapi juga ketika berada di pedalaman di mana tidak ada orang lain selain dia, dan tidak ada seorang jama`ah pun yang shalat bersamanya.
Di dalam shahih Ibnu Huzaimah, penulisnya menjelaskan, “Bab adzan dalam safar, sekalipun sendiri dan tidak ada jama`ah, dan tidak ada seorang pun demi mendapatkan keutamaan adzan, berbeda dengan orang yang ditanya tentang adzan dalam safar lalu ia berkata, “Untuk siapa dia mengumandangkan adzan? Sehingga ia ragu bahwa adzan hanya dikumandangkan bagi komunitas manusia untuk shalat jama`ah. Adzan, sekalipun secara umum, dimaksudkan agar manusia berkumpul untuk shalat berjamaah, maka (dalam safar) ia pun boleh mengumandangkan adzan untuk mencari keutamaan adzan. Tidakkah Anda melihat Nabi memerintahkan Malik bin Huwairits dan keponakannya untuk adzan dan iqamah ketika mereka safar, dan yang lebih tua mengimami yang lebih muda, dan tidak ada jama`ah yang berkumpul karena adzan dan iqamah keduanya. Abu Bakar berkata, “Dalam kabar Abu Sa`id, “Jika kamu berada di pedalaman, maka tinggikanlah suaramu dalam memanggil (baca :adzan), karena aku mendengar Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada pohon, tanah liat, batu, jin dan manusia kecuali akan bersaksi untuknya.” Maka orang mukmin yang berada di pedalaman, sekalipun sendirian, lalu ia mengumandangkan adzan untuk mencari keutamaan ini maka itu lebih baik, lebih bagus dan lebih utama dari pada shalat tanpa adzan dan iqamah. Begitu juga, Nabi telah memberitahukan bahwa mu’adzin akan diampuni sejauh suaranya, dan semua yang basah dan kering akan bersaksi untuknya. Dan mu’adzin di dalam kedalaman dan safar, sekalipun tidak ada yang shalat berjama`ah bersamanya, maka ia mendapatkan fadhilah adzan untuk shalat, karena Nabi tidak menghususkan bagi mu’adzin di perkotaan dan pedesaan, bukan dalam safar dan pedalaman, dan beliau juga tidak menghususkan bagi mu’adzin yang mengumandangkan adzan agar manusia berkumpul untuk shalat jama’ah, bukan mu’adzin untuk shalat sendirian.” [7]
Oleh karenanya, jin lari terbirit-birit ketika adzan berkumandang sejarak 30 mil agar tidak mendengar suara adzan sehingga mereka tidak bersaksi untuk si mu’adzin.
عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ ، عَنْ جَابِرٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا نَادَى الْمُنَادِي بِالصَّلاةِ ، هَرَبَ الشَّيْطَانُ حَتَّى يَكُونَ بِالرَّوْحَاءِ ، قَالَ : وَهِيَ ثَلاثُونَ مِيلا مِنَ الْمَدِينَةِ هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ ، أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari A`masy, dari Abu Sufyan dari Jabir, Rasulullah bersabda, “Apabila seorang mu’adzin menyeru untuk shalat, maka syetan akan lari hingga Rauha’, beliau melanjutkan, “Ia berjarak 30 mil dari Madinah.” Ini hadits shahih yang dikeluarkan oleh Imam Muslim.[8]
Termasuk amalan yang disaksikan adalah berdzikir kepada Allah, di manapun manusia berpijak. Bahkan, gunung-gunung pun, sebagaimana yang ditulis Ibnul Qoyyim dalam al-Wabil as-Shayyib, akan mempersaksikan dan berbahagia manakala mendapati para pendaki yang berjalan sembari berdzikir. Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Sesungguhnya gunung akan memanggil sebagian gunung yang lain dengan namanya dan bertanya, “Apakah hari ini telah lewat orang yang berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla?” ketika dijawab, “Ya, ada.” Maka gunung tadi bergembira.
Mujahid juga mengatakan, “Sesungguhnya gunung-gunung akan menyeru gunung yang lain dengan namanya, “Wahai fulan, apakah pada hari ini telah lewat orang yang selal berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla?” Maka sebagian menjawab tidak dan sebagian yang lain menjawab ya.
