Kultum Ramadhan
Jangan Lelah Berdoa
Abu Kayyisa Ulayya
Alhamdulillah, wash shalâtu was salâmu ‘ala Rasûlillah, wa ba’du :
Doa sangat ajaib. “Hal ini dapat dirasakan, dan sudah teruji kebenarannya.” Kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah “sebab, berapa banyak orang yang tertimpa musibah kemudian bermunajat kepada Allah dan meratap di hadapan-Nya, lalu Allah menganugerahkan kesembuhan. Berapa banyak orang yang dilanda kesusahan, kemudian ia mengangkat tangannya dengan penuh pengharapan, lalu Allah menghilangkan kesusahannya. Berapa banyak orang sakit yang para dokter bingung mendiagnosis penyakitnya, begitu pula obat-obat tradisional juga tidak mampu menyembuhkannya, namun kemudian ia berdoa kepada Allah dengan penuh khusyuk dan jiwa penuh harap, lalu Allah menyembuhkannya, dan menganugerahkan kesehatan kepadanya.”
Disebabkan oleh doa, Nabi Nuh beserta orang-orang yang beriman bersamanya diselamatkan oleh Allah, dan orang-orang kafir ditenggelamkan. (Al-Qamar : 9-16).
Dikarenakan doa, Nabi Yunus selamat dari perut ikan paus, setelah tiga malam berada dalam kegelapannya. (Al-Anbiya’ : 87-88).
Disebabkan doa jua, kesulitan dan penyakit yang menimpa Nabi Ayyub diangkat oleh Allah (Al-Anbiya’ : 83-84).
Dikarenakan doa juga, Nabi Musa diselamatkan oleh Allah dari Fir’aun dan bala tentaranya (Al-Qashash : 21).
Yang jelas, doa adalah pangkal dari segala kebaikan dan penangkal segala keburukan, doa juga menjadi sebab diturunkannya rahmat, diangkatnya segala kesulitan, serta pintu gerbang kemenangan dan kejayaan. Doa juga merupakan obat, dan anak panah yang tepat sasaran. Dengan doa, seorang hamba bisa meraih kenikmatan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, barangsiapa yang diberi taufik oleh Allah untuk banyak berdoa serta selalu melantunkannya dan menjaga adab-adabnya, maka bergembiralah dengan dekatnya jawaban, dan akan datangnya kelapangan.
Inilah Umar bin Khattab. Amirul Mukminin yang pertama ini pernah mengatakan, “Aku tidak peduli dengan pengabulan doa. Karena ketika aku diberi ilham untuk berdoa, maka pengabulan akan selalu membersamainya.” Kata-kata ini, terinspirasi dari firman ilahi, “Wa qâla Rabbukumu-d’ûnî astajib lakum, dan Rabb-mu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan.” (Al-Mukmin : 60). Ya, doa kita akan dikabulkan oleh Allah Ta’ala; pada saat dan waktu yang dikehendaki-Nya, dan dengan pengabulan sesuai iradah dan hikmah-Nya.
Maka, ketika kita sudah berdoa pada waktu-waktu yang diberkahi di mana doa pada waktu mudah dikabulkan –seperti malam lailatul qadar, hari Arafah, bulan Ramadhan, malam jum’at-hari jum’at atau waktu jum’at, pertengahan malam, waktu sahur, saat dikumandangkan adzan, waktu antara adzan dan iqamah, di saat iqamah, di penghujung shalat-shalat wajib, di waktu sujud, saat membaca Al-Qur’an, ketika imam membaca waladh dhâllîn, di saat minum air zam-zam, ketika berada di majlis ilmu-.
