Rabi’ bin Khutsaim Rahimahullah
Teladan sepanjang masa
“Aku berpesan kepadamu untuk membaca kisah hidup orang-orang shaleh; para shahabat Nabi, tabi’in, ahli ibadah dan ahli zuhud dari kalangan ahlussunnah. Berhentilah sejenak pada kabar-kabar mereka. Dan bacalah perjalanan hidup mereka. Karena itu akan memompa semangatmu dan menorehkan kehausan untuk meneladani mereka. Atau setidaknya membuatmu malu terhadap dirimu sendiri. Malu kepada Rabbmu saat engkau membandingkan hidup mereka dengan hidupmu sendiri. Maka tadaburilah kisah-kisah mereka. Hiduplah bersama mereka; dalam kezuhudan, kewara’an, penghambaan, rasa khauf kepada Allah, ketawadhu’an, keindahan budi pekerti dan kesabaran mereka….” (DR. ‘Aidh al Qarni, Hakadza Haddatsana az Zaman, hal : 283-384).
Salah satu orang shaleh yang selalu membuatku tertegun setiap kali membaca kisah dan nasehatnya adalah Rabi’ bin Khutsaim rahimahullah. Sosok tabi’in yang begitu ikhlash, zuhud, dermawan, wara’, ahli ibadah dan takut kepada Allah. Kisah-kisah singkat yang tertuang dalam kitab Shifatush Shafwah karya Ibnul Jauzi berikut ini menggambarkan itu semua. Semula tidak berniat untuk menuliskannya, namun rasanya terlalu sayang bila hanya aku saja yang mengambil manfaatnya. Oleh karenanya biarkanlah jemari ini menulis kisah beliau, Rabi’ bin Khutsaim, apa adanya. Semoga manfaatnya semakin terasa dengan banyaknya pembaca. Selamat menikmati.
Menjaga keikhlasan
Keikhlasan. Itu pelajaran pertama yang kita dapatkan dari perjalanan hidup beliau. Teladan yang harus kita contoh bersama. Keikhlasan, itulah salah satu sebab amal seseorang diterima oleh Allah Ta’ala. Kita tentu merekam dengan kuat sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim perihal tiga orang yang pertama disiksa oleh Allah pada hari kiamat kelak; mujahid, alim dan qari’ul qur’an, serta orang yang gemar berinfak. Amalan mereka agung, dan dijanjikan pahala berlimpah. Namun semua tersia-sia karena salah niatnya.
Ketika masing-masing ditanya oleh Allah Ta’ala, “Aku telah melimpahkan nikmat tak terhingga kepadamu, lantas apa yang kamu lakukan terhadap nikmat-nikmat-KU?.”
Orang pertama menjawab, “Ya Allah, aku berjuang di jalan-Mu hingga aku menjemput syahid.”
Orang kedua menjawab, “Aku belajar ilmu dien dan mengajarkannya kepada manusia, serta membaca al Qur’an dan mengamalkannya demi mendapat ridha-Mu ya Allah.”
Orang ketiga menjawab, “Ya Allah, tiada jalan yang Engkau ridhai agar hamba-Mu menyedekahkan hartanya, kecuali aku infakkan harta-hartaku di jalan-Mu.”
Namun apa balasan Allah atas semua jawab mereka. Allah membantah mereka semua dengan berfirman, “Kamu dusta. Kamu dusta. Kamu dusta. Kamu, berjihad agar disebut sebagai pemberani dan itu sudah kamu dapatkan di dunia. Kamu, belajar dan membaca al Qur’an agar dikenal sebagai ‘alim dan qari’ dan itu sudah kamu raih ketika di dunia. Dan kamu, berinfak agar dikatakan sebagai seorang dermawan dan sebutan itu sudah melegenda ketika kamu masih di dunia.” Lalu Allah mencampakkan mereka ke neraka. Nas’alullahal ‘afiyah. Semuanya tersia-sia karena salah niatnya.
Melihat urgensi ikhlash inilah, Rabi’ bin Khutsaim mengajari kita bagaimana ikhlash beramal. Karena kata beliau, “Kullu ma la yubtagha bihi wajhullah yadhmahallu, semua yang ditujukan tidak untuk mencari ridha Allah maka ia sia-sia.”
Kisahnya, sebagaimana yang disebutkan oleh Bakar bin Ma’iz, “Ma ru’iya ar rabi’u mutathawwi’an fi masjidi qaumihi illa marratan wahidah…., Rabi’ tidak pernah terlihat melaksanakan shalat sunah di masjid kaumnya kecuali hanya sekali.”