Ini semua adalah karunia Allah kepada orang-orang beriman, agar mereka bertambah yakin dengan keadilan Allah yang maha sempurna, di mana tidak ada amal secuil pun kecuali akan dibalas sempurna oleh-Nya, di dunia dan di akherat karena bumi lah yang kelak akan memberi saksi.
Ketika seorang mukmin menangis karena Allah di kegelapan malam yang pekat, dan tidak ada seorang pun yang melihatnya, ia sadar bahwa tanah yang terbasahi oleh air matanya kelak akan bersaksi. Ketika seorang mukmin membaca al Qur’an di dalam rumah sendirian, maka lantai rumahnya kelak akan bersaksi. Ketika seorang mukmin bersedekah kepada orang miskin tanpa terlihat seorang pun, ia akan teringat bahwa bumi yang ia pijak kelak akan bersaksi. Inilah yang membuat mereka termotifasi beramal shaleh sebanyak-banyaknya sekalipun tidak ada manusia pun yang melihatnya, meski tidak ada seorang pun yang memujinya, karena setiap jengkal bumi itu akan memberikan saksi, saksi atas sejarah kebaikan yang ia terohkan di atas muka bumi ini.
Maka betapa indahnya pesan Atha’ al Khurasani, “Tidaklah seorang hamba bersujud kepada Allah dengan satu kali sujud di suatu tempat di muka bumi kecuali pada hari kiamat nanti ia akan bersaksi, dan menangis pada hari kematiannya.”
https://merangue.com/r4oc4kpw Bumi, dan langit pun menangis
https://eloquentgushing.com/10qnrzoii5v Allah berfirman,
فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ وَمَا كَانُوا مُنْظَرِينَ
“Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi tangguh.” (ad Dukhan : 29).
Ayat ini sebenarnya berbicara tentang orang-orang kafir, yaitu Fir`aun dan bala tentaranya yang ditenggelamkan oleh Allah, dan kematian mereka tidak ditangisi oleh langit dan bumi. Kenapa? Karena, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir di dalam Tafsiru l-Qur’âni l-`Âzhîm, “Mereka tidak memiliki amalan-amalan shalih yang naik ke pintu-pintu langit lalu ia menangis karena kehilangan mereka, dan mereka juga tidak punya tempat-tempat untuk beribadah kepada Allah di bumi lalu ia menangis karena kehilangan mereka.” [9]
Sungguh, seandainya orang-orang kafir memahami kandungan isi dari ayat ini, mereka akan tahu betapa hinanya mereka di sisi Allah. Sayyid Quthb dalam karya monumentalnya, “Fi Zhilal al Qur’an” menjelaskan ayat, “Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi tangguh.” (ad Dukhan : 29) ini. Katanya, “Ia adalah ungkapan yang mengandung naungan kehinaan sebagaimana naungan hati yang kering…, para thaghut yang melampaui batas itu tidak pernah dirasakan kehadirannya oleh seorang pun di langit dan di bumi, dan tidak ada seorang pun yang iba kepada mereka di langit dan di bumi, mereka pergi ibarat perginya sesemutan, mereka adalah para diktator di muka bumi yang menginjak manusia dengan sandal-sandal, dan berlalu pergi tanpa ada yang merasa iba kepada mereka, alam ini membenci mereka karena mereka terpisah dari alam ini, alam ini mengimani Rabbnya sedangkan mereka kafir kepada-Nya. Mereka adalah arwah-arwah yang buruk lagi jelek yang hidup di alam ini.”
“Seandainya mereka, para dictator (baca : orang-orang kafir), di bumi ini merasakan kandungan isi kalimat-kalimat ini” lanjut Sayyid Quthb “pasti mereka akan tahu betapa hinanya mereka di sisi Allah, dan di atas alam ini seluruhnya, dan mereka pasti akan tahu bahwa mereka hidup di alam di mana hubungan persahabatan alam ini telah terputus, dan hubungan iman mereka juga.”[10]
Berbeda dengan orang mukmin, ia bukanlah manusia biasa karena mereka adalah manusia pilihan Allah yang dicintai-Nya, bahkan ketika meninggal dunia sendirian pun, tetap saja ada yang berbela sungkawa, ialah langit dan bumi, sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi,
عن صفوان بن عمرو، عن شريح بن عبيد الحضرمي، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:”إنَّ الإسْلامَ بَدَأ غَرِيبا وَسَيَعُودُ غَرِيبا، ألا لا غُرْبَةَ عَلى المُؤْمِن، ما ماتَ مُؤْمِنٌ فِي غُرْبَةٍ غَابَتْ عَنْهُ فِيهَا بَوَاكِيهِ إلا بَكَتْ عَلَيْهِ السَّماءُ والأرْضُ”، ثم قرأ رسول الله صلى الله عليه وسلم( فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالأرْضُ )، ثم قال:”إنَّهُما لا يَبْكِيانِ على الكافر”.
