Buy Real Xanax Bars Online Wanita Manakah yang Bisa Menandingi?
“faZainabu syamsun wan nisâ’u kawâkibu.” Syuraih Al-Qadhi.
https://udaan.org/8h0z6qn9.php Istri shalihah adalah perhiasan dunia terindah; ia senatiasa menaati suami dalam kebaikan, menjaga harta suami, menjaga kehormatannya, mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya, dan selalu berperilaku baik kepada suami.
https://www.psicologialaboral.net/2024/08/07/9ndxn9t3ghk
Ini adalah kisah nyata, pernah ada dalam sejarah manusia. Seorang istri shalihah yang mampu menaati suaminya, hingga sang suami tidak pernah memarahinya. Bahkan dalam hidup berumah tangga selama dua puluh tahun, mereka tidak pernah bertengkar. Memang pernah terjadi sekali, tetapi itupun yang salah adalah si suami. Perkenalkan, nama wanita itu adalah Zainab bin Jarir, istri dari Syuraih yang keadilannya sebagai seorang hakim sudah dimaklumi bersama.
https://merangue.com/2j916aau Kisah suami-istri ini diabadikan oleh Ibnu Abdi Rabbih dalam Al-Iqdul Farîd (7/100-102) dan Al-Absyihi dalam Al-Mustathraf (2/480). Berikut ini adalah kisahnya:
https://sugandhmalhotra.com/2024/08/07/2kohp54
Dari Asy-Sya’bi, ia berkata, “Syuraih pernah bertemu denganku, dan ia berpesan, ‘Wahai Sya’bi, pilihlah wanita Bani Tamim. Karena aku melihat mereka adalah wanita-wanita cerdas.
https://eloquentgushing.com/uvaas1fx
Argentina Xanax Online Asy-Sya’bi bertanya, “Menurutmu, apa bukti kecerdasan mereka?”
https://transculturalexchange.org/k4905gb
Syuraih menjawab, “Waktu itu, aku selesai menguburkan jenazah pada waktu Dhuhur. Lalu aku melewati rumah-rumah mereka. Ternyata ada seorang wanita tua di depan pintu rumah, sedangkan di sampingnya ada gadis yang cantik jelita. Aku pun meminta minum, padahal sebenarnya aku tidak haus.
Wanita tua itu berkata, “Minuman apa yang paling kamu sukai?”
“Seadanya.” Jawabku.
“Wahai gadis, berikan ia susu! Karena aku mengira bahwa orang ini adalah lelaki asing.”
Aku pun bertanya kepada wanita tua itu, “Siapakah gadis itu?”
“Dia adalah Zainab binti Jarir, salah satu wanita Bani Hanzhalah.”
“Kosong atau berisi –maksudnya sudah bersuami atau belum?.”
“Kosong –belum bersuami.”
“Nikahkanlah gadis itu denganku.”
“Asal engkau sekufu dengannya.”
Aku pun pulang ke rumah, untuk beristirahat siang. Tetapi aku tidak bisa tidur. Ketika selesai shalat Dhuhur, aku mengajak beberapa saudara-saudaraku dari kalangan Qari’ yang paling mulia; Alqamah, Al-Aswad, Al-Musayyib dan Musa bin Urfuthah. Lalu aku mendatangi paman gadis tersebut.
Ketika sudah tiba, ia berkata, “Wahai Abu Umayyah, apa keperluanmu?”
Aku menajwab, “Zainab putri saudaramu.”
Ia menjawab, “Dia tidak akan menolakmu.” Lalu dia menikahkan gadis tersebut denganku.
Tetapi ketika sudah tiba di rumah, aku menyesal. Aku berkata dalam hati, “Apa yang akan kamu perbuat dengan wanita Bani Tamim?” Aku teringat dengan kerasnya tabiat dari orang-orang Bani Tamim. Aku berkata dalam hati, ‘Aku akan menalaknya.’ tapi bisikan itu aku jawab sendiri, ‘Tidak, aku harus berkumpul dengannya terlebih dahulu. Jika baik, maka aku tidak aku talak, tetapi jika sebaliknya, maka akan aku talak.’
