Disyari’atkanya jihad nikayah.
Nikayah merupakan bahagian daripada praktek jihad yang pernah dilakukan oleh kaum muslimin. Nikayah adalah membunuh dan melukai musuh . Maksud dari nikayah adalah “memukul, memeberi pelajaran, meneror dan memberikan bencana pada musuh untuk menahan gangguan mereka pada kaum muslimin, menyelamatkan orang yang tertindas atau tertawan. Meski tidak mengantarkan kepada tamkin bagi kaum muslimin dalam jangka waktu dekat”.
Jihad nikayah disyari’atkan dalam islam . Dasar disyari’atkannya jihad jenis ini adalah sebagimana dalil-dalil di bawah ini:
1. firman Allah swt:
وَلاَ يَطَؤُونَ مَوْطِئاً يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلاَ يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَّيْلاً إِلاَّ كُتِبَ لَهُم بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللّهَ لاَ يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (Qs. At-taubah: 120)
Ibnu katsir berkata: “berada disuatu wilayah dalam rangka meneror musuh
وَلاَ يَنَالُونَ maksudnya tidak mendapatkan darinya kemenangan atas mereka
إِلاَّ كُتِبَ لَهُم بِهِ maksudnya adalah dengan perbuatan tersebut yang berada dibawah kemampuan mereka. Akan tetapi berangkat dari keinginan kuat mereka maka akan dinialai sebagi amal shaleh dan balasan pahala. Sesungguhnya allah tidak akan menyia-nyiakan amalah orang yang berbuat kebaikan”.
2. firman Allah swt juga:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (Qs. Al-Anfal:60)
3. FirmanNya juga:
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a : “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”. (Qs. An-Nisa: 75)
Dari uraian ayat diatas mengandung pengertian disyariatkannya nikayah kepada orang-orang kafir. Dan Allah swt tetap akan menganggap sebagai amal shaleh bagi orang yang melakukan hal tersebut meski sebenarnya diluar dari kemampuannya dan belum tentu mendatangkan kemenangan. Ibnu hajar al-asqalaniy berkata “adapun seseorang yang menghadapi sekian banyak musuh, maka jumhur mengatakan apabila hal tersebut berangkat dari luapan keberaniannya dan dia telah memperhitungkan bahwa dengannya akan menakut-nakuti musuh, atau membangkitkan keberanian kaum muslimin atas mereka, atau maksud baik lain yang sejenis dengannya maka hal tersebut merupakan perbuatan baik”.
Jihad, antara nikayah dan tamkin (1)
Menilik sejarah perjuangan umat islam, jihad merupakan satu aktivitas yang tak pernah luput dari kehidupan mereka. Amaliah jihadiah akan senantiasa berjalan sesuai dengan sunnatullah. Ia akan berkensinambungan antar generasi, menjadi solusi bagi berbagai problematika yang dialami kaum muslimin. Sebagaimana telah dikhabarkan oleh Rasulullah saw dalam hadits: “agama ini akan senantiasa tegak, yang perperang diatasnya segolongan dari kaum muslimin sampai tibanya hari kiamat”. (Hr. Ahmad)
Kebenaran hadits tersebut telah terbukti. Gema jihad membahana membakar semangat kaum muslimin. Harakah-harakah jihad banyak bermunculan di sekian wilayah kaum muslimin yang tertindas. Bahkan berbagai aksi yang merupakan ekspresi dari luapan semangat tersebut sempat mengguncangkan dunia. Meski dibalik itu semua mereka harus menghadapi ancaman bahaya yang lebih besar. Demikian pula tindakan tersebut mengharuskan mereka menelan pahitnya berbagai kritik yang kelur dari orang-orang yang tidak menyetujui aksi yang mereka lancarkan.
Tanpa memungkiri pentingnya jihad yang merupakan solusi dari keterpurukan ummat islam, ada suatu permasalahan yang perlu menjadi evaluasai bagi harakah-harakah jihad yang ada. Dari sekian aksi yang dilancarkan benarkah akan mengarahkan kepada target yaitu kemengan yaitu tamkin (kekuasaan)?. Atau sekedar merupakan aksi nikayah (membunuh dan melukai musuh) yang merupakan luapan semangat yang belum tersusun dengan rapi.
Dalam makalah ringan ini kami ingin mengangkat suatu permasalahan yang perlu menjadi bahan pertimbangan bagi kaum muslimin. Bukan bermaksud untuk mendudukkan perkara yang halal dan haram. Karena perbandingan yang kami akan paparkan masih dalam lingkup perkara yang diperbolehkan. Akan tetapi memilih yang terbaik diantara dua cara yang diperbolehkan merupakan perintah dari allah swt. “orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya . Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
(oleh: uweis abdullah)
Pemilik Ikalan Rambut Tali Kekang Kuda
Pemilik Ikalan Rambut Tali Kekang Kuda
(Tauladan Ibu Sholihah)
Di kota Rosulullah Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, Madinah Munawwaroh, hiduplah seorang lelaki yang bernama “ABU QUDAMAH AS SYAAMI “. Allah telah memberikan rasa cinta yang mendalam kepadanya terhadap Jihad fie sabilillah, dan berperang di negeri Romawi.
Suatu hari beliau sedang duduk-duduk sambil bercengkrama di Masjid Nabawi bersama teman-temannya. Teman-temannya berkata kepada beliau : “Ceritakanlah kepada kami kejadian yang paling menakjubkan yang pernah engkau lihat ketika berjihad.”.