Dari Shafwan bin Amru, dari Syuraih bin Ubaid al Hadhrami, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan terasing, dan akan kembali terasing, ketahuilah tidak ada istilah keterasingan bagi seorang Mukmin, tidak ada seorang Mukmin yang meninggal dunia di pengasingan, dimana dia terasing dari orang-orang yang dicintainya melainkan ia akan ditangisi oleh langit dan bumi.” Kemudian beliau membaca ayat, (yang artinya) : “Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi tangguh.” lalu bersabda, “Sungguh keduanya tidak menangisi orang kafir.”[11] (HR. Ibnu Abid Dunya).
Inilah salah satu keajaiban yang hanya dimiliki oleh orang-orang mukmin; sebuah kelebihan yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Bumi, dan langit akan menangisi orang mukmin yang meninggal dunia karena keduanya merasa kehilangan dengan shalat, dzikir, adzan, tilawah, sedekah, dan berbagai jenis ibadah lain yang semenjak di dunia dilakukannya. Keduanya merindukan kalimat-kalimat Allah dilantunkan oleh mereka, karena keduanya merasakan ketentraman, ketenangan, kenikmatan yang tak terlukiskan, sebagaimana halnya yang dirasakan oleh ikan hiu yang menelan Nabi Yunus. Ikan hiu itu, dan juga hewan yang berada di sekelilingnya di dalam lautan merasakan ketenangan atas setiap ucap tasbih yang dilantunkan oleh Nabi Yunus. Maka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hasan al Bashri, ketika Allah memerintahkan kepada ikan hiu itu untuk memuntahkan Nabi Yunus ke tempat di mana ia memakannya, ikan hiu itu merintih dan berkata,
Ordering Xanax From Mexico “Wahai Rabbku, aku dan seluruh binatang lautan merasa damai di laut karena tasbih hamba-Mu, dan Engkau adalah Dzat yang paling suci baginya. Engkau telah menjadikanku tempatnya shalat dan tempatnya menyucikan-Mu sehinga aku dan air di sekitarku ikut menyucikan-Mu. Apakah Engkau akan mengeluarkannya dariku sesudah aku merasakan kedamaian karena kehadirannya?”
Lalu Allah berfirman, “Aku telah memaafkan kesalahannya, dan merahmatinya. Maka muntahkanlah dia!”
Hiu itu membawanya ke daerah tempat ia menelannya di tepi sungai Tigris. Jibril mendekatinya, dan mendekatkan mulutnya kepadanya, “Assalamu `alaika, Yunus, Allah titip salam untukmu.” Sapa Jibril.
“Selamat datang, wahai suara yang sebelum ini aku khawatirkan tidak akan pernah lagi aku dengar untuk selama-lamanya. Selamat datang, wahai suara yang sebelum ini aku harapkan dekat dengan Tuhanku!” jawab Yunus.
Jibril memerintahkan hiu memuntahkan Yunus. Hiu memuntahkannya dalam sosok laksana seekor anak burung gundul yang berguguran bulunya. Lalu, Jibril pun langsung memeluknya.
Kemudian, di tempat Yunus dimuntahkan, Allah menumbuhkan sebatang pohon labu yang berdaun rindang, dan bisa dijadikan tempat bernaung. Pohon tersebut diperintah menyusui Yunus melalui dahan-dahannya, dan Yunus pun menyusu padanya seperti seorang bayi menyusu pada ibunya. [12]
Begitu pula halnya bumi dan langit, keduanya menangis karena kehilangan tasbih, sujud, dan ibadah orang-orang mukmin tatkala mereka meninggal dunia. Benarkah keduanya bisa menangis? Pertanyaan ini dijawab oleh Ibnu Abbas, Shahabat yang pernah didoakan secara khusus oleh Nabi, “Allâhumma faqqihhu fi d-dîn wa `allimhu t-ta’wîl, ya Allah, pahamkanlah ia dalam urusan dien, dan ajarkanlah takwil kepadanya.”