Dalam riwayat lain yang bersumber dari Sufyan bahwa budak Rabi’ bin Khutsaim pernah berkata, “Kana ‘amalur Rabi’ kulluhu sirran, in kana layuji’u ar rajulu wa qad nasyaral mushhafu fa yughatthihi bi tsaubih…, Semua amalan Rabi’ adalah tersembunyi. Jika ada seseorang yang datang padahal beliau sedang membaca al Qur’an, maka beliau langsung menutupi mushafnya dengan kain bajunya.” Tujuannya satu, agar amalannya tidak tercampuri riya’ dan keikhlasannya terjaga. Subhanallah.
Menjaga shalat
“Shalat” kata Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “adalah tiang agama.” Maka, baik-buruknya keislaman seseorang tergantung erat pada seberapa besar perhatiannya kepada shalat. Ia menjadi jembatan yang menyambungkan hubungan antara seorang hamba dengan Rabbnya. Karenanya, orang yang berani menyia-nyiakan shalat, kepada urusan selainnya ia pasti lebih berani menyia-nyiakannya. Bagaiman tidak? Hak Allah saja ia sia-siakan, apalagi hak sesama manusia? Tentunya akan lebih ia sia-siakan.
Dalam catatan sejarah, kita mendapati generasi salafus shaleh dari umat ini selalu menjaga shalatnya, dan bersegera memenuhi panggilan Allah Ta’ala. Ada al A’masy, beliau selama kurang lebih 70 tahun tidak pernah ketinggalan shaf pertama, sedangkan sahabatnya Waki’ selama lebih dari 60 tahun tidak pernah mengqadha’ satu rakaatpun. Ada Katsier bin Abi al Himsh, ketika beliau ditanya tentang sebab dirinya yang sama sekali tidak pernah lupa (baca: salah) dalam shalat, padahal beliau telah menjadi Imam penduduk Himsa selama 60 tahun, beliau berkata,” Ketika masuk masjid dalam hatiku hanya ada Allah.” Ada Bisyr bin al Hasan yang dijuluki ash Shaffi karena beliau melazimi shaf pertama di masjid Bashrah selama 50 tahun. Demikian pula Ibrahim bin Maimun al Maruzi, seorang tukang celup dan pengukir emas dan perak, Ibnu Mu’in berkata,” Jika beliau sedang mengangkat palu lalu mendengar adzan, beliau tidak jadi melanjutkan.” Ia letakkan palu yang sudah diangkatnya.
Lalu, bagaimana dengan tokoh kita kali ini, Rabi’ bin Khutsaim?
Beliau pun tidak kalah prestasinya, diriwayatkan dari Abu Hayyan dari bapaknya,” Rabi’ bin Khutsaim menderita lumpuh sehingga harus dituntun menuju masjid, ketika ada yang berkata kepadanya,” Engkau telah diberi keringanan.”, Rabi’ menjawab,” Aku mendengar “hayya ala ash shalah” jika engkau mampu datangilah seruan itu meski dengan merangkak. Meski dengan merangkak”.
Tentang kekhusyu’annya dalam shalat, jangan dipertanyakan. Diriwayatkan dari Muhammad, dari seorang muslim yang selalu bergegas memasuki masjid berkata, “Rabi’ bin Khutsaim kalau sujud ibarat kain yang terlempar lalu burung-burung kecil hinggap di atasnya.” Artinya, burung-burung itu hinggap di atas punggung Rabi yang sedang ruku’ karena terlarut dalam kekhusyu’an yang indah sehingga punggungnya tidak bergerak sedikitpun. Subhanallah.
Dari sinilah, kita tahu kebenaran perkataan beliau, “Ana bi ashafiril masjidi anasu minni bi ahli…, saya lebih akrab dengan burung-burung masjid daripada bersama keluargaku.” Menakjubkan bukan?
Menjaga lisan
Lisan. Ia bisa menghantarkan manusia ke surga, dan juga ke neraka. Tergantung bagaimana si empunya menggunakannya. Di satu sisi, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, “Aktsaru ma yudkhilu an nasa an naar, al fammu wal farju….yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka adalah mulut (baca: lisan) dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi dan mengatakan, “Ini hadits shahih.”). Tetapi di sisi yang lain, beliau juga memberikan kabar gembira, “Man yadhmanu li ma baina lihyataihi wa ma baina fakhidaihi, adhmanu lahu al jannah….siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua janggutnya (lisan), dan apa yang ada di antara dua pahanya (kemaluan), aku akan menjamin jannah baginya.” (HR. Bukhari).
