Perjalanan hidup manusia itu berlimpah pelajaran dan hikmah. Bila baik, teladanilah dan bila buruk, jadikanlah pelajaran. Karena dengan belajar dari kehidupan itulah kita akan semakin dewasa dan matang. Perubahan dan kompetisi dalam hidup ini juga mengajarkan bahwa kita harus senantiasa berbenah dari waktu ke waktu, baik berkaitan dengan pekerjaan duniawi maupun amalan ukhrawi. Dan itu bisa terealisasi bila kita mau belajar dari perjalanan hidup orang lain. Itulah hikmah yang harus senantiasa kita gali. Berikut sedikit kisah tentang Mbah Kemi yang sedikit banyak memberikan banyak pelajaran kami, aku dan teman-temah seperjuangan. Dan semoga bermanfaat juga untuk antum semua.
Mbah Kemi. Ya begitulah kami dulu memanggil dan mengenalnya. Ia adalah nenek renta yang hidup bersebelahan dengan tempat kami dulu menggali ilmu. Sangat bersahaja dan sederhana namun ia memberikan banyak pelajaran berharga. Karena kita harus sadar diri, pengalaman hidup kita sangat minim bila kita mengandalkan pengalaman pribadi. Maka belajar dari universitas kehidupan adalah salah satu solusi untuk meningkatkan jutaan pelajaran dari perjalanan saudara-saudara kita. Alaisa kadzalik, bukankah demikian ?
Mbak Kemi yang rumahnya bersebelahan dengan tempat ku menimba ilmu ini sudah berusia 110-an tahun lebih. Punggungnya sudah melengkung, tidak lagi lurus seperti masa mudanya. Rambut yang dahulu hitam, sekarang sudah beruban semua. Semoga ubannya kelak menjadi cahaya baginya. Kakinya juga sudah tidak lagi dua, tetapi tiga karena berbantukan tongkat yang selalu berada di tangan kanannya. Suatu kali, pernah ada teman yang mencoba membantunya, namun ia marah sembari berkata, “Sudah sudah ndak perlu nak…, aku tidak mau merepotkan orang lain.” Subhanallah nek, nek, sekedar membantumu berjalan ke masjid saja engkau bilang menyusahkan dan merepotkan padahal engkau memang perlu dibantu.
Pernah juga, ia bercerita dengan mata berkaca-kaca, dulu ia bermain bersama teman-temannya, yang ternyata ajalnya lebih dulu dipanggil oleh Allah Ta’ala. Ia masih ingat betul bagaimana permainannya, di mana dan siapa saja temannya. Ia masih mengingatnya ketika usianya sudah demikian senja, umur 110-an lebih. Aku jadi teringat dengan kisah di sebuah majalah Islam bahwa di timur tengah juga seorang kakek yang berusia senja namun pandangannya masih tajam, tidak kabur. Menurut riset disebutkan bahwa ia senantiasa membaca al-Qur’an di masa mudanya. Ah, indah. Sedangkan Mbah Kemi ini, menurut seorang ustadz kami, ia dahulu selalu menjaga shalatnya. Semenjak muda hingga usia senja. Intinya sama, menjaga hak Allah. Artinya, Siapa mengingat Allah di kala senang, Allah akan mengingatnya di kala susah, dan siapa yang menjaga Allah di kala muda, Allah pasti menjaganya pula di kala tua. Believe it or not. Itulah yang dikabarkan oleh Rasululloh Shalllalahu ‘alaihi wa Sallam yang berbicara berdasarkan wahyu ilahi.
Ya. Mbah Kemi terkenal dengan usahanya dalam menjaga shalat lima waktu. Ia selalu datang setengah jam sebelum adzan berkumandang. Sekalipun ia harus berjalan dengan tertatih-tatih, dan merasakan kepenatan dalam setiap langkahnya. Seolah mengajari kami, panggilan menghadap Allah harus lebih didahulukan dengan segenap persiapan jiwa dan hati. Ia selalu melakukannya dengan feeling-nya. Karena kita tahu dahulu tidak ada jam, lagian ia juga tidak faham angka-angka, sehingga ia hanya mengandalkan feelingnya dalam mendatangi masjid, dengan perkiraan setengah jam sebelum adzan.