Abu Qudamah berkata, “Baiklah.”
Aku pernah masuk kota RIQQAH untuk membeli onta yang akan aku pergunakan untuk membawa senjata.
Suatu hari ketika aku sedang duduk-duduk, ada seorang perempuan yang mendatangiku, lalu berkata kepadaku, “ Wahai Abu Qudamah! Aku telah mendengar tentang dirimu bahwa kamu suka bercerita tentang jihad, dan senang menghasung orang untuk berjihad. Aku telah diberi Allah rambut yang tidak dimiliki oleh wanita selainku. Rambut itu telah aku anyam dan ikal menjadi tali kekang kuda dan aku lumuri ikalan itu dengan debu biar tidak tampak oleh orang (kalau itu ikalan rambut), dan aku akan sangat bahagia bila kamu mau mengambilnya. Jika engkau telah sampai di negeri orang kafir, dan para pahlawan-pemanah telah melepaskan anak panahnya, pedang telah dihunus dan tombak telah disiapkan maka Jika kamu membutuhkannya maka ambillah, jika tidak maka berikanlah ikalan ini kepada orang lain yang membutuhkan, agar rambutku bisa ikut serta dan terkena debu fie sabilillah. Aku adalah seorang janda, suami dan kerabatku telah syahid di jalan Allah, seandainya jihad diwajibkan atasku sungguh aku akan berangkat berjihad dan ikalan rambut ini aku bawa sendiri.”
Wanita itu melanjutkan, “Perlu kamu ketahui wahai Abu Qudamah ! Bahwa ketika suamiku syahid, beliau meninggalkan anak, dan anak itu sekarang termasuk remaja yang baik, ia telah mempelajari Al Qur’an, lihai mengendarai kuda, lihai memanah, ia selalu Qiyamullail di malam hari dan shoum di siang hari sementara umurnya baru 15 tahun. Ia tidak tahu ketika ditinggal syahid ayahnya, semoga ia mendatangimu sebelum engkau berangkat ke medan perang. Aku persembahkan anakku bersamamu sebagai hadiah kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan aku minta kepadamu dengan kemuliaan Islam, janganlah engkau tolak usahaku untuk mendapatkan pahala”.
Aku menjawab, “ Maka ikalan rambut itu aku ambil darinya”.
Wanita itu berkata, “ Pasangkan ikalan rambutku itu pada kendaraanmu biar aku dapat melihatnya dan hatiku menjadi tenang ”. Maka ikalan rambut itu aku pasangkan pada kendaraanku dan aku keluar dari AR RIQQAH. Aku keluar bersama teman-temanku.
Ketika kami telah sampai di samping benteng Maslamah bin Abdul Malik (di Paris), tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang, “Wahai Abu Qudamah ! Berhentilah sebentar untukku –semoga Allah merahmatimu–.” Maka akupun berhenti dan aku katakan kepada teman-temanku, “Majulah kalian agar aku dapat melihat orang yang memanggil namaku. Ternyata ada seorang penunggang kuda yang sudah berada di dekatku “.
Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menghalangiku untuk bergabung denganmu, dan semoga engkau tidak menolakku untuk bergabung.”
Aku berkata kepada anak itu, “Tengadahkanlah mukamu kepadaku, jika engkau sesuai maka aku ikutkan berangkat berperang, jika tidak sesuai maka aku tolak engkau untuk ikut serta.”
Maka iapun menengadahkan mukanya, ternyata ia adalah anak yang baik, seakan-akan wajahnya seperti rembulan pada malam Badar dan terpancar dari mukanya pengaruh kenikmatan (bekas sujud).
Aku katakan kepada anak itu,“Apakah kamu masih mempunyai ayah ?”
“Tidak” jawab anak itu. Ia melanjutkan, “Aku ingin keluar bersamamu untuk mencari jejak ayahku, karena beliau telah syahid. Semoga Allah menganugerahkan syahadah kepadaku sebagaimana yang dianugerahkan kepada ayah.”
Aku tanyakan lagi kepada anak itu, “Apakah kamu masih mempunyai ibu?”
Anak itu menjawab, “Ya”
Aku katakan kepadanya, “Kembalilah kepada ibumu, mintalah izin kepadanya, jika ia mengizinkanmu maka aku akan menyertakan kamu pada perang ini, dan jika ia tidak mengizinkanmu maka dampingilah ibumu, karena ketaatanmu padanya lebih utama dari pada jihad (ketika fardhu Kifayah), karena Jannah itu berada di bawah kilatan pedang dan Jannah juga berada di bawah telapak kaki ibu.”.
Anak itu berkata, “ Wahai Abu Qudamah ! Tidakkah kamu mengenalku ?”
“Tidak” jawabku.