Dan Rabi’ bin Khutsaim mengetahui ini semua, karena apa yang terucap dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh malaikat pencatat amal. Oleh karenanya, beliau menasehatkan, “Idza takallamta fadzkur sam’aLLAHi ilaika, wa idza hamamta fadzkur ‘ilmahu bika, wa idza nazharta fadzkur nazhrahu ilaika, wa idza tafakkarta fadzkur iththila’ahu ‘alaika, fa innahu yaqulu Ta’ala, “Innas sam’a wal bashara wal fu’ada kullu ula’ika kana ‘anhu mas’ula (al Isra’ : 36)…..Jika kamu berbicara, ingatlah pendengaran Allah kepadamu. Jika kamu berkeinginan, ingatlah pengetahuan Allah terhadapmu. Jika kamu melihat, ingatlah penglihatan Allah kepadamu, dan jika kamu berfikir, ingatlah kekuasaan Allah kepadamu. Karena Allah Ta’ala pernah berfirman, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan nurani; semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.” (al Isra’: 36).
Kisah Rabi’ tentang menjaga lisan ini, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Rabi’ bin Mundzir, ia berkata,”Aku mendengar ayahku bercerita, “Rabi’ memiliki sanak kerabat, lalu salah satu putrinya ada yang bertanya, “Ayah, aku ingin bermain. Bolehkah?” lalu Rabi’ bin Khutsaim menjawab, “Nak, pergilah, dan katakanlah yang baik-baik.” Beliau mengucapkannya berulang kali. Lalu orang-orang yang ada di sekelilingnya menegur, “AshlahakAllahu wa ma alaika an taqula laha…, semoga Allah memperbaikimu, dan tidak ada salahnya kamu mengatakan, “Bermainlah.” Kepada putrimu.”
Tahu, apa jawab Rabi’?. Beliau menjawab teguran mereka, “Aku hanya tidak suka kalau kata itu (bermain) termaktub di catatan amalku kelak.” Allahu Akbar.
Ah, aku pun teringat dengan pesan tabi’in agung, Thawus bin Kaisan Rahimahullah, “Ma min syai’in yatakallamu bihi ibnu adam illa uhshiya ‘alaihi hatta aninihi fi maradhihi…., tiada yang diucap oleh anak adam kecuali akan dicatat, hatta rintihan ketika sakitnya.”
Menghidupkan malam
Rasululloh juga pernah bersabda,
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ وَتَكْفِيرٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنِ الْجَسَدِ
“Hendaklah kalian mengerjakan shalat malam, karena ia merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, mendekatkan diri kalian kepada Allah, menjaga diri dari dosa, menghapus kesalahan dan menghilangkan penyakit dari tubuh.” (HR. at Tirmidzi, Ahmad, al Baihaqi dan al Hakim).
Pesan indah yang terucap dari lisan orang paling mulia, dan orang yang paling tinggi iman dan takwanya di atas menjadi motifasi Rabi’ bin Khutsaim dalam mengisi malam-malamnya. Pada saat malam menjelang, ia menumpahkan semua pengaduannya kepada Rabbnya, penguasa maya pada. Bermunajat dan bersimpuh di hadapan Allah memohon belas kasih-Nya, dan menghiba maghfirah-Nya. Bahkan, selalunya malam yang beliau lalui hanya berisi tangis, tangis dan tangis. Seolah-olah, semua dosa penduduk bumi ini dibebankan kepadanya.
Biarkanlah Sufyan menceritakan kondisi malam Rabi’ bin Khutsaim kepada kita, “Telah sampai kabar kepadaku bahwa ibunda Rabi’ memanggil putra tercintanya, “Ya bunayya, ya Rabi’, ala tanam….duhai ananda, duhai Rabi’, tidakkah kamu tidur?” Rabi’ menjawab, “Duhai bunda, orang yang takut kepada Allah pantas untuk tidak tidur. ” ibunda Rabi’ pun meninggalkan putranya tetap dalam shalat, dan tangisnya.
Sufyan melanjutkan, “Tetapi ketika ibunda Rabi’ melihat putranya menangis dan bergadang sedemikian hebatnya, ia kembali memanggil, “Ya bunayya, la’allaka qatalta qatila….duhai ananda, apakah engkau telah membunuh seseorang?.” Rabi’ menjawab, “Ya, bunda. Ananda telah membunuh.” Ibunda Rabi’ berkata, “Duhai ananda, biarkanlah kami membawamu kepada wali orang yang engkau bunuh, niscaya mereka akan memaafkanmu. Demi Allah, bila mereka tahu tangis dan bergadangmu mereka pasti akan iba kepadamu.” Tetapi Rabi’ menjawab, “Bunda, yang aku bunuh adalah jiwaku sendiri (dengan maksiat dan dosa).” Begitulah malam-malam seorang Rabi’ bin Khutsaim yang selalu menghiba memohon maghfirah Allah atas semua maksiat dan dosanya.
