Manusia hanya bisa berencana, selanjutnya keputusan tetap ada di tangan Allah Yang Maha Tahu apa pun yang terbaik bagi hamba-Nya. Setidaknya itulah hikmah yang dapat kami petik dari perjalanan keluarga kami.
Tujuh tahun yang lalu, pertama kali kami datang ke desa ini, waktu itu kami hanya berdua, masih pengantin baru. Masih sangat jelas dalam ingatan, bagaimana para tetangga menyambut kami dengan “lirikan” yang sangat sulit untuk diterjemahkan. Tapi sekilas kami tahu, mereka “melirik” jilbab lebar nan gelap yang kupakai.
Hari berlalu, kami yang sama-sama berasal dari kota, sempat merasa kaget tiba-tiba harus tinggal di desa yang jauh dari keramaian dan fasilitas umum. Apalagi menyadari betapa kritisnya masyarakat desa menilai setiap tindak-tanduk kami. Pemahaman yang berbeda membuat kami sering merasa tidak cocok dengan budaya yang berkembang di desa yang tenang ini.
Satu hal yang kami syukuri, hampir seluruh warga desa ini beragama Islam. Melihat kebaikan hati mereka, kami yakin suatu saat nanti desa ini bisa berubah menjadi desa yang masyarakatnya mengamalkan ajaran Islam secara kaffah.
Di desa ini, sejak tujuh tahun yang lalu, kami merasakan keindahan hidup bertetangga bersama saudara-saudara seiman yang dipenuhi ketulusan dan tanpa pamrih. Apalagi sejak kelahiran anak pertama kami, rasanya dia benar-benar anak yang membawa rizqi.
Kalau ada wanita hamil yang mendapatkan perawatan penuh dari mulai kontrol perkembangan keadaan kandungan, vitamin dan obat-obatan yang diperlukan bila ada keluhan, sampai asupan gizi dan makanan yang masuk, saya adalah wanita beruntung itu. Dan bidan baik yang menangani saya selalu menjawab dengan nada bercanda, “Bayarnya nanti aja kalau sudah punya uang sepuluh juta…” setiap kami tanya berapa yang harus kami bayar untuk jasanya memeriksa kandungan saya atau untuk obat-obatan yang sudah diberinya.
Bukan itu saja, sering beliau membuatkan makanan penuh gizi yang kemudian diantarkannya ke rumah kami dengan pesan, “Dimakan ya, dihabiskan, biar cucuku nanti sehat!” Subhanallah, beliau menganggap bayi yang ada dalam kandungan saya cucunya.
Bahkan ketika akhirnya anak kami lahir di rumahnya, beliau menjawab dengan jawaban yang sama seperti yang selalu beliau ucapkan waktu kami bertanya tentang uang yang harus kami keluarkan. Pun saat bayi kami berumur tujuh hari, beliau bersama suaminya mengumpulkan anak-anaknya beserta keluarga besarnya untuk bersama-sama mengadakan aqiqoh untuk anak kami yang akhirnya terselenggara dengan sangat meriah. Kami yang saat itu memiliki dana yang terbatas, sungguh tak menyangka kalau akhirnya acara berlangsung besar-besaran. Dan nama anak pertama kami, adalah pemberian beliau berdua, bu bidan yang baik hati dan suaminya.
Pun setelah itu, selama tujuh tahun kami hidup di desa ini, bila ada anggota keluarga kami yang sakit, beliau selalu siap turun tangan. Ya Allah, terima kasih telah Kau kirim kepada kami orang sebaik beliau, yang selalu siap mengulurkan tangan bila kami sakit layaknya kami ini adalah anaknya, juga merawat dengan sepenuh hati anak kami bila dia sakit seperti merawat cucunya sendiri. Hanya Engkau yang bisa membalas segala kebaikannya.