Anak itu berkata, “Aku adalah putra seorang wanita yang telah menitipkan sesuatu kepadamu. Bukannya aku tergesa-gesa, aku tidak akan melupakan wasiat ibuku, si pemilik ikalan rambut itu. Dan aku insya Allah Syahid ibnu Syahid, aku minta kepadamu karena Allah untuk mengikut sertakan aku dalam jihad in). Jangan kau larang aku untuk ikut sarta berjihad bersamamu fie sabilillah. Aku telah hafal Al Qur’an, mengerti sunnah Rasulullah, aku ahli menunggang kuda, ahli memanah, dan tidak ada remaja sebayaku yang lebih lihai dalam mengendarai kuda melebihiku, maka janganlah kamu meremehkanku karena aku masih kecil. Karena ibuku telah bersumpah agar aku tidak kembali pulang. Ibuku berkata kepadaku, “Jikalau kamu bertemu musuh maka janganlah kamu mundur, berikanlah dirimu untuk Allah dan mintalah untuk didekatkan dengan Allah, dan didekatkan dengan ayah dan teman-temanmu yang sholih di dalam Jannah. Jikalau kamu telah diberi syahadah maka berilah aku syafaat karena syafaatmu akan sampai kepadaku. Dan sesungguhnya orang yang mati syahid itu dapat memberi syafaat 70 keluarganya dan 70 tetangganya.” Kemudian ibuku mendekapku, lalu ia menengadahkan mukanya ke langit sembari berdoa, “Ya Ilahy, Tuanku, Pelindungku ! Ini adalah anakku, buah hatiku, penyejuk kalbuku, ia telah aku persembahkan untukmu, maka dekatkanlah ia dengan ayahnya”.
Aku (Abu Qudamah) berkata, “Ketika mendengar perkataan anak itu, aku menangis dengan tangisan yang keras karena melihat kebaikannya, masa remajanya yang indah, dan kasih sayang hati ibunya, serta kagum akan kesabaran ibunya.
Anak itu berkata, “ Wahai paman ! Mengapa engkau menangis ? Jika yang menyebabkan paman menangis itu karena aku masih kecil, maka sesungguhnya Allah akan mengadzab anak yang lebih kecil dariku jika ia durhaka”.
Aku berkata, “Aku menangis bukankarena melihatmu masih kecil, akan tetapi aku menangis karena melihat hati ibumu yang mulia, dan bagaimana perasaannya setelah kamu syahid nanti”.
Akhirnya, kamipun melanjutkan perjalanan sampai malam hari.
Pada pagi harinya, kami berjalan kembali dan kami melihat anak itu tidak henti-hentinya berdzikir kepada Allah. Dalam pandanganku, ternya dia dia lebih hebat dalam mengendarai kuda daripada kami, jika kami berhenti maka ia selalu melayani kami. Ketika dalam perjalanan ia selalu menguatkan azamnya, meningkatkan semangatnya, selalu membersihkan niatnya dan selalu menampakkan tanda senang (tidak manja kepada kami).
Kami tidak berhenti sampai kami sampai di negri orang-orang musyrik pada waktu tenggelamnya matahari, lalu kami semua turun dan anak itu langsung memasakkan makanan untuk kami buat buka puasa karena kami semua shiyam.
Setelah membereskan pekerjaannya, ia merasakan kantuk yang sangat, akhirnya dia tidur lama sekali. Ditengah-tengah tidurnya aku melihat ia sedang tertawa simpul Lalu aku berkata kepada teman-temanku, “ Apakah kalian tidak melihatnya terseyum dalam tidurnya ? ”.
Maka ketika bangun, aku bertanya kepadanya, “Wahai anakku ! Aku tadi melihatmu tersenyum ketika kamu sedang tidur”.
Anak itu berkata, “Aku tadi mimpi dan melihat sesuatu yang mengherankanku sehingga aku tersenyum.”
Aku bertanya lagi, “ Apa itu ?”
“Aku berasa berada di sebuah taman hijau yang indah, ketika aku sedang berjalan aku melihat istana yang terbuat dari perak, atapnya dari intan dan permata, pintu-pintunya terbuat dari emas dan para bidadari menyibakkan satir dan aku dapat melihat wajahnya bagaikan rembulan.”
Ketika melihatku bidadari itu berkata, “Marhaban (selamat datang), maka aku pun ingin memegang tangan salah satu diantara mereka.”
Mereka berkata kepadaku, “Jangan tergesa-gesa aku bukanlah untukmu.”
Aku mendengar sebagian mereka berkata kepada yang lainnya, “ Ini adalah suami Al Mardhiyyah.”
Mereka berkata, “Majulah – Semoga Allah merahmatimu – !”. Maka akupun maju ke depan, maka ketika itu aku melihat Istana yang diatasnya ada sebuah kamar yang terbuat dari emas yang berwarna merah, di dalamnya terdapat dipan dari permadani hijau, tiangnya dari perak, dan di atasnya ada seorang bidadari yang mukanya seperti matahari. Jikalau Allah tidak meneguhkan penglihatanku sunguh aku akan buta dan akalku akan lenyap (gila) karena melihat indahnya kamar dan cantiknya wajah bidadari itu.”
Ketika bidadari itu melihatku ia berkata, “Marhaban, ahlan wa sahlan wahai kekasih Allah, engkau adalah untukku (calon suamiku) dan aku adalah untukmu (calon istrimu).” Maka pada saat itu aku ingin memeluknya tetapi ia berkata, “Sabar, sebentar lagi, jangan tergesa-gesa duhai kekasihku, sesungguhnya waktu yang dijanjikan bertemu antara aku dan kamu adalah besok setelah shalat dhuhur, maka bergembiralah.”
Abu Qudamah berkata, “Aku katakan pada anak itu, “ Sungguh kamu bermimpi baik dan kebaikan itu akan terjadi.” Maka sepanjang malam kamipun terkagum-kagum dengan mimpi anak itu.