Kita juga sudah menjaga adab-adab dalam berdoa, -seperti memanfaatkan waktu-waktu yang diberkahi, -seperti hari Arafah, bulan Ramadhan, hari Jum’at dan waktu sahur-, memanfaatkan kondisi-kondisi yang utama –seperti pada waktu sujud, ketika perang sedang berkecamuk, turun hujan, dan waktu antara adzan dan iqamah-, menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan, merendahkan suara antara keras dan berbisik, tidak bersajak dalam berdoa, berendah diri-khusyuk-cemas dan penuh harap, meminta dengan kesungguhan dan yakin akan dikabulkan, mengulangi tiga kali, membaca shalawat kepada Rasulullah saw, tidak mengiringi doa dengan masyi’ah, jangan berdoa jelek untuk diri sendiri –lâ tad’û ‘alâ anfusikum wa lâ tad’û ‘alâ awlâdikum wa lâ tad’û ‘alâ amwâlikum, lâ tuwâfiqû minallahi sâ’atan yus’alu fîhâ ‘athâ’un fa yastajîbu lakum, jangan kalian mendoakan keburukan bagi diri kalian, jangan mendoakan keburukan bagi anak kalian, dan jangan mendoakan keburukan bagi harta kalian, jangan sampai kalian bertepatan dengan satu waktu mustajab dari Allah yang akan dikabulkan semua permintaan sehingga doa kalian pun juga dikabulkan. –HR. Muslim.
Pun, kita juga sudah melengkapi syarat-syarat doa, -yaitu ikhlash, bersabar dan tidak tergesa-gesa –yustajâbu li ahadikum ma lam ya’jal, yaqûl da’autu fa lam yustajab lî –HR. Bukhari dan Muslim-, bertaubat, mengonsumsi yang halal, berhusnudhan terhadap Allah, menghadirkan hati, tidak melampaui batas dalam berdoa, dan beramar ma’ruf nahi munkar.
Maka, kita harus bersabar menanti pengabulan doa dari-Nya. Karena inilah yang dicontohkan oleh para Nabi; orang-orang mulia pilihan-Nya. Mereka tidak pernah lelah berdoa, dan tidak pula kecewa dengan pengabulan doanya, sekalipun baru terjawab setelah sekian tahun lamanya, bahkan setelah berabad-abad lamanya.
Ketika pengabulan doa tertunda, maka hendaklah kita mengingat bahwa sejak Nabi Ya’qub kehilangan anak kesayangannya, Yusuf, ia terus bersedih meski pengabulan doanya tertunda lama sekali. Diriwayatkan ia terus-menerus berdoa selama 40 tahun. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan ujiannya bertambah. Ia kehilangan anaknya yang satu lagi, Binyamin, dan mata Ya’qub pun memutih, buta, karena sedih. Namun demikian, ia yakin, bahwa jalan keluar dari Allah sudah sangat dekat. Ia berucap, “Mudah-mudahan, Allah mendatangkan mereka semua kepadaku; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Yusuf : 38). Jalan keluar itu datang dari Allah; Allah mengembalikan matanya, Yusuf dan Binyamin sekaligus.
Tentang kesedihan Nabi Ya’qub ini, Hasan Al-Bashri, sebagaimana disebutkan oleh As-Samarkandi dalam kitab tafsirnya, Bahrul Ulûm, bahkan sampai berkata, “Air matanya tak pernah mengering, dan hatinya tidak pernah terpisah dari kesedihan, sehari pun, padahal pada waktu itu, tiada seorang pun yang paling mulia di sisi Allah daripada beliau.”
Ketika pengabulan doa tertunda, maka hendaklah kita mengingat kisah Nabi Zakariyya, yang hingga usia senja belum juga dikarunia seorang anak. Doanya diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya, “Rabbi hablî min ladunka dzurriyyatan thayyibah, innaka samî’u-d duâ’, duhai Rabbku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sungguh Engkau Maha Mendengar doa.” Doa itu terlantun bertahun-tahun, tanpa jemu, tanpa bosan, dan Allah baru mengabulkan pinta itu –sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Hayyan dalam tafsirnya, Al-Bahrul Muhîth,- setelah empat puluh tahun lamanya.
Ketika pengabulan doa tertunda, maka hendaklah kita mengingat doa Nabi Musa. Beliau pernah berdoa, dan doa ini juga diabadikan oleh Allah dalam kitab-Nya, “Rabbanâ innaka â’taita Fir’auna wa mala’ahu zînatan wa amwâlan fi-l hayâti-d dunya, Rabbana li yudhillû ‘an sabîlik, Rabbana-thmish ‘ala amwâlihim wa-sydud ‘ala qulûbihim falâ yu’minû hatta yarawul ‘azhâbal alîm, duh Rabb kami, Engkau telah memberikan perhiasan dan harta berlimpah kepada Fir’aun dan bala tentaranya, tetapi itu semua duhai Rabb dipergunakan untuk menyesatkan manusia dari jalan-Mu, maka binasakanlah harta mereka, dan kunci-matilah hati mereka, sehingga mereka tidak beriman, sampai mereka melihat adzab yang pedih.” (Yunus : 88).