Takut kepada Allah
“Ainani la tamassahuma an naar, ainun bakat min khasyyatiLLAH, wa ‘ainun batat tahrusu fi sabiliLLAH.” Begitu pesan Nabi tercinta, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada dua mata, yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata yang berjaga di jalan Allah.” (HR. at Tirmidzi).
Berbahagialah orang yang bisa menangis karena takut kepada Allah. Karena, hanya orang yang berhati bersih dan ingat akherat lah yang bisa melakukannya. Tangisan itu berasal dari hati yang suci, dan mengakui semua kealpaan diri, baik disengaja maupun tidak. Pernyataann Abu Bakar ash Shiddiq berikut mungkin sedang menyindir kita, yaitu ketika beliau mendapati para shahabat sedang menangis tatkala membaca al Qur’an. Katanya, “Dahulu, ketika hati kami bersih, kami juga menangis seperti itu.”
Janji Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mata yang menangis karena Allah tidak akan tersentuh oleh api neraka di atas diresapi dengan benar oleh Rabi’ bin Khutsaim Rahimahulloh. Diriwayatkan oleh Abu Wa’il, ia berkata, “Kami pernah pergi bersama Abdullah bin Mubarak dan Rabi’ bin Khutsaim. Ketika kami melewati tukang besi, Ibnu Mubarak berhenti dan memandangi apinya, sedangkan Rabi’ berdiri sempoyongan ingin jatuh ketika melihat api tukang besi tersebut (karena teringat api neraka). Lalu kami pergi, ketika melewati perapian di tepi sungai Eufrat, Ibnu Mubarak membaca ayat, “Idza ra’athum min makanin ba’idin sami’u laha taghayyuzhan wa zafira, wa idza ulqu minha makanan dhayyiqan muqarranina da’au hunalika tsubura (al Furqan : 12-13)…., Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan. (al Furqan: 12-13). Seketika itu juga, Rabi’ bin Khutsaim pingsan. Zhuhur, Ashar dan Maghrib belum juga sadar. Baru setelah itu, ia siuman, dan Ibnu Mubarak pulang ke rumahnya.
Kisah yang lain disampaikan oleh al A’masy. Katanya, “Rabi bin Khutsaim pernah melewati para tukang pandai besi, lalu melihat ke perapian dan langsung pingsan.” “Kemudian” lanjut al A’masy, “Aku melewati para tukang pandai besi untuk mencontoh Rabi’, namun tidak ada kebaikan pada diriku (pent. aku tidak bisa pingsan).”
Dermawan
Allah Ta’ala berfirman, “Dan infakkanlah dari apa yang Kami rizkikan kepadamu sebelum kematian mendatangi salah seorang di antaramu, kemudian ia berkata, “Kalau saja Engkau mengakhirkan (waktu kematian) ku, sehingga aku bisa bersedekah, dan aku menjadi menjadi orang-orang shalih.” (al Munafiqun : 10).
Para ulama’ menjelaskan bahwa di antara bentuk amalan yang paling banyak disesali oleh orang yang dijemput kematian adalah SEDEKAH. Mereka ingin diberi kesempatan tambahan, agar bisa bersedekah. Bisa berinfak untuk menambah pundi-pundi amal shalehnya. Oleh karenanya, para generas salaf gemar bersedekah sebagai bentuk pengamalan ayat ini.
Dan di antara orang yang mudah bersedekah dan berbagi dengan sesama adalah Rabi’ bin Khutsaim. Sungguh, kedermawanannya sangat menakjubkan.
Sa’id al Haritsi menceritakan bahwa Rabi’ bin Khutsaim terkena lumpuh, sehingga sakitnya lama. Suatu saat, beliau berkeingan sekali untuk memakan daging ayam namun beliau menahan dirinya selama 40 hari. Baru kemudian beliau meminta kepada istrinya, “Sebenarnya aku ingin sekali memakan daging ayam sejak 40 hari yang lalu, namun diri ini tidak mau kompromi. Ia masih ingin mencicipi daging ayam.”