Ketika pagi hari tiba kami bergegas memacu kuda kami. Maka ada seorang penyeru yang memanggil kami, “ Wahai Kuda Allah, melajulah dan bergembiralan dengan Jannah ! Berangkatlah berperang baik dengan perasaan ringan maupun berat, dan berjihadlah !”. Maka dalam waktu sekejap saja ternyata tentara kafir – semoga Allah menghinakan mereka- telah menghadang kami, dan mereka menyebar seperti belalang yang bertebaran. Maka orang yang pertama kali menyerang musuh dari kami adalah anak itu. Ia yang membelah pasukan kafir dan memporak-porandakan barisan mereka dan menceburkan diri ke tengah-tengah pasukan kafir. Iapun telah membunuh banyak tentara musuh dan membunuh pula pahlawan-pahlawannya.
Ketika aku melihatnya dalam keadaan seperti itu, aku menarik tali kekang kudanya sembari mengingatkan, “Wahai anakku ! Mundurlah, karena kamu masih kecil dan tidak mengerti tipu daya perang !”.
Ia malah menjawab, “Wahai paman! Apakah kamu belum pernah mendengar firman Allah (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman ! jikalau kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka janganlah kamu lari ke belakang.” (QS. Al-Anfal : 15) Apakah kamu ingin aku masuk ke dalam neraka ?.”
Disela-sela anak itu berbicara kepadaku, tiba-tiba orang-orang musyrik menyerang kami dengan serempak. Mereka bergerak diantara aku dan anak itu, dan mereka menghalangiku dari anak itu, sementara para mujahidin telah sibuk dengan diri masing-masing.
Dalam peperangan, banyak mujahidin yang syahid. Maka ketika peperangan sudah selesai, ternyata yang terbunuh sangat banyak dan tidak dapat terhitung. Maka aku berjalan menunggang kuda untuk meneliti yang syahid, sementara darah mengalir membasahi bumi . Muka para syuhada tidak dapat dikenali dikarenakan banyaknya debu yang menempel dan darah yang mengalir melumuri tubuh mereka. Disela-sela aku berjalan diantara yang terbunuh, ketika itu aku melihat anak tersebut berada di bawah tapal kuda yang telah tertumpuki debu dan dia sedang berlumuran darah.
Dia berkata, “Wahai kaum muslimin ! Demi Allah datangkanlah kepadaku paman Abu Qudamah”. Maka aku menghampirinya. Ketika aku mendengar rintihannya, aku tidak dapat mengenali wajah karena berlumuran darah, dipenuhi debu dan terinjak-injak oleh binatang.
Aku berkata kepadanya, “Aku adalah Abu Qudamah.”
Ia menjawab, “Wahai paman ! Sungguh mimpiku benar, demi Rob Pemilik Ka’bah aku adalah anak pemilik ikalan rambut itu”. Ketika kejadian itu, aku sangat gelisah dan aku menciuminya diantara kedua matanya dan aku usap debu dan darah yang menempel di mukanya yang tampan.
Aku katakan kepadanya, “Wahai anakku ! Jangan kau lupakan pamanmu Abu Qudamah dalam syafaatmu di Jannah kelak.”
Ia menjawab, “Orang sepertimu tak mungkin akan dapat terlupakan. Janganlah kau usap wajahku dengan pakaianmu, sungguh pakaianku lebih berhak untuk mengusap daripada pakaianmu. Biarlah engkau usap dengan pakaianku biar ia berjumpa dengan Allah Ta’ala dengan debu dan darahku. Paman, sesunguhnya para bidadari yang telah aku ceritakan kepadamu telah berdiri di atas kepalaku menunggu keluarnya ruhku. Dia (bidadari) mengatakan kepadaku, “ Segeralah keluar karena aku sudah sangat rindu ingin berjumpa denganmu”. Wahai paman, jikalau engkau dapat kembali dengan selamat maka bawalah pakaianku yang bersimbah darah kepada ibuku yang sedang dirundung duka dan kesedihan, dan sampaikan salamku kepadanya agar dia tahu bahwa aku tidak menyia-nyiakan wasiatnya, dan aku tidak menjadi pengecut ketika bertemu orang-orang musyrik. Katakanlah kepadanya bahwa hadiah yang telah ia persembahkan untuk Allah telah diterima-Nya. Wahai paman, aku juga mempunyai seorang adik perempuan yang umurnya baru 10 tahun, setiap aku masuk rumah ia selalu menyambutku dan menyalamiku, ketika aku keluar pergi, ia menitipkan pesan kepadaku , “Kak, Demi Allah jangan melalaikan kami” maka jika engkau berjumpa dengannya sampaikan salamku kepadanya, dan katakana, “Kakakmu memesankan kepadamu, “Allah adalah penggantiku yang menjagamu sampai hari kiamat”,
Kemudian ia (anak ini) tersenyum sambil mengucapkan ASYHADU ANLÂ ILÂHA ILLALLÂH (Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah) tiada sekutu bagi-Nya, dan ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASULUHU (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya). Ini adalah yang telah Allah dan Rosul-Nya janjikan kepada kita dan benarlah janji Allah dan Rosul-Nya. Lalu ruhnya keluar. Maka kami mengafani dia dengan pakaiannya –semoga Alloh meridloinya -.
Ketika kami pulang dari peperangan, dan memasuki daerah Ar-Riqqah, tiada keinginan yang paling kuat dalam benakku kecuali mendatangi rumah ibu anak itu. Aku mendapati ada seorang perempuan yang mirip mukanya dalam kecantikan dan kebagusannya, ia sedang berdiri di depan pintu rumah, dan ia tanya setiap orang yang lewat di depannya, “Wahai paman, dari manakah engkau?”