Kami betul-betul tersindir dengan kebiasaan mbah Kemi ini. Kami yang masih muda, dan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar seharusnya lebih semangat dalam mendatangi rumah Allah. Menjadi pribadi muda yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shalllalahu ‘alaihi wa Sallam akan mendapatkan naungan di bawah naungan Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, “Wa Rajulun Qalbuhu Mu’allaqun bil Masajid, dan lelaki yang hatinya kantil kumantil (baca : bergantung erat) dengan masjid.” Hadits itu ternyata hanya kami hafalkan, dan belum kami aplikasikan dalam amal nyata. Mengingat ini, aku jadi teringat statement Said bin Musayyib yang menceritakan sedikit prestasinya, “Aku tidak pernah ketinggalan Takbiratul Ihram semenjak 50 tahun yang lalu.” Ah, semakin malu aku….,padahal pada hari kiamat kelak, kaki anak adam tidak akan bergeser hingga ia ditanya empat hal, di antaranya, “untuk masa mudanya untuk apa ia habiskan ?” sekarang aku masih bertanya, “Untuk masa mudaku, untuk apa aku habiskan ? Ya, untuk masa mudaku untuk apa ku habiskan ?”.
Mbah Kemi hanya tinggal di rumah sendirian. Nah, karena hanya mengandalkan feeling, ia pernah salah. Kisahnya, ketika tengah malam, ia pergi ke masjid. Sudah menunggu sekitar setengah jam, adzan shubuh belum juga berkumandang. Dengan terpaksa, ia keluar masjid dan mendatangi rumah ustadz yang menjadi imam. Setelah diketok, ustadz tersebut keluar dan bertanya, “Enten nopo mbah (ada apa mbah) ?” Mbah Kemi hanya menjawab, “Shalat, shalat shubuh.” Maksudnya memerintahkan ustadz untuk segera mengumandangkan adzan shubuh. Ustadz tersebut menjelaskan bahwa adzan shubuh masih lama. Malam itu masih berkisar pukul 03.00, masih ada satu setengah jam lagi. Mbah Kemi terpaksa pulang ke rumah setelah berucap terima kasih. Ternyata feelingnya malam itu salah.
Satu lagi yang menjadi kelebihan Mbah Kemi, ia selalu bangun malam. Setiap kali kami berjaga malam atau mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat malam, selalunya terdengar percikan air wudhu dari tetangga sebelah. Ya, suara percikan air itu berasal dari rumah Mbah Kemi. Subhanallah, mbah-mbah ternyata azzammu mengalahkan kami. Masa tua tidak menghalangimu untuk berlomba mencari pahala, mengalahkan kami yang masih muda-muda dan memiliki kekuatan yang masih luar biasa namun ternyata masih bersemangat banci dalam mencari ridha-Nya, bahkan katanya kami bermimpi semoga kelak bisa bersandingkan bidadari. Mungkin para bidadari itu tersenyum geli melihat semangat-semangat kami. Ah, memang belum pantas. Tidak ada amal yang bisa dibanggakan, karena ternyata aku masih kalah dengan Mbah Kemi.
Bagiku, Mbah Kemi menjadi salah satu guruku di universitas kehidupan ini. Meskipun ia tidak pernah menularkan ilmunya kepadaku namun ia mengajari bagaimana seharusnya menjadikan hidup sebagai hamba Allah. Perkara prinsip yang harus dipegang adalah memahami arah dan tujuan hidup ini, untuk beribadah semata. Karena kita faham, “Life is not joke, hidup ini bukan main-main.” Begitu pesan singkat yang disampaikan oleh Ustadz A-Rusy sabtu siang kemarin, tepatnya pada 2 Jumadal Ula 1431 H atau 17 April 2010 selama seperempat jam di Aqwam. “Life is not Joke.” Hidup ini bukan main-main. Ya, hidup ini bukan main-main. Ia akan menentukan kehidupan yang selanjutnya, kehidupan yang sebenarnya; yaitu kehidupan akherat yang kekal abadi. Karena semua pilihan hidup yang kita ambil sangat menentukan akibat dari itu semua, -termasuk dalam memilih pendamping hidup-.
Mungkin kita banyak mendapatkan profil seperti mbah kemi, bahkan lebih shalihah darinya, namun seringkali kita mengabaikan sejarah hidup mereka dan tidak mau menjadikan mereka sebagai teladan. Sekarang siapakah yang mau mengambil pelajaran ?
Tertulis pada 26 April 2010, pukul 09.55.
Waru, selalu ada kenangan setiap kali mengingatmu.
Mbah, semoga Allah menerima amal kebaikanmu dan menempatkanmu di tempat yang terbaik di sisi-Nya.
Akhukum fillah, Ibnu Abdil Bari el ‘Afifi