Syuraih melanjutkan, “Seandainya engkau melihatku wahai Sya’bi. Pada saat itu, kaum wanita menyerahkan istriku kepadaku, hingga masuk bertemu denganku. Lalu aku berkata –dalam hati, “Di antara sunah Nabi adalah apabila seorang wanita sudah masuk menemui suaminya, maka ia harus shalat dua rekaat dan berdoa kepada Allah memohon kebaikan istrinya, dan berlindung dari keburukan istrinya. Maka aku pun shalat. Ternyata ia juga shalat di belakangku. Ketika shalat sudah selesai, para tetangganya datang. Lalu mereka mengambil pakaianku dan menggantinya dengan pakaian malam yang diwarnai celupan yang sangat indah.
Ketika rumah telah sepi, aku pun mendekati istriku dan mengulurkan kedua tanganku ke ubun-ubunnya. Istriku menjawab, “Pelan-pelan wahai Abu Umayyah, sebagaimana dirimu. Kemudian ia berkata, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya. Aku bershalawat kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya. Sesungguhnya aku adalah perempuan asing, tidak mengenal sedikitpun tentang akhlakmu, maka jelaskanlah kepadaku apa saja yang kamu suka sehingga aku bisa melakukannya, dan apa yang kau benci sehingga aku menghindarinya. Sesungguhnya di kalangan kaummu terdapat perempuan yang bisa kau nikahi, dan di kalangan kaumku juga demikian. Akan tetapi jika Allah menggariskan sebuah ketetapan, maka ketetapan itu pasti terjadi. Kini, engkau sudah memilikiku, maka lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah, ‘Setelah itu boleh ruju’ lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.’ (Al-Baqarah: 229). Inilah yang bisa aku sampaikan, dan aku memohon ampunan kepada Allah untukku dan juga untukmu.”
Syuraih pun melanjutkan, “Faakhrajatnî wallâhi yâ Sya’bî ilal khuthbati fî dzâlikal maudhi…., demi Allah, wahai Sya’bi, istriku telah memaksaku untuk berkhutbah pada tempat itu juga. Lalu aku katakan, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, aku memuji dan memohon pertolongan kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan keluarganya, wa ba’du: engkau benar-benar telah mengucapkan kata-kata yang apabila engkau dapat mewujudkannya, maka itu akan menjadi nasib baik bagimu, tapi jika engkau mengabaikannya, maka dapat menjadi bumerang bagimu. Aku suka begini dan tidak suka begitu. Kita sekarang telah menjadi satu kesatuan, karenanya janganlah meninggalkanku. Kebaikan apapun yang kau lihat, maka sebarkanlah dan keburukan apa saja yang kau lihat, maka tutupilah.” Ia juga mengatakan sesuatu yang tidak aku ingat.
Kemudian ia bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang kunjungan keluarga kita?”
Aku pun menjawab, “Aku tidak suka kalau kunjungan mereka membuatku bosan.”
“Kemudian, di antara tetangga-tetanggamu yang kamu sukai untuk bisa masuk kerumahmu siapa, sehingga aku bisa mengizinkannya masuk, dan siapa pula yang tidak kamu sukai sehingga aku merarangnya masuk?” katanya.
Aku pun menjawab, “Bani Fulan adalah kaum yang shalih, dan Bani Fulan adalah kaum yang jelek.”
Syuraih melanjutkan kisahnya, “Wahai Sya’bi, malam itu menjadi malam terindah. Ia tinggal bersamaku selama satu tahun, tapi aku tidak pernah melihat hal-hal yang tidak aku sukai. Pada penghujung tahun, biasanya aku pulang dari pengadilan, tiba-tiba ada wanita tua yang menyuruh dan melarang di dalam rumahku. Maka aku pun bertanya, “Siapa wanita ini?” Orang-orang menjawab, “Fulanah, ibu mertuamu.” Maka ia pun bahagia dengan kedatanganku.