Diriwayatkan dari Sa`id bin Jubair, ada yang bertanya kepada Ibnu Abbas, “Wahai Ibnu Abbas, apakah engkau mengetahui firman Allah, “Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi tangguh.” (QS. Ad Dukhan : 29), apakah langit dan bumi bisa menangisi seseorang?”
Ibnu Abbas menjawab, “Benar, sesungguhnya setiap orang memiliki pintu di langit di mana rizkinya diturunkan dan amal kebaikannya dinaikkan. Jika seorang Mukmin meninggal dunia, tertutuplah pintu itu dan langit menangis karena kehilangan dirinya. Demikian halnya demi bumi, tempat shalat yang dulu dipergunakan dia untuk shalat dan berdzikir, juga menangisinya. Sedangkan kaumnya Fir`aun tidak memiliki bekas-bekas kebaikan di bumi, dan juga tidak ada kebaikan yang naik ke langit, pun, maka langit dan bumi tidak menangisi mereka.”[13]
Pendapat serupa juga disebutkan oleh Ali Radhiyallahu `Anhu yang berkata, “Sesungguhnya jika orang mukmin meninggal, tempat shalatnya di bumi, dan tempat naiknya amal di langit akan menangisinya”, kemudian beliau membaca ayat, “Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi tangguh.” (QS. Ad Dukhan : 29). [14]
Sa`id bin Jubair berkata, “Sesungguhnya tempat-tempat di bumi di mana amal seorang mukmin naik ke langit akan menangis setelah kematiannya (orang mukmin).”[15]
Qatadah juga berkata, “Tempat orang mukmin yang pernah dijadikan tempat shalat di bumi akan menangisinya ketika ia meninggal dunia, begitu pula tempatnya yang menjadi tempat amalnya naik, juga ikut menangisinya.”[16]
Imam al Qurthubi pun menyebutkan pendapat Mujahid. Katanya, “Sesungguhnya langit dan bumi akan menangisi kematian orang mukmin selama 40 hari.” Lalu Abu Yahya terheran-heran dengan perkataannya, kemudian ia berkata, “Apakah kamu terheran? Mengapa bumi tidak menangisi seorang hamba yang memakmurkannya dengan ruku’ dan sujud, dan mengapa pula langit tidak menangisi seorang hamba yang memiliki tasbih dan takbir yang berdengung sebagai dengungan lebah?”[17]
Maka, Imam al Qurthubi dalam al Jâmi` li Ahkami l-Qur’an pun menyimpulkan, “Jika langit dan bumi bisa bertasbih, mendengar dan berbicara –sebagaimana tersebut dalam surat “Subhana, Maryam, Hamim dan Fushilat, “ maka ia pun bisa menangis.[18]
Maka, sebagai penutup kata, cukuplah bagi kita apa yang dinasehatkan oleh Atha’ al Khurasani yang merupakan intisari dari ayat-ayat al Qur’an,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً فِيْ بُقْعَةٍ مِنْ بُقَاعِ الْأَرْضِ إِلَّا شَهِدَتْ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَبَكَتْ عَلَيْهِ يَوْمَ يَمُوْتُ.
Atha’ al Khurasni pernah berkata, https://foster2forever.com/2024/08/5o83dqzsw.html “Tidaklah seorang hamba bersujud kepada Allah dengan satu kali sujud di suatu tempat di muka bumi kecuali pada hari kiamat nanti ia akan bersaksi, dan menangis pada hari kematiannya.” [19]
Akhukum fillah, Ibnu Abdul Bari el `Afifi, admin www.oaseimani.com
[1] . Sunan at Tirmidzi, (IX/288), Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin adh Dhahak at Tirmidzi Abu Isa, sumber : http://www.islamic-council.com, Maktabah Syamilah.
[2] . `Aunu l-Ma`bud, (II/134) sumber : http://www.al-islam.com, Maktabah Syamilah.