“Dari berperang” jawab orang yang ditanya.
Ia bertanya lagi, “Apakah kakakku pulang bersama kalian ?”
“Tidak tau” jawab orang itu.
Ketika aku mendengarnya, aku mendatanginya dan dia bertanya kepadaku, “Wahai paman ! Dari manakah engkau ?”
“Dari berperang” jawabku, kemudian adik itu menangis dan berkata, “Aku tak peduli apakah mereka pulang bersama kakakku, sungguh aku telah mendapatkan pelajaran.” Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai anak perempuan ! Katakanlah kepada pemilik rumah ini bahwa Abu Qudamah ada di depan pintu.”
Maka keluarlah perempuan (pemilik rumah) ketika mendengar suaraku. Maka berubahlah roman mukanya. Aku salami dia dan diapun menjawab salamku. Dia bertanya, “Apakah kedatanganmu membawa kabar gembira ataukah kabar duka ?”
Aku balik bertanya, “Terangkanlah kepadaku maksud kabar gembira dan kabar sedih – semoga Allah merahmatimu – !”
Ia menjawab, “ Jikalau anakkku pulang bersamamu dalam keadaan selamat maka itu kabar menyedihkan bagiku, dan jikalau anakku terbunuh fie sabilillah (syahid) berarti kamu membawa kabar gembira”
Aku katakan kepadanya , “Bergembiralah karena hadiahmu telah diterima Allah”. Maka ia menangis dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikannya sebagai simpanan pada hari kiamat kelak”. Aku tanyakan kepadanya, “Apa yang dilakukan oleh adiknya itu ?”. Jawab ibu itu, “Dialah yang telah berbincang-bincang denganmu tadi.” Maka anak itu mendekatiku, dan aku katakan kepadanya, “Kakakmu menitipkan salam buatmu dan dia mengatakan, “Allah adalah penggantiku yang menjagamu sampai hari kiamat ”. Maka berteriaklah anak itu dan jatuh pingsan. Lalu ibunya menggerak-gerakkannya setelah sesaat, ternyata anak itu telah meninggal. Sungguh aku sangat kagum sekali (atas kejadian itu). Kemudian aku serahkan pakaian yang dititipkan anak itu kepada ibunya. Lalu aku tinggalkan ibu itu dengan perasaan sedih atas anak yang telah syahid dan adiknya yang ikut meninggal setelah mendengar kabar tentang kakaknya. Allahu Akbar !
jihad, antara nikayah dan tamkin (5)
Sebab sebab tercapainya tamkin
Tamkin merupakan ketetapan yang dijanjikan Allah swt terhadap orang-orang yang beriman. Ia akan tercapai dengan menempuh jalan yang mengarah kepada tujuan tersebut. Hal ini sebagaimana tamkin yang diperoleh oleh umat terdahulu mempunyai berberapa sebab yang mesti harus ditempuh. Sebab-sebab diperolehnya tamkin adalah sebagi berikut:
1. Iman yang bersih dan lurus
Iman yang bersih dan lurus merupakan modal utama untuk mendapatkan pertolongan dari Allah swt. Tidak cukup hanya dengan istilah iman, karena pada kenyataannya banyak yang menyatakan diri iman namun tidak mendapatkan tamkin. Hal ini bisa jadi karena iman yang mereka miliki tidak bersih dan banyak tercemari dengan kotoran-kotoran.
Penyebutan kata iman dalam masalah janji kemenangan bukanlah sekedar iman dalam pengertian yang dangkal. Sebagaimana misalnya dalam firman Allah swt “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (Qs. As-Shaf: 10-11).
Berkata Ahmad bin Hamdan bin Muhammad asy-syahriy“Pada ayat ini yang mana Allah mengakhirinya dengan janji pertolongan dan kemenangan khitabnya adalah orang-orang beriman. Sebagimana Allah menyerunya dengan sebutan يأيها الذين أمنوا kemudian allah memerintahkan mereka untuk meraih yang dijanjikan dengan melakukan. تؤمنون بالله ورسوله ungkapan ini sebagai bentuk penguat bagi pernyataan iman di awal. Kemudian Allah memerintahkan untuk beriman kepadanya dan rasulnya sebagai bentuk peringatan untuk meluruskan iman dan membersihkannya dari kotorang-kotoran. Hingga dengannya mereka akan mendapatkan pertolongan. Dengan demikian maka pertolongan dan tamkin akan didapatkan dengan kelurusan dan kebersihan iman bukan dari yang lainnya.
Bahkan dalam beberapa kasus orang-orang yang disebut kaum mu’minin justru tidak mendapatkan kemenangan. Ini sebagaimana terjadi pada perang uhud karena ada sebagian dari mereka yang mempunyai tujuan yang tidak lurus. Keimanan mereka mulai tercemar dengan dunia ketika kaum muslimin berhasil mendapatkan ghaniamah. Sebagaimana yang disebutkan oleh ibnu mas’ud “kalau saja hari itu (perang uhud) saya bersumpah bahwa tidak tidak seorangpun yang bertujuan untuk dunia, maka akan aku penuhi sumpah itu. Sampai kemudian Allah menurunkan ayat:
منكم من يريد الدنيا ومنكم من يريد الآخرة
(di antara mereka yang menginginkan dunia dan ada yang menginginkan akhirat) (Qs. Al-Imran: 152)
Begitu pula apa yang terjadi pada perang hunain sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mu’minin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa’at kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (Qs. At-Taubah:25)
Dalam sejarah perang hunain ini Allah swt memberika pelajaran bagi kaum muslimin bahwa kemenangan adalah ditangan allah. Bukan di tangan manusia meski mereka berbangga dengan jumlah yang banyak. Dan tentu saja sikap merasa diri ini mencemari keimanan mereka bahwa kemenangan itu hanyalah ditangan Allah swt. Hingga dengannya kaum muslimin justru tidak mendapatkan apa yang dijajikan oleh Allah swt.