Doa ini, sebagaimana kata Sayyid Quthb dalam Fî Zhilâlil Qur’ân, adalah doa yang terlahir karena putus asa dari melihat baiknya hati-hati Fir’aun dan bala tentaranya, dan putus asa dari taubatnya mereka. Maka Nabi Musa meminta agar Allah mengunci mati hati mereka hingga adzab mendatangi mereka, karena bila sudah demikian, iman dari mereka tidak akan diterima. Nabi Musa putus asa mengharapkan keimanan Fir’an dan bala tentaranya, sekalipun sudah mendakwahi Fir’aun dengan kekata lembut sebagaimana diperintahkan Allah, “Faqûla lahu qaulan layyinan la’alahu yatadzakkaru au yakhsyâ.” (Thâha : 44).
Tahukah kita? Doa itu baru terkabul, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Juraij –dan pendapat ini dinukil oleh Ibnu Katsir, Al-Baghawi dan Ibnu Katsir- setelah menanti empat puluh tahun lamanya. Tak kurang, tak lebih. Pengabulan itu tersebut dengan firman Allah, “Qâla qad ujîbat da’watukumâ.” (Yunus : 89).
Mari kita sedikit merenung sejenak. “Yang berdoa” kata Ath-Thabari, Al-Qurthubi, Al-Baghawi dan Ibnu Katsir dalam kitab tafsir masing-masing mereka, “adalah Musa, dan yang mengamininya adalah Harun.” Karenanya disebutkan, “Qad ujîbat da’watukumâ, doa kalian berdua telah dikabulkan.” Padahal kita tahu, Musa adalah salah seorang rasul ulul azmi yang utama, dan Harun adalah seorang Nabi yang mulia. Syarat-syarat dan adab-adab doa telah terpenuhi semuanya. Lebih dari itu, yang didoakan kebinasaan adalah Fir’aun dan bala tentaranya –orang yang paling zhalim, paling fasik dan paling kafir pada masanya. Meskipun demikian, pengabulan doa ditunda. Sungguh, itu adalah waktu dan ukuran bagi doa ini, doa yang bukan sembarang doa. Padahal kita pernah mendengar Nabi Muhammad bersabda, “Inna li kulli nabiyyin da’watan mustajâbatan, fata’ajjala kullu nabiyyin da’watahu, sungguh, setiap nabi memiliki doa mustajab, dan setiap nabi menyegerakan doanya.” (HR. Ahmad). Tetapi, pada nyatanya, doa mereka tidak dikabulkan seketika itu juga.
Yang lebih menakjubkan dari itu semua tentu doa Nabi Ibrahim, khalilur rahman. Ada apa dengan doa Nabi Ibrahim, abul anbiya’ itu? Mari kita sejenak membaca sekilas tentang apa yang disebutkan oleh Ibnu Hisyam dalam kitab sirahnya, Sîrah Ibni Hisyâm. Begini ceritanya, “Suatu ketika” sebagaimana riwayat Ibnu Ishaq, “ada beberapa shahabat yang bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasûlallâh, akhbirnâ an nafsik.” “Duhai Rasulallah,” begitu tanya para shahabat sembari menatap wajah beliau yang seumpama bulan purnama, “Ceritakanlah kepada kami tentang diri Anda.”
Maka beliau menjawab dengan beberapa kalimat; awalnya dimulai dengan senyuman, kemudian dilanjutkan dengan kata-kata yang mengandung kerendahan hati, “Na’am, ana da’watu abi Ibrâhîm” ya, akan aku ceritakan; aku tiada lain hanya doa yang dimunajatkan oleh kakekku, Ibrahim.”
