(Qs. Al-Isra’ [17]: 23-24)
Mak Jah duduk di kursi roda merenung memandang keluar jendela. Menitis airmatanya berlinangan di pipi mengenang nasibnya itu. Tidak sangka nasibnya akan jadi sebegitu rupa. Dia berkata pada dirinya “Kenapa…kenapa aku jadi begini?” sambil tangan kanannya menggosok gosok airmata yang mencurah tidak henti henti.
“Sampai kapan? Sudah lama aku tunggu. Dia bilang sebentar saja. Tapi sudah tiga tahun ni.” Mak Jah mengadu. Benar benar lelah dan penat Mak Jah menunggu kedatangan anak anaknya membawa dia pulang ke rumah.
Sudah hampir tiga tahun, Mak Jah menetap di panti jompo. Tiada satu pun anak anaknya yang sanggup menjaga Mak Jah yang lumpuh separuh badannya. Sudah sekian lamanya jasadnya disitu. Disisihkan tanpa belas kasihan oleh anak anaknya walaupun dia merayu.
“Man, janganlah kau hantar Mak disini Man. Mak nanti kesunyian. Tolonglah Mak….Tolonglah Mak…..Mannn!! kedengaran suara Mak Jah merayu dan memohon pada anak sulungnya supaya jangan menghantarnya ke panti jompo. Anak anak serta menantu dia yang lain hanya tertahan saja mendiamkan diri masing masing.
Semenjak peristiwa itu, anak anak Mak Jah tidak pernah menjejakkan kaki dan tubuh badan mereka untuk menjenguk Mak Jah bahkan untuk menjemputnya, jauh sekali. Betapa mungkarnya anak anaknya itu. Membohongi ibu yang malang itu .
“Tega mereka melakukan begini kepada aku. Sampai hati mereka biarkan ibunya yang dulu tidak pernah mengabaikan nasib mereka. Kasih sayang dan tanggungjawabku yang aku jalankan tidak pernah aku abaikan. Aku telah mengabdikan diriku ini untuk kebahagiaan mereka. Aku lenyapkan kepentingan diriku semata mata untuk memberi jaminan bahwa nasib mereka akan terbela. Inikah balasan mereka pada ibunya?” merintih dan meluahkan isi hati Mak Jah satu persatu pada teman sepenghuninya itu, Mak Mah. Mak Jah rasa masih sukar untuk dirinya menerima kenyataan itu. Dia rasakan dunia benar benar tidak adil. Mak Jah menangis lagi.
“Sudahlah Jah……sudahlah, kau kan ada aku. Kita sudah senasib. Lebih baik kita ingat Allah banyak banyak Jah. Allah lebih menyayangi kita Jah. Lagian kita sudah tua, tak ada apa apa yang tinggal. Yang kita ada hanya Allah saja. Entah kapan Jah……? Hari ini kah..besok kah….atau lusa…kita mati. Tak ada siapa bisa menolong kita Jah….selain Allah. Sudah tiba masanya kita dekatkan Allah. Biarkanlah anak-anak itu.” kedengaran suara Mak Mah yang lebih jauh tua dari Mak Jah mengingatkan Mak Jah. Sejuk sedikit hati Mak Jah seketika dengan kata kata Mak Mah itu.
Mak Jah memeluk Mak Mah. Wanita yang hampir putih keseluruhan rambutnya meleraikan kesedihannya di pundak Mak Mah.
“Kalau aku tahu mereka semua akan tinggalkan aku di panti jompo, aku tak perlu kasih mereka pelajaran tinggi tinggi. Tapi.. mereka sudah kaya. Sudah dapat isteri cantik, mereka tidak perlu emak lagi.
Aku bukan apa Mah, aku rindu pada cucuku. Aku ingin peluk mereka, mau cium, mau sayang, mau cerita sama cucu cicit aku. Apa salah kah? Tapi…mereka beri aku apa Mah? Beri aku sedih!! Mereka tidak sayang pada aku. Mereka tidak perlu pada orang tua seperti kita Mah!” kali ini benar benar Mak Jah meraung sekuat kuat hatinya. Gema raungannya bergemuruh menyentak hati warga disekelilingnya.
Mak Mah coba tenangkan fikiran dan hati Mak Jah. Dia sudah tidak dapat mengawal perasaannya sendiri. Sebelum ini Mak Jah tidaklah berkelakuan seperti begini. Mak Mah pun heran dengan tingkah laku Mak Jah seolah olah seruan ajal memanggilnya. Barangkali dia ingin menatap wajah anak anaknya buat kali terakhir.
“Kalau aku tahu Mah, dari kecil dulu aku bunuh mereka Mah. Anak durhaka, anak sial…..!!!” jeritan Mak Jah semakin kuat sekali.
Ibu mana yang tak sedih didera oleh anak sendiri meringkuk di panti jompo? Telpon mana yang harus dihubungi? Kepada siapa ibu ibu ini harus mengadu? Bukankah hanya Allah saja yang akan membalas mereka.
“Mah, aku cuma mau kasih sayang mereka saja. Aku rindu pada anak anak ku Mah. Tidakkah mereka rindu pada ku?” Mak Jah berbisik pada Mak Mah seperti debur ombak yang benar benar rindukan belaian pantai.
Hari semakin malam. Mak Mah menemani Mak Jah di ranjangnya hingga terlelap orang tua itu. Bekas linangan airmatanya masih kelihatan di sekitar matanya. Sore tadi dia menyumpah serapah anak anaknya. Mulutnya menyeranah, hatinya merintih. Menyumpahnya karena rindu. Bukan karena benci. Ibu mana yang tak sayang anak. Sedangkan harimau yang garang itu tidak makan anaknya, apalagi kita manusia yang mempunyai sifat sayang menyayangi.
Mak Mah pun pergi ke ranjangnya merebahkan badannya keatas kasur busuk itu. Matanya terkelip kelip memikirkan keadaan Mak Jah tadi. Kerinduan seorang ibu terhadap anak anaknya begitu kuat sekali. Fikiran Mak Mah terlayang pada anak anaknya juga. Tapi, dia sudah tidak peduli pada anak anaknya. Mak Mah terus terlena tidur oleh buaian malam yang dingin itu.
Keesokan harinya, Mak Mah dikejutkan oleh bunyi riuh rendah orang berbual disudut sana. Alangkah terperanjatnya Mak Mah melihat Mak Jah sudah tiada lagi di dunia ini. Dia terlebih dulu meninggalkan Mak Mah yang lebih jauh tua itu. Yang lebih menyedihkan lagi, kelihatan anak anak serta menantu Mak Jah menangis menatap jasad yang kaku itu.
***
Menangis dengan mata mengalir darah sekalipun… adakah cukup?
Penyesalan Selalu Datang Terlambat…
Sumber : Mutiara Amaly, volume 19
Leave a Reply