2. Al-Qiyadah Ar-Rasyidah
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan yang solid dalam suatu jama’ah sangat membantu tercapainya tamkin bagi kaum muslimin. Dengan keberadaannya, potensi ummat akan lebih terarah sehingga da’wah dan jihad akan berjalan lacar dan mempunyai basis pertahanan. Allah swt berfirman: “Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’min”. (Qs. Al-Anfal: 62)
Ibnu katsir berkata: “berkumpulnya mereka atas keimanan kepamu dan ketaatan kepadamu membantu dan menolongmu”. Dari ayat dan penjelasan ibnu katsir dapat kita simpulan bahwa jama’ah yang menjadi pondasi utama bagi tegaknya da’wah yang akan membuahkan tamkin harus memiliki dua kriteria, yaitu jama’ah mu’minah dan mempunyai missi yang lurus untuk menolong agama Allah. Apabila dua hal ini tidak ada padanya atau hilang salah satunya maka tamkin tersebut tidak akan tercapai meski mereka tetap mempunyai loyalitas kepada islam.
Jama’ah semacam ini telah digambarkan di dalam al-qur’an tentang keadaan bani israil terhadap nabi Musa dan Harun “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu , dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya”. Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi ni’mat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja” (Qs. Al-Ma’idah: 21-24)
Meski mereka mempunyai loyalitas kepada nabi musa dan harun namun mereka tidak mempunyai missi yang lurus untuk menolong agama Allah maka mereka tidak mendapatkan kemenangan.
3. Program yang tersusun rapi dan penuh perhitungan
Point ini tidak kalah pentingnya karena berkaitan dengan ikhtiyar. Dan perubahan kearah yang baik sangatlah ditentukan oleh usaha maksimal yang ditempuh oleh seseorang. Banyak nash-nash yang menjelaskan tentang besarnya keberuntungan akan diperoleh seukuran dengan usaha yang dilakukan oleh seseorang.
Kaitannya dengan keberadaan harakah-harakah islam pada hari ini, hendaknya mereka benar-benar merancang program yang lebih jitu untuk tecapainya kejayaan Islam. Hal ini tentunya dengan banyak mengaca dan mengambil pengalaman (evaluasi) dari usaha yang selama ini telah ditempuh. Syaikh Abu Mus’ab As-Shuriy memberikan gambaran teori perjuangan ummat kedepan dengan menyusun strategi yang dilandaskan kepada tiga hal :
a. Konsistensi
Maskudnya bahwa dalam menyusun program kedepan harus tetap konsisten dengan apa yang selam ini diyakini. Yaitu bahwa jihad adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi berbagai problem yang dihadapi oleh kaum muslimin saat ini.
Melihat kepada realita bahwa kaum muslimin saat ini tertindas, teraniya dan terbantai, maka jihad menjadi fardhu ain bagi kaum muslimin. Bahkan jihad pada saat kondisi kaum muslimin tertindas merupakan kewajiban yang utama setelah iman kepada Allah swt. Berkata syaikhul islam Ibnu Taymiyah:
وأما قتال الدفع فهو أشد أنواع دفع الصائل عن الحرمة والدين واجب إجماعاً، فالعدو الصائل الذي يفسد الدين والدنيا لا شيء أوجب بعد الإيمان من دفعه
“Adapun qital difa’i maka ia merupakan jenis daf’us shail yang paling berat, dalam rangka mempertahankan harga diri dan din merupakan kewajiban menurut ijma’. Musuh yang menyerang, merusak agama dan dunia maka tidak ada amalan yang lebih wajib setelah iman kecuali melawannya”.
b. Koreksi
Merupakan dasar keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bahwa hanya perkataan Nabi saja yang mutlak kebenarannya. Sedangkan perkataan manusia lain masih dipertanyakan. Sebagaimana perkataan imam Malik rahimahullah: “Setiap kita perkataannya bisa diterima dan bisa ditolak, keculai penghuni kuburan ini (maksudnya adalh Rasulullah saw)”. Demikian juga kaitannya dengan manhaj perjuangan ada yang bersifat tsawabit (baku) dan ada juga yang mutaghayyirat (nisbi). Dalam perkara yang sifatnya Mutaghayyirat inilah menjadi ladang koreksi terhadap program yang selama ini dilakukan.