Maksudnya? Iya, hadirnya Muhammad sebagai Nabi dan Rasul tidak terlepas dari doa yang dilantunkan oleh Nabi Ibrahim, alaihimas salam. Doa itu diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya, “Rabbanâ wa-b’ats fîhim rasûlan minhum yatlû alaihim âyâtika wa yu’allimuhumul kitâba wal hikmata wa yuzakkîhim, innaka antal ‘azîzul hakim, wahai Rabb kami, dan bangkitkanlah di antara mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri; yang akan membacakan atas mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah : 129).
Doa itu, doa yang berumur 4000 tahun. Ia melintas mengarungi zaman, melampaui abad demi abad. Doa itu, adalah ketulusan seorang moyang untuk anak cucu. Ia bersumber dari niat yang haru dan getar lisan yang syahdu. Ia dibisikkan dengan tadharru’ dan khufyah; dengan berrendah-rendah mengakui keagungan Allah dan berlirih-lirih menginsyafi kelemahan diri. Dalam diri Ibrahim, kekasih Ar Rahman itu, doanya berpadukan antara gigil takut, gerisik harap, dan getar cinta.
Maka dari doa itu kita belajar; bahwa yang terpenting bukan seberapa cepat sebuah munajat dijawab, melainkan seberapa lama ia memberi manfaat. Empat ribu tahun itu memang panjang. Tapi bandingkanlah dengan hadirnya seorang Rasul yang tak hanya diutus untuk penduduk Makkah, tapi seluruh alam; menjadi rahmat bukan hanya bagi anak-turunnya, tapi semesta; membacakan ayat-Nya bukan hanya dalam kata, tapi dengan teladan cahaya; mensucikan jiwa bukan hanya bagi yang jumpa, tapi juga yang merindunya; dan mengajarkan Kitab serta Hikmah bukan hanya tuk zamannya, tapi hingga kiamat tiba.
Bila demikian, maka kita, yang keimanan dan ketakwaannya jauh di bawah para Nabi yang mulia, maka jangan berputus asa dari pengabulan doa dari-Nya; jangan pula tergesa-gesa, dan mengatakan, ‘Aku telah berdoa, tapi tidak dikabul-kabulkan jua’. Karena orang seperti ini, diabaratkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Al-Jawâbul Kâfî, semisal orang yang menabur benih atau menanam tanaman, lalu ia benar-benar merawat dan menyiraminya. Namun, manakala ia merasa akan lambatnya pertumbuhan dan tidak mendapatkan hasilnya (karena lamanya waktu berbuah), ia kemudian membiarkannya.
Maka, tepat sekali kekata Ibnu Atha’illah dalam Al-Hikam-nya, “Belum dikabulkannya doa jangan sampai membuatmu putus asa. Allah telah menjamin akan mengabulkan doa dengan apa yang Dia pilihkan untukmu, bukan dengan apa yang engkau pilih. Dan Allah akan memberikannya pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau maui.”
Dan sejatinya, ini semua merupakan peringatan dari Nabi Muhammad melaluinya sabdanya; agar kita tidak putus asa dengan meninggalkan doa bila doa kita belum jua dikabulkan.
«لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الاِسْتِعْجَالُ قَالَ «يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِى فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ».
“Doa seorang hamba akan selalu dikabulkan selama tidak meminta perbuatan dosa, atau memutuskan silaturahmi, dan selama tidak tergesa-gesa.” Ada shahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan tergesa-gesa?” beliau menjawab, “Yaitu ia berkata, ‘Aku sudah berdoa, dan berdoa namun aku belum melihat pengabulan doaku.” Kemudian ia putus asa dan tidak berdoa lagi.” (HR. Muslim).
Karena Allah sudah berjanji akan mengabulkan doa orang yang berdoa kepada-Nya, dan Allah sama sekali tidak pernah menyelisihi janji-Nya, “Wa qâla Rabbukumu-d’ûnî astajib lakum.”
Sepenuh cinta,
Akhukum fillah, Abu Kayyisa Ulayya.
24 Juli 2013 pukul 14:51 WIB.
Reference :
Sirah Ibni Hisyam, Tafsir Ibni Katsir, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Baghawi, Tafsir Al-Qurthubi, Terapi dengan Ibadah karya Hasan bin Ahmad Hammad, et. Al, Bertransaksi dengan Allah karya Khalid Abu Syadzi, Kepada Aktivis Muslim karya Dr. Najih Ibrahim, dan lain-lain.
Leave a Reply