Istrinya pun menjawab, “Subhanallah. Kenapa engkau harus menahan diri untuk memakannya? Padahal Allah menghalalkannya untukmu.” Lalu, istirinya pergi ke pasar untuk membeli ayam seharga 1 dirham 2 daniq. Kemudian ayam tersebut disembelih dan dipanggang, dan dilengkapi dengan roti. Kemudian hidangan yang sudah siap saji itu diletakkan di nampan dan diletakkan di depan suaminya, Rabi’ bin Khutsaim.
Tetapi ketika ingin makan, ada seorang pengemis yang berdiri di depan pintu rumahnya, sembari berkata, “Tashaddaqu ‘alayya, barakALLAHu fiku….bersedekahlah kepadaku, semoga Allah memberkahimu.”
Pada saat itu juga, Rabi’ tidak jadi makan, dan memerintahkan kepada istrinya, “Ambil makanan ini dan berikan kepada pengemis itu.”
Merasa sudah bersusah payah menyiapkan makanan untuk suaminya tercinta, dan makanan itu belum sempat dicicipi, padahal makanan itu sudah diminati 40 hari yang lalu, istrinya berkata, “Subhanallah.”
Rabi’ berkata, “Sudah, lakukan saja apa yang aku perintahkan. Berikan makanan ini kepada pengemis yang ada di depan pintu rumah kita itu.”
Akhirnya, istrinya memberikan usulan, “Aku akan melakukan sesuatu yang paling baik dan lebih ia cinta daripada makanan ini.”
“Apa itu?” Tanya Rabi’ penasaran.
Dengan tersenyum, istrinya mengutarakan usulannya, “Kita berikan saja harga sesuai dengan harga makanan ini dan engkau tetap memakan daging ayam ini. Bagaimana ?”
“Usulanmu bagus. Sekarang, ambilkan dirham seharga makanan itu.” Pinta Rabi’
Istrinya dengan hati senang mengambil dirham seharga makanan yang ia buat untuk suaminya tadi; ayam, roti dan lauk pauk.
Adakah yang istimewa? Ini akhir kisahnya. Setelah istrinya mengambil uang, Rabi’ bin Khutsaim memerintahkan kepada istrinya, “Letakkan uang itu di atas nampan ini, dan berikan semuanya kepada pengemis itu.” Subhanallah.
Kisah lainnya bersumber dari Mundzir. Ia mengisahkan bahwa Rabi’ pernah memerintahkan kepada keluarganya, “Buatkanlah khabish untukku.” Lalu keluarganya membuatkan khabish (kue) untuk beliau. Sehabis matang, beliau langsung mengundang tetangganya yang tertimpa musibah. Kemudian orang tersebut memakan dengan lahap, dan air liurnya belepotan mengalir dari mulutnya. Keluarganya berkata, “Ma yadri hadza ma ya’kul, Orang ini tidak tahu, apa yang dia makan?.” Tetapi Rabi’ berkata mengingatkan, “LakinnALLAHa ‘azza wa jalla yadri, tetapi Allah tahu.”
Sebuah pengakuan
Sekalipun demikian, beliau masih merasa kalah jauh dengan generasi pilihan yang membersamai Rasululloh, baik suka maupun duka dalam memperjuangkan dienul islam. Nasir bin Dza’lauq pernah mengatakan bahwa Rabi’ bin Khutsaim biasa menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya. Kemudian beliau berkata, “Adrakna aqwaman kunna fi junubihim lushushan…, kami telah bertemu dengan kaum di mana kami di tengah-tengah mereka seperti pencuri.” Siapakah yang dimaksud? Siapa lagi kalau bukan para shahabat yang pernah disabdakan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang hidup pada masaku (para shahabat).” Padahal beliau adalah seorang tabi’in yang hidup setelah zaman shahabat. Lalu, bagaimana dengan kita?
Satu hal lagi, setiap kali beliau ditanya, “Kaifa ashbahta ya Aba Yazid, bagaimana kabarmu pagi ini wahai Abu Yazid (kuniyah Rabi’ bin Khutsaim).” Beliau menjawab, “Ashbahna dhu’afa’an mudznibin na’kulu arzaqana wa nantazhiru ajalana…, Kami orang lemah yang bergelimang dosa. Kami memakan rizki kami dan menanti ajal kami.” Semoga Allah merahmatimu duhai Rabi’ bin Khutsaim. Mudah-mudahan kami bisa meneladani semua teladan yang engkau berikan kepada kami. Semoga. (By : Ibnu Abdul Bari el-Afifi).
Maraji’ utama : Shifatush Shafwah, Ibnul Jauzi.
Leave a Reply