Diantara yang perlu dikoreksi adalah tindakan yang selama ini mengarah kepada keberhasilan dan tindakan yang selam ini justru menjadi sebab kegagalan. Hingga dengan mengetahi itu semua kita akan mengubur penyebab kegagalan dan mempertahankan hal-hal yang mengarah kepada keberhasilan. Rasulullah saw memberikan gambaran tentang orang yang cerdas untuk masa depannya dengan sabda beliau “orang cerdas adalah mereka yang mengoreksi dirinya dan mengerjakan apa yang menjadi bekal setelah mati. Adapun orang yang lemah akalnya adalah mereka yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan untuk (mendaptkan ampunan) dari allah. (Hr. Tirmidzi)
c. Pengembangan
Diantara mu’jizat agama kita yang lurus bahwa hukum islam terbagi menjadi dua:
1. Konstan (tidak berubah) serta terperinci hingga tidak ada celah untuk mengganti dan mengubahnya sedikitpun. Ini sebagaiman shalat, whudlu dan yang sejenisnya.
2. Umum dan global. Yaitu garis besar dan kedah umum saja. Kaedah umum ini banyak berkaitan dengan urusan mua’malah yang berkaitan dengan gerakan dan aktivitas manusia. Dan ini bisa berubah-ubah dan berkembang asalkan masih dalam lingkup kaedah umum yang terdapat dan nash-nash syar’i.
kaitannya dengan pergerakan islam, jihad melawan orang kafir merupakan hukum yang bersifat konstan. Sedangkan metode, tata cara, perangkat dan sistemnya bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi. Allah memberikan keluasan bagi hambanya untuk berijtihad dalam hal-hal yang bersifat konstan tersebut.
Kaitannya dengan penyusunan program kedepan maka teori pengembangan ini mencakup tiga hal:
1. Gagasan: yaitu merancang rencana kedepan. Langkah apa yang diperkirakan tepat untuk tercapainya kemenangan.
2. Perangkat: yaitu sarana apa saja yang diperlukan dan siapa pelaku dalam melancarkan gagasan yang telah disepakati. Serta hal-hal lain yang menjadi wasilah tercapinya gagasan tersebut.
3. Metode: yaitu cara apa yang paling tepat untuk mendukung gagasan yang telah direncanakan di awal.
4. Sabar dan Tsabat (teguh pendirian)
Menyatakan diri untuk siap berjuang di jalan Allah merupakan karunia yang besar dan mendapatkan janji yang mulia di sisi Allah. Namun suatu hal perlu dicamkan dalam hati, yaitu bahwa janji yang mulia selalu disandingkan dengan pekerjaan besar. Aktivitas yang membutuhkan kesabaran dan ketegaran. Begitulah perjuang dalam rangka meraih tamkin.
Perjuangan merupakan amanah yang berat, membutuhkan keseriusan berfikir dan kerja keras. Disamping itu merupakan sunnatullah bahwa perjuangan islam pasti akan mendapatkan perlawanan dari Hizbus Syaitan yang ingin memadamkan cahaya islam. Perseteruan tensebut merupak keniscayaan yang pasti terjadi sepanjang masa. Masing-masing pihak akan berusaha untuk menjadi pemenang meski harus mengorbankan nyawa satu-satunya yang ia miliki.
Tanpa kesabaran kemenangan mustahil akan didapatkan. Karena kesabaran merupakan modal utama bagi ketegaran seseorang dalam melakukan suatu usaha. Bahkan allah swt menyatakan kebersamaanya dengan orang-orang yang bersabar “sesungguhnya allah besama orang-orang yang bersabar”. (Qs. Al-Baqarah: 153). Di ayat lain allah juga berfirman “Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (Qs. Al-Anfal: 45)
Bahkan Allah swt menyangkal orang-orang mengira bahwa mendapatkan Jannah adalah urusan sepele dan remeh dengan firmannya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Qs. Al-Baqarah: 214)
Referensi:
– Qamus al-muhith
– Awamilun nashri wattamkin
– Fathul qadir
– Ahamiyatul jihad
– Al-jihad wal-ijtihad
– Ar-rahiqul makhtum
– www.saadarmy.com
– Tafsir ibnu katsir
– Fathul bariy
– www.aljazeeratalk.net
– perjalanan gerakan jihad (1930-2002) sejarah, eksperimen, dan evaluasi hal: 212-218
– fatawa al-kubra
-Mereka mujahid tapi salah langkah
jihad, antara nikayah dan tamkin (4)
Merintis jalan menuju tamkin
Jihad dalam islam dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu jihad difa’i (defensive) dan jihad hujumiy (ofensive). Jihad difa’i adalah membela kehormatan agama dan harga diri kaum muslimin dari gangguan orang kafir. Jihad jenis ini hukumnya adalah fardhu ain. Adapun jihad offensive adalah menyerang orang-orang kafir ke wilayah mereka agar memeluk islam atau tunduk terhadap Islam. Hukum asal dari jihad ini adalah fardhu kifayah dan bisa berubah menjadi fardhu ain dalam kondisi tertentu.
Mencermati keadaan kaum muslimin saat ini, maka bisa dikatakan mereka sedang berada dalam posisi jihad difa’i. Hal ini berangkat dari realita bahwa kaum muslimin sedang tindas di berbagai wilayah. Di sisi lain, mereka juga belum mempunyai satu kepemimpinan yang memungkinkan untuk melakukan jihad hujumiy. Sedangkan jihad hujumiy baru akan menuai keberhasilah apabila telah mempunyai wilayah kekuasaan dan kepemimpinan yang solid. Hal ini sebagaimana jihad hujumiy dilakukan oleh rasulullah saw pada saat madinah telah menjadi basis kekuatan kaum muslimin.