Di desa ini juga, anak-anak kami memiliki seorang tetangga yang mereka panggil dengan sebutan “Mbah Putri” yang karena ketulusan hatinya anak-anak kami bisa begitu dekat dengan beliau hingga mendoakan beliau setiap selesai sholat menjadi wajib bagi mereka. Kalau ada rumah yang bisa membuat mereka sangat betah berlama-lama selain rumah mereka sendiri, itu adalah rumah beliau. Beliaulah yang selalu berpesan kepada kami, “Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Kan ada ibumu ini…”
Pun di desa ini juga, keluarga kecil kami yang setiap hari harus berhemat karena terbatasnya anggaran belanja, hampir selalu bisa menikmati menu-menu kegemaran kami. Kalau ada orang yang belanja kebutuhan memasak kemudian ketika akan membayar, sang penjual mengatakan, “Udah uangnya dibawa saja! Saya titip buat jajan anak-anak ya !”, sayalah pembeli yang sering membawa kembali pulang uang yang sedianya akan saya gunakan untuk membayar belanjaan saya. Alhamdulillah ya Allah.
Dan di desa ini juga, kami bertemu dengan seorang tetangga yang selalu siap membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga kami yang ketika kami mengulurkan uang sebagai balas jasa atas pekerjaan yang telah dia bantu, dia akan mengatakan, “Udah, gampang, lain kali saja, buat kebutuhan yang lain saja dulu. Hanya ini yang bisa saya lakukan, saya minta maaf kalau nggak bisa bantu apa-apa.” .
Ada juga seorang sahabat, yang bila mendapatkan rizqi lebih, dia akan membagi dua, satu bagian untuk keluarganya sendiri dan satu bagian lagi yang sama besar untuk keluarga kami. Ya Allah, begitu banyak manusia berhati malaikat yang kami temui di desa ini…
Namun, ada pertemuan, ada perpisahan. Tujuh tahun kami menikmati keindahan hidup bertetangga di desa yang dulu kami tidak pernah membayangkan akan selama ini kami tinggal disini, akhirnya tibalah saatnya kami mengambil keputusan berat yang mau tidak mau harus kami ambil, yaitu ketika dua buah hati kami harus masuk sekolah secara bersamaan dan membutuhkan banyak biaya.
Ada sebuah dilema yang sangat menyiksa hati kami selama ini. Dilema yang kami yakin pernah dialami oleh orang-orang yang bergerak di jalan dakwah seperti kami. Kebutuhan keluarga yang terus menanjak naik seiring bertambahnya jumlah anggota keluarga kami, sementara waktu yang terlanjur tersita untuk kegiatan belajar dan mengajarkan ilmu dien kepada muta’alim, membuat kami merasa sering tidak bisa menjaga keikhlasan. Astaghfirullahal ‘Azhim, aku memohon ampunanmu ya Allah….,
Mana yang akan kita pilih, ketika suatu saat kita dihadapkan kepada pilihan mengajarkan ilmu di “lahan basah” dan “lahan kering”, sementara di rumah, keluarga kita membutuhkan nafaqoh?
Sungguh, sangat berat bagi kami meninggalkan sebuah desa dimana disinilah kami menemukan orangtua baru, sebagai pengganti orangtua kami yang jauh. Sungguh, sangat berat bagi kami meninggalkan sebuah desa tempat dimana anak-anak kami dilahirkan dan tumbuh di usia emasnya, belajar untuk menjadi hamba-hamba Allah yang hanif dan tulus dari teman-teman mereka dan orang-orang di desa ini.
Ya Allah, karena keyakinan yang Kau tanamkan di hati kami lah akhirnya kami mengambil keputusan yang sesungguhnya sangat berat, pindah. Kami yakin, lahan dakwah sangatlah luas, tidak hanya di desa kenangan kami. Jadikan kami manusia-manusia yang istiqomah menjaga hati dan kemauan untuk tetap berusaha berjalan di jalan-Mu di tempat baru kami nanti.
(Waru, selalu ada kerinduan setiap kali mengenangmu)
Ummu Rizki
~Tajribah ini sudah mendapat lisensi dari suami dan diterbitkan di majalah ar-Risalah~
Leave a Reply