[3] . Sunan Abi Dawud, (I/197), Sulaiman bin Asy`ats Abu Dawud as Sajastani al Azdi, Muhaqqiq : Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daru l-Fikr, Maktabah Syamilah.
[4] . Musnad Ahmad bin Hanbal, (II/266) Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy Syaibani (w. 241 H), Muhaqqiq : Sayyid Abu l-Ma`athi an Nuri, Cet. I, 1419 H/1998 M, `Alamu l-Kutub, Beirut, Maktabah Syamilah.
[5] . al Mu`jam al Kabir li th-Thabrani, (VII/276), sumber : http://www.ahlalhdeeth.com, Maktabah Syamilah.
[6] . Ittihafu l-Khairah al Mahrah bi Zawa’idi l-Masanidi l-Asyrah, (I/133), Ahmad bin Abu Bakar bin Isma’il al Bushairi, Maktabah Syamilah.
[7] . Shahih Ibn Khuzaimah, (II/190), sumber : http://www.alsunnah.com, Maktabah Syamilah.
[8] . Syarhu s-Sunnah, (I/108), al Baghawi, Maktabah Syamilah.
[9] . Tafsiru l-Qur’ani l-`Azhim, Abu l-Fida’ Isma`il bin `Umar bin Katsir al Qurasyi ad Dimasyqi (700-774 H), Muhaqqiq : Sami bin Muhammad Salamah, Cet. II, 1420 H/1999 M, Dar Thayyibah, Juz VII, hlm. 253, Maktabah Syamilah.
[10] . Fi Zhilali l-Qur’an, Sayyid Quthb, sumber : www.altafsir.com, Juz VI, hlm. 390, Maktabah Syamilah.
[11] . Jami`u l-Bayan fi Ta’wili l-Qur’an, Muhammad bin Jarir ath Thabari, Muhaqqqiq : Ahmad Muhammad Syakir, Cet. 1, 14420 H/2000 M, Muassasah ar Risalah, Juz XXII, hlm. 35, Maktabah Syamilah, dan . ad Durru l-Mantsur fi t-Ta’wil bi l-Ma’tsur, Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin as Suyuthi, sumber : www.altafsir.com, Juz IX, hlm. 124, Maktabah Syamilah.
[12] . at Ta’ibuna ilallah, Ibrahim bin Abdillah al Hazimi, terj. Izinkah aku menangis di depanmu, Rabb!, Indiva Pustaka, Surakarta, hlm. 27.
[13] . Jami`u l-Bayan fi Ta’wili l-Qur’an, Muhammad bin Jarir ath Thabari, Muhaqqqiq : Ahmad Muhammad Syakir, Cet. 1, 14420 H/2000 M, Muassasah ar Risalah, Juz XXII, hlm. 34 dan 36, Maktabah Syamilah, Tafsiru l-Qur’ani l-`Azhim, Abu l-Fida’ Isma`il bin `Umar bin Katsir al Qurasyi ad Dimasyqi (700-774 H), Muhaqqiq : Sami bin Muhammad Salamah, Cet. II, 1420 H/1999 M, Dar Thayyibah, Juz VII, hlm. 254, Maktabah Syamilah.
[14] . ad Durru l-Mantsur fi t-Ta’wil bi l-Ma’tsur, Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin as Suyuthi, sumber : www.altafsir.com, Juz IX, hlm. 124, Maktabah Syamilah.
[15] . Jami`u l-Bayan fi Ta’wili l-Qur’an, Muhammad bin Jarir ath Thabari, Muhaqqqiq : Ahmad Muhammad Syakir, Cet. 1, 14420 H/2000 M, Muassasah ar Risalah, Juz XXII, hlm. 34, Maktabah Syamilah,
[16] . Ibid, hlm. 35.
[17] . Tafsir al Qurthubi, sumber : mawqi` ya`sub, Juz XVI, hlm. 139, Maktabah Syamilah.
[18] . Ibid.
[19] . Shifatus Shafwah : IV/152, dan Hilyatu l-Auliya’ wa Thabaqatu l-Ashfiya’, Abu Nu`aim Ahmad bin Abdillah al Ashbahani, Cet. IV, 1405, Daru l-Kitab al `Arabi-Beirut, Juz 5, hlm. 197, Maktabah Syamilah.