Kondisi kaum muslimin yang lemah dan belum memiliki kekuasaan, mengharuskan mereka untuk berfikir panjang menuju kemenangan berupa tamkin. Menyusun strategi yang matang dan nikayah hanya akan dilakukan apabila benar-benar akan mengarah kepada tamkin. Karena pada kenyataannya, membatasi target hanya pada nikayah yang dilakukan pada kondisi lemah justru akan memperlambat tercapainya tamkin.
Tidak dapat dipungkiri bahwa nikayah yang dilakukan kaum muslimin mempunyai sisi positif. Diantaranya adalah membangkitkan semangat kaum muslimin untuk berjihad, dan menjadikan mereka terbiasa dalam menghadapi cobaan dalam perjuangan. Dampak positif ini sebagimana yang diungkapkan oleh Umar Mahmud abu Umar, bahwa melalui nikayah akan melatih diri tidak takut dengan darah. Melatih kesabaran atas kepergian orang-orang yang kita cintai, dan dengannya kita bisa mebersihkan diri dan banyak menapatkan tarbiyah (pelajaran). Namun bukan berarti tujuan nikayah harus lebih diutamakan dari pada tamkin. Bahkan rasulullah saw pernah melarang para sahabat untuk melakukan nikayah meskipun mereka telah merasa mampu untuk melakukannya. Beliau melarang nikayah dalam rangka untuk melancarkan target utama yaitu tamkin.
Hal ini sebagaimana keinginan para sahabat yang baru usai melakukan baiat aqabah kedua yang kemudian dicegah oleh rasulullah saw. Diriwayatkan bahwa salah salah seorang dari mereka yang bernama Al-abbas bin Ubadah bin Nadhalah berkata kepada Rasulullah saw: Aku bersumpah demi yang mengutusmu dengan kebenaran, kalau engkau berkehendak bagaimana jika esok hari kami akan mendatangi penduduk mina dengan pedang-pedang kami? Beliau bersabda “kita beluam diperintah untuk hal itu, pulanglah ketempat kalian dan tidurlah sampai pagi hari”.
Terkadang seseorang kurang bisa untuk berfikir panjang ketika dihadapkan dengan suatu permasalahan yang berat. Terlebih ketika masalah tersebut berupa penganiayaan atau penindasan. Dalam keadaan demikian seseorang hanya berfikir bagaimana cara keluar dari permasalahan tersebut secepatnya dengan segala cara tanpa perhitungan. Padahal belum tentu setiap cara yang mereka lakukan merupakan jalan keluar terbaik untuk tahapan selanjutnya. Hal ini sebagaimana perasaan para sahabat saat mendapakan penyiksaan dari orang-orang musrik makkah. Mereka mendatangi Rasulullah saw mengadukan tentang keadaan mereka. Kehinaan dan kesempitan hitup yang mereka rasakan. Namun ketika itu Rasulullah justru mengajak mereka untuk berfikir panjang kepada suatu target yang tidak belum tebayangkan dalam benak mereka. Beliau memberikan semangat kepada para sahabat dengan mengatakan “Demi Allah akan tiba masanya seorang berjalan dengan sendirinya dari shan’a sampai hadramaut tanpa merasa takut kecuali hanya keapada allah dan binatang buas terhadap kambing-kambing mereka, namun kalian tergesa-gesa untuk mendapatkan hal itu”. Di kesempatan lain beliau bersabda “demi allah, kalian akan menaklukkan kisra dan kaisar dan kalian akan menginfakkan harta darinya dijalan Allah”.
Memang benar bahwa bahwa perintah jihad telah turun secara mutlak. Bahkan para para ulama mengatakan bahwa ayat-ayat yang memerintahkan untuk menahan diri dan bersabar telah di naskh (hapus) dengan ayat-ayat qital. Namun bukan berarti tahapan-tahapan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dalam merintis tamkin adalah diharamkan untuk diterapkan pada saat ini dengan alasan tersebut. Hal ini karena yang dimaksud bukanlah penghapusan hukum dalam pengamalannya. Para ulama banyak menjelaskan bahwa pada kondisi lemah diperbolehkan untuk melakukan tahapan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Syaikhul islam berkata “bagi kaum muslimin yang berada pada suatu daerah dalam keadaan lemah, atau kondisi lemah, maka hendaklah ia mengamalkan ayat-ayat sabar, berlapang dada dan sabar terhadap orang yang menghina Allah dari kalangan orang-orang ahli kitab dan musyrik. Adapun bagi mereka yang mempunyai kekuatan maka hendaklah mengamalkan ayat-ayat perintah memerangi pemimpin-pemimpin kafir yang mereka menikam islam. Dan mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memerangi ahlul kitab sampai mereka membayar jizyah dalam keadaan hina”.
Jihad yang dilakukan kaum muslimin saat ini seharusnya lebih banyak berorientasi kepada tamkin. Karena apabila hanya berkutat dalam masalah nikayah tidak akan mampu untuk menyelesaikan masalah umat. Bahkan mungkin justru akan menjadikan orang-orang kafir yang berkuasa dinegeri kaum muslimin semakin beringas dalam memberangus benih-benih kebangkitan islam.
Hendaknya para mujahidin tidak berhenti dan hanya mencukupkan dirinya dalam Qital nikayah terhadap musuh. Akan tetapi hendaknya memandang kepada urusan yang lebih besar dan target yang mulia. Suatu tujuan yang karenanyalah jihad disyariatkan, yaitu tamkin (berkuasanya diin allah). Dan jihad tamkin ini mempunyai sebab-sebab dan tata cara yang harus di lakukan untuk meraihnya.