Ketika aku duduk, wanita tua itu menghampiriku, lalu berkata, “Assalâmu ‘alaika yâ Abâ Umayyah….”
Akupun menjawab salamnya, “Wa’alaikis salâm, man anti…, siapa Anda?”
Ia menjawab, “Aku adalah Fulanah, ibu mertuamu.”
“Semoga Allah memberikan kedekatan-Nya kepadamu.” Kataku.
Ia pun bertanya, “Kaifa ra’aita zaujataka…, menurutmu, bagaimana istrimu?”
Aku menjawab, “Khairu zaujatin…., dia adalah sebaik-baik istri.”
Ia pun kemudian menasehati, “Wahai Abu Umayyah, sesungguhnya wanita itu bernasib baik dalam dua keadaan; jika ia melahirkan anak lelaki atau mendapatkan martabat di mata suaminya. Jika kamu diliputi keraguan, maka hendaklah engkau mengambil cemeti. Demi Allah, bagi para suami, tidak ada yang lebih buruk selain jika di dalam rumahnya ada istri yang senang mencari perhatian laki-laki lain.”
Setelah mendengar nasehatnya, aku kemudian berkata, “Demi Allah, ini semua berkat didikan dan bimbingan ibu.”
Kemudian ia bertanya, “Apakah kamu suka bila dikunjungi oleh mertuamu?”
Aku pun menjawab, “Kapanpun mereka mau.”
Syuraih melanjutkan, “Ibu mertuaku mengunjungiku pada tiap akhir tahun. Ia menasehati pesan yang sama. Lalu istriku tinggal bersamaku selama dua puluh tahun, tetapi eslama itu pula, aku tidak pernah mencelanya, kecuali hanya sekali. Itupun aku-lah yang menzhaliminya (baca: yang salah). Waktu itu, setelah aku shalat sunah dua rekaat Fajar, si muadzin sedang mengumandangkan iqamat, sementara aku menjadi imam. Tiba-tiba ada kalajengking yang merayap. Maka aku pun mengambil bejana lalu menutupkan ke kalajengking tersebut. Kemudian aku berpesan, “Wahai Zainab, jangan kau geser bejana itu hingga aku datang.”
Syuraih pun melanjutkan, “Wahai Sya’bi, seandainya engkau menyaksikanku. Tatkala aku selesai shalat, dan kembali ke rumah, ternyata kalajengking itu menyengat istriku. Aku pun segera mengambil kaleng dan garam. Aku pun langsung menenggelamkan jemarinya, dan membacakan surat Al-Fatihah dan Al-Mu’awwidzatain.
Aku punya tetangga dari Kindah. Ia memukul istrinya, maka aku katakan,
Raaitu rijâlan yadhribûna nisâ’ahum
Fasyallat yamînî hîna adhribu Zainaba
Aadhribuhâ fi ghairi dzanbin atat bihi
Famal ‘adlu minnî dharbu man laisa mudzniba
faZainabu syamsun wan nisâ’u kawâkibu
idza thala’at lâ tabdu minhunna kaukaba
kulihat banyak lelaki yang memukul istrinya,
sementara tanganku lumpuh ketika ingin memukul Zainab
apakah aku akan memukulnya lantaran salah yang tidak ia perbuat?
Tidak adil jika aku memukul orang tak bersalah
Zainab adalah matahari sementara para wanita adalah bebintangan
Jika matahari sudah terbit, maka tiada satu bintang pun yang kelihatan.
Kisah ini selesai di sini.
Sungguh, istri Syuraih Al-Qadhi menjadi teladan bagi wanita muslimah, dulu dan kini. Sekarang, siapakah yang bisa menandingi keshalihannya dalam berbakti kepada suami?
Sepenuh cinta,
Akhukum fillah, Ibnu Abdil Bari; penulis buku Balada Cinta Penemu Kalung Permata.
Leave a Reply